• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA WASIAT YANG BAGIANNYA MELEBIHI KETENTUAN HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN NO. 0731/PDT.G/2013/PA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA WASIAT YANG BAGIANNYA MELEBIHI KETENTUAN HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN NO. 0731/PDT.G/2013/PA."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

TUTINING RHOMLAH 167011220 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TUTINING RHOMLAH 167011220 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum

2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum 4. Dr. Yefrizawati, SH, MHum

(5)

Nim : 167011220

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP

PEMBATALAN AKTA WASIAT YANG BAGIANNYA MELEBIHI KETENTUAN HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN NO. 0731/PDT.G/2013/PA.RBG)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : TUTINING RHOMLAH Nim : 167011220

(6)

maksimal harta wasiat yang dapat diwasiatkan kepada pihak lain oleh si pewasiat adalah sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki oleh si pewasiat, hal tersebut untuk melindungi hak ahli waris dari si pewasiat. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan hukum tentang pembuatan akta wasiat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bagaimana tanggung jawab notaris menurut UUJN terkait pembuatan akta wasiat yang melebihi ketentuan KHI, dan bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan No. 0731/Pdt.G/2013/PA.Rbg.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah KUH Perdata, KHI, UUJN dan Putusan No. 0731/Pdt.G/ 2013/PA.Rbg.

Penelitian ini juga didukung dengan studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Agama yaitu M.Kusen Raharjo, Hakim Pengadilan Agama Blambangan Umpu dan Devi Oktari, Hakim Pengadilan Agama Kisaran serta 2 orang notaris yaitu Yoga Mahendra Kesuma, Notaris PPAT Kabupaten Ngawi Jawa Timur dan Ida Rosida, Notaris PPAT Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut.

Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah dalam ketentuan buku KUH Perdata Bab XIII Buku Kedua yaitu Pasal 874 sampai dengan Pasal 1004 yang menyatakan bahwa, untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat seseorang harus mempunyai akal sehat dan telah dewasa. Dalam KHI termuat ketentuan Pasal 194 sampai dengan Pasal 209. Notaris harus terlebih dahulu menanyakan keinginan dari si pewasiat dalam bentuk tulisan akta autentik apakah harta yang diwasiatkan tersebut adalah benar-benar hartanya sendiri sesuai ketentuan Pasal 194 ayat (2) KHI, selain itu notaris juga harus menanyakan apakah harta yang akan diwasiatkan tersebut telah disetujui oleh para ahli warisnya dan harus memberitahukan kepada si pewasiat bahwa harta yang akan diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga bagian dari keseluruhan harta si pewasiat, hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 195 ayat (2) KHI. Penggugat telah menjadikan LL binti Y yang berumur 17 tahun sebagai pihak Tergugat III, hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 330 KUH Perdata jo Pasal 98 ayat (1) KHI karena belum cakap di mata hukum.

Apabila harta yang dimaksud itu memang merupakan warisan yang diperoleh dari AM binti ZB dari pewaris ZB bin MS dan kemudian dikuasai oleh para tergugat, maka hal itu merupakan sengketa hak milik. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka gugatan penggugat adalah kabur (obscuur libel) dan oleh karenanya patut untuk tidak diterima (niet onvankelijke verklaart).

Kata Kunci : Tanggung Jawab Notaris, Pembatalan Akta Wasiat dan Melebihi Ketentuan

(7)

property to protect his heir. The research problems are how about the regulation on making a will according to the prevailing legal provisions in Indonesia, how about the liability of a UUJN on Notarial Position concerning making a will which exceeds KHI, and how about judge’s legal consideration in the Regulation No. 0731/Pdt.G//2013/PA.Rbg.

The research used juridical normative method which analyzed legal provisions in the Civil Code, KHI, UUJN, and Regulation No.

0731/Pdt.G//2013/PA.Rbg. Field study was done by conducting interviews with 2 (two) judges of the Religious Court, Mr. M. Kusen Raharjo, the judge of Blambangan Umpu Religious Court, and Devi Oktari, the judge of Kisaran Religious Court, and 2 (two) notaries: Yoga Mahendra Kesuma, Notary/PPAT in Ngawi Regency, East Java, and Ida Rosida, Notary/PPAT in Pekalongan Regency, Central Java. The research used descriptive analytic method to describe, explain, and analyze the problems and to find the right answers and the solution.

The result of the research, based on the Civil Code, Chapter XIII, Book Two, Article 874 until Article 1004, showed that a person has to be mentally health and an adult. Article 194 until Article 209 of KHI states that a Notary is required to ask the testator in a written Deed whether the property belongs to him as stipulated in Article 194, paragraph 2 of KHI, whether the other heirs have agreed, and only one third of the property which is allowed to be given as it is stipulated in Article 195, paragraph 2 of KHI. The Plaintiff has made LL binti Y, a 17 year-old girl as the Defendant III as it is stipulated in Article 330 of the Civil Code in conjunction with Article 98, paragraph 1 of KHI since she is not an adult yet. When the property is the inheritance controlled by defendants, it becomes a dispute in ownership. Based on this consideration, the plaintiff’s claim is obscure (obscuur libel); therefore, the case is not accepted (niet onvankelijke verklaart).

Keywords: Notary’s Liability, Revocation of Will, Exceeding Regulation

(8)

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA WASIAT YANG BAGIANNYA MELEBIHI

KETENTUAN HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN NO.

0731/PDT.G/2013/PA.RBG)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Prof. H. M.

Hasballah Thaib, MA, Ph.D, Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum dan Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Kepada Dosen penguji Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Dr.

Yefrizawati, SH, M.Hum yang telah memberikan masukan / arahan sehingga memperkaya tesis ini.

(9)

rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

Terima kasih teramat dalam kepada kedua orangtua H. Rachmat dan Hj.

Nurjanah, S.Ag, MHI terima kasih atas doanya. Terima kasih kepada Suami tercinta Ahmad Adib, SH, MH, dan anak-anakku tersayang Allarick Haedar Ahmad dan Daneesha Zahwa Camila yang selalu memberikan dukungan dan

(10)

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Oktober 2018 Penulis

Tutining Rhomlah

(11)

Nama : Tutining Rhomlah

Tempat / Tgl. Lahir : Pekalongan / 4 Maret 1983

Alamat : Rumdin PN Kisaran

Jl. Syeich Ismail No. 4 Kelurahan Teladan Kisaran Timur Kabupaten Asahan

Status : Menikah

Agama : Islam

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri Keputran 06 Pekalongan 1989-1995

2. SLTPN 2 Pelalongan 1995-1998

3. MA Futuhiyyah 2 Mranggen Demak 1998-2001 4. S1 Universitas Islam Malang 2001-2005 5. S2 Program Studi Magister Kenotariatan 2016-2018

Fakultas Hukum USU

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 21

2. Sumber Data ... 22

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 23

4. Analisis Data ... 24

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBUATAN AKTA WASIAT BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 25

A. Pengertian Wasiat... 25

B. Wasiat Dalam Fikih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 37

C. Pengaturan Hukum Tentang Pembuatan Akta Wasiat Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Indonesia... 48

(13)

HUKUM ISLAM (KHI)... 59

A. Kewenangan Dan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum... 59

B. Kekuatan Hukum Akta Wasiat Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Bentuk Akta Autentik... 65

C. Peranan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Wasiat Yang Melebihi Ketentuan KHI ... 73

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN NO. 0731/PDT.G/2013/PA.RBG ... 88

A. Kasus Posisi Perkara Sengketa Surat Wasiat dalam Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 0731/PDT.G/2013/PA.Rbg. 88 B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 0731/PDT.G/2013/PA.Rbg. 98 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN

(14)

A. Latar Belakang

Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan. Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia. Dalam pelaksanannya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan baik. Hal di atas merupakan pengertian wasiat yang berhubungan dengan harta peninggalan dalam hukum kewarisan. Wasiat dapat juga diartikan nasihat-nasihat atau kata-kata yang disampaikan atau dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan setelah ia meninggal dunia. Wasiat yang demikian berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia, misal seseorang berwasiat kepada orang lain agar menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutangnya atau mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya.1

Pasal 49 ayat 3 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama menyatakan bahwa bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah: penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahil waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Ditinjau dan segi ketentuan hukum waris Islam. Hal-hal yang termasuk dalam masalah penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi:

1Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.

104

(15)

1. Penentuan harta tirkah yang dapat diwarisi (semua harta yang ditinggal pewaris, berupa hak milik kebendaan atau hak milik lain yang tidak berupa benda).

2. Penentuan besarnya harta warisan adalah penjumlahan dari harta tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknya dan harta bersama dikurangi biaya keperluan jenazah dan hutang pewaris serta wasiat. 2

Pada dasarnya wasiat merupakan kewajiban moral bagi seseorang untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya. Karena orang itu telah banyak berjasa atau membantu kehidupan usahanya, sedangkan orang tersebut tidak termasuk keluarga yang memperoleh bagian waris.3 Artinya bahwa wasiat tersebut merupakan penyempurnaan dalil hukum kewarisan yang telah disyari’atkan.

sesuai firman Allah SWT dalam ayat berikut:

“diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda— tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara ma‘ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah mendengarnya, maka sungguh dosanya adalah bagi orang-orang yang megubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “(Q. S. A1-Baqarah: 180-181).

Pelaksanaan wasiat tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan KHI tapi juga dalam KUH Perdata. Wasiat dalam hukum Islam berasal dan bahasa Arab, yaitu washiyyah yang berarti suatu tasharuf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggalnya orang yang berwasiat.

Imam Abu Hanifah mendefinisikan wasiat sebagai pemberian hak memiliki secara

2Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 149

3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 155

(16)

tabarru’ (sukarela) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa

kematian dan orang yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang atau manfaat. Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat merupakan sesuatu perikatan yang mengharuskan penerima wasiat memperoleh hak 1/3 harta peninggalan si pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta tersebut kepada si penerima wasiat sepeninggal pewasiat.4

Imam Syafii mendefinisikan wasiat sebagai amal sedekah dengan suatu hak yang disandarkan kepada keadaan setelah mati, baik cara menyandarkan itu dengan ucapan ataupun tidak sedangkan Imam Hambali menjelaskan bahwa w

Para ulama sepakat bahwa pengertian wasiat ialah pernyataan atau perkataan seseorang kepada orang lain untuk memberikan kepada orang itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat sesuatu barang kepunyaannya setelah ia meninggal dunia. Seperti si A berwasiat kepada si B bahwa ia memberikan hartanya kepada B, sehingga B memiliki separuh tanah A yang terletak di kota C bila ia telah meninggal dunia. Setelah A meninggal dunia, maka B memiliki separuh tanah A yang terletak di kota C.

Menurut Pasal 171 huruf (f) KHI, yan asiat adalah menyuruh orang lain agar melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.5 g dimaksud dengan wasiat ialah pemberian sesuatu benda kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.”6

4R. Subekti dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Bandung, cetakan ke-31,Tahun 2001, hak. 87

5 Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Universitas Al Azhar Medan, 2010, hal. 189

6 Ali Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam, Az Wajah Presindo, Yogyakarta, 2012, hal. 77

(17)

Definisi menurut KHI tersebut berarti agar terjadi wasiat maka harus ada rukun wasiat, yaitu pewasiat, penerima wasiat, dan benda yang diwasiatkan.

Sedangkan klausula wasiat adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku (mempunyai kekuatan hukum tetap) apabila yang memberikan telah meninggal dunia. Sehingga, pada dasarnya wasiat dalam KHI merupakan pemberian yang digantungkan pada kejadian tertentu baik pemberian tersebut dengan atau tanpa persetujuan dan yang diberi. KUH Perdata menyebut wasiat dengan akta wasiatt (yaitu kehendak terakhir), bahwa apa yang dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia, dan juga dalam arti surat yang memuat ketetapan tentang hal tersebut. Sehingga akta wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah meninggal dunia, yang mana hal tersebut dapat dicabut kembali.7

Prosedur dan tata cara pembuatan wasiat dalam Islam termuat dalam ketentuan Pasal 195 ayat 1 dan 2 KHI, yang menyebutkan bahwa: (1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau tertulis di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau di hadapan notaris. (2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Dari ketentuan Pasal 195 ayat 1 dan 2 di atas maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan wasiat dapat dilakukan dengan lisan, tertulis di bawah tangan dan juga tertulis dengan menggunakan akta autentik. Penggunaan akta autentik yang dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas adalah dengan menggunakan akta autentik notaris.8

7Ali Zainudin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.68

8Abdul Ghobur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonsia, Yogyakarta, 2008, hal. 87

(18)

Notaris merupakan jabatan kepercayaan sekaligus sebagai salah satu profesi di bidang hukum yang bertugas memberikan pelayanan dan menciptakan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat dengan cara melakukan pembuatan akta autentik dalam suatu perbuatan hukum melakukan legalisasi dan warmerking terhadap surat-surat di bawah tangan. Akta autentik Notaris

merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang melaksanakan perbuatan hukum tertentu yang memuat hak dan kewajiban para pihak yang diuraikan secara jelas dalam akta autentik Notaris tersebut.9

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014, dan selanjutnya disebut dengan UUJN, notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini atau berdasarkan undang undang lainnya.

Notaris disebut juga sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan pejabat pemerintah yang ada dalam masyarakat, notaris juga ikut menjaga kewibawaan dalam melaksanakan tugasnya, karena akta autentik yang dibuatnya juga merupakan dokumen negara, meskipun notaris tidak digaji oleh negara, tetapi notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara melalui Menteri Hukum dan HAM.10

9 Abdul Bari Azed, Profesi Notaris sebagai Profesi Mulia, Media Ilmu, Jakarta, 2012, hal.68

10R.Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, 2013, hal.75.

(19)

Akta autentik notaris memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan bahwa,

“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik atau dengan tulisan dibawah tangan”. Pasal 1868 KUH Perdata selanjutnya menyebutkan bahwa,

“Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat”. Alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta autentik notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan bantuan alat bukti yang lain. Akta autentik notaris tersebut dapat dijadikan alat bukti yang berdiri sendiri yang dengan kekuatan hukumnya dapat membuktikan sendiri kebenaran dan autentitas dari suatu perbuatan hukum yang termuat/diterangkan dalam akta autentik notaris tersebut. Undang -undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta autentik notaris tersebut, karena akta autentik itu dibuat oleh atau di hadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.11

Notaris dalam pembuatan akta wasiat tidak boleh melanggar ketentuan UUJN maupun ketentuan hukum pembuatan akta wasiat berdasarkan hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).12 Apabila pembuatan akta wasiat yang dilakukan oleh notaris melanggar ketentuan hukum waris dan hukum pembuatan akta wasiat berdasarkan hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka

11Abdul Bari Azed, Profesi Notaris sebagai Profesi Mulia, Media Ilmu, Jakarta, 2012, hal.68

12 Muhammad Arif, Prosedur Pembuatan Akta Wasiat Menurut KUH Perdata dan Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 39

(20)

autentisitas akta wasiat yang dibuat oleh notaris tersebut dapat terdegradasi menjadi akta di bawah tangan atau dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila ada pihak ketiga yang mengajukan gugatan ke pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan agama.13

Akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris meskipun telah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta autentik berdasarkan Pasal 16 huruf m UUJN, dimana dalam pembuatan akta wasiat yang dibuat secara autentik tersebut notaris wajib membacakan akta wasiat tersebut dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi, dan apabila akta wasiat tersebut dibuat di bawah tangan wajib dihadiri oleh empat orang saksi, dan ditandangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris, namun apabila akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pewasiatan, dimana harta yang diwasiatkan oleh pewasiat tersebut yang termuat dalam akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris melebihi dari batas maksimal yang bisa diwasiatkan (legitime portie) yakni maksimal sepertiga dari seluruh akta pewasiat, maka akta wasiat tersebut dapat digugat oleh para ahli waris sebagai pihak yang dirugikan ke Pengadilan Agama.14

Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 0731/Pdt.G/2013/PA.Rbg dalam perkara gugatan pembatalan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris dimana porsi harta yang diwasiatkan oleh pewasiat melebihi ketentuan

13 Riswandi Suhardinoto, Akta Wasiat Notaris Dalam Teori Dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 52

14Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hidun-Islam,. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 56

(21)

sebagaimana telah ditetapkan di dalam peraturan tentang pembuatan akta wasiat berdasarkan hukum Islam dan KHI, sehingga para ahli waris yang sah mengajukan gugatan pembatalan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris tersebut.

Kasus ini diawali dengan pengajuan gugatan oleh penggugat AM binti ZB terhadap K alias MR, SP dan LL sebagai para tergugat dan juga MAH notaris PPAT yang berkedudukan di desa Tireman Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang sebagai turut tergugat. Penggugat AM binti ZB adalah anak dari ZB bin MS dan MH binti ZY, dimana ZB bin MS adalah anak dari MS bin MR dengan SG binti RK, dengan demikian AM adalah cucu perempuan dari pasangan MS bin MR dengan SG binti RK yang menikah tahun 1913. Orangtua penggugat (ayah) AM binti ZB yaitu ZB bin MS meninggal dunia pada tanggal 15 Agustus 1988 dan ibunya MH binti ZY meninggal dunia pada tanggal 25 Oktober 1996. Selain ZB, pasangan MS bin MR dengan SG binti RK juga memiliki anak laki-laki bernama KH alias AC, yaitu yang dalam hal ini adalah si pembuat wasiat yang diajukan pembatalannya di Pengadilan Agama Rembang oleh Penggugat AM binti ZB.

Sebelum meninggal dunia ZB bin MS dan MH binti ZY orangtua dari penggugat AM binti ZB menitipkan tanah pemberian orangtuanya MS bin MR kepada KH alias AC bin MS yaitu 4 (empat) bidang tanah masing-masing seluas 670 m2, 8415 m2, 4504 m2, dan 4975 m2. Pada tanggal 18 Maret 2013 KH alias AC bin MS meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri bernama K alias MM binti RM. Sebelum meninggal dunia KH alias AC bin MS membuat akta

(22)

wasiat di hadapan Notaris PPAT MAH dengan No. 03 tanggal 05 Oktober 2013, yang isi wasiat tersebut adalah memberikan seluruh harta kekayaan dari MS bin MR yang dihibahkan kepada kedua anaknya yaitu KH alias AC bin MS dan ZB bin MS kepada tiga orang masing-masing K (istri KH alias AC bin MS), SP bin PT (anak angkat KH alias AC bin MS) dan LL binti YH (Anak dari SP bin PT, cucu dari KH alias AC bin MS).

Pembuatan akta wasiat yang menggunakan akta autentik notaris oleh KH alias AC bin MS tersebut yang memberikan seluruh harta kekayaan dari MS bin MR tersebut, di dalamnya terdapat pula harta dari MS bin MR yang telah dihibahkan kepada ZB bin MS. Penggugat AM binti ZB yang merasa dirugikan terhadap pembuatan akta wasiat tersebut, karena di dalam akta wasiat tersebut termuat pula pelaksanaan wasiat terhadap harta yang merupakan bagian dari orangtua penggugat AM binti ZB tersebut, maka Penggugat AM binti ZB mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Rembang.

Dalam amar putusannya No. 0731/Pdt.G./2013/PA.Rbg Pengadilan Agama Rembang mengeluarkan putusan sebagai berikut :

1. Gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaart).

2. Menghukum penggugat untuk membayar semua biaya perkara ini sebesar Rp 1.851.000 (satu juta delapan ratus lima puluh satu rupiah).

Berdasarkan permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini maka akan dilakukan pengkajian terhadap pengaturan hukum tentang pembuatan akta wasiat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tentang tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta wasiat yang mengandung

(23)

unsur melanggar ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan juga mengkaji serta menganalisis secara lebih mendalam tentang dasar pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Rembang dalam memutus gugatan pembatalan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris yang mengandung unsur melebihi ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam hukum perwasiatan. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembatalan Akta Wasiat Yang Bagiannya Melebihi Ketentuan Hukum Islam (Studi Putusan No. 0731/Pdt.G/2013/PA.Rbg)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang pembuatan akta wasiat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana tanggung jawab notaris menurut UUJN terkait pembuatan akta wasiat yang melebihi ketentuan KHI?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan No.

0731/Pdt.G/2013/PA.Rbg?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang pembuatan akta wasiat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

(24)

2. Untuk mengetahui tanggung jawab notaris menurut UUJN terkait pembuatan akta wasiat yang melebihi ketentuan KHI.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam Putusan No.

0731/Pdt.G/2013/PA.Rbg.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis di bidang hukum waris pada umumnya dan hukum perwasiatan pada khususnya berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

1. Secara Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum waris pada umumnya dan juga tentang ketentuan hukum perwasiatan pada khususnya, dalam hal batas maksimal harta kekayaan si pewasiat yang dapat diwasiatkan dalam suatu akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas maksimal harta kekayaan si pewasiat yang dapat diwasiatkan kepada penerima wasiat dapat mengakibatkan akta wasiat yang dibuat secara autentik tersebut digugat oleh pihak ketiga dalam hal pembatalannya.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hukum waris pada umumnya dan hukum perwasiatan pada khususnya, utamanya tentang ketentuan batas maksimal harta kekayaan pewasiat yang dapat diwasiatkan kepada penerima

(25)

wasiat sesuai ketentuan hukum Islam dan KHI, sehingga akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris tersebut dapat memiliki kekuatan hukum, keabsahan dan legalitas dalam pelaksanaanya saat pewasiat meninggal dunia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Rabithah Khairul, NIM. 087011056/MKn USU, dengan judul tesis

“Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat yang Beragama Islam dihadapan Notaris menurut Ketentuan Hukum Islam”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana kaidah dasar pemberian harta warisan melalui wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragam Islam

b. Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta wasiat wajibah apabila terjadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang beragama Islam?

c. Bagaimana akibat hukum jika pembagian harta warisan dengan wasiat wajibah kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan yang belaku?

(26)

2. Muhammad Ridwan, NIM. 077011022/MKn USU, dengan judul tesis “Peran dan Tanggung Jawab Notaris atas Akta Wasiat (akta wasiatt acte) yang dibuat dihadapannya”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Syarat-syarat apa sajakah yang harus dipenuhi oleh klien dalam pembuatan akta wasiat (akta wasiatt acte) agar dapat berlaku sah sebagai akta autentik?

b. Apa sajakah kewajiban yang harus dilakukan oleh notaris setelah akta wasiat (akta wasiatt acte) dibuat?

c. Sejauh manakah tanggung jawab notaris terhadap akta wasiat (akta wasiatt acte) yang dibuat dihadapannya?

3. Fransisca Maidhani, NIM. 077011016/MKn USU, dengan judul tesis

“Analisis Yuridis terhadap kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui oleh ahli waris dan penerima wasiat”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana prosedur dan tata cara pembuatan akta wasiat berdasarkan KUH Perdata?

b. Bagaimana akibat hukum pembuatan akta autentik wasiat yang dibuat notaris yang tidak diketahui ahli waris dan penerima wasiat?

c. Bagaimana kedudukan hukum akta wsiat yang dibuat secara autentik oleh notaris, yang tidak diketahui oleh ahli waris dan penerima wasiat?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya

(27)

sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan pegangan teoretis.15

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum dan keadilan. Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku kepada setiap warga negara agar setiap warga negara terlindungi hak-haknya dari perbuatan-perbuatan yang merugikan warga negara tersebut. Perlindungan hukum juga diberikan oleh para aparat penegak hukum dalam menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga hak-hak dan kewajiban setiap warga negara terlindungi secara baik dan tidak merugikan hak dan kewajibannya.

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu perbuatan dalam hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan

15JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203

(28)

suatu sanksi.16 Di negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila maka negara wajib memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga masyarakat sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan serta Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.17

Di dalam penelitian ini teori perlindungan hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisa permasalahan yang timbul di dalam bidang perwasiatan, dimana pembuatan akta wasiat yang dilakukan dengan menggunakan akta autentik notaris harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan para ahli waris dari si pewasiat harus memperoleh perlindungan hukum secara keseluruhan terhadap hak-haknya yang seharusnya memperoleh harta warisan dari si pewasiat tersebut, meskipun si pewasiat telah mewasiatkan hartanya kepada pihak lain sebelum pewasiat meninggal dunia. Para ahli waris harus memperoleh perlindungan hukum terhadap hak-haknya yang seharusnya diperoleh dari si pewasiat, pada saat si pewasiat tersebut meninggal dunia, dengan tetap mendapatkan harta warisan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu dalam hal wasiat ada batas maksimal dari harta pewasiat

16 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 84

17 Donni Gusmawan, Perlindungan Hukum di Negara Pancasila, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 38

(29)

yang dapat diwasiatkan kepada pihak lain yaitu maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat. Wasiat yang dilakukan oleh pewasiat boleh melebihi sepertiga dari keseluruhan harta yang dimiliki pewasiat namun dengan syarat dan ketentuan memperoleh ijin dan persetujuan dari para ahli waris yang sah.

Menurut Ibnu Wudamah, ahli Fiqh bermazhab Hambali, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah tercapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.18

Berlakunya adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.19

Menurut penelitian M. Quraish Shibah, paling tidak ada empat makna keadilan :

1. ‘adl dalam arti “sama”. Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada surat an-Nisa’ (4):3, 58 dan 129, Surat Asy-Syura (42): 15, Surat Al-Ma’dah (5) : 8, Surat An-Nahl (16): 76, 90 dan Surat Al-Hujurat (49) : 9. Kata ‘adl dengan arti sama (persamaan pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.

18Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut : Daar al-Kutub al Ilmiyyah, 2009, hal. 175

19QS. An-Nisa’ : 58, an QS Al Ma’idah : 8

(30)

2. ‘adl dalam arti “seimbang”. Pengertian ini ditemukan di dalam Surat al- Ma’idah (5) : 95 dan Surat al-Infithar (82) : 7. M. Quraish Shibah menjelaskan bahwa kesimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Keadilan di dalam pengertian “keseimbangan” ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian

‘keadilan Ilahi’.

3. ‘adl dalam arti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya”. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan

“menetapkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberikan pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain.

4. ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan KebaikanNya.20

Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT, tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak

20M. Quraish Syibah, Wawasan Al-Auw’an, Mizan, Jakarta, 2005, hal. 357

(31)

atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi- Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. Al ‘Imran (3) : 18, yang menunjukkan Allah SWT sebagai Qaiman bil-qisthi (yang menegakkan keadilan).

Di samping itu, kata ‘adil digunakan juga dalam berbagai arti, yakni 1. Kebenaran (Surat Al-Baqarah ayat 282)

2. Menyandarkan perbuatan kepada selain Allah dan atau menyimpang dari kebenaran (Surat AN-Nisa’ ayat 135)

3. Membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutuhanNya (musyrik) (Surat A-An’am ayat 1 dan 150

4. Menebus (Al-Baqarah ayat 48, 123 dan Surat Al-An’am ayat 70)21

Berkaitan dengan teori keadilan apabila dikaitkan dengan permasalahan pewasiatan yang dilakukan dengan menggunakan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris maka seluruh ahli waris harus memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan harta warisan dari si pewasiat, meskipun pewasiat tersebut telah mewasiatkan hartanya kepada pihak lain, namun ada batas maksimal dari harta tersebut yang dapat diwasiatkan kepada pihak lain yakni sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki si pewasiat, agar para ahli waris juga memperoleh hak-haknya dalam memperoleh harta warisan secara adil apabila pewasiat tersebut telah meninggal dunia. Oleh karena itu teori keadilan digunakan di dalam penelitian untuk memastikan bahwa hak-hak seluruh ahli waris tetap terjaga dan memperoleh haknya secara adil meskipun pewasiat ada mewasiatkan sebagian

21 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media perintis, Bandung, 2015, hal.97

(32)

dari harta yang dimilikinya kepada pihak lain, tanpa meniadakan hak-hak dari ahli waris yang sah dari pewasiat tersebut. Oleh karena itu perbuatan mewasiatkan harta yang dimiliki oleh si pewasiat tetap harus memegang teguh prinsip keadilan dalam melindungi hak-hak dari para ahli waris agar tetap memperoleh hak-haknya secara adil dalam hal pembagian harta warisan apabila si pewasiat telah meninggal dunia.22

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan “definisi operasional”.23 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini atau berdasarkan undang undang lainnya (Pasal 1 ayat 1 UUJN).

2. Wasiat adalah suatu kehendak dari si pewasiat dalam hal memberikan sebagian harta peninggalan yang dimilikinya kepada pihak lain melalui suatu kehendak baik lisan maupun tertulis, dengan diketahui atau tanpa

22Bahder Johan Nasution dan Waijiyati, Sri, Hukum Perdata Islam, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997

23Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum, Harvarindo, Jakarta, 2013, hal.59

(33)

diketahui oleh ahli waris yang lain maupun oleh si penerima wasiat itu sendiri.24

3. Akta wasiat adalah suatu akta autentik yang dibaut oleh notaris yang isinya merupakan kehendak dari si pewasiat agar dilaksanakan pada saat ia telah meninggal dunia dalam hal pemberian sebagian dari harta yang dimiliki oleh pewasiat tersebut kepada pihak lain.25

4. Tanggung jawab notaris adalah suatu pertanggungjawaban dari notaris sebagai pejabat umum atas pembuatan akta secara autentik apabila di kemudian hari terjadi permasalahan hukum berkaitan dengan akta yang dibuat oleh notaris tersebut.26

5. Batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah suatu ketetapan yang termuat di dalam hukum pewasiatan yang menyebutkan bahwa harta milik pewasiat yang dapat diwasiatkan kepada penerima wasiat adalah maksimal sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki oleh pewasiat tersebut.27

6. Harta wasiat adalah suatu harta milik pewasiat yang telah diserahkan kepada penerima wasiat dan telah dipisahkan dari keseluruhan harta milik pewasiat tersebut berdasarkan kehendaknya dan harta wasiat tersebut baru beralih kepada pihak penerima wasiat apabila pewasiat tersebut telah meninggal dunia.28

24Mohammad Daud Ali, Prinsip-prinsip Hukum Islam, CV. Rajawali, Jakarta, 1990

25Muhammad Sahrianto, Wasiat Menurut Islam, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2016, hal. 32

26 Muktar Rasmanto, Tanggung Jawab Hukum Notaris Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Otentik, Armiko, Bandung, 2014, hal. 16

27Achmad Djazuli, Prinsip-prinsip Akad Dalam Perjanjian Menurut Islam, Agung Media, Surabaya, 2009, hal. 26

28Ibid, hal. 27

(34)

7. Pembatalan akta wasiat adalah suatu perbuatan hukum melalui suatu putusan pengadilan agaama yang menyatakan akta wasiat tersebut dibatalkan atau tidak berlaku lagi sebagai suatu kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak baik pewasiat, penerima wasiat maupun para ahli waris, sehingga akta wsiat tersebut tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.29

8. KHI adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis Pasal demi Pasal, berjumlah 229 Pasal terdiri dari 3 kelompok materi hukum yaitu hukum perkawinan (170 Pasal), hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 Pasal) dan hukum perwakafan (14 Pasal), ditambah satu Pasal ketentuan penutup.

9. UUJN adalah undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris tentang hak dan kewajiban notaris yang termuat di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

29Achmad Fauzi, Urgensi Hukum Perikatan Islam Dalam Penyelesian Sengketa Perekonomian Islam, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 34

(35)

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum waris, hukum perwasiatan dan juga hukum pembuatan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris, yang termuat di dalam KUH Perdata, UUJN, hukum Islam dan KHI.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat, bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.30

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder,31yang meliputi : a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum waris, perwasiatan dan hukum pembuatan akta wasiat secara autentik oleh notaris sebagaimana termuat di dalam Hukum Islam, KHI, KUH Perdata, UUJN dan Putusan No. 0731/Pdt.G/ 2013/PA.Rbg.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2006, hal.30.

31 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 14.

(36)

dan atau karya ilmiah tentang hukum waris, hukum pewasiatan dan hukum pembuatan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum waris, hukum pewasiatan dan ketentuan hukum tentang pembuatan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris yang harus didasarkan kepada ketentuan hukum pewasiatan yang berlaku dalam hukum Islam, KHI, KUH Perdata dan juga di dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2 Tahun 2014, sehingga akta wasiat tersebut dapat memiliki kekuatan hukum, legalitas dan keabsahan dalam pelaksanaannya pada saat pewasiat meninggal dunia. Penelitian ini juga didukung dengan wawancara yang dilakukan kepada 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Agama yaitu H.M.Kusen Raharjo, Hakim Pengadilan Agama Blambangan Umpu dan Hj. Devi Oktari, Hakim Pengadilan Agama Kisaran serta 2 orang notaris yaitu Yoga Mahendra Kesuma, Notaris PPAT Kabupaten Ngawi Jawa Timur dan Ida Rosida, Notaris PPAT Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah.

(37)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.32 Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.33 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif.

Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian, yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri dari data yang ada, baik data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier, sehingga menghasilkan kualifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai permasalahan hukum pewasiatan dan ketentuan hukum tentang tata cara pembuatan akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh notaris untuk kemudian ditarik kesimpulan terhadap hal-hal yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

32 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media Malang, 2005, hal 81

33Raimon Hartadi, Methode Penelitian Hukum Dalam Teori Dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hal.16

(38)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBUATAN AKTA WASIAT BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Pengertian Wasiat

Pengertian surat wasiat termuat di dalam ketentuan Pasal 875 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Surat wasiat adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali”. Menurut Kamus Hukum surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, terhadap harta peninggalannya. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa surat wasiat merupakan suatu pernyataan kehendak terakhir dari si pembuat wasiat kepada orang-orang yang berhak menerima wasiat dari si pewasiat tersebut.34

Pengertian kehendak terakhir dari si pewasiat maksudnya adalah bahwa pewasiat sebelum meninggal dunia menyampaikan kehendak terakhirnya terhadap harta yang dimilikinya yang akan diwasiatkan kepada siapapun yang dikehendakinya. Pernyataan kehendak tersebut dituangkan ke dalam suatu akta autentik notaris yang merupakan pernyataan kehendak sepihak dari si pewasiat itu sendiri terhadap harta miliknya yang akan diberikannya kepada penerima wasiat tersebut.

Pernyataan kehendak dari si pewasiat merupakan suatu perbuatan hukum yang mengandung suatu ”beschikingshandeling” (perbuatan pemindahan hak

34A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 2006, hal. 14

(39)

milik atau harta kekayaan dari si pewasiat) yang dituangkan dalam bentuk suatu akta tertulis dimana akta tertulis tersebut dapat sewaktu-waktu dicabut oleh si pewasiat dan apabila si pewasiat meninggal dunia maka pernyataan kehendak si pewasiat tersebut harus dilaksanakan oleh notaris yang membuat akta wasiat tersebut kepada pihak yang namanya termuat di dalam akta wasiat tersebut. Akta wasiat merupakan suatu akta yang memuat keterangan tentang kehendak terakhir dari si pewasiat terhadap harta kekayaan miliknya, dimana pembuatan akta wasiat tersebut membutuhkan campur tangan seorang pejabat resmi yang dalam hal ini adalah notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat akta wasiat secara autentik.

Akta wasiat mempunyai dua kualitas, pertama sebagai “Surat Wasiat”

(uiterste wil) dan kedua sebagai “akta notaris”. Sebagai “Surat wasiat” berlaku terhadapnya ketentuan dalam KUHPerdata dan sebagai “akta notaris” terhadapnya harus diperlakukan ketentuan-ketentuan dalam UUJN. Perlu diketahui bahwa membuat suatu kehendak untuk menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi seseorang merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan menimbulkan akibat hukum, sehingga jika wasiat hanya memiliki satu kualitas, yaitu sebagai “surat wasiat” maka wasiat tersebut hanya akan menjadi akta di bawah tangan dan belum menjadi alat bukti yang kuat. Maka lebih baik jika membuat suatu wasiat yang memiliki dua kualitas yaitu sebagai “surat wasiat” dan juga sebagai “akta notaris”.35

35 Tarmakiran S, Asas-asas Hukum Waris Menurut 3 Sistem Hukum, Pioonir Jaya, Bandung, 2005, hal. 5

(40)

Kehendak terakhir juga memang tidak secara langsung tertuju pada orang tertentu. Si Ahli Waris bahkan mungkin baru mengetahui kehendak terakhir si pembuat wasiat beberapa hari setelah si pembuat wasiat meninggal dunia (dari seorang notaris), hal ini disebutkan dalam Pasal 875 KUH Perdata bahwa kehendak terakhir merupakan kehendak sepihak dari si pembuat wasiat.

1. Unsur–unsur Wasiat

Pengertian wasiat mengandung unsur-unsur yang meliputi antara lain : Pertama, unsur wasiat adalah “berbentuk suatu akta”, dimana wasiat harus menunjuk suatu tulisan, suatu yang tertulis. Mengingat bahwa suatu wasiat mempunyai akibat yang luas dan baru berlaku sesudah pembuat wasiat meninggal, maka suatu wasiat terikat kepada syarat-syarat yang ketat. Bukankah wasiat baru menjadi masalah sesudah orang yang membuat meninggal dan karenanya tidak dapat lagi ditanya mengenai apa yang sebenarnya dikehendaki.

Kedua adalah “berisi pernyataan kehendak terakhir yang berarti tindakan hukum sepihak”. Tindakan hukum sepihak adalah tindakan atau pernyataan satu orang saja sudah cukup untuk timbulnya akibat hukum yang dikehendaki.

Ketiga adalah “Apa yang terjadi setelah ia meninggal dunia”, berarti wasiat baru berlaku dan mempunyai akibat hukum bilamana si pembuat meninggal dunia.36

2. Bentuk-bentuk Wasiat

Isi suatu wasiat tidak terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta warisan saja, tetapi dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukkan seorang wali

36J. Satrio,S.H, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, 2010, hal. 180

(41)

untuk anak-anak si meningal, pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur pelaksanaan wasiat.

Menurut bentuknya, wasiat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu37: a) Wasiat Olografis (Wasiat yang ditulis sendiri)

Wasiat semacam ini biasanya ditulis dan ditandatangani oleh si pembuat wasiat. Orang yang membuat wasiat ini menyerahkan wasiatnya kepada notaris selanjutnya diarsipkan dengan wajib disaksikan oleh dua orang saksi.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 933 KUH Perdata bahwa kekuatan wasiat olografis ini sebanding dengan kekuatan wasiat tak rahasia yang dibuat di hadapan notaris dan dianggap terbuat di tanggal dari akte penerimaan oleh notaris. Si pembuat wasiat ini dapat menarik kembali wasiatnya, dilaksanakan dengan cara permintaan kembali yang dinyatakan dalam suatu akta autentik (akta notaris).

b) Wasiat Tak Rahasia (Openbaar Testament)

Wasiat tak rahasia wajib dibuat di hadapan seorang notaris dengan mengajukan dua orang saksi. Selanjutnya orang yang meninggalkan warisan tersebut wajib menyatakan kehendaknya di depan notaris, dalam hal ini notaris mengawasi agar kehendak terakhir si peninggal warisan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.

c) Wasiat Rahasia

Ditetapkan pada Pasal 940 KUH Perdata bahwa si pembuat wasiat diharuskan menulis sendiri atau bisa pula menyuruh orang lain untuk menuliskan

37Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media Grup, Bandung, 2008, hal. 26

(42)

keinginan terakhirnya tersebut, setelah itu ia harus menandatangani tulisan tersebut, selanjutnya tulisan tersebut dimasukkan dalam sebuah sampul tertutup dan disegel serta kemudian diserahkan kepada notaris. Penutupan dan penyegelan ini bisa juga dilaksanakan dihadapan notaris bersama dengan 4 orang saksi.

Selain tiga macam wasiat di atas, undang-undang mengenal juga Codicil yaitu suatu akta di bawah tangan (bukan akta notaris), dimana orang yang akan meninggalkan warisan menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam pemberian atau pembagian warisan itu sendiri, misalnya membuat pesanan-pesanan tentang penguburan mayatnya, lazim dilakukan dengan Codicil.38

Menurut isinya, wasiat terbagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:39 a) Wasiat yang berisi pengangkatan waris (erfstelling)

Ketentuan tentang wasiat yang berisi pengangkatan waris (erfstelling) termuat di dalam ketentuan Pasal 954 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa

“Wasiat pengangkatan waris adalah wasiat dengan mana orang yang telah mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian (setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia”.

Orang yang ditunjuk itu, dinamakan testamentaire erfgenaam yaitu ahli waris menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang- undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel”40

38 Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 54

39 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga. Dan Hukum Pembuktian, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 16

40Ibid, hal. 17

(43)

b) Wasiat yang berisi hibah (Hibah Wasiat) atau legaat

Hibah wasiat seperti diatur dalam Pasal 957 KUH Perdata adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau berapa orang suatu jenis tertentu, misalnya segala barang yang bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas harta peninggalannya.41

Orang yang menerima legaat bukanlah ahli waris, karena itu ia tidak menggantikan si meninggal dalam hak-hak dan kewajibannya, ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan padanya.

3. Ketentuan Dalam Pembuatan Wasiat

Pembuatan wasiat memiliki prosedur dan ketentuan hukum agar pembuatan wasiat tersebut memiliki kekuatan hukum baik dalam hal pencabutan maupun dalam hal pelaksanaannya apabila si pewasiat telah meninggal dunia dalam hal melaksanakan kehendak terakhir dari si pewasiat tersebut atas harta yang dimilikinya.

Ketentuan hukum tentang pihak yang dapat membuat akta wasiat yang berdasarkaan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus memenuhi syarat-syarat antara lain adalah :

1. Sehat akal pikiran

Menurut Pasal 895 KUH Perdata, untuk dapat membuat surat wasiat atau mencabutnya orang harus memiliki akal sehat. Menurut Hoge Raad dalam arrestnya 9 Januari 1953 yang mendasari Pasal 895 KUH Perdata adalah

41Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2010, hal. 107

(44)

pemikiran bahwa pada kehendak terakhir (wasiat) seseorang yang karena kurang memiliki akal sehat pada waktu membuat surat wasiat itu sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan mengenai kepentingan-kepentingan yang tersangkut, tidak boleh diberikan akibat hukum. Sesuai dengan itu maka Pasal tersebut tidak memberikan wewenang kepada orang yang tidak memiliki akal sehat untuk melakukan suatu perbuatan pemilikan dengan suatu kehendak terakhir (surat wasiat) dan tidak menggantungkan kewenangan itu dari isi perbuatan pemilikan (wasiat) itu. Kekurangan akal sehat si pembuat wasiat hanya menghilangkan keabsahan surat wasiatnya.42

2. Umur

Menurut ketentuan Pasal 897 KUH Perdata , orang-orang yang masih di bawah umur, maka untuk dapat membuat surat wasiat mereka harus genap berusia 18 tahun. Orang yang sudah kawin bukan lagi merupakan minderjarige (orang yang belum cukup umur), maka mereka yang belum cukup umur, tetapi sudah kawin adalah cakap membuat kehendak terakhir.

4. Larangan dalam Pembuatan Wasiat

Wasiat sebagai surat resmi tidak dapat diisi semua kehendak pembuat wasiat. Akan tetapi undang-undang membatasi sedemikian rupa sehingga banyak hal yang tidak dapat dimuat di dalam wasiat.

a. Larangan yang bersifat umum (Fidei Commis)

Pasal 879 KUH Perdata dengan tegas melarang pengangkatan waris dengan lompat tangan. Di dalam ketentuan Pasal 879 KUH Perdata tersebut

42Effendy Perangin-angin, Hukum Waris, Kumpulan Kuliah Jurusan Notariat, Fakultas Hukum UI, 2011, hal. 3

(45)

diberikan batasan apa yang dimaksud fidei commis yaitu suatu ketetapan wasiat, dimana orang yang diangkat sebagai ahli waris atau yang menerima hibah wasiat, diwajibkan untuk menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya, baik seluruh maupun sebagian kepada orang lain, dengan demikian fidei commis adalah suatu ketetapan dalam suatu surat wasiat, dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pembuat wasiat atau sebagian dari padanya termasuk para penerima hak daripada mereka, berkewajiban untuk menyimpan yang mereka terima dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima, menyampaikan/

menyerahkannya kepada seorang ketiga. Pelanggaran atas larangan tersebut menjadi batal demi hukum.43

b. Larangan yang bersifat khusus 1) Wasiat antara suami istri

Pasal 901 KUH Perdata menyatakan bahwa suami atau isteri tidak dapat menikmati keuntungan wasiat suami/istrinya, jika perkawinan mereka telah berlangsung tidak dengan izin yang sah, dan si yang mewariskan meninggal dunia, pada waktu keabsahan perkawinan mereka masih dapat dipermasalahkan di depan hakim. Mengingat bahwa untuk sahnya suatu perkawinan selalu kecuali mereka yang telah mencapai umur 30 tahun diperlukan adanya persetujuan orang tua. Untuk anak-anak sah, izin tersebut datang dari orang tuanya sedang jika salah satu orang tuanya telah meninggal dunia, maka izin tersebut diberikan oleh ayah atau ibunya yang masih hidup.44

2) Wasiat dari orang yang belum dewasa

43Teguh Samudra, Beberapa Masalah Hukum Waris di Indonesia, Citra Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 14

44Wirjono Prodjodikoro. Hukum Waris di Indonesia, Sumur Bandung, 2001, hal. 42

(46)

Ketentuan Pasal 904 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang anak belum dewasa, sunggguhpun telah mencapai umur delapan belas tahun, tidak diperbolehkan menghibah-wasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya. Setelah dewasa, ia tidak diperbolehkan menghibahwasiatkan sesuatu kepada bekas walinya, melainkan setelah yang terakhir ini mengadakan perhitungan tanggungjawab atas perwaliannya. Pembentuk undang-undang melindungi anak- anak yang belum dewasa terhadap kemungkinan-kemungkinan pengaruh dari para pengajar, guru-guru pengasuh baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal serumah dengan mereka, kecuali untuk membayar jasa mereka, hal ini terdapat dalam Pasal 905 KUH Perdata.

3) Wasiat untuk mereka yang memiliki profesi khusus dan sejenisnya

Menurut Pasal 906 KUH Perdata, wasiat tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang memiliki profesi khusus seperti apoteker, dokter, atau juru rawat yang merawat pada waktu pembuat wasiat sakit sampai ia meninggal, demikian pula bagi guru agama yang telah membantu pembuat wasiat sakit. Bagi notaris dan saksi-saksi yang telah membantu pembuat wasiat sewaktu membuat wasiat yang memuat hibah, maka bagi mereka pun tidak diperbolehkan hibah wasiat.

4) Wasiat-wasiat untuk anak luar kawin

Pasal 908 KUH Perdata melarang pemberian wasiat oleh ibu anak luar kawin atau ayah yang mengakui anak luar kawin tersebut yang jumlahnya melebihi hak bagian ab-intestato anak luar kawin tersebut. Maksudnya ialah untuk melindungi anak sah dari kemungkinan kerugian yang terlalu besar karena

(47)

kehadiran anak luar kawin. Pasal 911 KUH Perdata menerangkan bahwa suatu ketetapan wasiat yang diambil untuk keuntungan seorang yang tak cakap untuk mewaris adalah batal, pun kiranya ketetapan itu diambilnya dengan nama perantara. Pada garis besarnya undang-undang menetapkan sebagai berikut :45 a) Anak di luar kawin walaupun telah diakui tidak dapat diberikan kepadanya

sesuatu dengan wasiat, padahal pemberian itu melebihi bagiannya menurut hukum waris ab-intestato. Ketentuan ini berkaitan erat dengan Pasal 862 s/d 873 KUH Perdata tentang pewarisan dalam hal adanya anak-anak luar kawin.

b) Apabila pengadilan telah memutuskan adanya perzinahan antara seorang laki- laki dan perempuan padahal mereka berdua atau salah seorang dari keduanya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain maka dalam keadaan demikian satu sama lain di antara mereka tidak boleh menikmati keuntungan dengan lewat pembuatan wasiat.

c) Orang yang tidak cakap untuk mewaris tetap tidak dapat mengambil keuntungan apapun walaupun melalui suatu wasiat. Maksudnya, sebuah wasiat batal apabila berisi wasiat untuk menguntungkan orang yang tidak cakap untuk mewaris.

5) Wasiat untuk orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang erat kaitannya dengan hal ihwal

Mereka yang telah dihukum karena membunuh si yang mewariskan, lagipun yang telah menggelapkan, membinasakan, dan memalsu surat wasiatnya, dan akhirnya pun mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si

45Deni Wahyudi, Judifikasi Hukum Waris di Indonesia Antara Harapan dan Kenyataan, Citar Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal. 33

(48)

yang mewariskan tadi, akan mencabut atau mengubah surat wasiatnya, tiap-tiap mereka itu tak diperbolehkan menarik sesuatu keuntungan dari surat wasiat si yang mewariskan (Pasal 912 KUH Perdata).

5. Pencabutan Kembali Wasiat

Salah satu syarat yang terpenting dari wasiat adalah bahwa itu dapat dicabut kembali. Si pembuat wasiat dapat mencabut kehendak terakhirnya seluruhnya atau sebagian saja. Pencabutan suatu testament adalah suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan wasiat sebagai pernyataan yang paling akhir.

Pencabutan kembali wasiat dapat dilaksanakan secara:46 1. Pencabutan Kembali Secara Tegas

Hal ini diatur dalam Pasal 992 dan 993 KUH Perdata. Pencabutan kembali wasiat secara tegas ini menurut Pasal 992 KUH Perdata dapat dilaksanakan dalam:

a. Suatu wasiat baru, yang diadakan menurut Pasal-Pasal dari KUH Perdata b. Suatu akta notaris khusus (bijzondere notariele akte)

Pasal 993 KUH Perdata menunjukkan pada suatu kejadian, bahwa akta notaris tidak khusus berisikan suatu pencabutan kembali, tetapi juga mengulangi beberapa penetapan dalam wasiat yang lama.

2. Pencabutan Kembali Secara Diam-diam

Pelaksanaan pembuatan wasiat secara diam-diam dapat terjadi bahwa si pewasiat telah membuat akta wasiat lebih dari satu akta wasiat, dimana isinya satu sama lain tidak sama. Hal tersebut berkaitan dengan ketetapan Pasal 994 KUH

46Ramli Janoko, Hukum Waris Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2013, hal. 46

Referensi

Dokumen terkait

Dosis tinggi akan menyebabkan banyak ikan yang mati sedangkan dosis rendah membutuhkan waktu yang sangat lama pada saat pembiusan menjelang pingsan, dan lama waktu

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kampung Limau Asri Distrik Mimika Baru Kabupaten Mimika adalah keberadaan genangan air, keberadaan semak,

Dampaknya adalah tenaga buruh yang menjadi korban, tenaga buruh dieksploitasi oleh pengusaha dan pemerintah masih terkesan tutup mata misalnya : l) upah yang sangat

Tes kesamaptaan bagi pejabat fungsional Polisi Kehutanan yang akan menduduki jabatan fungsional setingkat lebih tinggi dan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain yang akan

Kemampuan matematika siswa Indonesia berada pada tingkatan kognitif mengetahui (knowing) yang merupakan tingkatan terendah menurut kriteria tingkatan kognitif dari

Misalnya , mengenai produk yang tidak diketahui sebelumnya secara nyata oleh konsumen; tidak bertemunya secara fisik antara penjual dan pembeli saat bertransaksi,

- Rendered 200 hours as volunteer teacher in the community - Attended various seminars and trainings for education students - With expertise in lesson planning and creating

Jika anda sudah membaca dasar dari photoshop yang saya posting sebelum artikel ini saya sudah menjelaskan cara zoom pada photoshop adalah dengan menggunakan Tool Zoom namun selain