• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS (STUDI KASUS : PUTUSAN NO.1119/PDT.G/2006/PN.JKT.PST)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS (STUDI KASUS : PUTUSAN NO.1119/PDT.G/2006/PN.JKT.PST)"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

(STUDI KASUS : PUTUSAN NO.1119/PDT.G/2006/PN.JKT.PST)

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris

Notaris adalah sebuah profesi yang dapat sudah ada sejak abad ke 2-3 pada masa Roma Kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang bertugas mencatat pidato. Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.1

Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun legislatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah.2

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan

1 “ Notaris”, http:// id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diunduh 15 Februari 2010. 2 Ibid.

(2)

tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya dapat memberikan honorarium kepada Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN profesi Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, dalam hal ini yang dimaksud dengan Pejabat Umum adalah Pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat. Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat atau di hadapan atau oleh Notaris, dan kewenangan lainnya sebagaimanadimaksud dalam UUJN3

Terdapat dua macam notaris, yaitu:4

1. Notaris civil law yaitu lembaga notariat berasal dari Italia utara dan juga dianut oleh Indonesia. Ciri-cirinya ialah:

a. Diangkat oleh penguasa yang berwenang;

b. Tujuan melayani kepentingan masyarakat umum; dan c. Mendapatkan honorarium dari masyarakat umum.

2. Notaris common law yaitu notaris yang ada di negara Inggris dan Skandinavia. Ciri-cirinya ialah:

a. Akta tidak dalam bentuk tertentu; dan b. Tidak diangkat oleh pejabat penguasa.

1. Sejarah Lembaga Notariat di Indonesia

Pada abad ke 13, terbitlah buku Les Trois Notaires oleh Papon. Pada 6 Oktober 1791, pertama kali diundangkan undang-undang di bidang notariat, yang hanya mengenal 1 macam notaris. Pada tanggal 16 Maret 1803 diganti dengan Ventosewet yang memperkenalkan pelembagaan notaris yang bertujuan memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat umum. Pada abad itu penjajahan pemerintah kolonial Belanda telah dimulai di Indonesia.

3 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, cet.1, (Bandung: Refika Aditama,2008),

hlm.14.)

(3)

Secara bersamaan pula, Belanda mengadaptasi Ventosewet dari Perancis dan menamainya Notariswet. Dan sesuai dengan asas konkordasi, undang-undang itu juga berlaku di Hindia Belanda/ Indonesia.5

Lembaga Notaris di Indonesia yang dikenal sekarang ini, bukan lembaga yang lahir dari bumi Indonesia. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal di Jakarta antara tahun 1617-1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris, yang disebut Notarium Publicum.

Maka pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah Notaris pertama di Indonesia yang bernama Melchior Kelchem, sekretaris dari College van Schenpenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta untuk merangkap sebagai Notaris yang berkedudukan di Jakarta.6 Tugas Melchior Kerchem sebagai Notaris dalam surat pengangkatannya, yaitu melayani dan melakukan semua surat libel (smaadschrift), surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kotapraja.7 Selanjutnya berturut turut diangkat beberapa notaris lainnya, yang kebanyakan adalah keturunan Belanda atau timur asing lainnya.

Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van Schenpenen, yaitu dengan dikeluarkan Istruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juli 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan dari ata-akta kepada oranmg-orang yang tidak berkepentingan.8 Tanggal & Maret 1822 (Stb. No.11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur ecara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang Notaris

5

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet.3, (Jakarta:Penerbit Erlangga,1996), hlm.5.

6 Habib Adjie, op.cit., hlm 4. 7 Ibid.

(4)

dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat ata-akta dan konrak-kontrak dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.9

Tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai Jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stabl. 1860:3).10

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”. Dengan dasar Pasal II AP tersebut maka Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stabl. 1860:3) tetap berlaku. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimppinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.11

Tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, tanggal 23 Agustus-22 September 1949, salah satu hasil KMB adalah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda Kepada Republik Indonesia. Adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris berkwarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, yaitu harus meninggalkan jabatannya. Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia dari tahun 1949 sampai dengan 1954 menetapkan dan mengangkat wakil Notaris untuk menjalankan tugas jabatan

9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. hlm. 5.

(5)

Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.12

Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, menegaskan bahwa dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seseorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954), selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut dengan Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut dengan Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stabl. 1860:3). Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stabl. 1860:3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia.13

Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di universitas Indonesia. Dilanjutkan dengan kursus notariat dengan menempel di fakultas hukum, sampai tahun 1970 diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak dll) yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN – candidate notaris/calon notaris) pada lulusannya.

Pada tahun 2000, dikeluarkan sebuah peraturan pemerintah nomor 60 yang membolehkan penyelenggaraan spesialis notariat. PP ini mengubah program studi spesialis notaris menjadi program magister yang bersifat keilmuan, dengan gelar akhir magister kenotariatan.

12 Ibid. 13 Ibid.

(6)

Pada tahun 2004 diundangkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi:

1. Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stabl. 1860:3)) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101.

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris.

3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara.

4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun1949 , tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris.

Yang mengkehendaki profesi notaris di Indonesia adalah pasal 1868 Kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai pelaksanaan pasal tersebut, diundangkanlah undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris (UUJN) sebagai pengganti Staatblad 1860 Nomor 30. Pengertian Notaris berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUJN), yaitu: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini.” Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata.

2. Kode Etik Notaris

Pendelegasian kewenangan negara dalam bidang hukum perdata yang sangat luas kepada Notaris tentu rawan penyalahgunaan. Sehingga kewenangan tersebut harus dipagari dengan rambu-rambu, yang bisa menjaga kewenangan tersebut dilakukan secara proporsional dan tidak menyimpang. Sebagaimana dikatakan Lord Acton ”power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”, maka

(7)

setiap kewenangan haruslah dibatasi dengan Undang-undang atau ketentuan peraturan lain yang sifatnya mengikat, bisa dipaksakan dan memiliki sanksi.

Pemikiran inilah kemudian yang melahirkan wacana tentang perlu diadakannya kode etik bagi profesi notaris. Kode etik ini menjadi pedoman etis bagi notaris dalam menjalankan jabatannya. Kode etik Notaris (sebagaimana kode etik yang berlaku dalam profesi lain) merupakan norma yang diterapkan dan diterima oleh kelompok profesi tersebut, yang menjadi landasan moral dan pedoman perilaku bagi profesi tersebut dalam menjalankan profesinya. Kode etik notaris mengandung nilai-nilai moral dan etis yang yang harus dipunyai seorang notaris.

Pengertian Etika berasal dari kata etos yang berarti kesusilaan. Kesusilaan berasal dari suara batin manusia yang memberi pengaruh keluar. Etika adalah filsafat moral yang berasal dari kata mores yaitu adat istiadat. Adat istiadat ini berada di luar manusia serta memberi pengaruh ke dalam.

Secara umum arti etika adalah prinsip-prinsip tentang sikap hidup dan perilaku manusia dan masyarakat. Sedangkan kode etik adalah peraturan-peraturan mengenai etika baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian kode etik Notaris adalah tuntutan atau pedoman moral atau kesusilaan notaris baik selaku pribadi maupun pejabat umum yang diangkat pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya.

Untuk melaksanakan kode etik tersebut notaris berhadapan dengan berbagai macam tantangan baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar dirinya. Atas dasar prinsip tentang sikap hidup maka dengan dibentuknya kode etik notaris maka diharapkan para notaris dalam menjalankan kewajibannya menggunakan dan mendengarkan hati nuraninya sehingga akan dapat dicapai suatu hasil yang baik bagi semua pihak.

Kode Etik Notaris yang berlaku di Indonesia ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi profesi Notaris dalam hal ini yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI), hasil Kongres INI XVIII Tahun 2005. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris tersebut yang dimaksud dengan Kode Etik Notaris adalah:

“Seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar keputusan

(8)

kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua oarang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.”

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Kode Etik Notaris berlaku bagi seluruh anggota INI dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris maupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Secara garis besar rincian kode etik Notaris meliputi 5 hal : 1. Etika Kepribadian Notaris

Etika Kepribadian Notaris merupakan etika yang mengatur bagaimana Notaris bertindak secara personal dan internal. Etika ini mengatur kategori nilai yang harus dimiliki notaris sebagai pribadi. Pribadi yang dimaksud adalah “insan” notaris tersebut sebagai manusia alamiah. Mengingat Jabatan Notaris tidak hanya sebagai profesi dalam arti pekerjaan, namun juga sebagai pejabat umum, maka etika kepribadian Notaris ini memberikan kaidah nilai pribadi secara intrinsik yang harus dimiliki notaris sebagai pejabat umum dan sebagai Profesional.

Sebagai pejabat umum, maka etika yang harus dimiliki seorang notaris adalah: a. Berjiwa Pancasila

b. Taat Kepada Hukum, Sumpah Jabatan, Kode Etik Notaris. c. Berbahasa Indonesia yang baik

2. Etika Melakukan Tugas Jabatan

Etika ini menyangkut sikap dan perilaku harus dimiliki oleh Notaris sebagai pejabat umum dalam pelaksanaan tugas jabatannya dalam Kode Etik Notaris hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan di Bandung pada tahun 2005, menghasilkan pengaturan kewajiban notaris dalam menjalankan jabatan sebagaimana tertuang dalam pasal 3 Kode Etik Notaris tersebut.

(9)

Kewajiban Pasal 3

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib :

1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.

2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris.

3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.

4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundangundangan dan isi sumpah jabatan Notaris.

5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.

6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;

7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.

8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat :

i. Nama lengkap dan gelar yang sah;

ii. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;

iii. Tempat kedudukan;

iv. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.

10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.

11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.

12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.

13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.

14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.

15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan seharihari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.

(10)

16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.

17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:

i. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

ii. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

iii. Isi Sumpah Jabatan Notaris;

iv. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.

3. Etika Pelayanan Terhadap Klien

Notaris merupakan pelayan masyarakat di bidang hukum terutama melayani masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam melayani masyarakat ini, sudah tentu dibutuhkan etika, yang menjadi pedoman bagi Notaris dalam melayani masyarakat pengguna jasa Notaris. Beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan oleh Notaris dalam melayani klien, yaitu14:

a. Memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya

b. Menyelesaikan akta sampai tahap yang diminta oleh klien

c. Memberitahukan kepada klien perihal selesainya pendaftaran dan pengumuman, dan atau mengirim kepada atau menyuruh mengambil akta yang sudah di daftar atau Berita Negara yang sudah selesai dicetak tersebut oleh klien yang bersangkutan

d. Memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat

e. Memberikan jasa kepada masyarakat yang kurang mampu dengan cuma-cuma

f. Dilarang menahan berkas seseorang dengan maksud memaksa orang itu membuat akta kepada notaris yang menahan berkas itu

g. Dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani akta orang buatan orang lain sebagai akta buatan notaris yang bersangkutan

(11)

h. Dilarang mengirim minuta kepada klien atau klien-klien yang bersangkutan

i. Dilarang membujuk-bujuk atau dengan cara apapun memaksa klien membuat akta kepadanya, atau membujuk-bujuk seseorang agar pindah dari notaris lain.

j. Dilarang membentuk kelompok di dalam tubuh INI dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan anggota lain untuk berpartisipasi.

4. Etika Hubungan Dengan Sesama Rekan Notaris

Selain ada ketentuan (kode etik) yang mengatur pribadi Notaris, Etika dalam pelaksanaan Jabatan, dan etika pelayanan terhadap klien, terhadap Notaris juga berlaku kode etik yang mengatur hubungan notaris dengan sesama rekan notaris.

Pertambahan jumlah Notaris yang jauh lebih cepat dari kebutuhan masyarakat di suatu tempat, menyebabkan kompetisi di antara para Notaris untuk mendapatkan klien. Berbagai cara dan metode pun dipergunakan oleh notaris untuk mendapatkan klien. Hal ini tentu tidak baik bagi profesi Notaris, persaingan sesama Notaris yang semakin ketat, jika tidak diatur dalam koridor kode etik, tentu akan menyebabkan dekadensi dan degradasi nilai dan martabat jabatan Notaris.

Dalam Kode Etik Hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia tahun 2005, pengaturan tentang etika hubungan sesama Notaris diatur lebih jelas dan rinci, misalnya sebagaimana diatur Pasal 3 ayat 15 Kode Etik Notaris yang menyatakan :

“Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan seharihari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.”

Dengan mewajibkan setiap Notaris untuk menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersama dengan sesama Notaris, maka diharapkan tidak muncul sikap

(12)

persaingan diantara sesama Notaris, dan sebaliknya tercipta sikap saling menghormati dan saling bekerjasama diantara sesama rekan notaris.

5. Etika Pengawasan

Jabatan identik dengan wewenang dan kekuasaan, dan Notaris merupakan pejabat umum yang wewenangnya diatur dengan Undang-undang. Pelaksanaan wewenang dalam pelaksanaan tugas jabatan tersebut sudah tentu perlu diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (abuse of power).

Mekanisme pengawasan terhadap Notaris saat ini dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1) Pengawasan Internal

Pengawasan Internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh Organisasi Notaris terhadap Notaris yang dilakukan secara berjenjang mengenai pelaksanaan kode etik yang berlaku terhadap notaris.

2) Pengawasan Eksternal

Bentuk dan mekanisme pengawasan kedua yang berlaku terhadap Notaris adalah pengawasan Eksternal yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Majelis Pengawas. Ketentuan terhadap pengawasan Eksternal terhadap Notaris ini diatur dalam UUJN, khususnya dalam pasal 67 sampai dengan Pasal 81. Majelis Pengawas sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat (3) UUJN terdiri dari 9 orang, yang komposisinya berasal dari 3 unsur dengan jumlah yang sama, yaitu 3 orang dari unsur pemerintah, 3 orang mewakili organisasi notaris, dan 3 orang mewakili ahli (akademisi). Pengawasan terhadap Notaris melalui Majelis Pengawasan dilakukan secara berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUJN. Di Tingkat daerah Kabupaten/kota dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD), kemudian dilanjutkan oleh Majelis Pengawas Wilayah (MPW) yang berada di tingkat Propinsi, dan terakhir berujung di Majelis Pengawas Pusat (MPP) yang berkedudukan di ibukota Negara di Jakarta.

(13)

3. Wewenang dan Tugas Notaris

Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.15 Setiap wewenang yang diberikan kepada suatu jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar suatu jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.16

Wewenang utama dari seorang Notaris adalah untuk membuat akta Otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, namun selain kewenangan utama tersebut, Notaris juga mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUJN:

Pasal 15

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;

g. Membuat akta Risalah Lelang.

15 Habib Adjie, op.cit., hlm 26. 16 Ibid.

(14)

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, terdapat batasan mengenai wewenang Notaris tersebut yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu:17

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu. Seorang Notaris hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

Seorang Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Di dalam Pasal 52 (1) UUJN ditentukan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis lurus samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah Kabupaten atau kota. Pada Pasal 18 ayat (2) UUJN menentukan bahwa Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dari pasal-pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di empat kedudukannya, karena wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.

(15)

Akta yang dibuat oleh seorang Notaris di luar wilayah jabatannya dinyatakan tidak sah.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga Notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya).

Dari uraian mengenai wewenang seorang Notaris tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa tugas utama dari seorang Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Dimana akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut berfungsi sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Selain tugas pokok tersebut Notaris juga memiliki tugas yang lain yaitu:18

1. Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.

2. Mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

3. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

4. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

5. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. 6. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. 7. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

8. Membuat akta Risalah Lelang.

9. Tugas-tugas lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

18 Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No.30 tahun 2004, LN No.119 Tahun

(16)

4. Hubungan Hukum Notaris dengan Para Pihak/Penghadap

Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan atau perbuatannya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan kemudian Notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada Notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter19: 1. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk

pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu;

2. Mereka yang datang ke adapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik;

3. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan

4. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.

Pada dasarnya bahwa hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat akta di hadapan atau oleh Notaris tidak dapat dikonstruksikan atau ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan antara Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan dengan Pasal 1869 BW, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan atau karena akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum, maka hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena20:

1. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan

2. Tidak mampunya Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta 3. Akta Notaris cacat dalam bentuknya.

19 Habib Adjie, op.cit., hlm 19 20 Ibid.

(17)

Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, bedasarkan adanya21:

1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai Perbuatan Melawan Hukum.

2. Ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam: a. Teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN,

b. Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.

Sebelum seorang Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa22: 1. Adanya diderita kerugian;

2. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris terdapat hubungan kausal;

3. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.

B. Tinjauan Umum Tentang Akta Otentik 1. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis

Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian.23

Dalam Hukum (Acara) Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum, terdiri dari:

1. Bukti tulisan

2. Bukti dengan saksi-saksi

21 Ibid. hlm. 20. 22 Ibid.

(18)

3. Persangkaan-persangkaan 4. Pengakuan

5. Sumpah

Kewenangan dan tugas utama seorang Notaris selaku Pejabat Umum adalah membuat akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.24 Menurut Pasal 1868 KUH Perdata yang dimaksud dengan akta otentik adalah:

“Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu dimana akta itu dibuat.”

Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur suatu akta otentik yaitu yaitu:

1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

3. Akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat, jadi akta itu harus dibuat di wilayah kewenangan pejabat yang membuatnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka jelas bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”. Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik ialah Notaris, Hakim, Juru Sita pada suatu pengadilan, pejabat Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu akta Notaris, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh Juru Sita, surat putusan Hakim, surat perkawinan yang yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.25

Keistimewaan suatu akta otentik adalah merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang

24 Ibid., hlm.33.

25 I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, cet.2, (Jakarta:Kesaint Blanc, 2007),

(19)

mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta, merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.26 Jadi apabila terjadi sengketa antara para pihak yang terikat dalam sebuah perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta otentik, maka yang tersebut dalam akta tersebut merupakan bukti yang sempurna dan tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lain, sepanjang pihak lain tidak membuktikan sebaliknya.

Akta di bawah tangan masih dapat disangkal. Akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh kedua belah pihak atau dikuatkan lagi dengan alat bukti lain.

Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan keduanya merupakan alat bukti tertulis. Perbedaan akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah:27 1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, sedang mengenai tanggal dari

akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian;

2. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang, sedangkan akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal melainkan bebas;

3. Akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang, sedangkan akta di bawah tangan dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan;

4. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya sedangkan akta di bawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti halnya akta otentik apabila diakui/tidak disangkal oleh para pihak yang menandatangani akta tersebut;

5. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedang akta yang dibuat dibawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

26 Ibid., hlm.13. 27 Ibid., hlm.17.

(20)

6. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik

Pada sebuah akta otentik, dengan demikian juga akta Notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu:28

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah

Yaitu kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, karena akta dibawah tangan baru berlaku sah apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian lahiriah ini membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan, akan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tertulis dalam akta itu kedua belah pihak telah menghadap pejabat umum dan telah menerangkan apa yang dtulis dalam akta tersebut. 2. Kekuatan Pembuktian Formal

Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran dari tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir, demikian juga tempat di mana akta itu dibuat. Sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke acte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Sepanjang mengenai akta partai (partij acte), bahwa para pihak menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri.

3. Kekuatan Pembuatan Material

Bahwa akta tersebut membuktikan kepada para pihak yang bersangkutan, bahwa tentang apa yang dituangkan dalam akta tersebut sungguh-sungguh telah terjadi atau dijamin kebenarannya.

(21)

2. Bentuk dan Jenis Akta Notaris

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN, yang terdiri dari:

(1) Setiap akta Notaris terdiri atas: a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan;

c. Akhir atau penutup akta.

(2) Awal akta atau kepala akta memuat; a. Judul akta;

b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat:

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan , jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;

c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan; dan

d. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana diamaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada;

c. Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

(22)

Akta notaris terdiri dari 2 (dua ) jenis yaitu:29

a. Akta Pejabat (ambtelijke acte) atau akta verbal (verbaal acte), yaitu apabila akta Notaris itu hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh Notaris sebagai pejabat umum, contohnya: Berita Acara yang dibuat oleh Notaris dari suatu rapat pemegang saham dari Perseroan Terbatas. b. Akta Partai atau akta pihak-pihak (partij acte), yaitu apabila akta tersebut

selain memuat catatan tentang apa yang dialami dan disaksikan oleh Notaris, memuat juga apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menghadap para Notaris, contohnya: perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual-beli dan sebagainya.

Perbedaan pengertian dari Akta Pejabat atau akta verbal (ambtelijke acte) dengan Akta Partai (partij acte) adalah Akta Pejabat yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat, sedangkan Akta Partai adalah akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat.

Perbedaan sifat dari 2 (dua) jenis akta tersebut adalah Akta Pejabat atau akta verbal (ambtelijke acte) masih merupakan alat bukti yang sah sebagai suatu alat pembuktian apabila ada satu atau lebih diantara penghadapnya tidak menandatangani, tetapi oleh Notaris disebutkan alasan mereka tidak menandatangani akta tersebut. Sedangkan dalam Akta Partai (partij acte), hal tersebut akan menimbulkan akibat yang lain. Sebab apabila salah satu pihak tidak menandatangani aktanya, maka dapat diartikan bahwa pihak tersebut tidak menyetujui atau mengakui apa yang tertuang alam akta tersebut, kecuali didasarkan atas alasan yang kuat, terutama dalam bidang fisik dan dia menggunakan cara yang lain untuk menunjukkan persetujuannya, misalnya pihak tersebut tidak dapat menulis atau tangannya patah sehingga tidak dapat menulis sehingga menggunakan cap jempol sebagai tanda persetujuannya, dan alasan tersebut oleh Notaris harus dicantumkan dalam aktanya dengan jelas.

Dalam hubungannya dengan apa yang diuraikan di atas, maka yang pasti secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain, adalah:30

29 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hlm.51. 30 Ibid, hlm. 53.

(23)

1. Tanggal dari akta itu;

2. Tandatangan–tandatangan yang ada dalam akta itu; 3. Identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten)

4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Yang dimaksud dengan pihak adalah mereka yang berkeinginan dan bisa atau mungkin berkeinginan agar akta itu menjadi alat bukti dari keterangan lisan mereka dalam bentuk tulisan mengenai segala tindakan mereka, baik oleh yang berkepentingan langsung sendiri ataupun oleh orang lain selaku wakil/kuasa dari pihak tersebut.

Untuk membuat akta partai (partij acte) pejabat tidak pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam membuat akta pejabat (ambtelijke acte) justru pejabatlah yang bersifat aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu akta pejabat tidak sepert akta partai yang berisikan keterangan para pihak sendiri yang dituangkan oleh pejabat kedalam akta.

HIR dan RBG serta KUH Perdata hanya mengatur kekuatan pembuktian akta otentik yang berbentuk akta partai yaitu akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum atau permintaan para pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan Pasal 165 HIR/285 RBG/1870 KUH Perdata, para ahli menyimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat dalam arti bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim atau harus dianggap sesuatu yang benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Sempurna dalam arti bahwa dengan akta otentik tersebut sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain.”

Kekuatan pembuktian yang sempurna dari akta partai (acte partij) hanya berlaku antara kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 165 HIR, 285 RBg, dan Pasal 1870 KUH Perdata. Sedangkan terhadap orang lain (pihak

(24)

ketiga), akta tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, melainkan hanya sebagai alat pembuktian bebas artinya penilaiannya diserahkan kepada hakim.

Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke acte), akta ini mempunyai kekuatan sebagai keterangan resmi dari pejabat yang bersangkutan mengenai keterangan tentang apa yang dialami. Akta otentik ini berlaku terhadap setiap orang.

3. Syarat Sahnya Akta Notaris

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya. Oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yang terdiri dari:

1. Syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH Perdata). Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak.

Unsur-unsur dari kesepakatan diantara para pihak, yaitu: a) tidak ada paksaaan;

b) tidak ada kekhilafan; c) tidak ada penipuan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUHPerdata). Unsur-unsurnya:

a) bukan orang yang belum dewasa; b) bukan orang di bawah pengampuan;

c) seorang isteri menurut ketentuan KUHPerdata;

d) semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian.

(25)

2. Syarat obyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari:

a. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUHPerdata). Unsur-unsurnya: a) barang-barang yang bernilai ekonomis;

b) barang-barang yang dapat diperdagangkan; c) macam dan jenisnya tertentu.

b. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUHPerdata). Unsur-unsurnya: a) sesuatu yang tidak dilarang oleh Undang-undang;

b) sesuatu yang tidak bertentangan dengan kesusilaan; c) sesuatu yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Akta Notaris yang Dapat Dibatalkan dan Batal Demi Hukum

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat Subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.31

Maka apabila dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut dinyatakan batal demi hukum.32

Akta Notaris dapat dibatalkan apabila akta tersebut tidak memenuhi unsur subjektif akta, yaitu:

1. Tidak memenuhi unsur kesepakatan mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

31 Habib Adjie, op.cit., hlm 38. 32 Ibid, hlm. 39.

(26)

Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dapat menyebabkan suatu perjanjian “cacat” dari unsur subjektifnya adalah: a. Kekhilafan33

Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilah tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang, terjadi misalnya seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang, terjadi misalnya jika seorang Direktur opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya eorang penyanyi yang terkenal, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang sama.

b. Paksaan

Paksaan adalah suatu ancaman melawan hukum yang akan menimbulkan suatu kerugian terhadap seseorang atau harta bendanya, dengan maksud agar orang itu melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.34

Pada Pasal 1323 KUH Perdata disebutkan bahwa:

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”

Paksaan yang dimaksudkan disini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (physics), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.35Jadi salah satu pihak dalam perjanjian memberikan

33 Subekti, Hukum Perjanjian, cet.21 (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), hlm. 23. 34

Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2007), hlm. 408.

(27)

persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian.

Pada Pasal 1324 KUH Perdata, disebutkan bahwa:

“Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang nyata.”

“Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.”

Yang diancamkan itu suatu tindakan yang terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh Undang-undang, misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak akan dapat dikatakan hal tersebut merupakan suatu paksaan.

c. Penipuan36

Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya. Menurut Yurisprudensi, tak cukuplah kalau orang itu melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil diatas.

2. Tidak memenuhi unsur kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa:

(28)

Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah: a. Orang-orang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Pasal 330 KUH Perdata menentukan sebagai berikut:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.”

Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggungjawabnyadan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampuannya.

KUH Perdata juga memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami, tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Namun sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya.37

Pasal 1331 KUH Perdata menyebutkan:

Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu (pasal 1330) dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal–hal di mana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.

Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-37 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:Citra

(29)

perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat persetujuan.

Akta Notaris dinyatakan batal demi hukum apabila akta tersebut tidak memenuhi unsur objektif akta, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.

Selain karena melanggar syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dalam Pasal 84 UUJN juga ditentukan ada 2 jenis sanksi perdata jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu:38

1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum.

Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena:39

1. Tidak bewenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau 2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau 3. Cacat dalam bentuknya.

38 Habib Adjie, op.cit., hlm 99. 39 Ibid., hlm. 100.

(30)

Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yaitu:40

1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. 2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) UUJN, yaitu jika Notaris

pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta.

3. Melanggar ketentuan Pasal 41 UUJN dengan menunjuk kepada Pasal 39 UUJN dan Pasal 40 UUJN, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan:

a. Pasal 39 UUJN bahwa:

1) Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.

2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan melawan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

c. Melanggar ketentuan Pasal 52 UUJN, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan 40 Ibid., hlm. 101 et seq.

(31)

kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, atau dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

Akta Notaris dinyatakan batal demi hukum selain karena melanggar unsur objektif syarat sahnya suatu perjanjian juga karena melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UUJN, yaitu:41

1. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam waktu lima hari pada Minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).

2. Melanggar kewajiban sebagaimana termasuk dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k UUJN, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesian dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.

3. Melanggar ketentuan Pasal 44 UUJN, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penerjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, notaris dan penerjemah resmi. 4. Melanggar ketentuan Pasal 48 UUJN, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak

memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris atas pengubahan atau penambahan berupa tulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian, atau pencoretan.

5. Melanggar ketentuan Pasal 49 UUJN, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang tidak dibuat di sisi kiri akta, tetapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

(32)

6. Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka. Hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula dan jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan.

7. Melanggar ketentuan Pasal 51 UUJN, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

C. Perbuatan Melawan Hukum

Meskipun pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum.42

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Istilah “perbuatan melawan hukum” ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”. Kata tort itu sebenarnya hanya berarti “salah” (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak.43 Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatge daad) dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari kata latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong” berasal dari kata “wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).

42 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),

hlm. 1.

(33)

Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa latin, yaitu: Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya).44

Menurut pasal 1365 KUH Perdata, maka yang disebut dengan perbuatan melawan hukum adalah :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Rumusan-rumusan mengenai perbuatan melawan hukum, menurut para pakar hukum:

a. Moegni Djojodihardjo merumuskan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diartikan sebagai suatu prbuatan atau kealpaan yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatnnya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.

b. Mengutip Keeton, Munir Fuady menyampaikan rumusan-rumusan tentang perbuatan melawan hukum, yaitu suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti rugi kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban lainnya.

Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan melawan hukum adalah:45

a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum.

44 Ibid. 45 Ibid., hlm. 5.

(34)

b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya.

c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.

Saat ini perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut:46

a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUH Perdata. Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak sebagai berikut:

1) Hak-hak pribadi 2) Hak-hak kekayaan 3) Hak-hak kebebasan

4) Hak atas kehormatan dan nama baik

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri

Suatu perbuatan juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum” ini, yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan

Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi pihak lain , maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum.

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik

(35)

Seseorang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain meskipun tidak melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.

Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:47

a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.

b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, di mana perbuatan atau tidak berbuat sesuatu baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu keelakaan.

c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.

d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti rugi kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban lainnya.

e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan

hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.

(36)

2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum

Apabila mengacu pada Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:48

a. Adanya suatu perbuatan

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan tersebut dapat berarti berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif).

b. Perbuatan tersebut melawan hukum

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku 2) Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum

3) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 4) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan

5) Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Pasal 1365 mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum. Suatu tindakan diangap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehinga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya unsur kesengajaan, atau

2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.

d. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi korban

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dikenakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil,

(37)

yuriprudensi juga mengakui konsep immateril, yang juga akan dinilai dengan uang.

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Kerugian yang dialami oleh si korban haruslah memiliki hubungan kausal dengan perbuatan si pelaku. Seandainya tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku maka tidak ada kerugian yang dialami si korban.

3. Pengelompokan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:49

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

Dalam perbuatan melawan hukum, unsur kesengajaan baru dianggap ada manakala dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan konsewkuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau properti dari korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.

Unsur kesengajaan tersebut dianggap ada dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:50

1) Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan.

2) Adanya konsekuensi dari perbuatan, jadi bukan hanya adanya perbuatan saja.

3) Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.

Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat “maksud” dari pihak pelakunya. Istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu. Dalam hal ini perlu dibedakan antara istilah “maksud” dengan “motif”. Sebagai contoh: Misalkan seseorang yang menyulut api ke sebuah mobil, tentu tindakan tersebut mempunyai “maksud”

49 Ibid., hlm. 45. 50 Ibid., hlm. 47.

(38)

untuk membakar mobil tersebut. Akan tetapi, motif dari membakar mobil tersebut bisa bermacam-macam, misalnya motifnya adalah sebagai tindakan balas dendam, protes, menghukum, membela diri dan lain-lain.

b. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian berbeda dengan perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Dengan kesengajaan, ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau paling tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan terjadi. Akan tetapi, dalam kelalaian tidak ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginannya untuk mencegah terjadinya kerugian tersebut.51 Dengan demikian, dalam perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan, niat atau sikap mental menjadi faktor dominan, tetapi pada kelalaian niat atau sikap mental tersebut tidak menjadi penting, yang penting dalam kelalaian adalah sikap lahiriah dan perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu mempertimbangkan apa yang ada dalam pikirannya.

Dalam ilmu hukum, suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu kelalaian apabila memenuhi unsur pokok sebagai berikut:52

1) Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan.

2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care). 3) Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut. 4) Adanya kerugian bagi orang lain.

5) Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

Mengenai kelalaian itu sendiri dikenal beberapa tingkatan dengan konsekuensi hukum yang saling berbeda-beda. Pada umumnya tingkatan kelalaian tersebut adalah sebagai berikut:53

1) Kelalaian ringan (slight negligence)

51 Ibid., hlm. 72. 52 Ibid. hal. 73. 53 Ibid., hal. 83.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Perjanjian pengikatan jual beli tanah yang dibuat dihadapan notaris mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu akta otentik yang mengikat kedua

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2009, hlm.. B mendapat objek sengketa, dengan Akta hibah yang dikeluarkan oleh Notaris X yang turut menjadi tergugat,

fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan peran notaris dalam pembuatan akta. pemberian

Hasil penelitian adalah kedudukan daripada akta perdamaian merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum terkuat dan terpenuh dan dibuat oleh notaris

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Perjanjian pengikatan jual beli tanah yang dibuat dihadapan notaris mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu akta otentik yang mengikat kedua

Karena itu akta pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris hanya merupakan perjanjian pendahuluan untuk mengikat kedua belah pihak pada suatu waktu-waktu nanti

Terkait dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta sebagaimana dalam putusan pengadilan mahkamah agung No 3124 K/ Pdt/ 2013, melalui putusannya, hakim menyatakan batal dan

Adapun judul tesis ini adalah “ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN NOMINEE.” Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat