• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN PERILAKU WHISTLEBLOWING: PERAN NIAT MELAKUKAN WHISTLEBLOWING SEBAGAI MEDIATOR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN PERILAKU WHISTLEBLOWING: PERAN NIAT MELAKUKAN WHISTLEBLOWING SEBAGAI MEDIATOR SKRIPSI"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN PERILAKU WHISTLEBLOWING: PERAN NIAT MELAKUKAN WHISTLEBLOWING SEBAGAI

MEDIATOR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh: Ummi Salamah NIM: 11150820000064

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1442 H/2021 M

(2)

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN PERILAKU

WHISTLEBLOWING: PERAN NIAT MELAKUKAN

WHISTLEBLOWING SEBAGAI MEDIATOR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Akuntansi

Oleh:

UMMI SALAMAH NIM: 11150820000064

Dibawah Bimbingan Pembimbing I

Reskino, SE., M.Si., Ak., CA., CMA., CERA., CBV., CDMS NIP. 19740928 200801 2 004

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF

Hari ini Rabu, 10 April 2019 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas mahasiswa:

1. Nama : Ummi Salamah

2. NIM : 11150820000064

3. Jurusan : Akuntansi (Audit)

4. Judul Skripsi : Faktor-Faktor Determinan Perilaku Whistleblowing: Peran Niat Melakukan Whistleblowing Sebagai Mediator

Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan lulus dan diberi kesempatan untuk melaksanakan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 April 2019

1. Fitri Yani Jalil, SE., M.Sc. ( )

NIP: 2031078101 Penguji I

2. Nur Wachidah, SE., MS., AK. ( )

(4)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Hari ini 29 Juli 2021 telah dilakukan Ujian Skipsi atas mahasiswa:

1. Nama : Ummi Salamah

2. NIM : 11150820000064

3. Jurusan : Akuntansi (Audit)

4. Judul Skripsi : Faktor-Faktor Determinan Perilaku Whistleblowing: Peran Niat Melakukan Whistleblowing Sebagai Mediator

Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Juli 2021

1. Fitri Damayanti, SE., M.Si. ( )

NIP: 19810731 200604 2 003 Ketua

2. Hepi Prayudiawan, SE., MM., Ak., CA. ( )

NIP: 19720516 200901 1 1006 Penguji Ahli

3. Reskino, SE., M.Si., Ak., CA., CMA., CERA., CBV ( ) NIP: 19740928 200801 2 004 Pembimbing

(5)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ummi Salamah

NIM : 11150820000064

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : Akuntansi

Dengan ini menyatakan dalam penulisan skripsi ini saya:

1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjawabkan.

2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah orang lain.

3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.

4. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggungjawab atas karya ini.

Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya dan melalui pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar aturan di atas, maka saya siap untuk dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 11 Februari 2021

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Ummi Salamah

2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 15 Mei 1997 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Alamat : Jl. SD Cipulir RT 03 RW 06 No. 13, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 5. No.telepon : 087884163967 6. Email : [email protected] II. PENDIDIKAN 1. TK Islam Hidayatullah : 2002 - 2003 2. SDN Cipulir 09 Pagi : 2003 - 2009

3. SMP Manba’ul Ulum Asshiddiqiyah Jakarta : 2009 - 2012 4. MA Manba’ul Ulum Asshiddiqiyah Jakarta : 2012 - 2015 5. S1 Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2015 - 2021

III. PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Kharisma English Course : 2004 - 2006

2. PEC (Practical Education Center) : 2008 - 2009 3. Madrasah Diniyah dan Kebahasaan Manba’ul Ulum

Asshiddiqiyah Jakarta : 2009 - 2015

IV. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Bidang III OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) SMP Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta Periode 2010-2011

(7)

2. Anggota Departemen Humas OSPA (Organisasi Santri Ponpes Asshiddiqiyah) Periode 2013-2014

3. Anggota Departemen Sosial Keagamaan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2016-2017

4. Kepala Departemen Ekonomi Kreatif Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2017-2018

V. SEMINAR, WORKSHOP, DAN COMPANY VISIT

1. Seminar dan Bedah Buku Praktikum Statistika 1 untuk Ekonomi dan Bisnis oleh Penulis Praktikum Statistika 1, 2016.

2. Workshop Aplikasi Akuntansi Zahir oleh HMJ Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

3. Workshop Ms. Excel oleh HMJ Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

4. Seminar Edukasi dan Produk Jasa Keuangan kepada Mahasiswa Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018.

5. Seminar Nasional Generasi Berencana oleh SEMA-U UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

6. Workshop Accounting Research and Challenge Accounting Education in the

World oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2018.

7. Workshop Audit Simulation oleh HMJ Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

VI. KEPANITIAAN

1. Gebyar Lomba Akuntansi sebagai anggota panitia, 2016.

2. Company Visit Goes to PT. Astra International Tbk sebagai anggota panitia, 2016.

3. Company Visit Goes to PT. Deloitte Consulting sebagai anggota panitia, 2016.

(8)

4. Rapat Kerja Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai bendahara, 2017.

5. Accounting Week 2017: Let’s Be a Part of Challenging Moment sebagai sekertaris, 2017.

6. Gebyar Lomba Akuntansi sebagai ketua divisi bazaar, 2017.

7. Company Visit Goes to Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ketua divisi acara, 2017.

8. Kuliah Kerja Nyata (KKN) Samarasa 162 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai bendahara, 2018.

VII. LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah : Alm. Abdul Rohim

2. Ibu : Ismah

(9)

FACTORS DETERMINING OF WHISTLEBLOWING

BEHAVIOR: THE ROLE OF WHISTLEBLOWING INTENTION

AS A MEDIATOR

ABSTRACT

This study aims to axamine the factors determining of whistlelowing behavior: the role of whistleblowing intention as a mediator. This study uses primary data by distributing questionnaires to financial staff working in Islamic banking and Islamic insurance in DKI Jakarta. Sampling was done using the purposive sampling method. This research was using samples as many 99 respondents. The data analysis method that used was Partial Least Square (PLS)-SEM with the help of data analysis tool SmartPLS 3.0.

The result of this research showed that attitude towards whistleblowing, subjective norm, personal cost of reporting significantly influence on whistleblowing intention. Perceived behavioral control and ethical environment unable to contribute significantly to whistleblowing intention. Attitude towards whistleblowing, ethical environment, and whistleblowing intention significantly influence on whistleblowing behavior. Subjective norm, perceived behavioral control, and personal cost of reporting unable to contribute significantly to whistleblowing behavior. Attitude towards whistleblowing significantly influences on whistleblowing behavior through whistleblowing intention. Subjective norm, perceived behavioral control, personal cost of reporting, and ethical environmnet unable to contribute significantly to whistleblowing behavior through whistleblowing intention.

Keywords: Attitude Towards Whistleblowing, Subjective Norm, Perceived Behavioral Control, Personal Cost of reporting, Ethical Environment, Whistleblowing Intention, Whistleblowing Behavior.

(10)

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN PERILAKU

WHISTLEBLOWING: PERAN NIAT MELAKUKAN

WHISTLEBLOWING SEBAGAI MEDIATOR

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor determinan perilaku

whistleblowing: peran niat melakukan whistleblowing sebagai mediator.

Penelitian ini menggunakan data primer dengan cara menyebarkankuesioner kepada staf keuangan yang bekerja pada perbankan syariah dan asuransi syariah di DKI Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode

purposive sampling. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 99 responden.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS)-SEM dengan menggunakan alat analisis data SmartPLS 3.0.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap, norma subyektif, dan

personal cost of reporting berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Persepsi kontrol perilaku dan lingkungan etika belum dapat

berkontribusi secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Sikap, Lingkungan Etika, dan niat melakukan whistleblowing berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing. Norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting belum dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing. Sikap berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing. Norma Subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika belum dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing.

Kata kunci: Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, Personal Cost of

Reporting, Lingkungan Etika, Niat Melakukan Whistleblowing, Perilaku Whistleblowing.

(11)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu.

Puji serta syukur kehadirat Allah SWT. atas semua rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada hamba dan seluruh umat manusia di dunia dan Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan yang diridhai-Nya. Atas ijin dan keridhaan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Determinan Perilaku Whistleblowing: Peran Niat Melakukan Whistleblowing Sebagai Mediator”.

Penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Akuntansi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bimbingan, bantuan, do’a dan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Kedua orang tua saya, Mama dan Alm. Bapak yang telah memberi kasih sayang, dukungan, perhatian, semangat, serta do’a yang tidak pernah terputus kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Kedua kakak saya yaitu Mas Agus dan Mas Bayu juga kakak ipar saya

Kak Pina dan Mbak Mey yang telah mendukung secara moral dan materi demi kelancaran dan kemudahan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Semua dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah mengajari saya

dengan sabar dan mendukung secara moral.

4. Pembimbing skripsi yaitu Ibu Reskino yang telah bersedia menyediakan waktunya untuk membimbing, berdiskusi, serta memberikan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.

(12)

dalam hal kegiatan perkulihan.

6. Sahabat penulis “Sholehatunnisa” Dini, Iis, terutama Endah yang selalu membantu penulis, memberikan dukungan, berbagi suka duka dan cerita, serta berbagi ilmu selama masa perkuliahan.

7. Sahabat sejak tahun 2009 Karisma, Mei, Jeanniefer, dan Wulan yang selalu ada baik dalam masa-masa bahagia ataupun masa-masa tersulit penulis.

8. Fitri yang telah menemani penulis selama proses penyebaran kuesioner dan Bening yang telah direpotkan dengan banyak pertanyaan dari penulis. 9. Seluruh teman-teman Akuntansi B 2015 yang telah menemani proses belajar

selama 4 tahun di UIN Jakarta.

10. Seluruh pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan peneliti dari berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran, masukan dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu.

Jakarta, 11 Februari 2021

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 13 C. Pembatasan Masalah ... 14 D. Rumusan Masalah ... 15 E. Tujuan Penelitian ... 16 F. Manfaat Penelitian ... 17 BAB II ... 19 TINJAUAN PUSTAKA ... 19 A. Tinjauan Literatur ... 19

1. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) ... 19

2. Perilaku Whistleblowing ... 21

3. Niat Melakukan Whistleblowing ... 23

4. Sikap terhadap Whistleblowing (Attitude Toward Whistleblowing) ... 25

5. Norma Subyektif (Subjective Norm) ... 26

6. Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavioral Control) ... 27

7. Personal Cost of Reporting ... 28

8. Lingkungan Etika ... 29

B. Pengembangan Hipotesis ... 31

(14)

2. Pengaruh norma subyektif dengan niat melakukan whistleblowing ... 32

3. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan niat melakukan whistleblowing33 4. Pengaruh personal cost of reporting dengan niat melakukan whistleblowing ... 34

5. Pengaruh lingkungan etika dengan niat melakukan whistleblowing... 35

6. Pengaruh sikap dengan perilaku whistleblowing ... 36

7. Pengaruh norma subyektif dengan perilaku whistleblowing ... 37

8. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan perilaku whistleblowing... 38

