• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MANAJEMEN PERTUNJUKAN PAGELARAN MUSIK LELAGU

B. Analisis Manajemen Pertunjukan Lelagu

2) Pengelolaan Sarana Manajemen Lelagu

Unsur manusia dalam Lelagu terdiri dari seluruh bagian kepanitiaan Lelagu. Saat ini komposisi tim inti Lelagu dan pembagian tugasnya adalah sebagai berikut:

Tabel 6:Tim Inti Lelagu

Nama Jobdesc

Gisela Swaragita Pimpinan Artistik bag. Musik Prihatmoko Moki Pimpinan Artistik bag. Visual

Uniph Pimpinan Produksi (Non-Artistik)

Ketiga panitia inti tersebut berada di bawah pimpinan KKF yaitu Yustina Neni selaku direktur utama dan Agung Kurniawan selaku direktur artistik. Selain ketiga panitia inti, unsur manusia lain yang terlibat dalam Lelagu adalah panitia tambahan yang komposisinya berubah-ubah di setiap gelaran, dan pihak-pihak luar yang membantu dalam hal publikasi dan dokumentasi acara.

b) Money(Uang)

Pembiayaan Lelagu sejak awal mengandalkan dana dari KKF. Dana anggaran ini habis untuk keperluan produksi sehingga panitia dan penampil tidak memperoleh bayaran. Di luar jatah anggaran yang diberikan, KKF juga menanggung biaya-biaya operasional lain untuk mendukung acara. Biaya sediaan konsumsi, sewa lahan parkir, uang lembur pegawai KKF, serta uang jasa dokumentasi menjadi tanggungan pihak KKF.

Awalnya setiap gelaran Lelagu mendapat anggaran sebesar Rp250.000,-. Nominal ini digunakan sebanyak Rp100.000,- untuk sewa drum dari Ikbal Lubys. Sisanya sebanyak Rp150.000,- diserahkan kepada Prihatmoko Moki sebagai ganti biaya produksi poster fisik dan sablonase. Dalam beberapa gelaran terakhir, anggaran dari KKF disusutkan menjadi Rp150.000,- dengan alokasi

Rp100.000,-untuk sewa drum dan Rp50.000,- Rp100.000,-untuk ganti rugi biaya produksi yang dikeluarkan Prihatmoko Moki.

Sumber pemasukan lain adalah dari sablonase. Sablonase menghasilkan jumlah nominal yang tak tentu, bergantung dari jumlah jasa sablonase yang terjual pada setiap edisi. Uang hasil sablonase ini dibagi untuk kas Lelagu, pihak sablonase, dan musisi yang namanya digunakan dalam desain sablonase. Persentasenya adalah seperti dalam tabel berikut:

Tabel 7:Pembagian Hasil Sablonase

Jumlah Alokasi

25% Kas Lelagu

25% Jasa Sablonase

50% Musisi

(Sumber: Prihatmoko Moki, Juni 2016)

Sejak diterapkan pengkarcisan, bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang terlibat di Lelagu diwujudkan dengan pemberian materi. Uang hasil penjualan tiket dibagi untuk kas Lelagu, musisi, perupa, dan soundman. Pembagian hasil tiket sesuai kesepakatan pihak KKF pada Lelagu #16 dan #17 adalah sebagai berikut:

Tabel 8:Persentase Pembagian Hasil Penjualan Tiket Lelagu #16 dan #17

Jumlah Alokasi

40% Musisi

30% Perupa

20% Soundman

10% Kas Lelagu

(Sumber: Uniph, Juni 2016)

Pembagian tersebut kemudian dirasa kurang adil oleh panitia karena

juga tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Maka pada Lelagu #18 ditetapkan bahwa pembagian hasilsoundmanbeserta asisten panggung berjumlah Rp200.000,- dan sisanya dibagi dengan rumusan seperti di bawah ini:

Tabel 9:Persentase Pembagian Hasil Penjualan Tiket Lelagu #18

Jumlah Alokasi

Rp200.000,- Soundman & Asisten Panggung 50% x (100% - Rp200.000,-) Musisi

30% x (100% - Rp200.000,-) Perupa 20% x (100% - Rp200.000,-) Kas Lelagu

(Sumber: Uniph, Juni 2016)

Alokasi uang kas Lelagu digunakan untuk biaya sewa alat, serta untuk rencana penambahan inventarisasi peralatan Lelagu seperti hard drive untuk menyimpan dokumentasi acara dan peralatan tata suara untuk penunjang pertunjukan.

c) Materials(Bahan-bahan)

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penggarapan pertunjukan Lelagu merupakan manusia-manusia seniman pelaku. Para seniman pelaku ini mencakup musisi dan perupa yang tampil dalam setiap gelaran Lelagu. Musisi dan perupa yang tampil dalam setiap Lelagu merupakan hasil dari kuratorial tim inti Lelagu. Selain penampil, terdapat sablonase dan lapak yang juga merupakan bagian dari sarana material dalam Lelagu.

d) Methods(Metode)

Metode merujuk pada pengorganisasian panitia dan sistem kerja dalam proses pelaksanaan pagelaran Lelagu. Dalam hal ini manajamen Lelagu telah

mengalami berbagai perubahan sebagai respon dari permasalahan yang ditemui kepanitiaan dalam penyelenggaraan acara secara jangka panjang.

1) Kepanitiaan

Guna menanggulangi permasalahan menyangkut kepanitiaan Lelagu, tim inti Lelagu memilih untuk mempertahankan kepanitiaan Lelagu tetap berjumlah sedikit namun terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen untuk terus menjalankan Lelagu. Pembatasan jumlah ini khususnya dilakukan dalam lingkup tim inti Lelagu yang berperan sebagai dewan pimpinan produksi acara. Beban pekerjaan yang relatif ringan memungkinkan tahap-tahap awal persiapan acara hanya dikerjakan oleh anggota tim yang jumlahnya sedikit.

Di samping itu, hubungan interpersonal yang telah terjalin dengan baik antar anggota tim inti Lelagu membantu tim Lelagu bekerja secara efektif karena tidak ada rasa sungkan untuk saling memberi perintah atau mengoreksi pekerjaan. Dengan demikian koordinasi antar anggota tim menjadi lebih efisien. Hubungan interpersonal yang baik ini juga meminimalisir konflik antar anggota tim.

Untuk mengatasi kekurangan tenaga pada hari pelaksanaan pertunjukan, tim Lelagu mengandalkan personel-personel lepas yang membantu secara sukarela sebagai tenaga panitia tambahan. Tim Lelagu juga dibantu oleh pihak-pihak luar dalam hal publikasi, dokumentasi, media partner dan siaran radio

onlineyang mulanya dikerjakan oleh KANALTIGAPULUH. 2) Mengurangi Frekuensi Acara

Meskipun pada mulanya tim Lelagu berkeinginan mengadakan pertunjukan secara rutin setiap bulan, pada kenyataannya banyak tantangan yang

ditemui panitia sehingga mengadakan acara satu bulan sekali dirasa sulit. Guna mengurangi tekanan kerja panitia, maka tim Lelagu memutuskan untuk menyelenggarakan pertunjukan hanya ketika tim Lelagu sedang merasa ingin mengadakan acara. Dengan demikian penyelenggaraan acara tidak terasa seperti beban atau kewajiban. Penyelenggaraan Lelagu sebisa mungkin tidak mengganggu kesibukan tim Lelagu sehingga mengurangi kemungkinan keluarnya anggota tim karena tidak mampu membagi waktu seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Kurangnya penampil juga menjadi alasan tim Lelagu mengurangi frekuensi acara (wawancara dengan Uniph, 2 Juni 2016). Mengurangi frekuensi acara membantu panitia untuk bisa tetap menerapkan proses seleksi terhadap musisi yang ditampilkan tanpa adanya tekanan untuk harus melangsungkan acara sebulan sekali.

3) Pelaksanaan FGD Lelagu

FGD Lelagu diadakan sebagai bentuk pertanggungjawaban panitia akan semakin jarangnya pertunjukan diadakan. FGD menjadi cara panitia mempertahankan rangkaian acara Lelagu tetap berjalan tanpa perlu mengorbankan waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk mengadakan pertunjukan. Sayangnya FGD belum bisa dilaksanakan secara konsisten dan sesuai dengan rencana awal sehingga FGD baru diadakan sebanyak dua kali.

e) Machines(Mesin)

Mesin dalam manajemen pertunjukan dipahami sebagai alat-alat produksi yang digunakan dalam mewujudkan suatu pagelaran. Peralatan penunjang

pertunjukan yang digunakan oleh Lelagu disediakan oleh KKF. Peralatan tata suara yang disediakan oleh KKF antara lain sebagai berikut: Mixer Yamaha MG 16/4, Speaker Aktif Mackie Thump 15 inc, 3 microphone, 2 stand microphone, dan 5 kabel jack mono.

Keterbatasan alat produksi terkadang terjadi ketika penampil membutuhkan spesifikasi tata suara, tata lampu, ataupun alat musik yang belum disediakan oleh KKF. Dalam hal ini panitia perlu menyediakan peralatan sendiri. Panitia juga berencana untuk menambah inventarisasi peralatan dengan menggunakan uang kas yang diperoleh dari pengkarcisan Lelagu.

Mesin juga mencakup peralatan-peralatan lain yang digunakan dalam proses dokumentasi pagelaran. Peralatan dokumentasi disediakan oleh pihak-pihak luar yang membantu Lelagu dalam hal dokumentasi baik foto, rekaman suara, maupun video.

f) Markets(Pasar)

Konsep pertunjukan yang terbilang baru di Yogyakarta serta sistem kuratorial yang diterapkan Lelagu menunjukkan bahwa Lelagu tidak berusaha mengikuti tren yang ada. Alih-alih menyesuaikan pasar, Lelagu berusaha menciptakan pasarnya sendiri. Penggabungan sajian musik indie dan rupa dalam Lelagu mampu menemukan pasar yang terdiri dari orang-orang yang tergabung dalam komunitas musisi dan seni rupa serta para penikmat musik indie di Yogyakarta.

Dengan terus mempertahankan konsep awalnya Lelagu terbukti mampu memperluas pasarnya. Pada gelaran-gelaran awal Lelagu jumlah penonton yang

datang berkisar lima puluh orang, dan terus bertumbuh hingga dapat mencapai dua ratus orang dalam satu pertunjukan. Di luar penggemar musisi yang tampil, Lelagu juga berhasil membentuk basis penggemarnya sendiri. Para penikmat Lelagu ini datang untuk menyaksikan setiap gelaran Lelagu siapapun penampilnya karena yakin dengan standar kuratorial Lelagu.

Penyelenggara Lelagu juga berani menetapkan harga tiket yang terbilang tinggi dibandingkan dengan gelaran-gelaran sejenis. Penentuan harga tiket sendiri didasari pada pertimbangan penyelenggara acara akan kemampuan ekonomi audiens Lelagu yang dianggap cukup tinggi. Langkah penyelenggara acara melakukan pengkarcisan juga merupakan upaya menyeleksi dan membentuk pasar pada Lelagu. Sesuai dengan penuturan Uniph pada wawancara tanggal 2 Juni 2016, salah satu alasan dilakukan pengkarcisan adalah untuk membatasi jumlah penonton yang semakin lama semakin membludak.

Adanya pengkarcisan berpengaruh secara langsung terhadap berkurangnya minat pasar. Jumlah penonton yang menurun terlihat pada edisi pertama Lelagu berbayar yaitu pada Lelagu #16 dengan jumlah tiket terjual sebanyak 65 buah dan pada Lelagu #18 dengan jumlah tiket terjual 78 buah, berkurang dari pertunjukan-pertunjukan sebelumnya yang dapat mendatangkan hingga dua ratus penonton (wawancara dengan Uniph 2 Juni 2016). Jumlah penonton pada pertunjukan Lelagu berbayar dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 10:Jumlah Penonton Lelagu Berbayar

Edisi Tanggal Jumlah Penonton

16 14 Agustus 2015 65

18 8 April 2016 78

(Sumber: Uniph, Juni 2016)

Lelagu berbayar yang berhasil mendatangkan cukup banyak penonton adalah pada edisi #17, dengan jumlah tiket terjual sebanyak 155 buah. Tingginya jumlah penonton ini dikarenakan adanya penampilan musisi Silampukau yang berasal dari Surabaya, yang saat itu sedang populer di kalangan penikmat musik

indie dan baru pertama kali mengadakan tur ke Yogyakarta. Jumlah ini kontras dengan Lelagu #18, yang meskipun menampilkan dua musisi tur dari luar kota tetapi hanya mampu menjual tiket sebanyak 78 buah. Jumlah penonton di atas rata-rata biasanya terjadi ketika Lelagu menghadirkan penampil, khususnya musisi dengan basis penggemar yang kuat, sehingga penonton yang hadir bukan hanya penggemar Lelagu tetapi justru didominasi penggemar dari musisi yang tampil (wawancara dengan Gisela Swaragita, 3 Mei 2015).

Angka penjualan tiket tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya mencerminkan jumlah audiens di lapangan. Ada pula penonton yang masuk tanpa tiket karena undangan penyelenggara maupun penampil. Selain itu ada juga audiens Lelagu yang datang untuk menikmati Lelagu bukan sebagai pertunjukan tetapi lebih sebagai ruang berkumpul antar kolektif dan komunitas. Audiens semacam ini terkadang datang dan berkumpul di luar ruang pertunjukan tanpa membeli tiket atau masuk ke ruang pertunjukan untuk menonton. Meskipun tidak membeli tiket, ruang pertunjukan yang terbuka tetap memungkinkan audiens tanpa tiket ini untuk dapat menonton pertunjukan dari luar ruangan pertunjukan. Menurut Uniph dalam wawancara tanggal 2 Juni 2016, jumlah audiens Lelagu

yang hadir tanpa membeli tiket pada setiap pertunjukan diperkirakan berjumlah sekitar 30 orang.

Dokumen terkait