• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gizi dan Kesehatan

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996).

Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikut nya. Anemia akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak pada penglihatan.

Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan, kegagalan tumbuh pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson, 1993). Defisiensi ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat awal kehidupan anak akan berpengaruh di sepanjang kehidupannya (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)

Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).

Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai AKI Tinggi AKB Tinggi Remaja Kurang Gizi Anak Kurang Gizi Bayi Berat Badan Lahir Rendah Masa Tua Kurang Gizi

Peningkatan resiko penyakit

Sering infeksi Penurunan Kapasitasmental Penurunan kapasitas mental Pangan, Kesehatan dan perawatan tidakmemadai Penurunan kapasitas Merawat bayi Gizi fetus tidak memadai Wanita Kurang Gizi Wanita Hamil, pertambahan BB rendah

Gangguan Perkembangan Mental

Imunitas Rendah Morbiditas Meningkat AKA Tinggi Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai

Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai

Penurunan kapasitas mental Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat AKABA Tinggi

7

Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecuk upan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respons imun yang rendah.

Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan pertumbuhan bahkan kematian.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status) merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000).

Status gizi tubuh dipengaruhi oleh kecukupan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat- zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan penggunaan zat gizi tersebut untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan

pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002) disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya.

Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990).

Kelebihan indeks BB/U adalah: (a) dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, (b) sensitif untuk melihat perubahan status

9

gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat, dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek. Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah: (a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a) sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000).

Dengan indikator BB/TB, berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah data hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor.

Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi normal. Nilai Z-skor masing- masing anak dihitung dengan menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:

(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi Keterangan:

i = umur (bulan)

Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i

Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i

Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i

Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB, dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/ NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing- masing individu kemudian diband ingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik batas (cut-off point) skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Z-skor secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983)

Indikator Kriteria Standar

BB/U Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD TB/U Normal Pendek/Stunted = - 2,0 SD < - 2,0 SDbaku WHO-NCHS BB/TB Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD Sumber: Jahari dkk, 2000

11

Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing- masing indeks antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2 SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin; (4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing- masing indeks tidak sama.

Imunitas Anak Balita

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001). Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut.

Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh denga n respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit.

Respons imun yang terjadi pada anak balita akan tergantung dari kondisi tubuh anak. Selama anak mempunyai masalah (gangguan) gizi maka respons imunnya juga akan terganggu. Defisiensi gizi termasuk gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada perumbuhan anak

(Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun.

Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak yang gizinya baik (Gopaldas, 2005).

Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi.

Interaksi antara gizi dan kesehatan dipandang sebagai suatu siklus. Pertahanan tubuh dan kemampuan mikro organisme patogen yang dapat menimbulkan penyakit (virulensi) yang menghinggapi tubuh diilustrasikan sebagai dua kekuatan yang dapat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas. Pada anak yang defisiensi zat gizi mikro, pertahanan tubuh akan menurun dan tenaga virulensi patogen akan lebih kuat sehingga kesehatan anak terganggu dan anak menderita infeksi. Karenanya, gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta melindungi kesehatannya (ACC/SCN, 2000).

13

Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas

Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).

Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000)

Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan (Brody, 1994). Sel epithel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen. Sel epithel memiliki peran penting dalam transport ion dan absorpsi serta sekresi cairan yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Williams & Wilkins, 2006 ).

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002), menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.

Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)

Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid.

Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epitelium di beberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel kornea, paru-paru, kulit, dan mukosa intestin, dan dapat menurunkan sel goblet intestin dan permukaan vilus (Linder, 1992). Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan

15

kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001).

Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998).

Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat dipahami karena vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun, hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia, dan meningkatkan fase protein akut.

Menurut Semba (1998), vitamin A dan yang berhubungan dengan retinoid memainkan peranan penting dalam pengaturan fungsi imun. Defisiensi vitamin A berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality), misalnya kejadian pada buta senja (nightblindness) dan xerophthalmia serta penyakit infeksi. Pada studi meta analisis ditemukan konsep: sindrom defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al., 2000). Anak-anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan pathologis dalam fungsi sel T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan infeksi subklinis seperti penyakit diare (Semba, 2002). Infeksi subklinis sebagian besar terjadi pada anak

gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja.

Defisiensi vitamin A berpengaruhterhadap kekebalan mukosa. Permukaan mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons tubuh inang (Suyitno, 1985).

Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992). Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen (Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994).

Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan, defisiensi vitamin A berpengaruh pada metabolisme, ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan, diferensiasi jaringan epithel sebagai fungsi sistem imun termasuk perubahan organ morfologi, menurunkan respons antibodi terhadap beberapa pathogen spesifik dan antigen, menurunkan CMI dan imunitas non-spesifik (IFPRI, 2000). Defisiensi vitamin A dapat menurunkan proliferasi sel-T dan berkurangnya produksi antibodi, khususnya pada perut (gut) dan paru-paru. Juga dapat menurunkan berat tymus yang dihubungkan dengan bentuk atrophy pada kekurangan vitamin A yang panjang durasinya (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Menurut studi dan observasi Ahmed et al (1990) pada tikus defisiensi vitamin A

17

dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan, serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi.

Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun. Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan dalam merespons antigen.

Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A (Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al., (1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984), dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM) berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984).

Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A.

Pendapat yang sejalan dikemukakan oleh Nauss (1986) dan Ross (1992), bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah organ limfoid, jumlah sel, histologi, dan karakteristik limfosit. Namun hal tersebut sangat tergantung dari durasi defisiensi vitamin A tersebut. Keadaan vitamin A berpengaruh besar terhadap prevalensi infeksi atau dalam respons infeksi. Hal ini disebabkan karena defisiensi vitamin A berefek pada fungsi sel NK yang berperan mengatur formasi antibodi dan sekresi IFN. Pelepasan IFN dapat meningkatkan

aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin (Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990).

Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al.,

Dokumen terkait