• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. Pengelolaan Zakat

Menurut Muhammad pengarang Lisan al-Arab dalam Sudirman, kata zakat (al-Zakah) dari sudut etimologi, merupakan kata dasar dari zaka yang berarti suci, berkah, terpuji dan tumbuh yang semua itu sangat populer dalam penerjemahan baik al-quran maupun Hadits. (Nizar, 2016)

Zakat secara etimologi, berasal dari kata dasar وكسي– ىكز yang artinya “berkah, tumbuh, baik dan bersih”. Misalnya, dalam kalimat ةرجشلا تكز yang artinya “pohon itu tumbuh berkembang”, dan لجر اكزyang artinya “seorang itu baik”. Harta yang dikeluarkan untuk zakat dinamakan zakat karena harta tersebut mensucikan diri orang yang menunaikan zakat (muzakki) dari kotoran kikir dan dosa, menyuburkan harta yang tersisa, memperbanyak pahala bagi yang mengeluarkan, serta menyuburkan dan mensucikan masyarakat secara keseluruhan. Demikian dari pada itu, karena zakat adalah manifestasi dari sikap gotong royong antara orang golongan kaya dan fakir miskin, sekaligus merupakan bentuk perlindungan bagi masyarakat dari bencana sosial berupa kemiskinan dan kelemahan fisik maupun mental.

Demikian dari itu, menurut bahasa terminologi, ada banyak definisi zakat yang telah diterapkan. Abdul mujieb, misalnya mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sejumlah harta tertentu yang harus diberikan kepada pihak-pihak tertentu dengan syarat-syarat yang tertentu pula. Pengertian yang sama juga dirumuskan

al-Ghazzi bahwa zakat menurut syara ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara tertentu, kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (Fitri, 2017)

b. Dasar Hukum Zakat

Setelah rukun Islam Syahadat dan sholat, zakat juga merupakan rukun iman yang ketiga. Jika kita sebagai umat manusia melaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, zakat bisa sebagai akar penerimaan yang potensial guna menunjang suksesnya pembangunan nasional, terutama di bidang agama dan ekonomi, khususnya untuk membantu peningkatan pendapatan daerah atau mensejahterakan umat.

Ada dalil dalam Al-quran yang dijadikan acuan pentingnya menunaikan zakat, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 267 :

ْمُتْبَسَك ا َم ِتاَبِّيَط ْن ِم اوُقِفْنَأ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأ اَي َثيِبَخْلا اوُمَّمَيَت َلَ َو ۖ ِض ْرَ ْلْا َن ِم ْمُكَل اَن ْج َر ْخَأ اَّم ِم َو ۚ ِهيِف اوُض ِمْغُت ْنَأ َّلَِإ ِهيِذ ِخآِب ْمُتْسَل َو َنوُقِفْنُت ُهْن ِم دي ِم َح ٌّيِنَغ َ َّاللَّ َّنَأ اوُمَلْعا َو

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Infakkanlah sebagian dari hasil usaha-mu yang baik-baik dan sebagian dari

apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha kaya, Maha terpuji”. (Q.S Al-Baqarah / 267:2). (RI, 2007)

Ayat Al-quran diatas telah memaparkan bahwa pentingnya berzakat dan berkewajiban untuk mengeluarkan zakat, kemudian zakat tersebut ialah salah satu dari rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi kaum Islam. (Fitri, 2017)

c. Tujuan dan Manfaat Zakat

Ibadah zakat sebagai konsep mensejahterakan umat telah diposisikan dalam Agama Islam. Ada tahapan landasan prinsip ekonomi Islam yang mendasari definisi tersebut. Diantaranya, Islam memberi landasan nilai keyakinan bahwa yang pertama, semua yang didapat dan dimiliki oleh manusia adalah karena seizin Allah, oleh karena itu itu barang siapa yang kurang beruntung memiliki hak atas kekayaan yang dimiliki oleh kaum yang beruntung, yang kedua ialah tidak boleh menumpuk atau menimbun kekayaan, dan yang ketiga adalah kekayaan harus di putar. (Fitri, 2017)

Berpacu pada tiga prinsip ekonomi Islam diatas, tujuan dalam beribadah zakat yaitu :

1) Untuk mensucikan diri dari sifat tercela muzakki dan membersihkan perilaku kikir, keegoisan dan keburukan.

2) Untuk menghilangkan harta halal yang kemungkinan bercampur dengan harta yang bersifat haram.

3) Untuk meniadakan perputaran harta pada terhadap segolongan orang yang mampu.

4) Untuk mensejahterakan dan mengembangkan kualitas hidup umat.

Selain tujuan, adapun manfaat zakat, yaitu:

1) Berfungsi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.

2) Zakat yang sifatnya mampu, dimana zakat sebagai untuk membantu dan menolong mereka yang kurang mampu, terkhususkan bagi fakir miskin mengajak kearah yang lebih baik.

3) Berfungsi sebagai suatu sumber pembangunan sarana dan prasarana.

4) Zakat untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta yang kita usahakan dengan baik dan benar.

5) Berfungsi sebagai pedoman utama tunduknya seseorang ke ajaran agama Islam.

6) Membangun lapangan pekerjaan yang mudah di jangkau.

