1. Pengaruh sikap dengan niat melakukan whistleblowing
Sikap menurut Park dan Blenkinsopp (2009) mengenai sejauh mana individu memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari whistleblowing dan jumlah keyakinan yang dimiliki seseorang tentang konsekuensi dari whistleblowing dan evaluasi subjektif terhadap konsekuensi tersebut.dengan demikian, seseorang untuk dapat mejadi whistleblower harus memiliki komponen keyakinan bahwa
whistleblowing adalah tindakan yang memiliki konsekuensi positif seperti
pencegahan yang dapat merugikan organisasi, kontrol terhadap tindakan kecurangan, peningkatan kepentingan umum, kepuasan moral dan tugas karyawan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perdana et al. (2018) menjelaskan bahwa sikap berpengaruh terhadap niat melakukan
whistlblowing. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saud
(2016) yang menyatakan bahwa sikap berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013), Latan (2016), dan Harsanti (2016) juga menyatakan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (2018) dan Rustiarini dan Sunarsih (2017) menyatakan bahwa sikap tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Chariri (2016)
yang menyatakan bahwa sikap tidak memiliki pengaruh signifikan pada niat melakukan whistleblowing.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H1: Sikap berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan
whistleblowing.
2. Pengaruh norma subyektif dengan niat melakukan whistleblowing Menurut Near et al. (1994) seseorang yang akan melakukan
whistleblowing cenderung untuk menerima dukungan dari keluarga dan
kenalan sosial sesuai dengan definisi dari norma subyektif yaitu persepsi membuat keputusan tentang pengaruh sosial untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tertentu. Hasil penelitian yang dilakukan Perdana et al. (2018) menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013) dan Suryono et al. (2016) yang menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (2018) dan Harsanti (2016) yang menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan
whistleblowing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Park dan Blenkinsopp (2009) dan Parianti (2016) juga menyatakan bahwa norma subyektif memiliki
pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan Rustiarini et al. (2017) juga menyatakan bahwa norma subyektif tidak mempengaruhi niat melakukan whistleblowing. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori, bahwa persepsi positif seseorang terhadap suatu perilaku akan membuat orang tersebut memiliki niat untuk menunjukan perilaku tersebut. Semakin seseorang mendapat dukungan orang-orang di sekitar mereka seperti atasan, rekan kerja, dan orang-orang secara umum, semakin tinggi juga niat mereka untuk melakukan whistleblowing.
Berdasarkan uraian temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan norma subyektif berpengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa
penelitian sebagai berikut:
H2: Norma Subyektif berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing.
3. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan niat melakukan whistleblowing
Persepsi kontrol perilaku merupakan persepsi individu tentang derajad kesulitan dalam melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Beberapa individu bisa merasakan bahwa akan terlalu sulit untuk melaporkan masalah, dan sebaliknya orang lain akan merasa bahwa akan relatif mudah untuk melaporkan kesalahan. Begitupun dalam melakukan
whistleblowing, seseorang akan mempertimbangkan derajat kesulitan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013) menunjukan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Park dan Blenkinsopp (2009) yang menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing. Hal serupa juga dinyatakan oleh Latan et al. (2016) dalam penelitiannya bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap niat melakukan
whistleblowing.
Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Perdana et al. (2018) menunjukkan bahwa persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Saud (2016) yang menyatakan bahwa tidak adanya pengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan hasil penelitia di atas, maka dengan ini penulis mencoba meumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H3: Persepsi kontrol perilaku berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistlebloing.
4. Pengaruh personal cost of reporting dengan niat melakukan whistleblowing
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Latan et al. (2016) menunjukan bahwa personal cost of reporting memiliki pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Nugraha (2017) dan Riandi (2017) dalam
penelitiannya juga menyatakan bahwa personal cost berpengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanif dan Odiatma (2017) juga menyatakan bahwa personal cost mempunyai pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing.
Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013) menunjukan bahwa personal cost tidak memiliki pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Dalam penelitiannya ia menjelaskan bahwa keinginan seseorang cenderung berkurang untuk melaporkan kecurangan jika mereka merasa memiliki personal cost yang lebih tinggi.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H4: Personal Cost berpengaruh secara signifikan terhadap niat
melakukan whistleblowing.
