LAPORAN HASIL PENELITIAN
OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DI PROPINSI
KALIMANTAN TIMUR
KERJASAMA UNIVERSITAS MULAWARMAN DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
TAHUN ANGGARAN 2009
TIM PENELITI UNIVERSITAS MULAWARMAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
ABSTRAK
Pengelolaan sumber daya alam menjadi perhatian pemerintah daerah dewasa ini. Hal ini disebabkan karena kerusakan yang ditimbulkan sebagai dampak pengelolaan sumber daya yang tidak bertanggung jawab. Peran serta pemerintah propinsi dalam menyelenggarakan dan mengkoodinasikan semua aspek yang tekait dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah menjadi kata kunci dari berbagai persoalan tersebut.
Posisi strategis Propinsi Kalimantan Timur sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar menjadi titik sentral dari berbagai aktifitas pengelolaan sumber daya alam di daerah. Titik berat otonomi daerah pada level kabupaten/kota menjadi kendala utama bagi pemerintah propinsi dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap pengelolaan sumber daya alam di daerah ini. Keterbatasan akses bagi dari sisi kewenangan maupun pendanaan dalam sektor pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki pemerintah propinsi menyebabkan tidak terkoodinasinya secara baik berbagai kebijakan pngelolaan sumber daya alam di wilayah ini. Pemerintah propinsi perlu untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam hal pengelolaan sumber daya alam sehingga berbagai masalah pengelolaan sumber daya alam kedepan dapat diminimalisir,khususnya dalam rangka mewujudkan pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan.
DAFTAR ISI
Abstrak ... 2
Daftar Isi ... 3
Daftar Tabel ... 4
Daftar Lampiran ... 5
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 6
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 11
D. Urgensi Penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 21
B. Lokasi Penelitian ... 21
C. Teknik Penarikan Sampel... 21
D. Prosedur Penelitian... 22
E. Teknik Analisis Data ... 23
F. Luaran Penelitian ... 17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 27
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan... 32
1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan... 32
2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Pertambangan ... 49
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan... 64
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 83
B. Rekomendasi ... 84
DAFTAR TABEL
No Isi Tabel Halaman
1 Luas Hutan Menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan di
Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2007 (ha) 28 2. Proyeksi Potensi Sumber Daya Mineral Propinsi
Kalimantan Timur 30
3 Luas Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman di
Kalimantan Timur (ha) 31
4 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP
Kalimantan Timur Tahun 2005 36
5 Perkembangan Produksi Perkebunan Kaltim Tahun
2005-2009 (Ton) 66
6 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kaltim Tahun
2005-2009 (Ha) 66
DAFTAR LAMPIRAN
No Materi Lampiran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kalimantan Timur merupakan provinsi yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam melimpah dan secara otomatis menjadi sumber utama
keuangan daerah Kalimantan Timur. Persoalan sumberdaya alam ini akan
sangat urgen ketika dikaitkan dengan implementasi pelaksanaan otonomi
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang desentralis-demokratis.
Dengan kondisi ini, disadari atau tidak, nasib sumberdaya alam akan menjadi
taruhan dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah yang secara ekonomis
menjadi modal utama bagi pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan
di daerah.
Untuk kasus pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Timur dalam
kerangka otonomi daerah, perlu kiranya disinergiskan antara peran pemerintah
provinsi (negara) yang selama ini menjadi sentral dalam pengelolaan
sumberdaya alam dengan peranserta masyarakat lokal Kalimantan Timur,
sehingga apa yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa negara melakukan penguasaan terhadap sumberdaya alam
(bumi dan air beserta isinya) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat
provinsi Kalimantan Timur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat
melalui asas dekonsentrasi untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam
melalui kebijakan-kebijakan yang pro rakyat tanpa mengesampingkan efek
lingkungan yang akan timbul dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut,
dalam pengertian bahwa melakukan eksplorasi sekaligus melakukan upaya
yang konkrit untuk mengeliminir kerusakan sumberdaya alam.
Sebagai rujukan, paham ekosentris menganggap bahwa manusia adalah
bagian dari alam dan tunduk pada hukum-hukum alam. Sekali manusia
menentang sunnah lingkungan, maka sejak itu mereka layaknya
mendeklarasikan kerusakan alam dan jaringannya dalam waktu yang lama.
Oleh karena itu sejatinya dalam melakukan eksploitasi sumberdaya alam,
manusia seharusnya memperhatikan dan memprioritaskan keseimbangan alam
(Hairul, 2007). Untuk itu, pemerintah provinsi Kalimantan Timur sebagai
pihak yang memiliki otoritas dan dominasi terhadap pengelolaan sumberdaya
alam Kalimantan Timur dengan birokrasi pemerintahan sebagai pelaksana,
perlu melakukan penataan dalam mengelola sumberdaya alam melalui upaya
sinergis dengan stakeholders lingkungan dalam hal ini masyarakat dan pelaku
bisnis sebagai investor.
Seiring dengan penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem otonomi
memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengelolaan sumberdaya
alam (kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan dan lain-lain).
Dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah yang tergabung dalam
dinas-dinas provinsi terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk berbuat
tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus
kebijakan (Santoso, 2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
sebagai salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi
pemerintah untuk melakukan penentuan peruntukan ruang secara tepat harus
menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi
benturan dalam implementasi kebijakan (overlap). Sejumlah penandatanganan
kontrak kerja pengelolaan hutan, pertambangan dan sebagainya merupakan
wilayah pemerintah daerah dengan kapasitas sebagai penentu kebijakan di
daerah yang nantinya secara otomatis mengubah keadaan sumberdaya alam
yang kesemuanya itu memberikan tekanan baru bagi kerusakan lingkungan
(Santoso, 2003).
Dengan demikian, peraturan pemerintah (Perda) sebagai bentuk
kebijakan sudah sepantasnya mengikat seluruh stakeholders yang memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan misi tata ruang seperti yang
tercantum dalam RTRWP Kalimantan Timur dalam pengelolaan sumberdaya
daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan
kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam.
Selain itu, keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah
mutlak diperlukan mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh
pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan sumberdaya alam yang justru
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan pemerintah
provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui.
Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah meskipun
pemerintah daerah adalah titik sentral terhadap pengelolaan sumberdaya alam
di daerah, bukan berarti bahwa ijin pengelolaan sumberdaya alam bisa
diberikan kepada investor secara sporadis tanpa memperhitungkan
keseimbangan ekologis, karena dalam hukum ekologis setiap gangguan
keseimbangan ekosistem akan selalu mengarah pada proses keseimbangan
kembali (re-equilibrium process). Sebagai contoh, jika terjadi pengrusakan
terhadap hutan akibat penebangan dan penambangan yang tidak mengindahkan
keseimbangan ekosistem, maka untuk melakukan proses keseimbangan
kembali, banjir akan terjadi pada wilayah-wilayah yang terganggu
Dalam hal ini, pemerintah daerah (Pemprov, Pemkab dan Pemkot)
seharusnya bersinergi untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang
berorientasi pada konsep pengelolaan berwawasan lingkungan dan lebih
mengedepankan paradigma fasis lingkungan (eco-facisme) yang menganggap
bahwa pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam diupayakan untuk
kepentingan lingkungan itu sendiri ketimbang paradigma pembangunan
lingkungan (eco-development) yang menganggap bahwa keberadaan
lingkungan dan potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan
manusia.
Oleh karena itu, meski sumberdaya alam merupakan modal dasar
pembangunan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
menghasilkan nilai ekonomis, namun tidak berarti bahwa pemerintah daerah
mengabaikan perhatian terhadap masalah lingkungan. Kita tidak ingin istilah
yang dikemukakan oleh Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 4 Mei 2007) bahwa
demokrasi gagal berdamai dengan lingkungan menjadi sebuah realita dalam
pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Timur.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran
menghasilkan keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan
Timur ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Mengunkap dan menggambarkan pengelolaan sumber daya alam dalam era
otonomi daerah pada level pemerintahan propinsi yang memiliki fungsi
pada koordinasi pengelolaan antar daerah
2. Menggambarkan posisi pemerintah propinsi dalam pengelolaan sumber
daya alam khususnya dalam kaitan besarnya kewenangan yang dimiliki
oleh pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengkoordinasikan
berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah
sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul.
3. Mengunkap peran pemerintah daerah dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan melalui suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan dan memiliki daya guna bagi pembangunan masyarakat
sekitar yang tidak dapat dipisahkan oleh batas-batas adminsitratif.
4. Menemukan formula pendekatan yang dapat diberikan kepada pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan
kontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerah.
C. Urgensi Penelitian
Disamping melaksanakan identifikasi terhadap kewenangan
pemerintah propinsi dalam penmgelolaan sumber daya alam, dalam penelitian
ini juga diharapkan mampu memberikan masukan kepada pemerintah pusat /
Dewan Perwakilan Daerah untuk melihat dan mendapatkan gambaran yang
lebih spesifik mengenai potensi sumber daya alam yanga ada di propinsi
Kalimantan Timur yang nantinya akan menjadi bahan dalam penyusunan
perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam di daerah sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dalam bidang
sumber daya alam tetap dapat dilaksanakan.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini juga diharapkan mampu
menjadi bahan dasar bagi Pemerintah Pusat / Dewan Perwakilan Daerah dalam
melihat perhatian pemerintah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup khususnya sumber daya alam yang merupakan aset negara dengan
berbagai keanekaragamnya. Selanjutnya temuan-temuan tersebut akan
digunakan sebagai bahan inovasi dan masukan dalam menangani berbagai
kebutuhan daerah yang secara langsung mengetahui berbagai persoalan yang
ada di daerah. Melalui penelitian ini dipula diharapkan ditemukan suatu model
yang dapat digunakan untuk mengkoordinasikan pengelolaan sumber daya
alam di daerah sehingga dapat memperkuat jalannya roda pemerintahan secara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kekuatan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya akan terlihat
dari keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan
potensi yang ada daerah dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian
dari sumber daya tersebut. Kemandirian lokal yang selama ini didengunkan
oleh berbagai kalangan tidak justru menjadi suatu bumerang bagi pemerintah
daerah untuk kemudian serta merta mengelola dan memanfaatkan potensi yang
dimiliki tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat
seharusnya dinilai sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan daerah dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada di
daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persoalan pengelolaan sumber daya
alam (SDA).
Pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas
dari pembahasan mengenai kewenangan pengelolaan, yang dalam hal ini diatur
oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
(UUPD). Dalam UUPD Pasal 17 disebutkan bahwa pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
adalah hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya. Hubungan tersebut menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antar susunan pemerintahan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan
c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Sementara itu hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah;
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam pengelolaan
lingkungan hudip khususnya sumber daya alam menuntut kerjasama dan
kemitraan yang saling percaya antara semua stakeholders pemerintahan. Untuk
itu, pentingnya transparansi dan keterbukaan diantara berbagai unsur yang
terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Kontrol terhadap
pemerintah yang mengambil dan menjalankan berbagai kebijakan publik baik
yang terkait secara langsung dengan pengelolaan sumber daya alam, maupun
lingkungan hidup secara umum.
Lay (2007) menyatakan bahwa lingkungan memiliki karakteristik khas yang idealnya dapat dijadikan titik rujuk bagi politik sebagai instrumen
pengaturan kepentingan bersama. Tiga karakteristik lingkungan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut : pertama, watak lingkungan sebagai sebuah
kesatuan sistem melintasi sekat-sekat administrasi pemerintahan dan politik.
Sifat lingkungan tidak pernah setia dan tidak dapat dipagari oleh batas-batas
administrasi pemerintahan apapun pola aturannya. Demikian pula tidak peduli
dan tidak akan pernah peduli pada perjuangan mendapatkan otonomi sebagai
sebuah konsep dan gerakan politik yang telah diperjuangkan sangat panjang
oleh cukup banyak daerah di berbagai kawasan dunia. Seberapapun besarpun
otonomi diberikan kepada sebuah daerah tidak akan mampu membendung
hipotetik dapat menjadi struktur insentif penting bagi pengembangan
kerjasama lintas daerah yang tentunya memerlukan peran dari pemerintahan
pada level propinsi.
Kedua, lingkungan melekat didalamnya kepentingan paling subyektif
dari manusia sebagai mahluk, terlepas dari ruang politik dan bebas dari
perjalanan waktu. Setiap individu, membutuhkan lingkungan sebagai ruang
kebutuhan hari ini yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dan sekaligus
sebagai ruang kebutuhan masa depan yang tidak dapat dipercepat. Lingkungan
adalah ruangan kita sebagai mahluk manusia bukan saja sebagai ruang hari ini,
tetapi sekaligus sebagai ruang masa depan diri dan anak keturunan kita. Dalam
konteks ini, lingkungan memiliki variabel makna mulai dari posisinya sebagai
ruang ekonomi, ruang kultural, bahkan samapai pada ruang dalam makna
fisikalnya.
Ketiga, Daya menghukum lingkungan yang timbul sebagai akibat dari
pengabaian manusia manusia atas lingkungan punya sifat yang sangat khas,
yakni indiskriminatif. Berbagai bencana dan kenaasaan yang timbul silih
berganti sebagai akibat logis dari kealfaan kita memperlakukan lingkungan
secara wajar akan melanda siapa saja tanpa memperdulikan kelas sosial,
kekayaan, asal-usul suku, agama dan berbagai kategori pembeda manusia
dari daya menghukum tindakan terorisme yang tagetnya bersifat
indiskriminatif ; siapa saja bisa menjadi korban.
Khusus dalam kaitan dengan otonomi daerah, harapan untuk
mengembangkan dan mengelola potensi sumber daya alam yang ada oleh
pemerintah daerah menjadi begitu besar. Apakah realitas membenarkan hal itu
atau tidak, itu sangat bergantung pada banyak faktor lainnya. Keraf (2006)
menyatakan bahwa secara konseptual otonomi daerah akan lebih
menguntungkan bagi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Hal ini dapat dilihat dari empat variabel dalam penyelenggaraan otonomi
daerah.
Pertama, dengan mendekatkan pengambilan kebijakan dan keputusan
publikdekat dengan rakyat di daerah, kebijakan dan keputusan publik tersebut
diandaikan akan lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan mengenai kondisi
lingkungan hidupnya. Asumsinya, sulit dipahami bahwa kebijakan dan
keputusan publik itu bertentangan dengan kenyataan mengenai kondisi sumber
daya alam di daerah.
Kedua, ada kontrol lebih langsung dan lebih cepat, bahkan lebih
murah, dari masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan di daerah. Kontrol
yang memungkinkan pemerintah daerah menggunakan kewenangannya demi
keputusan dibidang pengelolaan sumber daya alam akan lebih mengakomodasi
kenyataan di lapangan.
Ketiga, dengan otonomi daerah, kepentingan masyarakat lokal yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
khususnya masyarakat adat akan lebih bisa diperhatikan dan diakomodasi.
Asumsinya, para pengambil keputusan dan kebijakan publik adalah
orang-orang yang mengenal masyarakatnya sehingga kepentingan mereka lebih bisa
diperhatikan dan diakomodasi.
Keempat, nasib setiap daerah ditentukan oleh daerah itu sendiri. Maka
masa depan daerah itu juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat setempat. Dalam kaitan dengan itu, pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup harus menjadi salah satu faktor penting yang harus
dipertimbangkan secara serius dalam setiap perencanaan pembangunan di
daerah tersebut. Ada asumsi cukup kuat bahwa pemerintah daerah dan
masyarakat setempat- tidak seperti pemerintah pusat sebelumnya, akan sangat
serius mengantisipasi setiap kemungkinan yang terkait dengan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
Pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dari
pengelompokan SDA itu sendiri. Barlow dalam (Suparmoko, 2006)
yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui, (2). Sumber daya alam yang
dapat pulih atau dapat diperbaharui, dan (3). Sumber daya alam yang dapat
mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan tidak dapat
diperbaharui. Pengelompokkan sumber daya alam secara langsung
memberikan gambaran mengenai bentuk kebijakan yang sesuai agar
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian
yang menggambarkan pengelolaan sumber daya alam dalam era otonomi
daerah dengan memfokuskan diri pada kewenangan pemerintahan pada level
propinsi di Propinsi Kalimantan Timur.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Timur dengan
memilih lembaga / dinas sebagai locus yaitu ; Dinas Kehutanan, Dinas
Pertambangan dan Dinas Perkebunan sebagai lembaga yang memiliki peran
sentral dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya kewenangan
pengelolaan di level propinsi.
C. Teknik Penetuan Informan
Dalam pelaksanaan penelitian, informan ditentukan dengan teknik
purposive dengan mempertimbangkan kemampuan individu yang askan
menjadi key informan maupun informan dalam penelitian ini. Untuk
memberikan informasi lebih mendalam mengenai topik penelitian. Informan
bersumber dari pemerintah daerah, LSM, anggota DPRD, Akademisi dan
masyarakat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang pengelolaan
sumber daya alam di Propinsi Kalimantan Timur.
D. Prosedur Penelitian
Secara umum prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari
dua tahap yaitu ; Studi pustaka dan penelitian lapangan. Studi pustaka
dilakukan untuk mendapatkan data berupa hasil-hasil penelitian ataupun
buku-buku yang relevan dengan materi penelitian ini. Hasil-hasil penelitian dan
buku-buku dengan konsep dan teori yang relevan dengan materi penenlitian ini
akan sangat bermanfaat bagi langkah selanjutnya dalam penelitian ini, baik
pada tahap awal maupun pada tahap akhir khususnya ketika melaksanakan
analisis data.
Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data empiris tentang aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilapangan dilakukan dengan melaksanakan observasi,
wawancara mendalam, maupun FGD.
Dalam hal pengumpulan data, penelitian ini membutuhkan dua jenis
diperoleh langsung dari informan. Data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui laporan atau dokumen-dokumen.
Untuk memperoleh data tersebut dalam penelitian ini digunakan
beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya adalah teknik observasi, teknik
wawancara mendalam dan FGD, dan teknik dokumentasi.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif dikenal adanya 3 (tiga) langkah dalam menganalisis data
yaitu : Reduksi Data, pengorganisasian data, dan inerpretasi data. Jika dirinci
langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Reduksi Data, langkah ini meliputi proses manipulasi, integrasi dan
tranformasi data. Hal ini antara lain dilaksanakan dengan cara
peringkasan, pengkodean dan kategorisasi data. Reduksi data akan
sangat membantu mengidentifikasi aspek penting dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian untuk memfokuskan data
uyang terkumpul sehingga akhirnya sampai pada kesimpulan.
2. Pengorganisasiaan data : ini adalah proses penyusunan kembali semua
informasi sekitar tema-tema tertentu yang berkaitan dengan topik
menampilkan hasilnya dalam beberapa format. Cara-cara yang paling
umum dalam menampilkan data adalah teks. Selain itu juga digunakan
matriks, grafik, tabel dan sejenisnya.
3. Interpretasi : Proses interpretasi meliputi pembuatan keputusan dan
penyusunan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan
dalam penelitian. Hal ini meliputi proses pengidentifikasiaan pola-pola
dan keajegan, menemukan kencenderungan dan memberikan penjelasan
atas aspek-aspek tertentu, yang akan memungkinkan terjadinya
perkembangan ke arah sudut pandang yang lebih tegas yang selanjutnya
akan menuntun peneliti dalam langkah selanjutnya. Proses penelitian
yang berlanjut akan membantu untuk merumuskan kembali,
mengkonfirmasi dan menguji validitas dari kesimpulan yang sudah
dibuat sampai saat itu. Proses ini akan berlanjut sampai kesimpulan
Model penelitian kualitatif dapat digambarkan sebagai berikut :
Studi Pendahuluan
Studi pustaka
Penentuan Tema/Topik
Menyusun Kuesioner , draft/panduan wawancara
Analisa/olah data Pengumpulan data Pemilihan responden / Key
informan/informan
Merumuskan masalah penelitian
Output/luaran (report)
F. Luaran Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan baru
melalui :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan
jawaban terhadap kewenangan pemerintah propinsi dalam mengelola
sumber daya alam di era otonomi daerah khususnya di Propinsi
Kalimantan Timur.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan
penjelasaan tentang cara-cara dan metode yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dalam mengintegrasikan berbagai kebijakan
khususnya pengelolaan sumber daya alam di era otonomi daerah.
3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah propinsi,
lembaga sosial kemasyarakatan, maupun akademisi dalam mengelola
dan mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
4. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi berharga
bagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam perancangan
perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di era
otonomi daerah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Propinsi Kalimantan Timur merupakan propinsi dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah. Hal ini tidak saja pada potensi SDA yang tidak terbarukan, akan tetapi lebih dari itu dimana semua sumber daya yang ada tersedia. Potensi sumber daya alam Kalimantan Timur meliputi : Sub Sektor Kehutanan, Pertanian, Perkebunan, Pesisir dan Kelautan, Pertambangan Berupa Gas, minyak bumi, dan mineral, bahan galian logam dan industri bangunan ( emas, nikel, antimonit, besi, timah hitam dan seng, rutil, batu gamping, kaolin, kristal kuarsa, pasir kuarsa, fospat, lempung, andesit, gipsum, intan, marmer, serpentinit, peridotit, bentonit, diorit).
produksi yang dapat di konversi. Untuk lebih jelasnya mengenai potensi kehutanan berdasarkan tata guna hutan di Propinsi Kalimantan Timur dapat Kita Lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Hutan Menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan di Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2007 (ha)
No Kabupaten /
1 Paser 116.952 109.302 145.350 257.126 511.778,00 531.664 --
2 Kutai Barat 745.551,41 5.500 587.644,98 643.578 1.236.733,98 892.125,22 --
3 Kutai Kartanegara
213.959 11.621 507.614 781.762 1.300.997,00 1.073.009 781.762
4 Kutai Timur 454.708 54.710 1.090.893 969.952 2.115.555,00 1.043.716 --
5 Berau 339.391,1 523.431,1 631.491,45 616.210,93 1.771.133,48 455.315 --
6 Malinau 708.647 1.360.500 1.624.356 447.910 3.342.166,00 269.813 --
7 Bulungan 167.748 -- 493.583 461.769 955.352,00 542.199 --
Jumlah 2.966.740,26 2.081.832,10 5.245.776,43 4.524.346,29 11.869.972,48 5.528.174,48 781.762
Sumber Data ; Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur 2009
berkelanjutan. Pengelolaan sektor kehutanan yang tidak didasarkan pada pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan menyebabkan hancurnya sebagian besar lokasi kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur. Potensi kehutanan (kayu) yang selama ini menjadi primadona bagi para penguasaha perlu untuk direposisikan kembali dengan mengembangkan sektor-sektor baru yang ada. Hal ini penting karena Propinsi Kalimantan Timur sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa memiliki varian usaha yang juga banyak.
Tabel. 2 Proyeksi Potensi Sumber Daya Mineral Propinsi Kalimantan Timur
No Jenis Estimasi Kandungan / Lokasi
1 Batu Bara 19, 567.79 ( M Ton) dengan Cadangan 2,410.33 (M Ton)
2 Emas 60,50 Juta Ton, Tersebar di Kab. Pasir, Kab. Kutai Barat, dan Kab. Bulungan
3. Bahan Galian Industri / Bangunan
Nikel ; 120.000.000 Ton, Antomonit ; 87.79 Ton, Besi ; 18.000.000 Ton, Timah Hitam ; Indikatif, Rutil ; Indikatif, Batu Gamping ; 25.695.523.660 Ton, Kaolin ; 9.029.832, Kristal Kuarsa ; 6.000.000 Ton, Fospat ; 1.680 Ton, Lempung ; 2.036.085.075 Ton, Andesit ; 35.000.000 M3, Gipsun ; Indikatif,Intan ; Indikatif, Marmer ; 381.750.000 M3, Sarpetinit ; 240.000.000 M3, Peridotit ; 801.450.000 M3, Bentonit ; 27.800.000 M3, Diorit ; 37.250.135 M3
4. Minyak Cadangan Minyak ; 920 Milliar Barrel (MMSTB), dengan Progosa (ribu barrel) ; 49,331.23, Realisasi (ribu barrel) ; 52,809.53
5. Gas Alam Cadangan ; 47,39 Trilun SCF, dengan Progosa (ribu MMTBU) ; 968,711.80, Realisasi ; 1.072.815.90 (ribu MMBTU)
Sumber Data ; Profil Potensi Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Kalimantan Timur 2009
tahun-ketahun sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah untuk memanfaatkan lahan tidur yang selama tidak dimaksimalkan. Pembukaan areal perkebunan juga dimaksudkan sebagai langkah penting untuk menjaga kesinambungan program revitalisasi lahan tidur yang diakibatkan oleh pengelolaan sector kehutanan yang tidak bertanggung jawab. Untuk lebih jelasnya mengenai luas tanaman perkebunan di Propinsi Kalimantan Timur Dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel. 3 Luas Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman di Kalimantan Timur (ha)
Tahun Karet Kelapa Kopi Lada Cengkeh Kakao Kelapa
Sawit Lain-Lain 2003 60.477,50 49.466,00 16.512,50 13.662,00 291,00 32.927,50 159.076,00 6.631,50 2004 60.154,50 46.307,50 16.104,50 13.756,00 272,00 36.071,00 171.580,50 6.882,00 2005 62.426,00 45.643,00 17.787,50 13.821,00 228,50 37.296,00 201.087,00 7.385,00 2006 64.957,00 47.734,00 17.409,00 14.768,00 253,00 41.307,00 225.352,00 8.741,50 2007 67.891,00 34.537,00 15.067,00 14.508,00 210,50 34.557,50 339.292,50 7.620,50 Sumber Data ; Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur 2009
propinsi. Kenyataan tersebut kemudian menjadi suatu hal yang perlu untuk disikapi guna menetapkan kembali posisi pemerintah propinsi dalam posisi tawar yang strategis dalam rangka pembangunan wilayah secara menyeluruh.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan ruang lingkup seperti ini substansi dari pengelolaan hutan adalah mengatur pengelolaan kawasan hutan secara menyeluruh, mengkoordinir kegiatan pembangunan lainnya di luar kehutanan; pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Mengakui hak atas tanah dan hak adat, mengatur konservasi sumber daya air.
Bukan rahasia lagi kalau permasalahan besar yang sedang melanda sektor kehutanan, khususnya di Indonesia adalah terjadinya degradasi hutan. Disinyalir kerusakan hutan terus meningkat dari 1,7 juta hektar/tahun menjadi 2,8 juta hektar/tahun (Steni, 2004). Pada akhirnya hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestrian alam dan berakibat pada munculnya berbagai bencana alam sebagai isyarat bahwa keseimbangan dan kelestarian alam semakin tidak terjaga.
mana wilayah hutan tersebut berada. Hal ini diperparah dengan kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan yang cenderung tidak melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi.
Seiring dengan transformasi format ketatanegaraan dari sentralistik ke arah desentralistik yang dilandasi oleh semangat demokrasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka secara otomatis desentralisasi pengelolaan hutan menjadi sangat penting adanya. Desentralisasi merupakan upaya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi penyelesaian konflik kepentingan yang sering muncul antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemerintah dengan masyarakat lokal.
a. Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur
Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 24,5 juta hektar dengan luas hutan 14,5 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan budidaya (kawasan budidaya kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan), kawasan konservasi (cagar alam,hutan penelitian, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi). Selain itu terdapat pula hutan mangrove seluas 883.379 hektar yang tersebar di 10 kabupaten/kota yang memiliki pesisir (Bappeda Kaltim, 2009).
Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam.
Untuk itu dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus kebijakan (Santoso, 2003). Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan mengelolaan hutan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat Kalimantan Timur. Untuk memaksimalkan peran tersebut, sudah seharusnya pemerintah provinsi membuat program pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan hutan.
b. RTRWP Kalimantan Timur
Mengacu pada arah pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan kawasan hutan di wilayah provinsi Kalimatan Timur pada prinsipnya harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). RTRWP merupakan salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan penentuan peruntukan ruang secara tepat dan harus menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dalam implementasi kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Hal ini terjadi karena masih adanya ketidakjelasan definisi kewenangan administratif dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah provinsi dan
menghambat efektifitas pelaksanaan pembangunan kehutanan daerah. Di sisi lain,
kewenangan bagi bupati dan walikota untuk mengeluarkan izin telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap upaya daerah-daerah untuk meningkatkan PAD.
Keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan mutlak diperlukan, mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan hutan yang justru diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan pemerintah provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui.
Salah satu problem yang dihadapi oleh provinsi Kalimantan Timur era otonomi daerah sekarang ini dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sampai sekarang belum memiliki RTRWP terbaru, padahal RTRWP Kalimantan Timur tersebut diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah provinsi, pada kenyataannya belum disahkan oleh Menteri Kehutanan karena faktor kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan 12 wakil Kalimantan Timur yang ada di senayan (anggota DPR dan DPD) dalam hal transparansi pembahasan RTRWP di tingkat provinsi. Salah seorang anggota DPD RI asal Kalimantan Timur, Luther Kombong menilai bahwa kondisi ini pada akhirnya akan berimplikasi pada terhambatnya investasi di Kalimantan Timur (Tribun Kaltim, 11 Januari 2010). Jika ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan tingkat kepercayaan investor terhadap Kalimantan Timur akan menipis.
bentuk Peraturan Daerah (perda), yang mana perda ini sangat dibutuhkan sebagai payung hukum dalam menetapkan zona-zona kawasan pengelolaan hutan. Ironisnya, acuan yang dipakai selama ini adalah RTRWP tahun 2005 yang ketika diurai lebih jauh akan sangat berbeda dengan kondisi hutan di tahun 2009 ini. Sebagai gambaran, RTRWP tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 4
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP Kalimantan Timur Tahun 2005
KAWASAN HUTAN LUAS
1 2 KAWASAN LINDUNG
* Hutan Cagar Alam * Hutan Taman Nasional * Hutan Lindung
* Taman Hutan Rakyat (TAHURA) * Hutan Penelitian / Pendidikan
* Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) * Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Total 19.695.882,52 Ha
Terdapat dua kutub yang berbeda dalam menyikapi persoalan belum disahkannya RTRWP Kalimantan Timur oleh menteri Kehutanan. Bagi kalangan eksekutif, RTRWP Kalimantan Timur yang berlarut-larut menjadi sebuah batu sandungan untuk melakukan pengelolaan hutan karena belum ada kepastian hukum yang jelas mana saja lahan hutan budidaya, non-budidaya kehutanan, hutan produksi, kawasan lindung, dan hutan konservasi. Juga akan ada kepastian hukum wilayah mana saja yang masuk dalam kawasan Tahura, Taman Nasional Kutai, dan hutan lindung lainnya.
Kalangan LSM melihat bahwa dengan disahkannya RTRWP secara otomatis akan membawa implikasi yang besar terhadap keseimbangan alam dan perlindungan sisial-budaya komunitas lokal karena dalam pembuatan draft RTRWP, pemerintah provinsi tidak pernah melakukan penjaringan aspirasi publik, padahal di dalam pasal 60-66 UU No. 26/2007 diatur mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang, dimana ditegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat, dimana peran tersebut antara lain melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
pengelolaan hutan tahun 2009. Setidaknya telah terjadi perubahan kondisi hutan yang sangat berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009.
c. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur
Otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya atas prakarsa sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bermakna memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan, yang salah satunya adalah dalam pengelolaan hutan. Menurut UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitin dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pada Bab III pasal 13 menyebutkan bahwa terdapat dua kewenangan pemerintah daerah provinsi yang berskala provinsi yakni urusan wajib dan urusan pilihan. urusan pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Khusus provinsi Kalimantan Timur, potensi unggulan daerahnya adalah hutan.
Bagi provinsi Kalimantan Timur dengan kawasan hutan seluas 14,65 juta hektar, hutan merupakan potensi unggulan daerah dan menjadi sumber utama dalam pembiayaan pembangunan. Dari luas tersebut, sebagian besar merupakan hutan produksi yang dikelola oleh pengusaha hutan. Melalui pengusaha hutan ini, eksploitasi hutan dilakukan secara maksimal untuk memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah.
menghindari penyalahgunaan penggunaan izin oleh pihak swasta dalam mengelola hutan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, sudah seharusnya menciptakan sinergi yang kuat dan dilandasi oleh semangat keterbukaan, kebersamaan, dan kemitraan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Hal ini penting mengingat hutan sebagai salah satu sumberdaya alam perlu dijaga kelestariannya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kehutanan mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan hutan Kalimantan Timur pada level provinsi dengan segala perangkat yang dimiliki agar hutan dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan perekonomian daerah. Pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dengan melibatkan unsur dunia usaha dan masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menghindari munculnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai salah satu stakeholders harus dilibatkan agar kesalahan yang terjadi dimasa lalu ketika sentralisasi pengelolaan hutan tidak terulang lagi.
pembangunan kehutanan. Kebijakan, sasaran, dan tujuan pembangunan kehutanan harus terimplementasi secara optimal melalui kesepahaman, koordinasi dan harmonisasi antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan desentralisasi kehutanan, setiap wilayah tertentu mempunyai permasalahan yang berbeda sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan serta keterbatasan yang dihadapi.
Dengan desentralisasi pengelolaan hutan, pusat harus menyerahkan kewenangan kepada provinsi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi pengelolaan hutan yang dahulu menjadi sumber masalah. Ketidakrelaan pusat untuk melibatkan provinsi dalam pengelolaan hutan, faktanya telah membuat hutan semakin terdegradasi dan kehilangan fungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Untuk itu dibutuhkan itikad baik antara pemerintah pusat dan provinsi Kalimantan Timur dalam implementasi kebijakan yang telah dilimpahkan ke daerah terkait dengan pengelolaan hutan. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudian bahwa apakah dengan kewenangan yang diserahkan ke provinsi tersebut benar-benar menjadi sebuah solusi dari persoalan klasik yang selama ini ada atau malah justru memunculkan permasalahan baru?
meningkatnya konversi hutan untuk kepentingan lain (perkebunan kelapa sawit). Dari contoh kasus ini, dapat dilihat bahwa PP No. 2 Tahun 2008 pada tataran implementasi di lapangan mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan awal pembuatan PP tersebut.
Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa pada tataran implementasi kebijakan, masih terdapat masalah yang membutuhkan koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi agar tidak terjadi misinterpretasi. Persamaan persepsi sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan sangat penting dilakukan untuk menghindari ketidakakuratan sasaran. Persepsi yang sama secara otomatis akan memudahkan sosialisasi dan implementasi kebijakan.
Meski telah ada Undang-Undang tentang penataan ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan yakni UU No. 26 Tahun 2007, namun pada kenyataannya belum menjadi solusi terbaik atas persoalan yang sering muncul ke permukaan terkait dengan pengelolaan hutan ini. Masih seringnya terjadi tumpang tindih (overlap) penggunaan lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda (untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan) dan saling klaim antara pusat dan daerah merupakan sebuah indikator belum terlaksananya UU ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa belum ada
sinergi positif antara pusat dan daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan.
Berikut ini akan diuraikan contoh kasus bagaimana kewenangan pengelolaan hutan di Kalimantan Timur :
1. Kewenangan Provinsi dalam Pengelolaan Hutan
PP No. 38 Tahun 2007 dalam bagian umum penjelasannya menyebutkan bahwa Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada tanggal 28 Juli 2009 di Universitas Mulawarman Samarinda, terungkap bahwa belum ada aturan (PP) yang mengatur tentang penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan oleh pusat kepada pemerintah daerah (provinsi Kalimantan Timur) sebagai amanat dari pasal 66 UU Kehutanan No. 41/1999. Kewenangan yang ada hanya sebatas kewenangan administrasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Provinsi lebih banyak bertindak sebagai pemberi rekomendasi ketimbang pemberi ijin dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan. Akibatnya, provinsi menjadi pihak yang “tidak berdaya” atas hutan yang ada di wilayahnya.
penerapan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dengan segala kekhasan yang dimiliki.
Selama ini ada kesan bahwa pusat terkesan menyerahkan kepalanya tetapi ekornya dipegang. Idealnya penyerahaan wewenang juga harus disertai dengan kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan agar pihak yang dilimpahi wewenang jelas arahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam memberikan tugas-tugas kepada daerah, yakni kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumberdaya manusia dan keuangan daerah. Beberapa studi menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam desentralisasi kehutanan adalah ketersediaan SDM di daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.
2. Kendala Yang Dihadapi
Salah satu kendala yang mengemuka dalam penelitian terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan pada level provinsi karena dimasukkannya pengelolaan hutan pada urusan pilihan seperti yang tercantum dalam UU No. 32/2004 pasal 13 yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Untuk Kalimantan Timur, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang dimiliki salah satunya adalah hutan. Selain itu, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan bahwa urusan pilihan yang dimaksud salah satunya adalah kehutanan.
Pengelolaan hutan Kalimantan Timur yang masuk urusan pilihan ini kemudian mengakibatkan tidak maksimalnya sinergi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Minimya kewenangan yang diserahkan kepada provinsi menjadi kendala tersendiri karena kreatifitas yang seharusnya muncul dari wilayah di mana hutan itu dikelola menjadi tidak ada.
3. Upaya Yang Perlu Dilakukan
dan memiliki peran penting. Namun yang perlu diperhatikan ketika urusan pilihan diubah menjadi urusan wajib ini adalah provinsi perlu mengembangkan konsep yang jelas tentang perencanaan, pengelolaan, dan perlindungan hutan melalui suatu kajian pengelolaan kawasan hutan agar dapat menjadi acuan bagi pusat dan daerah dalam melakukan sinergi pengelolaan hutan. Bukan hanya kabupaten/kota,, provinsi harus diberi ruang yang luas untuk mengembangkan kreatifitas dan kreasi.
Dengan menjadi urusan wajib akan terjadi perubahan perspektif terhadap pengelolaan hutan. Dengan perubahan perspektif ini, desentralisasi pengelolaan hutan betul-betul akan memberi manfaat kepada semua pihak, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan. Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan pilihan karena biasanya ketika ada hal baru yang muncul, kesulitannya adalah bagaimana menerjemahkan konsep tersebut ke dalam program teknis di lapangan, yang kemudian disinkronkan dengan praktek yang selama ini berjalan. Pemerintah pusat harus berbesar hati untuk menyerahkan urusan kepada provinsi dan tidak lagi setengah-setengah untuk menghindari konflik (conflik of interest) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterbatasan pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengembangkan sector kehutanan menyebabkan munculnya berbagai perspektif yang negative dari masyarakat akan posisi pemerintah propinsi untuk sector kehutanan.
menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pusat sebagai akibat dari penumpukan kekuasaan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya pengelolaan sector kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur perlu adanya berbagai tindakan yang responsive dari pemerintah daerah yang disinergikan dengan program nasional dalam upaya pengelolaan sector kehutanan. Perbaikan dalam sector kehutanan meliputi ;
1. Perlunya perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pusat kebijakan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan hutan semestinya menempatkan pemerintah daerah provinsi sebagai salah satu pihak yang menentukan dalam perumusan kebijakan tentang pengelolaan kawasan hutan yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, istilah provinsi sebagai pihak yang hanya pemberi “stempel” terhadap pengelolaan hutan dapat lebih berdaya. Selain itu, ketika provinsi didudukan sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap pengelolaan hutan, maka secara otomatis pengawasan terhadap ekploitasi hutan dapat lebih maksimal, tidak lagi saling lempar antara pusat dan daerh provinsi apabila terjadi pemasalahan terkait dengan pengelolaan hutan.
membuat regulasi sebagai payung hukum pengelolaan hutan dengan tidak mengesampigkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan.
3. Pengelolaan hutan pada level provinsi dan pengelolaan non kehutanan pada level kabupaten/kota. Pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sudah semestinya diberi kewenangan yang luas untuk mengurus urusan pusat yang ada di wilayahnya. Terkait dengan pengelolaan hutan, provinsi perlu menunjukkan eksistensinya sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab bagi kelestarian hutan, Untuk kawasan non kehutanan, kabupaten/kota memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaannya.
4. Pengelolaan hutan harus melibatkan komunitas masyarakat lokal/adat. Dalam konteks desentralisasi pengelolaan hutan, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam penentuan kebijakan tentang pengelolaan hutan. Hal ini penting mengingat pelibatan masyarakat secara langsung dapat menjaga hutan tetap lestari. Masyarakat lokal/adat akan memposisikan hutan sebagai sumber kehidupan, sehingga melakukan perusakan hutan berarti akan merusak tatanan hidup yang telah ada. Selain itu, dengan pengelolan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai pihak subyek, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan hidup bagi masyarakat.
2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Pertambangan
salah satu daerah yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alam seperti hutan dan pertambangan mau tidak mau juga diperhadapkan pada persoalan rusaknya lingkungan hidup di daerah ini. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah sektor pertambangan mineral dan batu bara. Kekayaan potensi tambang di Propinsi Kalimantan Timur dengan berbagai jenisnya, seperti ; minyak bumi, gas, emas dan batubara. Berbagai perusahaan besar baik swasta maupun BUMN telah lama melakukan kegiatan tambang diberbagai daerah di wilayah ini.
Sistem keruk habis yang selama ini dikembangkan oleh para pengelola pertambangan kemudian diperhadapkan pada kenyataan bahwa bidang pertambangan dan mineral merupakan sumber energi terbatas yang tidak terbarukan
(finite/non-renewable resources) sehingga diperlukan kebijakan pengelolaan yang tepat dengan
berbasiskan pada cita-cita pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini selalu dikaitkan dengan kuantitas luaran dan hasil eksploitasi sumber pertambangan dan mineral ternyata tidak selamanya tepat. Hal ini terbukti dari beberapa negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam dan sektor pertambangan sebagai primadonya.
pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang berkorelasi negatif dengan jumlah sumber daya pertambangan, energi dan mineral yang kemudian dikenal dengan fenomena resources curse (auty, 1993 ; Stinjis, 2007 ; Rosser, 2006).
Perdebatan dalam hal pengelolaan pertambangan sebagai salah satu sektor unggulan Kalimantan Timur semakin mencuat di era otonomi daerah. Titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten/kota secara langsung menunjuk aparat pemerintah kabupaten sebagai pengelola dengan kewenangan yang melekat di dalamnya. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan antara kewenangan pengelolaan tersebut. Persoalan penerbitan izin salah satu prasyarat dalam pengelolaan potensi pertambangan tersebut kemudian diperhadapkan pada masalah yang timbul setelah munculnya izin eksplorasi yang melampau batas-batas wilayah administratif suatu daerah. Hal ini kemudian menjadi fenomena menarik ketika daerah kabupaten/kota melimpahkan persoalan tersebut pada level diatasnya.
Munculnya berbagai persoalan pada pengelolaan sektor pertambangan tentunya merupakan hal yang perlu untuk diperhatikan secara serius dengan memfokuskan diri pada peraturan perundang-undangan yang mengatur khususnya pada kewenangan yang dimiliki, sehingga jelas alur penyelesaian dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam khususnya sektor pertambangan tersebut.
salah satu sumber pemasok devisa negara adalah bersumber dari pertambangan. Selain memperhitungkan jumlah pemasukan negara dari sektor pertambangan juga perlu untuk kemudian melihat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan dan ekosistem yang ada disekitarnya.
Operasionalisasi pertambangan dengan berbagai jenisnya pada suatu lingkungan pada akhirnya akan membawa dampak pada ketidakseimbangan lingkungan sebagai imbas pengelolaan lingkungan itu sendiri. Dalam kondisi tersebut peran pemerintah sebagai kontrol untuk menjaga kesinambungan sumber daya alam di daerahnya perlu untuk dihadirkan demi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertambangan khususnya ; mineral, gas, minyak dan batubara merupakan energi yang tidak terbarukan. Sehingga mekanisme pengelolaan sumber daya tersebut perlu untuk secara ketat diberlakukan sehingga dapat dinikmati oleh generasi penerus. Kewenangan yang dimiliki oleh masing level pemerintahan menjadi kunci utama dalam mengefektifkan berbagai aktifitas. Hal ini tidak terkecuali pada pemerintahan level propinsi untuk dapat mengelola dan mensinergikan berbagai persoalan pertambangan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur.
a. Kewenangan Pengelolaan Sektor Pertambangan di level Propinsi
pertambangan yang ada di daerah untuk diselesaikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada di daerah.
Implementasi pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang kewenangan pengelolaan sektor pertambangan di daerah membawa ketimpangan pada level propinsi. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan dan mengelola berbagai permasalahan pertambangan ternyata tidak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi. Hal ini berpengaruh pada posisi tawar dari pemerintah propinsi terhadap pengelolaan sektor pertambangan tersebut.
Dalam UU Minerba setidaknya ada enam hal yang perubahan yang diatur terkait dengan penggunaan kewenangan negara terhadap pengelolaan tambang dan energi ( Endi Jaweng, 2009). Pertama, menguatnya hak kuasa negara terhadap sumber daya alam, yang dilaksanakan pemerintah lewat otoritas mengatur dan mengawas pengelolaan usaha tambang. Untuk itu UU Minerba memulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi perizinan. Disini terjadi reposisi peran negara yang sebagai pemegang kuasa dan tidak lagi hanya sekedar pada posisi tawar lemah dimana negara sejajar dengan para pemodal dengan kekuatan kontrak yang mereka miliki untuk mengeksplorasi sektor pertambangan.
Kedua, wilayah pertambangan (WP) menjadi dasar pemberian ijin. Pusat
menetapkan wilayah pertambangan dan semua perijinan di daerah wajib disesuaikan dengan poerwilayahan tersebut. Pemerintah daerah diharapkan akan lebih terukur dalam memberi ijin. Perwilayahan ijin tersebut juga disinkronkan dengan tata ruang nasional agar menjamin kepastian berusaha tanpa dihantui lagi dengan perubahn fungsi lahan menjadi kawasan konservasi, taman nasional, hutan lindung yang kesemuanya akan mengganggu proses kerja dari wilayah pertambangan yang telah keluar ijin kerjanya.
Ketiga, Prosedur dan bentuk perijinan yang lebih sederhana. Hal ini dapat
terbuka wilayah usaha. Hal yang perlu untuk menjadi perhatian dalam penyelenggaraan hal ini adalah lama/ tenggang waktu usaha yang dimiliki oleh suatu kuasa pertambangan sehingga dapat disinergikan antara pengelolaan dengan upaya revitalisasi lahannya.
Keempat, kewajiban pengolahan/pemurnian didalam negeri. Hingga kini,
industri tambang kita masih baru dengan tingkat pengolahan yang sangat terbatas. Sebagaian besar hasil pertambangan batubara dan mineral yang ada hanya ditambang dan proses berikutnya semua dikerjakan di luar. Hal ini mengakibatkan nilai jual bahan tambang yang dihasilkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai pertambangan yang telah diekstraksi terlebih dahulu sebelum dilemparkan kepasaran. Hal ini tentunya akan menimbulkan multiplier effects kepada masyarakat yang ada disekitanya. Selain itu, kebijakan perijinan yang harus bersifat terintegrasi dengan pertimbangan kapasiatas investor dalam pengolahan dan pemurnian.
Kelima, Rasionalisasi fungsi jasa pertambangan yang tidak boleh lagi
terlibat pada kerja operasional seperti eksploitasi dan penambangan. Ini diharapkan dapat mengatasi paraktik sleeping owners. Pemegang ijin cuma mengurus eksplorasi dan pemasaran, sementara kegiatan inti diserahkan pada jasa bantuan. Kebijakan ini mensyaratkan kontrol kuat pemerintah agar tidak terjadi manipulasi dalam praktiknya dilapangan.
Keenam, ketentuan peralihan yang menjamin keberlangsungan kontrak karya
implementasinya dilapangan. Hal ini tetap harus disinergikan dalam penyelenggaraan kegiatan pengolahan pertambangan dalam era otonomi daerah.
Jenis kewenangan yang dimiliki pemerintahan pada level propinsi menempatkan posisi tawar propinsi dalam pengelolaan sektor pertambangan begitu lemah, sementara tuntutan globalisasi mengarahkan pada peningkatan peran propinsi yang tidak hanya pada bidang adminsitatif tetapi pada semua lini yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan sektor pertambangan.
b. Kendala-Kendala Yang dihadapi dalam Pengelolaan Sektor Pertambangan Pada level Propinsi
Upaya pemerintah propinsi dalam meningkatkan perannya untuk pengelolaan sektor pertambangan terkendala pada jenis kewenangan tersebut. Kewenangan pengelolaan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang menempatkan pengelolaan sektor pertambangan sebagai urusan pilihan pada dasarnya telah menunjukkan posisi kewenangan tersebut. Sementara tuntutan perubahan zaman dan lingkungan masyarakat Kalimantan Timur dalam hal pengelolaan sektor pertambangan akan lebih maksimal dengan jika urusan pengelolaan sektor pertambangan diarahkan pada pilihan wajib yang memungkinkan pemerintah propinsi memiliki nilai tawar lebih dibandingkan pemerintah kabupaten/kota.
energi hanya menerima laporan yang terkait dengan sengketa yang muncul dalam pengelolaan pertambangan tersebut, sementara urusan-urusan yang memungkinkan pencegahan permasalahan, khususnya lintas kabupaten/kota tidak melibatkan pemerintah propinsi. Kondisi ini berdampak pada hilangnya koordinasi antara dinas dari level kabupaten/kota ke pemerintah propinsi sebagai wujud dari ketiadaan wewenang pemerintah propinsi untuk mengatur dan mengelola bidang pertambangan di kabupaten /kota.
Pengelolaan sektor pertambangan oleh pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah kabupaten/kota. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota mengakibatkan penerbitan izin dalam pengelolaan pertambangan sesuai dengan keinginan pemerintah kabupaten/kota tanpa memperhatikan rencana tata ruang dan wilayah akan berdampak pada lingkungan. Pembangunan lingkungan khususnya sektor pertambangan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh batas-batas administratif termasuk oleh batas-batas-batas-batas wilayah kabupaten/kota.
b. Upaya Pemerintah Propinsi Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Sektor Pertambangan
merupakan potensi yang harus memberikan daya guna dan manfaat bagi pemerintah daerah mulai dari level kabupaten/kota maupun level propinsi. Porsi kewenangan yang begitu kecil bagi pemerintah propinsi untuk mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya alam perlu untuk direposisikan kembali melalui suatu peraturan perundang-undangan yang nantinya akan menjadi kekuatan hukum bagi pemerintah propinsi dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Posisi kewenangan propinsi yang hanya merupakan urusan pilihan perlu untuk dikembangkan menjadi urusan wajib sehingga daerah mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengembangkan wilyahnya masing-masing. Pemerintah pusat perlu untuk memperhatikan kekhasan suatu daerah dalam memberikan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan wilayahnya sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Ragam kebutuhan yang berbeda antar daerah memungkinkan perbedaan jenis kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam mengelola dan mengembangkan potensi sektor pertambangnnya.
lebih baik dan terbangunnya konsep pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Upaya mewujudkan suatu sistem pertambangan dengan prinsip berkelanjutan pada dasarnya merupakan bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Hal yang perlu mendapat perhatian dari konsep pengelolaan pertambangan berkelanjutan ini adalah posisi pertambangan sebagai sumber energi yang tidak terbarukan. Dalam kontaks ini jelas berbeda dengan konsep pembangunan berkelanjutan dimana beberapa sumber daya yang dimiliki dalam konteks pembangunan berkelanjutan dapat terbarukan karena melibatkan sumber daya lain yang berada diluar sumber daya pertambangan dan energi itu sendiri.
Emil Salim dalam Rachmad (2008;186) menyebutkan asumsi-asumsi dasar dan ide pokok yang mendasari pembangunan berkelanjutan; Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus, kontinu, ditopang oleh sumber daya alam, dijamin dengan kualitas lingkungan dan manusia yang terus berlanjut. Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas sehingga perlu secara priodik diperhatikan sehingga berbagai permasalahan dari penciutan sumber daya tersebut dapat menopang pembangunan tersebut. Ketiga, kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup.
Keempat, pola penggunaan sumber daya alam masa kini mestinya tidak menutup
untuk meningkatkan kesejahteraan, tanpa mengurangi kemungkinan bagi genertasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pengelolaan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan pada hakikatnya menunjukkan bahwa strategi pembangunan berkelanjutan merupakan mekanisme penting untuk meningkatkan dan menjembatani kemampuan nasional guna menyatakan prioritas sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai suatu kesatuan sistem yang saling mendukung. Proses pembangunan dalam konteks ini memiliki daya yang luar biasa sehingga berbagai kekurangan pada sektor yang ada dapat tertutupi dengan sistem manjerial yang baik. Lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu unsur yang terlepas begitu saja dengan pembangunan yang berlangsung.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada hakikatnya harus diselaraskan dengan sustainable society yang nantinya akan menjalankan berbagai aspek dalam etika-etika lingkungan (biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme) dan buka saja pada sekedar kaidah-kaidah subyektif. Sustainable
development muncul terlebih dahulu menjelaskan pandangan tentang lingkungan
yang muncul didalamnya dapat teratasi meskipun dengan kondisi lingkungan yang tidak terbarukan.
Pandangan tentang pertambangan dengan konsep berkelanjutan pada hakekatnya dapat dilihat dari persfektif ekosentris yang berdiri pada argumen keberlanjutan yang kuat (strong sustainability) dimana paling ekstrim melarang segala bentuk pertambangan (Tietenberg, 1996). Sementara pada sisi yang lain pandangan teknosentris berdiri pada argumen berkelanjutan yang lemah (weak
sustainability) dengan pandangan paling ekstrim memperbolehkan usaha
pertambangan dimana saja dan dengan jalan apapun asalkan hasil yang diperoleh diinvestasikan kembali untuk menciptakan bentuk sumber daya dan modal lain untuk kesejahteraan masyarakat, pandangan ini dipelopori oleh Hartwick-Solow dalam (Lange and Wright, 2002).
Industri pertambangan dan mineral sifatnya tidak terbarukan dapat yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mengambil posisi lebih banyak di paham
weak sustainability. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan cadangan bahan
Pembangunan pertambangan dan energi yang berkelanjutan merupakan cita-cita dari semua stkeholders, hanya saja yang perlu untuk mendapatkan perhatian serius adalah dengan posisi yang tidak terbarukan maka sektor pertambangan dan energi memerlukan strategi pengelolaan yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Upaya mengembangkan suatu metode pengelolaan pertambangan dan energi yang berkelanjutan juga perlu untuk diitegrasikan dengan tiga aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan pertambangan tersebut. Ketiga aspek itu adalah ; aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial.
Dalam perspektif ekonomi, pertambangan dan energi merupakan hal yang begitu menggiurkan dengan berbagai latar belakang ekonominya. Pengelolaan pertambangan dengan memeperhatikan aspek ekonominya perlu dipahami melalui penyelenggaraan yang efektif, efisien dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Sistem keruk habis yang menjadi metode pertambangan selama ini perlu untuk ditinjau kemabli dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dimasa yang akan datang sehingga eksplorasi tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dan keberlangsungan produk tersebut sudah saatnya untuk direposisikan kembali.
tambangan dan pencemaran lingkungan akibat penambangan sering tidak direhabilitasi. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kunci pelaksanaan pertambangan dan energi yang berkelanjutan dengan ramah lingkungan terletak pada perubahan pada semua unsur pengelola yang terdiri dari pemerintah, pengusaha., LSM, dan masyarakat yang secara terus menerus harus secara aktif mengontrol kegiatan pertambangan dan energi yang ada di daerah ini.
Aspek sosial, dukungan masyarakat dan lingkungan sosial merupakan slah satu prasyarat penyelenggaraan pembangunan sektor pertambangan yang berkelanjutan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan tambang yang beroperasi pada suatu wilayah perlu untuk dijalankan. Hal ini dimaksudkan agar tingkat kesejahteraan masyarakat yang merata dan berkeadilan dapat diwujudkan secara menyeluruh. Eksplorasi tambang dan energi dalam suatu kawasan jangan sampai justru menjadikan masyarakat lokal sebagai sub sistem yang termarjinalisasikan oleh proses industrialisasi tambang itu sendiri.
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Perkebunan
daya saing, pemenuhan kebutuhan komsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan SDA secara berkelanjutan.
Pengembangan perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap SDA yang berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap SDA, modal, informasi, teknologi, dan manajemen.