• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Perbuatan Melawan Hukum

3. Pengelompokan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:49

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

Dalam perbuatan melawan hukum, unsur kesengajaan baru dianggap ada manakala dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan konsewkuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau properti dari korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.

Unsur kesengajaan tersebut dianggap ada dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:50

1) Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan.

2) Adanya konsekuensi dari perbuatan, jadi bukan hanya adanya perbuatan saja.

3) Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.

Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat “maksud” dari pihak pelakunya. Istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu. Dalam hal ini perlu dibedakan antara istilah “maksud” dengan “motif”. Sebagai contoh: Misalkan seseorang yang menyulut api ke sebuah mobil, tentu tindakan tersebut mempunyai “maksud”

49 Ibid., hlm. 45. 50 Ibid., hlm. 47.

untuk membakar mobil tersebut. Akan tetapi, motif dari membakar mobil tersebut bisa bermacam-macam, misalnya motifnya adalah sebagai tindakan balas dendam, protes, menghukum, membela diri dan lain-lain.

b. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian berbeda dengan perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Dengan kesengajaan, ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau paling tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan terjadi. Akan tetapi, dalam kelalaian tidak ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginannya untuk mencegah terjadinya kerugian tersebut.51 Dengan demikian, dalam perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan, niat atau sikap mental menjadi faktor dominan, tetapi pada kelalaian niat atau sikap mental tersebut tidak menjadi penting, yang penting dalam kelalaian adalah sikap lahiriah dan perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu mempertimbangkan apa yang ada dalam pikirannya.

Dalam ilmu hukum, suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu kelalaian apabila memenuhi unsur pokok sebagai berikut:52

1) Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan.

2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care). 3) Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut. 4) Adanya kerugian bagi orang lain.

5) Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

Mengenai kelalaian itu sendiri dikenal beberapa tingkatan dengan konsekuensi hukum yang saling berbeda-beda. Pada umumnya tingkatan kelalaian tersebut adalah sebagai berikut:53

1) Kelalaian ringan (slight negligence)

51 Ibid., hlm. 72. 52 Ibid. hal. 73. 53 Ibid., hal. 83.

2) Kelalaian biasa (ordinary negligence) 3) Kelalaian berat (gross negligence)

c. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

Perbuatan melawan hukum kategori ini didasarkan pada teori aanprakelijkheid atau yang dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan teori “tanggung gugat”, yaitu teori untuk menentukan siapakah yang harus menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. Pada umumnya, tetapi tidak selamanya, pihak yang harus digugat/menerima tanggung gugat jika terjadi suatu perbuatan melawan hukum adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri, artinya dialah yang harus digugat ke pengadilan dan dia pulalah yang harus membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan.54 Namun adakalanya si A yang melakukan perbuatan

melawan hukum, tetapi si B yang harus digugat dan

mempertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Terhadap tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain ini dalam ilmu hukum dikenal dengan teori tanggung jawab pengganti (vicarious lability).55

4. Pertanggungjawaban

Perbuatan melawan hukum merupakan suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.56

Jika ditilik dari model pengaturan KUH Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum, sebagaimana juga dengan KUH Perdata di negara-negara lain dalam sistem hukum Eropa Kontenental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:57

54 Ibid., hal. 16. 55 Ibid., hlm. 17. 56 Ibid., hlm. 3. 57 Ibid.

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata.

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUH Perdata.

Untuk dapat menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, maka harus dilihat adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dengan kerugian yang dialami oleh si korban. Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan dari orang lain.

Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan perkatan lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah “fakta” (the fact) atau “kemungkinan” (proximate) dan kapan pula dianggap “terlalu jauh” (too remote).

Pentingnya ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti adakah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkannya, sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.

Teori yang dikenal pertama-tama adalah teori conditio sine qua non dari Von Buri. Teori ini melihat bahwa tiap-tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat adalah menjadi sebab dari akibat.

Metode yang disarankan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut:58

a. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut mempunyai hubungan sebab-akibat dengan kerugian yang terjadi.

b. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut tidak perlu mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

c. Jika perbuatan tergugat tidak perlu ada kesalahan, tetapi mesti mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

D. Kasus Pembatalan Akta Perjanjian Perdamaian nomor 8 tanggal 10

Dokumen terkait