5. Pengaruh lingkungan etika dengan niat melakukan whistleblowing Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2017) menyatakan bahwa lingkungan etika memiliki hubungan terhadap niat melakukan
whistleblowing yaitu tinjauan etika atas pengambilan keputusan
berdasarkan pendekatan moral. Hasil penelitian ini menunjukan adanya korelasi antara pemahaman nilai-nilai etika dengan pengambilan keputusan. Semakin seseorang memahami kode etik maka keputusan yang diambil akan semakin mendekati kewajaran, adil, dan bermoral. Pun
dalam hubungannya dengan keputusan seeorang untuk melaksanakan niat melakukan whistleblowing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riandi (2017) pun mengatakan hal yang serupa lingkungan etika memiliki pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Seseorang akan mempertimbangan sejauh mana dan berapa besar atau kecilnya kerugian atau keuntungan yang akan dialami perusahaan jika karyawan membocorkan atau mengabaikan kecurangan tersebut.
Berdasarkan uraian temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan etika memiliki pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H5: Lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap Niat melakukan whsitleblowing.
6. Pengaruh sikap dengan perilaku whistleblowing
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perdana et al. (2018) menyatakan bahwa sikap pengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing. Harsanti et al. (2016) dalam penelitiannya juga
menyatakan bahwa sikap memiliki pengaruh terhadap perilaku
whistleblowing. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Parianti et al. (2016) yang menyatakan bahwa sikap berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing.
Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Rustiarini et al. (2017) menyatakan bahwa sikap tidak berpengaruh terhadap perilaku
whistleblowing. Secara umum teori menyatakan bahwa seorang individu
akan memiliki sikap positif terhadap perilaku apabila berhubungan dengan tujuan yang positif. Dalam penelitiannya, ia berpendapat bahwa fenomena
whistleblowing di Indonesia belum banyak dilakukan, juga mekanisme
pelaporan dan perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower belum sepenuhnya diatur dengan jelas dan tegas dengan produk perundang-undangan membuat dilema tersendiri bagi seseorang dan merasa tidak perlu untuk mengungkap skandal kecurangan yang diketahuinya.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H6: Sikap berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing.
7. Pengaruh norma subyektif dengan perilaku whistleblowing
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harsanti et al (2016) dan Parianti et al. (2016) menunjukan bahwa norma suyektif berpengaruh positif terhadap perilaku whistleblowing. Norma subyektif bukan hanya ditentukan oleh adanya keyakinan normatif, tetapi juga ditentukan dengan motivasi untuk mematuhi. Keyakinan normatif berhubungan dengan ekspektasi yang berasal dari hubungan individual atau kelompok yang secara signifikan berhubungan dengan seseorang itu. Sedangkan motivasi
untuk mematuhi mengikuti perilaku tertentu. Seseorang akan merasa
social pressure untuk melakukannya.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rustiarini et al. (2017) menyatakan bahwa tidak adanya temuan yang membuktikan adanya hubungan antara norma subyektif terhadap perilaku whistleblowing. Dalam penelitiannya, ia menyatakan bahwa Indonesia memiliki masyarakat dengn budaya kolektif, yaitu kehidupan sosial menjadi lebih dominan dalam keseharian dibandingkan dengan kehidupan pribadi. Selain itu budaya kerja berbasis kolegialisme dalam birokrasi telah menjadi acuan utama dalam setiap kerja pegawai di instansi-instansi pemerintahan sehingga bila terjadi kesalahan atau manipulasi dalam birokrasi akan jarang terekspose oleh media. Dengan demikian, adanya dukungan dari pemimpin, rekan sejawat maupun bawahan tidak dapat menumbuhkan niat karyawan untuk melakukan whistleblowing.
Berdasarkan hal ketidakkonsistenan temuan hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H7: Norma Subyektif berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing.
8. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan perilaku whistleblowing Hasil penelitian yang dilakukan oleh Parianti et al. (2016) menunjukan bahwa persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh positif terhadap perilaku whistleblowing. Hal tersebut juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Rustiarini et al. (2017) yang menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh secara positif terhadap perilaku whistleblowing. Seorang karyawan akan melakukan tindakan
whistleblowing didasarkan pada sumber dan kesempatan yang dimilikinya,
serta seberapa besar kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi rintangan dan halangan tersebut.
Hal yang serupa juga dinyatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Harsanti (2016) bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Semakin besar kendali perilaku yang dirasakan maka semakin kuat keinginan seseorang untuk melakukan
whsitleblowing.
Berdasarkan uraian temuan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh terhadap perilaku whistleblowing, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H8: Persepsi kontrol perilaku berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing.
9. Pengaruh personal cost of reporting dengan perilaku whistleblowing Penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2017) dan Riandi (2017) menyatakan bahwa personal cost of reporting berpengaruh secara positif terhadap perilaku whistleblowing. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hanif et al. (2017) yang menunjukan bahwa personal cost berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing
dimana seseorang takut akan dampak pada dirinya setelah melaporkan kecurangan yang terjadi. Latan (2016) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa personal cost of reporting memiliki pengaruh terhadap perilaku whistleblowing.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013) menyatakan bahwa tidak adanya pengaruh dari personal cost of reporting terhadap perilaku whistleblowing. Dalam penelitinnya, ia mengatakan bahwa penjelasan yang mungkin untuk hasil dari penelitiannya yaitu responden tidak mempertimbangkan personal cost sebagai salah satu faktor apakah mereka melaporkan atau tidak melaporkan tindakan kecurangan.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H9: Personal cost berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whsitleblowing.
10. Pengaruh lingkungan etika dengan perilaku whistleblowing
Lingkungan etika dalam sebuah entitas dapat mempengaruhi keputusan individual dalam melakukan whistleblowing (Near & Miceli, 1994). Perusahaan yang lebih mendukung whistleblowing diharapkan untuk bisa membentuk mekanisme pelaporan yang lebih baik. Salah satu cara untuk mengetahui dukungan perusahaan dalam melakukan
menyatakan dukungannya untuk melakukan whistleblowing dalam kebijakan atau peraturan whistleblowing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Fargher (2012), menyatakan bahwa lingkungan etika yang lebih kuat dan dengan corporate
governance yang lebih baik, entitas akan lebih bisa mengungkapkan
kebijakan whistleblowing mereka. Dalam tahap ini lingkungan etika diharapkan dapat meningkatkan whistleblowing dalam perusahaan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hariyani dan Putra (2018) menyatakan bahwa lingkungan etika berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing.
Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahyaruddin dan Asnawi (2017), menyatakan bahwa lingkungan etika tidak memiliki pengaruh terhadap kecendrungan individu untuk melakukan
whistleblowing. Penelitiannya menemukan bahwa lingkungan etika yang
ada dalam suatu entitas belum bisa menumbuhkan atau menghasilkan perilaku yang lebih etis bagi anggotanya. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Rothwell dan Baldwin (2006) secara keseluruhan, lingkungan etika gagal untuk memprediksi konsistensi whistleblowing.
Berdasarkan ketidakkonsistenan temuan beberapa hasil penelitian di atas, maka dengan ini penulis mencoba merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:
H10: Lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
11. Pengaruh niat melakukan whistleblowing dengan perilaku whistleblowing
Hasil penelitian yang dilakukanoleh Perdana et al. (2018) menyatakan bahwa niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Hal serupa juga dinyatakan oleh Suryono et al (2016) dan Iskandar et al. (2018) yang menyatakan bahwa niat melakukan
whistleblowing berpengaruh signifikan terhadap perilaku whistleblowing.
Harsanti et al. (2016) dalam penelitiannya pun menyatakan bahwa niat melakukan whistleblowing berpengaruh secara positif terhadap perilaku
whistleblowing.
Rustiarini et al. (2017) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku
whistleblowing, sejalan dengan teori perilaku berencana yang menjelaskan
bahwa individu untuk melakukan suatu perilaku ditentukan oleh niat untuk melakukan. Niat berperan penting dalam menentukan tindakan manusia. Dengan demikian semakin kuat niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku whistleblowing maka besar kemungkinan niat tersebut diaktualisasikan dalam bentuk perilaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut: H11: Niat melakukan whistleblowing berpengaruh secara signifikan
12. Pengaruh sikap dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening
Sikap menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi niat dalam melakukan whistleblowing. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Perdana et al., 2018; Saud, 2016; Winardi, 2013; Latan, 2016; Harsanti, 2016). Dalam penelitian mereka menyatakan bahwa semakin seseorang memiliki konsekuensi positif atas tindakan
whistleblowing yang dilakukannya seperti pencegahan yang dapat
merugikan organisasi, kontrol terhadap tindakan kecurangan, peningkatan kepentingan umum dan sebagainya, maka kemungkinan dirinya memiliki keinginan untuk melakukan whistleblowing semakin tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Parianti et al. (2016) menjelaskan bahwa sikap memiliki pengaruh terhadap perilaku
whistleblowing. Jika seseorang telah berkeyakinan dan berniat untuk
melakukan whistleblowing, maka semakin tinggi pula kemungkinan dirinya akan merealisasikan tindakan tersebut kedalam suatu perilaku, dalam hal ini melakukan whistleblowing.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut: H12: Sikap berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening.
13. Pengaruh norma subyektif dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening
Norma subyektif merupakan persepsi membuat keputusan tentang pengaruh sosial untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tertentu. Dalam penelitan yang dilakukan oleh (Perdana et al., 2018; Winardi, 2013; Suryono et al. 2016; Iskandar et al., 2018) menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Seseorang yang mendapat dukungan dari beberapa pengaruh sosial untuk terlibat dalam melakukan whistleblowing, maka kemungkinan ia memiliki niat untuk whistleblowing pun semakin tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harsanti et al. (2016) dan Parianti et al. (2016) menunjukan bahwa norma subyektif memiliki pengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Ketika pembuat keputusan merasakan bahwa orang lain penting menyetujui atau menyarankan dirinya untuk melakukan perilaku whistleblowing, pembuat keputusan lebih mungkin terlibat dalam perilaku tersebut semakin tinggi.
Berdasarkan uraian temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan norma subyektif dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:
H13: Norma subyektif berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai
14. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening
Persepsi kontrol perilaku yang dirasakan mengacu pada persepsi seseorang mengenai kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku yang diminati (Ajzen, 1991). Penelitian yang telah dilakukan oleh (Winardi, 2013; Latan, 2016; Mulfag dan Serly, 2019) menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku seseorang dapat mempengaruhi niat seseorang dalam melakukan whistleblowing. Ketika seseorang menilai bahwa
whistleblowing relatif mudah untuk dilakukan, maka semakin tinggi
kemungkinan dia memiliki niat untuk melakukan whistleblowing. Sebaliknya, ketika seseorang menilai bahwa relatif sulit untuk melakukan
whistleblowing, maka semakin rendah kemungkinan ia memiliki niat
melakukan whistleblowing.
Sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Parianti et al. (2016) dan Rustiarini et al. (2017) menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Seseorang yang menilai bahwa whistleblowing mudah dilakukan maka ia akan memiliki niat untuk melakukan whistleblowing. Ketika seseorang telah memiliki niat untuk melakukan sesuatu maka terdapat pula kemungkinan ia akan melakukan perilaku tersebut.
Berdasarkan uraian temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku dan niat melakukan
whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Maka
hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:
H14: Persepsi kontrol perilaku berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening.
15. Pengaruh personal cost of reporting dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening
Personal cost of reporting dapat mempengaruhi niat seseorang
dalam melakukan whistleblowing. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh (Latan, 2016; Nugraha, 2017; Riandi, 2017; Hanif et al. 2017). Seseorang cederung berkurang keinginanya untuk melakukan
whistleblowing jika mereka merasa memiliki personal cost yang lebih
tinggi. Jika risiko pembalasan yang diterima whistleblower semakin tinggi, maka hal itu akan mengurangi minat seseorang untuk melakukan
whistleblowing.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mulfag et al. (2019), seseorang dengan pertimbangan personal cost yang tinggi akan berpikir bahwa dengan melakukan whistleblowing, ia akan mendapat kerugian balasan dendam seperti tidak adil dalam penilaian, dipindah tugaskan, kurangnya kepercayaan dari atasan atau sekitar, maupun dijauhi di kehidupan sosial. Dengan pertimbangan itu, niat yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan whistleblowing bisa berkurang, dan kemungkinan ia melakukan perilaku whistleblowing juga akan berkurang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa personal cost
of reporting dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap
perilaku whistleblowing, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:
H15: Personal cost of reporting berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening.
16. Pengaruh lingkungan etika dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening
Lingkungan etika memiliki pengaruh terhadap niat melakukan
whistleblowing. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Nugraha (2017) dan Riandi (2017) yang menyatakan bahwa tinjauan etika atas pengambilan keputusan berdasarkan moral akan menjadi pertimbanagn sejauh mana dan berapa besar atau kecilnya kerugian atau keuntungan yang akan dialami perusahaan jika karyawan melaporkan atau mengabaikan kecurangan yang terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh (Near et al., 1985; Lee et al., 2012; Hariyani et al, 2018) menyatakan bahwa lingkungan etika yang lebih kuat dan dengan dukungan perusahaan dalam melakukan whistleblowing diharapkan agar hal ini dapat meningkatkan niat dalam melakukan
whistleblowing, sehingga perilaku whistleblowing akan semakin mungkin
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan etika dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap perilaku
whistleblowing, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
H16: Lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai