BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan ruang lingkup seperti ini substansi dari pengelolaan hutan adalah mengatur pengelolaan kawasan hutan secara menyeluruh, mengkoordinir kegiatan pembangunan lainnya di luar kehutanan; pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Mengakui hak atas tanah dan hak adat, mengatur konservasi sumber daya air.
Bukan rahasia lagi kalau permasalahan besar yang sedang melanda sektor kehutanan, khususnya di Indonesia adalah terjadinya degradasi hutan. Disinyalir kerusakan hutan terus meningkat dari 1,7 juta hektar/tahun menjadi 2,8 juta hektar/tahun (Steni, 2004). Pada akhirnya hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestrian alam dan berakibat pada munculnya berbagai bencana alam sebagai isyarat bahwa keseimbangan dan kelestarian alam semakin tidak terjaga.
Kondisi ini tidak terlepas dari pengelolaan hutan yang dulunya tersentralisasi oleh pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan lebih berorientasi pada kepentingan pusat ketimbang kepentingan masyarakat daerah di
mana wilayah hutan tersebut berada. Hal ini diperparah dengan kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan yang cenderung tidak melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi.
Seiring dengan transformasi format ketatanegaraan dari sentralistik ke arah desentralistik yang dilandasi oleh semangat demokrasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka secara otomatis desentralisasi pengelolaan hutan menjadi sangat penting adanya. Desentralisasi merupakan upaya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi penyelesaian konflik kepentingan yang sering muncul antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemerintah dengan masyarakat lokal.
a. Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur
Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 24,5 juta hektar dengan luas hutan 14,5 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan budidaya (kawasan budidaya kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan), kawasan konservasi (cagar alam,hutan penelitian, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi). Selain itu terdapat pula hutan mangrove seluas 883.379 hektar yang tersebar di 10 kabupaten/kota yang memiliki pesisir (Bappeda Kaltim, 2009).
Dengan kawasan hutan yang luas ini, maka desentralisasi pengelolaan hutan seharusnya menjadi prioritas utama dalam program pembangunan Kehutanan provinsi Kalimantan Timur. Disadari atau tidak, pemerintah provinsi Kalimantan Timur memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengelolaan hutan.
Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam.
Untuk itu dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus kebijakan (Santoso, 2003). Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan mengelolaan hutan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat Kalimantan Timur. Untuk memaksimalkan peran tersebut, sudah seharusnya pemerintah provinsi membuat program pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan hutan.
b. RTRWP Kalimantan Timur
Mengacu pada arah pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan kawasan hutan di wilayah provinsi Kalimatan Timur pada prinsipnya harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). RTRWP merupakan salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan penentuan peruntukan ruang secara tepat dan harus menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dalam implementasi kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Hal ini terjadi karena masih adanya ketidakjelasan definisi kewenangan administratif dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah provinsi dan
menghambat efektifitas pelaksanaan pembangunan kehutanan daerah. Di sisi lain,
kewenangan bagi bupati dan walikota untuk mengeluarkan izin telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap upaya daerah-daerah untuk meningkatkan PAD.
Keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan mutlak diperlukan, mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan hutan yang justru diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan pemerintah provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui.
Salah satu problem yang dihadapi oleh provinsi Kalimantan Timur era otonomi daerah sekarang ini dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sampai sekarang belum memiliki RTRWP terbaru, padahal RTRWP Kalimantan Timur tersebut diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah provinsi, pada kenyataannya belum disahkan oleh Menteri Kehutanan karena faktor kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan 12 wakil Kalimantan Timur yang ada di senayan (anggota DPR dan DPD) dalam hal transparansi pembahasan RTRWP di tingkat provinsi. Salah seorang anggota DPD RI asal Kalimantan Timur, Luther Kombong menilai bahwa kondisi ini pada akhirnya akan berimplikasi pada terhambatnya investasi di Kalimantan Timur (Tribun Kaltim, 11 Januari 2010). Jika ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan tingkat kepercayaan investor terhadap Kalimantan Timur akan menipis.