7) Mengembangkan kekuasaan modal dan asset ditangan umat muslim.

d. Penerima Zakat (Mustahik)

Agama mewajibkan mengeluarkan zakat untuk setiap muslim yang memiliki taraf harta yang berkemampuan. Akan tetapi,

untuk umat Islam yang memiliki ketidak mampuan atau dalam ukuran kualitatifnya menghadapi keterbatasan untuk mencukupi kebutuhan hidup dalam kesehariannya, golongan ini tidak diharuskan untuk menunaikan zakat. Tetapi sebaliknya mereka yang justru berhak menerima zakat. (Fitri, 2017)

Adapun 8 golongan yang berhak menerima zakat menurut ketentuan Islam, diantaranya ialah :

1) Orang fakir atau Al – Fuqara’ (orang melarat).

2) Al-masakin atau orang miskin.

3) Panitia zakat atau Al – Amilin (amil zakat).

4) Orang yang baru memeluk agama Islam atau biasa disebut Al-Muallaf.

5) Kaum sahaya atau Al - Riqab.

6) Al-gharim ialah orang yang terlilit utang.

7) Umat yang berjihad dijalan Allah yaitu Fi Sabilillah.

8) Kaum musafir yang berada dalam perjalanan yaitu Ibn Sabil.

5. Konsep Pengelolaan Zakat Untuk Pemberdayaan Umat a. Zakat dan Kesejahteraan Sosial (Umat)

Secara formal, ketentuan tentang konsep kesejahteraan sosial diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pengganti atau revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Menurut Undang-Undang No.

11 Tahun 1999, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan material, spritiual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Konsep kesejahteraan sosial dalam teori menurut ekonomi Islam berdasasrkan secara keseluruhan pembinaan agama Islam dalam melihat semua potensi kehidupan termasuk tentang kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial mencakup berdasarkan pandangan rumusan Islam, diantaranya:

1) Kesejahteraan yang seimbang dan holistik. Yang dimana kesejahteraan tersebut mencakup dimensi materiil ataupun mencakup spiritual individu dan sosial.

2) Dalam pengertian sederhana falah yaitu kemuliaan dan kemenangan hidup. Kesejahteraan didunia maupun diakhirat. Karena manusia bukan hanya hidup di muka bumi ini saja akan tetapi di akhirat juga. Secara umum istilah yang sering digunakan untuk menerapkan suatu keadaan hidup yang sejahtera secara materi dan spiritual pada kehidupan dunia maupun akhirat dalam kehidupan ajaran agama Islam.

Tentang bagaimana hubugan ajaran agama dengan kehidupan umat telah ada dalam persepektif ekonomi Islam dengan demikian kesejahteraan sosial atas dasar perspektif tersebut, maka istilah kesejahteraan umat, berkaitan dengan pola atmosfer keagamaan yakni dari sisi hubungan agama dengan kehidupan umat Islam.

Kesejahteraan umat bisa dilihat dari sisi manusia sebagai komunitas keagamaan yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi dan politik dalam arti sebagai manusia dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya pada satu sisi dan penciptaan hubungan dengan Tuhan sebagai konsekuensi sebagai makhluk yang beragama.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial dikaitkan dengan kesejahteraan umat terdapat unsur – unsur yang harus dipenuhi diantaranya kondisi kehidupan yang mendukung terwujudnya pemenuhan sosial, ekonomi dan religius umat muslim, kondisi adanya institusi keagamaan yang lebih dinamis untuk mendorong pencapaian kesejahteraan sosial. (Fitri, 2017)

b. Zakat Sebagai Potensi Kesejahteraan Umat

Dalam sistem ekonomi Islam terdapat konsep tentang kaidah-kaidah kebersamaan dan keadilan sosial ekonomi. Perintah untuk membayar zakat, sedekah, infak dan wakaf merupakan hasil tegas bahwa Islam tidak menghendaki adanya kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan golongan miskin. Melalui zakat juga mencegah terjadinya akumulasi harta pada beberapa orang saja.

Membayar zakat merupakan wujud pelaksanaan ibadah guna menghindarkan diri dari kekufuran sekaligus untuk meminimalis munculnya sifat iri dan dengki ketika si miskin melihat golongan masyarakat kaya. Sejumlah penelitian juga telah menjelaskan adanya korelasi zakat dan keadilan sosial yaitu mendeskripsikan Islam

mensyariatkan zakat dengan tujuan meratakan jaminan sosial (keadilan sosial). Karena zakat adalah dana yang dipungut dari golongan orang kaya untuk diberikan kepada golongan miskin. Jadi tujuan zakat sangat jelas untuk mendistribusikan harta dimasyarakat dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak seorangpun umat muslim yang tinggal dalam kebatilan dan kemiskinan.

Oleh karena itu apabila ketaatan membayar zakat ini berlangsung komperehensif maka zakat akan dapat menjadi potensi ekonomi sebagai sumber dana pembangunan bagi terbangunnya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang dibutuhkan umat. Bahkan sangat mungkin zakat bisa didayagunakan untuk mendukung program-program bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Ketika pemerataan pendapatan ini memberikan dampak simultan bagi pertumbuhan ekonomi maka zakat merupakan konsepsi economic growth with equity.(Fitri, 2017)

Dokumen terkait