• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengelolaan Sampah

Dewi (2008) mengemukakan tahap distribusi mempunyai peranan penting dalam proses pengelolaan sampah. Hierarki lalu lintas sampah dimulai dari tingkat terendah, yaitu rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Sebelum diolah, sampah menyusuri tiga alur pendistribusian yang saling berkaitan, yaitu: 1. Penampungan sampah

Penampungan sampah di tingkat rumah tangga memegang posisi terdepan. Sejak awal pengelolaan sampah telah dipilah berdasarkan jenisnya, yaitu sampah organik atau anorganik. Selain itu, sampah yang hendak dibuang harus dikemas rapih dalam kantong khusus (bioplastik) atau kantong plastik biasa. Di beberapa taman lingkungan dan lokasi publik strategis, pemisahan sampah dapat dilakukan dengan menyediakan dua tempat sampah kering dan basah sekaligus. Sebelum diangkut oleh petugas kebersihan, sampah ditampung sementara dalam wadah. Agar lebih efisien dan efektif, tempat sampah dapat pula dibuat dengan pemanfaatan barang bekas seperti karung plastik, drum, kotak kayu, dan ember. Wadah yang digunakan untuk penampungan sampah haruslah memiliki empat kriteria utama, yaitu: (a) mudah dibersihkan; (b) tidak mudah rusak; (c) dapat ditutup rapat; (d) ditempatkan di luar rumah.

2. Pengumpulan dan pembuangan sampah

Sampah yang telah dibuang pada tingkat rumah tangga sudah mulai diserbu oleh pemulung. Pada tahap pengumpulan oleh para pemulung atau pengepul, sampah biasanya dipilah secara sederhana menjadi tiga jenis, yaitu: (a) sampah layak kompos dengan jumlah terbesar 50%; (b) sampah layak jual sebanyak 16% dan; (c) sampah layak buang sebesar 34%. Sampah yang sudah ada setiap beberapa waktu tertentu akan dikumpulkan oleh petugas kebersihan tingkat RT/RW atau Kotamadya. Umumnya tahap pengumpulan sampah di daerah padat penduduk dilakukan instansi terkait sekitar 2-3 hari

sekali. Sementara itu, jadwal pengambilan sampah di lokasi rumah yang terpencar-pencar dilaksanakan sekitar satu kali perminggu sampai sampah terkumpul agak banyak. Sampah diangkut dengan menggunakan truk sampah atau gerobak tarik menuju lokasi yang telah disepakati.

3. Pengolahan sampah

Proses pengolahan sampah terpadu dilakukan dengan menerapkan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse) dengan tujuan agar sampah tidak sampai terbentuk. Upaya tersebut dilakukan pada tingkat terendah, yaitu pada pemakaian barang, dan proses daur ulang sampah dilakukan dengan sangat sederhana. Setelah dicacah dan dilelehkan, materi tersebut dicetak menjadi bahan siap pakai. Metode untuk memusnahkan dan pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara di antaranya: (1) membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak di ruang terbuka; (2) sampah dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah; (3) membuka dan membuang sampah di atas permukaan tanah; (4) membuang sampah di perairan, misalnya di sungai atau di laut; (5) pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan menggunakan insinerator; (6) pembakaran sampah dengan insinerator yang dilakukan oleh perorangan dalam rumah tangga; (7) sampah sayuran diolah untuk pakan ternak; (8) pengelolaan sampah organik menjadi pupuk yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah; (9) sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran air; (10) pendaur ulang sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai; (11) reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya dimanfaatkan.

Suriawiria (2003) pengumpulan sampah merupakan berbagai cara dan usaha untuk mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Pengelolaan sampah di TPA terdiri atas membuka membuang sampah di permukaan, membuang sampah ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang). Partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan

sampah harus diperhatikan ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan pembayaran iuran, dan ketaatan membuang sampah di tempat yang telah ditentukan.

Sudradjat (2006) mengemukakan model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu: urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau penurunan estetika lingkungan. Urugan merupakan model pengelolaan sampah yang umum dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar. Pengelolaan sampah yang kedua yaitu tumpukan. Model tersebut dilaksanakan secara lengkap, sama dengan tekhnologi aerobik. Pada model tersebut dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan pembakaran akses gas metan (flare). Model tersebut banyak diterapkan di kota- kota besar. Namun pada kenyataannya di lapangan model tumpukan umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan keperdulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Berikut ini beberapa model pengolahan sampah di beberapa Kota di Pulau Jawa:

a. DKI Jakarta

TPA Bantar Gebang dikelola dengan cara menerapankan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS (Instalasi Pengelolaan Air Sampah) dan sistem drainase. Sistem Drainase menampung air buangan atau lindi ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat. Penggunaan sistem activated sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agitator (pengaduk bertenaga besar). Operasional IPAS dan kebersihan drainase perlu dikontrol dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat. Jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihannya dari tetes air yang keluar dari truk dan sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta munculnya penyakit yang berhubungan dengan kesehatan kulit dan paru-paru. Namun pada kenyataannya, pada tahun

2005 penduduk sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang. Permasalahan sampah DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang sudah tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas propinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi akan memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan akan ada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.

b. Surabaya

Model TPA di Surabaya sama dengan DKI Jakarta. Pada tahun 1980 TPA Sukolilo mendapat protes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan beberapa tahun. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengimpor 1 unit pembakarsampah dari Inggris. Alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat. Aplikasi pembakar sampah di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah yang sangat tinggi (>80%) sehingga sebagian besar energi yang digunakan untuk membakar adalah untuk menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi.

c. Solo

Model pengolahan di Kota Solo seperti daerah lain yaitu dengan cara tumpukan, kelebihannya, sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian dijual. Dengan cara tersebut ada sistem input dan sistem output sehingga luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena output berupa kompos keluar areal tersebut.

Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan yang cukup besar. Sistem tersebut berhasil memacu tumbuh kembangnya pertanian organik di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas secara liar di areal TPA untuk mencari makanan sendiri.

d. Daerah lain

Beberapa Kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan memiliki topografi lembah dan pegunungan seperti di Kota Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, sampah dibuang ke lembah. Cara tersebut juga dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup efektif dan murah.

Pengelolaan sampah di Yogyakarta dilakukan dengan cara tumpukan dan dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal (mesin) yang dikelola oleh Pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara profesional. Di Malang pengelolaan cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang secara modern dengan mengambil lokasi di suatu lembah. Pengelolaan sampah di TPA daerah Gunung Galuga, Leuwiliang Bogor, juga menggunakan cara tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukan waktu cukup lama untuk pembusukannya. Model pembakar sampah yang diimpor dari Perancis pernah dicoba, tetapi akhirnya kembali gagal seperti di Surabaya. Kasus di Bandung sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar, disamping cuaca yang sangat dingin mempengaruhi pembusukan yang akan berjalan sangat lambat.

Dokumen terkait