Belum ditetapkannya RTRWP baru bagi provinsi Kalimantan Timur secara otomatis menjadi kendala besar, mengingat RTRWP ini akan diejawantahkan dalam
bentuk Peraturan Daerah (perda), yang mana perda ini sangat dibutuhkan sebagai payung hukum dalam menetapkan zona-zona kawasan pengelolaan hutan. Ironisnya, acuan yang dipakai selama ini adalah RTRWP tahun 2005 yang ketika diurai lebih jauh akan sangat berbeda dengan kondisi hutan di tahun 2009 ini. Sebagai gambaran, RTRWP tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 4
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP Kalimantan Timur Tahun 2005
KAWASAN HUTAN LUAS
1 2 KAWASAN LINDUNG
* Hutan Cagar Alam * Hutan Taman Nasional * Hutan Lindung
* Taman Hutan Rakyat (TAHURA) * Hutan Penelitian / Pendidikan
1.257.730,41 Ha 178.532,18 Ha 3.431.438,37 Ha 57.974,45 Ha 26.178,22 Ha 1 2 KAWASAN BUDIDAYA
* Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) * Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TUBUH AIR 7.661.042,99 Ha 6.513.145,10 Ha 424.516,12 Ha 145.324,68 Ha Total 19.695.882,52 Ha
Terdapat dua kutub yang berbeda dalam menyikapi persoalan belum disahkannya RTRWP Kalimantan Timur oleh menteri Kehutanan. Bagi kalangan eksekutif, RTRWP Kalimantan Timur yang berlarut-larut menjadi sebuah batu sandungan untuk melakukan pengelolaan hutan karena belum ada kepastian hukum yang jelas mana saja lahan hutan budidaya, non-budidaya kehutanan, hutan produksi, kawasan lindung, dan hutan konservasi. Juga akan ada kepastian hukum wilayah mana saja yang masuk dalam kawasan Tahura, Taman Nasional Kutai, dan hutan lindung lainnya.
Kalangan LSM melihat bahwa dengan disahkannya RTRWP secara otomatis akan membawa implikasi yang besar terhadap keseimbangan alam dan perlindungan sisial-budaya komunitas lokal karena dalam pembuatan draft RTRWP, pemerintah provinsi tidak pernah melakukan penjaringan aspirasi publik, padahal di dalam pasal 60-66 UU No. 26/2007 diatur mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang, dimana ditegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat, dimana peran tersebut antara lain melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari kedua sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi permasalahan RTRWP provinsi Kalimantan Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada sinergi antara pemerintah provinsi dengan masyarakat. Keadaan ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan hutan dengan asumsi bahwa bagaimana mungkin menggunakan RTRWP tahun 2005 untuk melakukan
pengelolaan hutan tahun 2009. Setidaknya telah terjadi perubahan kondisi hutan yang sangat berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009.
c. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur
Otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya atas prakarsa sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bermakna memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan, yang salah satunya adalah dalam pengelolaan hutan. Menurut UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitin dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan.
Dengan semangat desentralisasi, seyogyanya desentralisasi pengelolaan hutan pada tataran implementasi seharusnya berdampak positif terhadap menimalisasi kerusakan hutan dan pelibatan secara aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi fakta berkata lain, penerapan kebijakan desentralisasi kehutanan yang dilakukan selama ini ternyata justru malah memunculkan permasalahan yang baru yang sangat bertolak belakang dengan harapan awal desentralisasi kehutanan, misalnya laju kerusakan semakin meningkat, kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik. Salah satu penyebabnya adalah konsep rancang penetapan kebijakan desentralisasi kehutanan belum diikuti dengan penetapan rancang bangun pembagian atau pendelegasian wewenang yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Nugraha dan Murjito, 2005).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pada Bab III pasal 13 menyebutkan bahwa terdapat dua kewenangan pemerintah daerah provinsi yang berskala provinsi yakni urusan wajib dan urusan pilihan. urusan pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Khusus provinsi Kalimantan Timur, potensi unggulan daerahnya adalah hutan.
Bagi provinsi Kalimantan Timur dengan kawasan hutan seluas 14,65 juta hektar, hutan merupakan potensi unggulan daerah dan menjadi sumber utama dalam pembiayaan pembangunan. Dari luas tersebut, sebagian besar merupakan hutan produksi yang dikelola oleh pengusaha hutan. Melalui pengusaha hutan ini, eksploitasi hutan dilakukan secara maksimal untuk memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (2009), bahwa terdapat berbagai permasalahan selama ini ada terkait dengan pengelolaan hutan, yakni banyaknya tumpang tindih (overlap) lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda (untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan). Kesimpangsiuran ini terjadi karena belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dalam bentuk Peraturan Daerah, padahal payung hukum ini sangat diperlukan untuk
menghindari penyalahgunaan penggunaan izin oleh pihak swasta dalam mengelola hutan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, sudah seharusnya menciptakan sinergi yang kuat dan dilandasi oleh semangat keterbukaan, kebersamaan, dan kemitraan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Hal ini penting mengingat hutan sebagai salah satu sumberdaya alam perlu dijaga kelestariannya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kehutanan mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan hutan Kalimantan Timur pada level provinsi dengan segala perangkat yang dimiliki agar hutan dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan perekonomian daerah. Pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dengan melibatkan unsur dunia usaha dan masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menghindari munculnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai salah satu stakeholders harus dilibatkan agar kesalahan yang terjadi dimasa lalu ketika sentralisasi pengelolaan hutan tidak terulang lagi.
Penyelenggaraan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi kehutanan diharapkan mengarah pada upaya bersama untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatn kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama
pembangunan kehutanan. Kebijakan, sasaran, dan tujuan pembangunan kehutanan harus terimplementasi secara optimal melalui kesepahaman, koordinasi dan harmonisasi antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan desentralisasi kehutanan, setiap wilayah tertentu mempunyai permasalahan yang berbeda sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan serta keterbatasan yang dihadapi.
Dengan desentralisasi pengelolaan hutan, pusat harus menyerahkan kewenangan kepada provinsi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi pengelolaan hutan yang dahulu menjadi sumber masalah. Ketidakrelaan pusat untuk melibatkan provinsi dalam pengelolaan hutan, faktanya telah membuat hutan semakin terdegradasi dan kehilangan fungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Untuk itu dibutuhkan itikad baik antara pemerintah pusat dan provinsi Kalimantan Timur dalam implementasi kebijakan yang telah dilimpahkan ke daerah terkait dengan pengelolaan hutan. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudian bahwa apakah dengan kewenangan yang diserahkan ke provinsi tersebut benar-benar menjadi sebuah solusi dari persoalan klasik yang selama ini ada atau malah justru memunculkan permasalahan baru?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai kebijakan yang diserahkan oleh pusat ke provinsi. Salah satu contoh, Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 yang memberikan keleluasaan pinjam pakai kawasan hutan lindung yang ada di wilayah provinsi, pada kenyataannya justru memunculkan persoalan baru, karena dengan terbitnya PP ini justru berdampak pada
meningkatnya konversi hutan untuk kepentingan lain (perkebunan kelapa sawit). Dari contoh kasus ini, dapat dilihat bahwa PP No. 2 Tahun 2008 pada tataran implementasi di lapangan mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan awal pembuatan PP tersebut.
Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa pada tataran implementasi kebijakan, masih terdapat masalah yang membutuhkan koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi agar tidak terjadi misinterpretasi. Persamaan persepsi sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan sangat penting dilakukan untuk menghindari ketidakakuratan sasaran. Persepsi yang sama secara otomatis akan memudahkan sosialisasi dan implementasi kebijakan.
Dalam rangka melaksanakan amanah tersebut, sudah barang tentu diperlukan sebuah kewenangan yang jelas agar pengelolaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan yang dimaksud adalah pelimpahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi untuk melakukan pengelolaan hutan. Pemberian kewenangan ini seharusnya dengan peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi payung hukum dalam mengatur batas kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat berakibat pada inefisiensi pengelolaan. Payung hukum pelaksanaan kewenangan ini mutlak diperlukan oleh pemerintah daerah (provinsi) sebagai landasan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan yang ada di wilayahnya, mulai dari perencanaan hingga perlindungan hutan dan konservasi alam.
Meski telah ada Undang-Undang tentang penataan ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan yakni UU No. 26 Tahun 2007, namun pada kenyataannya belum menjadi solusi terbaik atas persoalan yang sering muncul ke permukaan terkait dengan pengelolaan hutan ini. Masih seringnya terjadi tumpang tindih (overlap) penggunaan lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda (untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan) dan saling klaim antara pusat dan daerah merupakan sebuah indikator belum terlaksananya UU ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa belum ada
sinergi positif antara pusat dan daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan.
Berikut ini akan diuraikan contoh kasus bagaimana kewenangan pengelolaan hutan di Kalimantan Timur :
1. Kewenangan Provinsi dalam Pengelolaan Hutan
PP No. 38 Tahun 2007 dalam bagian umum penjelasannya menyebutkan bahwa Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.
Dalam kasus Kalimantan Timur, berdasarkan data yang diperoleh dari pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) tentang Otonomi Daerah dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada tanggal 28 Juli 2009 di Universitas Mulawarman Samarinda, terungkap bahwa belum ada aturan (PP) yang mengatur tentang penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan oleh pusat kepada pemerintah daerah (provinsi Kalimantan Timur) sebagai amanat dari pasal 66 UU Kehutanan No. 41/1999. Kewenangan yang ada hanya sebatas kewenangan administrasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Provinsi lebih banyak bertindak sebagai pemberi rekomendasi ketimbang pemberi ijin dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan. Akibatnya, provinsi menjadi pihak yang “tidak berdaya” atas hutan yang ada di wilayahnya.
Salah satu contoh ketiadaan kewenangan provinsi bila ditinjau dari kawasan budidaya hutan yang telah ditetapkan oleh menteri kehutanan tentang Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) dalam penempatan posisi pertambangan dan perkebunan. Kewenangan diserahkan kepada kabupaten (bupati) dan kota (walikota), sedangkan posisi provinsi dalam hal ini tidak muncul. Besarnya kewenangan kabupaten/kota ini berimplikasi pada lemahnya kekuatan provinsi. Kewenangan provinsi hanya sebatas administratif (rekomendasi) dan penyelesaian konflik yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan hutan, misalnya konflik antar daerah kabupaten/kota dan konflik antara daerah dengan masyarakat lokal. Jika terkait dengan penggunaan anggaran pengelolaan, pusat dan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang besar. Kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari
penerapan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dengan segala kekhasan yang dimiliki.
Selama ini ada kesan bahwa pusat terkesan menyerahkan kepalanya tetapi ekornya dipegang. Idealnya penyerahaan wewenang juga harus disertai dengan kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan agar pihak yang dilimpahi wewenang jelas arahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam memberikan tugas-tugas kepada daerah, yakni kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumberdaya manusia dan keuangan daerah. Beberapa studi menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam desentralisasi kehutanan adalah ketersediaan SDM di daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.
Kata kuncinya menurut Dinas Kehutanan provinsi Kalimantan Timur dalam FGD adalah kewenangan provinsi dalam pengelolaan hutan hanya sebatas pada kewenangan administratif, misalnya melakukan kajian tentang suatu kawasan hutan dan mengambil bagian dalam hal subsidi pendanaan, sedangkan kewenangan kabupaten/kota sampai kepada hal teknis, seperti pemberian ijin, misalnya dalam hal HPL dan KBNK yang memberikan ijin adalah bupati dan walikota. Provinsi dalam hal ini tidak muncul. Kewenangan propinsi dalam hal pengelolaan sector kehutanan merupakan fakta bahwa fungsi administrative yang dimiliki oleh propinsi dalam perngelolaan sector kehutanan perlu untuk ditinjau kembali.
2. Kendala Yang Dihadapi
Salah satu kendala yang mengemuka dalam penelitian terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan pada level provinsi karena dimasukkannya pengelolaan hutan pada urusan pilihan seperti yang tercantum dalam UU No. 32/2004 pasal 13 yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Untuk Kalimantan Timur, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang dimiliki salah satunya adalah hutan. Selain itu, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan bahwa urusan pilihan yang dimaksud salah satunya adalah kehutanan.
Pengelolaan hutan Kalimantan Timur yang masuk urusan pilihan ini kemudian mengakibatkan tidak maksimalnya sinergi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Minimya kewenangan yang diserahkan kepada provinsi menjadi kendala tersendiri karena kreatifitas yang seharusnya muncul dari wilayah di mana hutan itu dikelola menjadi tidak ada.
3. Upaya Yang Perlu Dilakukan
Untuk mengatasi persoalan kurangnya kewenangan provinsi dalam pengelolaan hutan adalah dengan melakukan perubahan penekanan dari urusan pilihan menjadi urusan wajib. Dengan perubahan ini, provinsi menjadi lebih berdaya
dan memiliki peran penting. Namun yang perlu diperhatikan ketika urusan pilihan diubah menjadi urusan wajib ini adalah provinsi perlu mengembangkan konsep yang jelas tentang perencanaan, pengelolaan, dan perlindungan hutan melalui suatu kajian pengelolaan kawasan hutan agar dapat menjadi acuan bagi pusat dan daerah dalam melakukan sinergi pengelolaan hutan. Bukan hanya kabupaten/kota,, provinsi harus diberi ruang yang luas untuk mengembangkan kreatifitas dan kreasi.
Dengan menjadi urusan wajib akan terjadi perubahan perspektif terhadap pengelolaan hutan. Dengan perubahan perspektif ini, desentralisasi pengelolaan hutan betul-betul akan memberi manfaat kepada semua pihak, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan. Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan pilihan karena biasanya ketika ada hal baru yang muncul, kesulitannya adalah bagaimana menerjemahkan konsep tersebut ke dalam program teknis di lapangan, yang kemudian disinkronkan dengan praktek yang selama ini berjalan. Pemerintah pusat harus berbesar hati untuk menyerahkan urusan kepada provinsi dan tidak lagi setengah-setengah untuk menghindari konflik (conflik of interest) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterbatasan pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengembangkan sector kehutanan menyebabkan munculnya berbagai perspektif yang negative dari masyarakat akan posisi pemerintah propinsi untuk sector kehutanan.
Dari sudut pandang politik, pentingnya kejelasan pemberian wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat dalam pengelolaan hutan di era otonomi daerah adalah wujud dari konsep distribusi kekuasaan (distribution of power) untuk
menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pusat sebagai akibat dari penumpukan kekuasaan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya pengelolaan sector kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur perlu adanya berbagai tindakan yang responsive dari pemerintah daerah yang disinergikan dengan program nasional dalam upaya pengelolaan sector kehutanan. Perbaikan dalam sector kehutanan meliputi ;
1. Perlunya perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pusat kebijakan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan hutan