9. Pengaruh personal cost of reporting dengan perilaku whistleblowing ... 39

10. Pengaruh lingkungan etika dengan perilaku whistleblowing ... 40

11. Pengaruh niat melakukan whistleblowing dengan perilaku whistleblowing42 12. Pengaruh sikap dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening ... 43

13. Pengaruh norma subyektif dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening ... 44

14. Pengaruh persepsi kontrol perilaku dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening ... 45

15. Pengaruh personal cost of reporting dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening ... 46

16. Pengaruh lingkungan etika dengan perilaku whistleblowing melalui niat melakukan whistleblowing sebagai variabel intervening ... 47

C. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 49

D. Kerangka Pemikiran ... 57

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 59

A. Ruang Lingkup Penelitian... 59

B. Metode Penentuan Sampel ... 59

1. Populasi dan Sampel ... 59

2. Metode Pengambilan Sampel ... 60

C. Metode Pengumpulan Data ... 60

1. Penelitian Pustaka (Library Research) ... 60

2. Penelitian Lapangan (Field Research) ... 61

D. Operasional Variabel Penelitian ... 61

1. Sikap terhadap Whistleblowing ... 62

(15)

3. Persepsi Kontrol Perilaku ... 63

4. Personal Cost of Reporting ... 64

5. Lingkungan etika ... 64

6. Niat Melakukan Whistleblowing ... 65

7. Perilaku Whistleblowing ... 66

E. Metode Analisis Data ... 68

1. Statistik Deskriptif ... 70

2. Uji Model Pengukuran atau Outer Model ... 70

3. Uji Model Struktural atau Inner Model ... 72

4. Uji Efek Intervening ... 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78

A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian... 78

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 78

2. Karakteristik Profil Responden ... 79

B. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 83

1. Hasil Uji Deskriptif ... 83

2. Hasil Uji Outer Model atau Measurement Model ... 86

3. Hasil Uji Inner Model atau Structural Model ... 95

4. Hasil Uji Efek Intervening ... 101

C. Pembahasan ... 106

1. Pengaruh Sikap terhadap Niat Melakukan Whistleblowing ... 106

2. Pengaruh Norma Subyektif terhadap Niat Melakukan Whistleblowing .. 108

3. Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku terhadap Niat Melakukan Whistleblowing ... 110

4. Pengaruh Personal Cost of Reporting terhadap Niat Melakukan Whistleblowing ... 112

5. Pengaruh Lingkungan Etika terhadap Niat Melakukan Whistleblowing 114 6. Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Whistleblowing... 115

7. Pengaruh Norma Subyektif terhadap Perilaku Whistleblowing ... 116

8. Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku terhadap Perilaku Whistleblowing 118 9. Pengaruh Personal Cost of Reporting terhadap Perilaku Whistleblowing119 10. Pengaruh Lingkungan Etika terhadap Perilaku Whistleblowing ... 121

11. Pengaruh Niat Melakukan Whistleblowing terhadap Perilaku Whistleblowing ... 122

(16)

12. Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Whistleblowing melalui Niat

Melakukan Whistleblowing sebagai Variabel Intervening ... 124

13. Pengaruh Norma Subyektif terhadap Perilaku Whistleblowing melalui Niat Melakukan Whistleblowing sebagai Variabel Intervening ... 125

14. Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku terhadap Perilaku Whistleblowing melalui Niat Melakukan Whistleblowing sebagai Variabel Intervening ... 126

15. Pengaruh Personal Cost of Reporting terhadap Perilaku Whistleblowing melalui Niat Melakukan Whistleblowing sebagai Variabel Intervening ... 127

16. Pengaruh Lingkungan Etika terhadap Perilaku Whistleblowing melalui Niat Melakukan Whistleblowing sebagai Variabel Intervening ... 128

BAB V PENUTUP ... 131 A. Kesimpulan ... 131 B. Implikasi Penelitian ... 134 C. Keterbatasan ... 134 D. Saran ... 135 Daftar Pustaka ... 136

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kasus Kecurangan Lembaga Keuangan ... 4

Tabel 2. Penelitian Terdahulu ... 49

Tabel 3. Operasional Variable Penelitian... 67

Tabel 4. Data Sampel Penelitian ... 79

Tabel 5. Data Distribusi Sampel Penelitian ... 79

Tabel 6. Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasar Jenis Kelamin ... 80

Tabel 7. Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ... 81

Tabel 8. Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasar Pendidikan Formal ... 82

Tabel 9. Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasar Lama Bekerja ... 82

Tabel 10. Statistik Deskripsi ... 83

Tabel 11. Outer Loading ... 86

Tabel 12. Outer Loading Modifikasi ... 88

Tabel 13. Cross Loading ... 90

Tabel 14. Composite Reliability and Cronbach Alpha ... 94

Tabel 15. Nilai R-Square... 95

Tabel 16. Path Coeficients (Mean, STEV, T-Value) ... 99

(18)

Daftar Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran ... 58 Gambar 2. Model Intervening ... 76 Gambar 3. Model Struktural Hasil Bootstrapping . Error! Bookmark not defined.

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Format Kuisioner ... 140

Lampiran 2. Surat Keterangan ... 151

Lampiran 3. Daftar Identitas Dan Jawaban Responden ... 157

(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kecurangan (fraud) telah lama menjadi bayang-bayang dalam setiap langkah kehidupan. Dalam keseharian masyarakat, kolom-kolom pemberitaan di media massa seringkali membahas topik kecurangan. Begitu juga portal berita dalam media elektronik pun tidak terlepas dari kasus kecurangan. Kecurangan bisa terjadi di dalam berbagai bidang diantaranya pemerintahan, perdagangan, ataupun dalam bidang penyediaan jasa. Begitupun etika dan kejujuran menjadi primadona yang sulit dicari dalam kehidupan sehari-hari.

Fraud tentu saja dapat menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Di

Amerika Serikat kita mengenal istilah SOA (Sarbanes Oxley-Act) sebagai perwujudan dari “kemarahan” rakyat Amerika yang berawal dari terbongkarnya kasus manipulasi laporan keuangan Enron serta terungkapnya

fraud dan pelanggaran etis yang dilakukan para petinggi perusahaan dan

sekutunya di tahun 2000-2001. Mereka adalah pemilik “surat-surat berharga” Enron yang kemudian menjadi tidak berharga lagi. Surat berharga tersebut yang semula berharga lebih dari USD 90 anjlok hingga 70 sen saja. Banyak di antara pemilik surat-surat berharga ini adalah para investor kecil. Mereka menulis surat kepada wakil-wakil mereka di Congress and House of

Representatives. Surat dikabulkan dan terbitlah Sarbanes-Oxley Act (SOA)

yang diundangkan Juli 2002 (Tuannakota, 2011).

Terlebih di Indonesia, kecurangan juga terjadi di berbagai bidang. Perusahaan aviasi BUMN PT Garuda Indonesia, belum lama ini menjadi buah

(21)

bibir di sejumlah pihak. Dua komisaris enggan menandatangani buku kinerja tahun 2018 yang mencatatkan laba bersih sebesar USD 809,85 ribu. Dua komisaris tersebut ialah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria. Mereka menolak menandatangani laporan dengan alasan keberatan dengan pendapatan transaksi yang tertuang di dalam perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) dan anak usaha PT Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia.

Selain itu, mereka mencium adanya ketidakwajaran dari laba yang diperoleh PT Garuda Indonesia. Perusahaan yang mengalami keuntung biasanya membagikan keuntungan (dividen) yang didapatkan kepada pemegang saham, namun Garuda tidak menebar dividen meskipun perusahaan dapat berdalih ingin melakukan ekspansi (CNN Indonesia, 2019).

Selain industri penerbangan, industri perbankan juga tidak luput dari praktik kecurangan. Hal ini sangat disayangkan karena lembaga keuangan yang paling diminati ini merupakan industri yang sangat mengedepankan kepercayaan para nasabah. Maraknya tindakan fraud di industri perbankan Indonesia lantaran memang disebabkan oleh banyak peluang dan kesempatan yang ada. Tidak jarang tindakan tersebut didasari oleh keinginan dari sikap seseorang itu sendiri (Murpratomo, 2019).

Kecurangan yang terjadi di industri perbankan salah satunya adalah kecurangan yang dilakukan PT Bank Bukopin Tbk. Bank Bukopin melakukan modifikasi data kartu kredit selama lebih dari 5 tahun yang lalu. Jumlah kartu kredit yang dimodifikasi juga cukup besar, lebih dari 100.000 kartu.

(22)

Modifikasi tersebut menyebabkan posisi kredit dan pendapatan berbasis komisi Bukopin bertambah tidak semestinya. Uniknya kejadian ini lolos dari berbagai layer pengawasan dan audit selama bertahun-tahun. Mulai dari audit internal, Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai auditor independen, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran yang menangani kartu kredit, serta OJK sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam pengawasan pebankan (Sugianto, 2019).

PT Bank Bukopin Tbk merevisi laporan keuangan selama tiga tahun periode, yaitu 2015, 2016, dan 2017 dikarenakan penyajian kembali laporan keuangan dibatasi maksimal hanya 3 tahun terakhir. Bank Bukopin merevisi laba bersih 2016 menjadi Rp 183, 56 miliar dari sebelumnya Rp 1,08 triliun. Penurunan terbesar adalah di bagian pendapatan provisi dan komisi yang merupakan pendapatan dari kartu kredit. Pendapatan ini turun dari Rp 1,06 triliun menjadi Rp 317,88 miliar. Selain masalah kartu kredit, revisi juga dilakukan pada pembiayaan anak usaha Bank Syariah Bukopin terkait penambahan saldo cadangan kerugian penurunan nilai debitur tertentu. Hal ini mengakibatkan beban penyisihan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan direvisi meningkat dan menyebabkan beban perseroan juga meningkat.

(23)

Tabel 1 Kasus Kecurangan Lembaga Keuangan

No Perusahaan Tahun Kasus

1 Bank Syariah Bukopin 2017 Penambahan saldo cadangan kerugian penurunan nilai debitur tertentu.

2 Bank Jawa Barat dan Banten Syariah

2018 Kredit fiktif senilai Rp. 548 Miliar

3 Bank Syariah Mandiri 2018 Penyaluran pembiayaan fiktif senilai Rp. 1,1 Triliun ke beberapa perusahaan dan kepentingan pribadi.

4 Prudential Life Assurance

2019 Pemotongan asuransi tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

5 Asuransi Sequis Life 2019 Tidak membayar uang klaim asuransi sebesar Rp. 1 Miliar 6 Asuransi Allianz

Utama Indonesia

2019 Kecurangan pada tiga polis asuransi miliknya.

Sumber: Ringkasan berita

Fit and Proper Test yang dilakukan oleh OJK menyatakan bahwa

Bank Syariah terdapat banyak praktik kecuangan (Rianto, 2019). Selain Bank Syariah Bukopin, kecurangan juga terjadi di PT Bank Jawa Barat dan Banten (BJB) Syariah dan PT Bank Syariah Mandiri. BJB Syariah terlilit kasus dugaan kredit fiktif yang merugikan perseroan senilai Rp 548 miliar. Kredit fiktif ini bukan satu-satunya kasus di perseroan. Berdasarkan laporan Good

Corporate Governance (GCG) 2018 yang diterbitkan oleh BJB Syariah,

(24)

kegiatan operasional bank dan kondisi keuangan secara signifikan pada tahun lalu. Keempat kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian oleh pihak internal BJB Syariah, namun BJB Syariah tidak merinci dengan detail informasi mengenai internal fraud tersebut (Arief, 2019).

Sedangkan PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) karena menyalurkan pembiayaan fiktif senilai Rp 1,1 triliun yang mengalir ke beberapa perusahaan. Hal ini dikarenakan pengajuan pembiayaan dari debitur tidak digunakan sesuai proposal ketika uang cair. Bahkan, ada indkasi pembiayaan yang cair digunakan untuk kepentingan pribadi (Fauzie & Agustiyanti, 2019).

Selain perbankan, lembaga keuangan lainnya yang diindikasikan terdapat pratik kecurangan adalah perusahaan asuransi. Keluhan sulitnya klaim asuransi dan adanya ketidaksesuaian realisasi dengan kesepakatan di awal menjadi topik yang sering dibahas. Masyarakat mengadukan PT Prudential Life Assurance karena merasa dirugikan atas pemotongan asuransi yang dilakukan perusahaan karena tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Kemudian PT Asuransi Sequis Life juga diadukan oleh konsumen karena tidak membayar uang klaim asuransi sebesar Rp 1 miliar. Sedangkan PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI) juga dikeluhkan karena konsumen menduga adanya kecurangan yang dilakukan pihak Allianz pada tiga polis asuransi miliknya (Ananta, 2019).

Berdasarkan beberapa kasus di atas, kecurangan dapat terjadi dalam bidang dan sektor apapun, sekalipun itu perbankan syariah ataupun asuransi

(25)

syariah yang seharusnya menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah juga tidak luput dari tindakan kecurangan. Terlebih di Indonesia, dimana hal-hal yang terkait dengan Syariah sedang berkembang dengan luas. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk menjadikan staff yang bekerja pada lembaga keuangan syariah sebagai objek dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta dikarenakan Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan Indonesia. Mayoritas lokasi kantor pusat dari perbankan dan asuransi syariah berada di wilayah DKI Jakarta sehingga pengambilan data bisa lebih baik dan mudah.

Kecurangan yang terjadi di lembaga keuangan syariah ini yang seharusnya menjalankan kegiatan bisnisnya berdasarkan syariah islam, harus segera diatasi agar tidak semakin merugikan banyak pihak. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi tindakan kecurangan adalah dengan melakukan tindakan whsitleblowing (meniup peluit). Whistleblowing yang berarti meniup peluit ini merupakan tindakan pelaporkan oleh seseorang kepada pihak yang berwenang untuk mengatasi tindakan kecurangan tersebut. Orang yang melakukan whistleblowing disebut whistleblower (Zhang, Chiu, & Wei, 2009).

Kehadiran dari whistleblowing di sebuah organisasi sangat penting.

Whistleblowing membutuhkan upaya kolektif di dalam suatu organisasi karena whistleblowing hanya akan efektif dalam memberantas kecurangan ketika

semua anggota organisasi berpartisipasi. Partisipasi dalam whistleblowing bisa jadi merupakan tanggapan untuk memberikan informasi tentang indikasi

(26)

kecurangan. Namun, akibat belum optimalnya sistem yang dibuat dan bergantung pada kebijakan di setiap lembaga, pelaksanaan whistleblowing di lembaga keuangan syariah masih memiliki kendala. Dengan kata lain, penerapan sistem serta belum optimalnya jaringan membuat sistem di lembaga keuang syariah masih rentan (Arif, Kompasiana, 2019).

Demikian juga masalah kerahasiaan dan keamanan, tidak hanya melindungi seseorang agar bersedia menjadi pelapor, tetapi harus dipastikan adanya tindak lanjut penelusuran investigasi dan pengungkapan laporan secara memadai, profesional, dan independen. Harus diingat bahwa kekuatan

whistleblowing akan bergantung pada whistleblower, partisispasi dari whistleblower sangat penting untuk efektifitas whistleblowing. Karena sistem

ini akan menjadi tidak berguna apabila tidak ada yang menggunakannya untuk melaporkan tindakan penipuan apapun (Iskandar & Saragih, 2018).

Pengaruh sikap merupakan salah satu yang menjadi pertimbangan seseorang untuk melakukan whistleblowing. Menurut Ponnu, Naidu, & Zamri (2008) seseorang yang akan melakukan evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari tindakan whistleblowing. Selain itu sikap juga merupakan keyakinan dan evaluasi subjektif yang dimiliki seseorang tentang konsekuensi dari melakukan tindakan whistleblowing. Jadi seseorang yang akan melakukan tindakan whistleblowing harus memiliki keyakinan bahwa

whistleblowing akan mendatangkan konsekuensi positif bagi individu yang

melakukkannya, seperti kepuasan moral dan tugas para karyawan terjamin, kontrol terhadap tindakan kecurangan makin baik, pencegahan yang dapat

(27)

merugikan perusahaan atau entitas, dll. Jadi apabila seseorang memiliki sikap positif yang baik, maka hal tersebut akan mendorong niat orang itu melakukan

whistleblowing (Latan, Ringle, & Jabbour, 2016). Namun pada kenyataannya

masih terdapat kecurangan yang terjadi di berbagai sektor termasuk perbankan dan asuransi syariah. Ini bisa disebabkan oleh keraguan yang dialami oleh akuntan ataupun auditor internal dalam menentukan sikap untuk melakukan

whistleblowing.

Selain itu, norma subyektif juga menjadi pertimbangan seseorang dalam melakukan whistleblowing karena norma subyektif merupakan persepsi membuat keputusan tentang pengaruh sosial untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tertentu. Norma subyektif merupakan persepsi yang ditimbulkan dari kebanyakan orang yang penting bagi whistleblower seperti anggota keluarga, rekan kerja, teman, dll. Seseorang cenderung akan melaporkan pelanggaran, apabila persepsi orang tersebut atas orang-orang yang penting baginya menyatakan bahwa suatu pelanggaran kecurangan itu harus dilaporkan (Perdana, Hasan, & Rasuli, 2018). Namun praktik kecurangan masih saja terjadi ini bisa disebabkan karena adanya akuntan ataupun auditor internal yang kurang mendapat dukungan normatif dari lingkungan di sekitarnya sehingga niat untuk melaporkan kecurangan juga kurang pada dalam dirinya.

Faktor lain yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan

whistleblowing adalah persepsi kontrol perilaku yang didasari oleh keyakinan

(28)

mendukung individu melakukan whistleblowing. Keyakinan ini didasarkan pada pengalaman masa lalu serta informasi dari pengalaman orang lain (Ajzen, The Theory of Planned Behaior, 1991). Semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut dan begitupun sebaliknya. Seseorang juga akan mempertimbangkan ada atau tidaknya hambatan dalam melakukan whistleblowing (Saud, 2016). Hal ini menyebabkan kecurangan masih saja terjadi karena adanya akuntan ataupun auditor internal yang merasa bahwa tindakan whistleblowing merupakan hal yang sulit dilakukan sehingga mereka kurang berniat melakukannya.

Perlindungan bagi whistleblower telah diatur dalam berbagai undang-undang. Berawal dari Undang No. 13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) tentang Perlindungan Sanksi dan Korban (PSK) yang menjamin tentang keamanan dan perlindungan hukum, perlindungan saksi dan pelapor dari segala bentuk ancaman baik ancaman fisik, ancaman terhadap keluarga maupun harta benda. Kemudian muncul regulasi mengenai whistleblowing yang diatur dalam Undang-Undang pasca revisi UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU nomor 31 tahun 2014, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, bahkan Impres nomor 7 tahun 2015 telah terjadi MoU antara LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) 17 kementrian lembaga, Komite Nasional Kebijakan

(29)

Governance (KNKG) juga membuat peraturan berjudul Pedoman Sistem Pelaporan dan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (KNKG, 2008).

Meskipun dengan adanya peraturan-peraturan diatas tersebut, tidak serta merta membuat seseorang terdorong untuk melakukan whsitleblowing. Ketakutan akan adanya ancaman pembalasan dari para pelaku kecurangan menjadi hal yang dipertimbangkan oleh whistleblower. Pandangan atau persepsi terhadap risiko pembalasan ini diistilahkan dengan Personal Cost of

Reporting. Para whistleblower merasa tidak adanya keamanan yang menjamin

ketika mereka mengungkapkan kecurangan yang terjadi di perusahaan atau organisasi. Posisi saksi di Indonesia sangat rawan terhadap tindak pembalasan seperti pengucilan dan pengancaman atau bisa berubah menjadi terdakwa. Hal tersebut kemudian diyakini menjadi salah satu penghalang bagi individu untuk melakukan tindakan whsitleblowing karena mereka takut akan konsekuensi yang dihadapi nantinya (Arif, 2019).

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi whistleblowing yaitu lingkungan etika, dimana entitas dengan lingkungan etika yang kuat akan meningkatkan niat untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan lingkungan etika yang rendah. Lingkungan etika disini juga berarti komitmen entitas yang terkait erat dengan persepsi instansi terhadap nilai-nilai moral. Secara keseluruhan, penelitian tentang etika entitas mayoritas memiliki pengaruh dalam keputusan seseorang dalam melakukan whistleblowing (Dalton & Radtke, 2013).

(30)

Tidak mudahnya menjadi seorang whistleblower membuat peneliti terus-menerus mencari tau mengenai faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan whsitleblowing. Karena apabila faktor-faktor tersebut dapat dipenuhi, maka diharapkan para whistleblower dapat bermunculan dan menjadi langkah awal dalam mengatasi masalah kecurangan. Dari banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang termotivasi untuk menjadi seorang whistleblower, penelitian ini hanya terfokus pada faktor sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost reporting, dan lingkungan etika terhadap niat melakukan whistleblowing dan dampaknya terhadap perilaku

whistleblowing.

Penelitian mengenai whistleblowing telah banyak dilakukan dan dari sebagian besar penelitian tersebut membuat peneliti tertarik untuk mencoba menguraikan faktor-faktor apa yang mempengaruhi individu untuk melakukan

whsitleblowing. Diantara berbagai motivasi melakukan whistleblowing,

Perdana, Hasan, dan Rasuli (2018) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pengaplikasian Theory of Planned Behavior yang menjelaskan bahwa timbulnya perilaku seorang individu, dikarenakan adanya niat yang mendasari perilaku tersebut, yang terbentuk oleh beberapa faktor diantaranya sikap terhadap perilaku, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan etika atas perilaku.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari artikel penelitian yang dilakukan oleh Perdana Et, Al (2018). Adapun perbedaan penelitian ini

(31)

dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Perdana Et. Al (2018), yaitu terletak pada penggunaan variabel, objek, sample, dan waktu penelitian sebagai berikut:

1. Variabel independen yang digunakan sebelumnya adalah sikap melakukan

whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan etika.

Sedangkan penelitian ini menambahkan variabel independen lainnya yaitu

personal cost reporting dengan niat melakukan whistleblowing sebagai

variabel intervening dan perilaku whistleblowing sebagai variabel dependen.

2. Populasi penelitian sebelumnya adalah auditor internal yang bekerja di BPKP Perwakilan Provinsi Riau pada tahun 2018. Sedangkan penelitian ini menggunakan populasi staff akuntan atau internal auditor yang bekerja di lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah dan asuransi syariah yang bekerja di Jakarta pada tahun 2019. Sampel yang digunakan adalah staff akuntan atau internal auditor yang bersedia mengisi kuesioner dengan sukarela.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena pertama, sikap melakukan

whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika merupakan faktor-faktor yang sangat penting

yang dapat menentukan seseorang dalam melakukan whistleblowing. Semakin tinggi niat seseorang dalam melakukan tindakan whistleblowing maka dapat mengurangi peluang seseorang dalam melakukan kecurangan. Kemudian yang

(32)

kedua, peneliti ingin mengetahui apakah sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika dalam lembaga keuangan syariah di Indonesia memiliki pengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Ketiga, selama masa penelitian karya ilmiah ini, peneliti belum menemukan penelitian yang secara spesifik menguji faktor-faktor determinan perilaku whistleblowing: peran niat melakukan whistleblowing sebagai mediator. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Determinan Perilaku Whistleblowing: Peran Niat Melakukan Whistleblowing Sebagai Mediator”.

Denga adanya penelitian ini, peneliti berharap bahwa seluruh karyawan dengan berbagai tingkatan organisasi dapat meningkatkan keinginanya dalam melakukan whistleblowing, dimana whistleblowing dapat meminimalisir adanya tindakan kecurangan di suatu perusahaan, dengan meningkatkan beberapa faktor-faktor yang berhubungan seperti sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku,

personal cost of reporting, dan lingkungan etika.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang akan diteliti untuk penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan, yaitu:

1. Adanya akuntan atau auditor internal yang masih ragu dalam menentukan sikap dalam melakukan tindakan whistleblowing.

(33)

2. Adanya akuntan atau auditor internal yang kurang mendapat dukungan normatif dari lingkungan sekitarnya dalam niat melakukan tindakan

whistleblowing.

3. Adanya akuntan atau auditor internal yang masih merasa bahwa tindakan

whistleblowing merupakan hal yang sulit dilakukan dari sisi persepsi

kontrol perilaku.

4. Adanya akuntan atau auditor internal yang takut mendapatkan tindakan balas dendam jika melakukan tindakan whistleblowing dari sisi personal

cost reporting.

5. Lingkungan etika yang dirasakan akuntan atau auditor internal sehingga muncul keraguan dalam niat melakukan tindakan whistleblowing.

6. Minimnya niatan dalam melakukan tindakan whistleblowing oleh para akuntan atau auditor yang mempengaruhi perilaku whistleblowing.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari uraian identifikasi masalah di atas maka pembatasan permasalahan yang akan diteliti untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi

kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap niat dalam melakukan tindakan whistleblowing dan dampaknya pada perilaku whistleblowing

Dari berbagai macam permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh akuntan atau auditor internal, peneliti hanya akan berfokus untuk melakukan penelitian kepada sikap melakukan whistleblowing, norma

(34)

subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap niat dalam melakukan tindakan whistleblowing dan dampaknya pada perilaku whistleblowing.

2. Hanya pada akuntan atau aditor lembaga keuangan syariah yang bekerja di DKI Jakarta

Indonesia memiliki banyak sekali akuntan atau auditor internal di berbagai macam perusahan dan berbagai macam industri. Penelitian ini akan berfokus pada akuntan atau auditor internal yang bekerja pada lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah dan asuransi syariah yang berada di area Jakarta.

3. Metode analisa data yang digunakan, yaitu analisis SEM dengan software PLS.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan sebeumnya, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap niat dalam melakukan tindakan

whistleblowing?

2. Apakah sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing?

(35)

3. Apakah niat melakukan whistleblowing berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing?

4. Apakah niat dalam melakukan tindakan whistleblowing dapat memediasi sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku whistleblowing?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti-bukti empiris dari penelitian, yaitu:

1. Pengaruh sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap niat dalam melakukan tindakan whistleblowing.

2. Pengaruh sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap perilaku whistleblowing.

3. Pengaruh niat dalam melakukan whistleblowing terhadap perilaku whistleblowing.

4. Niat melakukan tindakan whistleblowing dalam memediasi sikap melakukan whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku,

personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap perilaku whistleblowing.

(36)

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini memiliki manfaat untuk menemukan bukti empiris dari penelitian, yaitu:

1. Kontribusi Teoritis

a. Mahasiswa Jurusan Akuntansi, sebagai bahan referensi untuk menambah ilmu pengetahuan terkait dengan sikap melakukan

whistleblowing, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, lingkungan etika, niat melakukan whistleblowing,

dan perilaku whistleblowing.

b. Peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak-pikah yang akan melakukan penelitian selanjutnya mengenai topik ini.

c. Penulis, sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahan mengenai sikap melakukan whistleblower, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, personal cost of reporting, dan lingkungan etika terhadap niat melakukan whistleblowing dan dampaknya terhadap perilaku whistleblowing.

2. Kontribusi Praktis

a. Staff akuntansi, sebagai tinjauan yang diharapkan dapat dijadikan informasi untuk meningkatkan keinginan dalam melakukan tindakan

whistleblowing. Serta menjadi tinjauan yang dapat dijadikan

(37)

melakukan tindakan whistleblowing dalam hal pelaporan kasus kecurangan yang akan diungkap.

b. Auditor internal, sebagai tinjauan yang diharapkan dapat dijadikan informasi untuk mendorong pegawai dalam perusahaan tempatnya bekerja agar melakukan tindakan whistleblowing jika ditemukan tindakan kecurangan.

(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Literatur

Penelitian ini menggunakan teori utama (grand theory) yang theory of

planned behavior untuk menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan

seseorang muncul karena adanya niat untuk melakukannya. Dalam hal ini

theory of planned behavior akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan

tindakan whistleblowing.

1. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

Theory of Planned Behavior (TBP) dicetuskan oleh icek Ajzen

pada tahun 1985 ini merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned

Action (TRA), yang ditemukan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada

tahun (1975). Theory of Planned Behavior bentujuan untuk memprediksi dan memahami dampak dari niat berperilaku, mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku serta menjelaskan perilaku nyata manusia (Ajzen, The Theory of Planned Behaior, 1991).

Theory of Planned Behavior merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action, dengan menambahkan konstruk yang belum

ada dalam Theory of Reasoned Action yaitu persepsi atas perilaku. Seorang individu akan bertindak berdasarkan niat hanya jika individu tersebut memiliki kontrol terhadap perilakunya (Ajzen, The Theory of Planned Behaior, 1991). Konstruk ini ditambahkan dengan tujuan untuk memahami keterbatasan yang dimiliki seseorang dalam melakukan perilaku tertentu.

(39)

Dengan kata lain, niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol perilaku bersumber pada keyakinan terhadap kontrol tersebut.

Theory of Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku yang

dilakukan oleh seseorang muncul karena adanya niat untuk melakukannya. Berdasarkan teori ini dapat diketahui bahwa niat terbentuk dari sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku yang dimiliki individu. Sikap melakukan perilaku (attitude toward behavior) merupakan evaluasi individu secara positif atau negatif terhadap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu (Ajzen, 1991). Sikap individu terhadap suatu perilaku diperoleh dari keyakinan terhadap konsekuensi yang ditimbulkan perilaku tersebut. Apabila seseorang melakukan perilaku yang menghasilkan outcome positif, maka individu tersebut memiliki sikap positif, begitu juga sebaliknya. Norma subyektif merupakan faktor di luar individu yang menunjukan persepsi seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan. Norma subyektif tidak hanya ditentukan referensi, tetapi juga motivasi untuk patuh. Apabila seseorang meyakini bahwa sumber tersebut menyetujui dirinya melakukan suatu perilaku, maka individu tersebut akan merasakan adanya tekanan sosial untuk melakukannya, begitu juga sebaliknya (Ajzen & Fishbein, 2005). Persepsi kontrol perilaku, adalah persepsi atau kemampuan diri seseorang dalam mengontrol dirinya sendiri atas suatu perilaku. Persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh masa

(40)

lalu individu atau dipengaruhi pengalaman dari orang lain. Seseorang akan akan melakukan suatu perilaku jika telah mempertimbangkan perilaku tersebut secara positif, adanya tekanan sosial untuk melakukan perilaku, serta seseorang percaya dan memiliki kesempatan untuk melakukan suatu perilaku (Ajzen & Fishbein, 2005).

Selanjutnya merupakan komponen dari diri seseorang yang mengacu pada keinginan untuk perilaku tertentu, yaitu niat untuk melakukan perilaku. Perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh intentensi individu, melainkan juga faktor lain seperti ketersediaan sumber dan kesempatan untuk menunjukan tingkah laku tersebut (Ajzen & Fishbein, 2005).Niat terbentuk dari sikap melakukan suatu hal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku yang dimiliki individu terhadap suatu perilaku. Selanjutnya juga biaya pribadi atau Personal Cost dan lingkungan etika (ethical environment) dapat menjadi pertimbangan seseorang dalam memutuskan perilaku yang akan dijalaninya. Secara umum, teori ini menyatakan bahwa semakin besar dukungan sikap dan sorma subyektif berhubungan dengan perilaku, maka semakin kuat intensi seseorang untuk melakukan perilaku. Semakin besar persepsi kontrol perilaku yang dirasakan, maka semakin kuat intensi seseorang untuk melakukan perilaku yang dipertimbangkan (Ajzen, 1991)

2. Perilaku Whistleblowing

Perilaku (behavior) merupakan tindakan nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan niat yang ada. Sedangkan whistleblowing

(41)

merupakan sebuah tindakan untuk melaporkan kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pihak internal atau eksternal perusahaan. Whistleblowing sebagai pengungkapan yang dilakukan oleh karyawan atau mantan karyawan organisasi atau suatu praktik ilegal, tidak bermoral, atau tanpa legitimasi hukum dibawah kendali pimpinan mereka kepada individu atau organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan (Setyawati, Ardiyani, & Sutrisno, 2015).

Pelaporan pelanggaran (whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi manapun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidental) (Iskandar & Saragih, 2018).

Seseorang yang melaporkan tindak pelanggaran biasa disebut dengan whistleblower. Semua orang dapat menjadi whsitleblower, namun sayangnya tidak semua orang berani untuk melakukan hal tersebut. Pelapor pelanggaran (whistleblower) dapat berasal dari karyawan di dalam organisasi itu sendriri (pihak internal), akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pelapor yang berasal dari pihak luar (eksternal), contohnya adalah masyarakat. Pelapor lebih baik memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas dan lengkap atas terjadinya pelanggaran

(42)

yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan akan sulit untuk ditindaklanjuti (Latan, Ringle, & Jabbour, 2016).

Whistlebowing di Indonesia dapat tercermin pada peraturan

perundang-undangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berisi mengenai Perlindungan saksi dan korban. Melihat keseriusan pemerintah dalam membentuk peraturan akan hal ini, dapat disimpulkan bahwa peran whistleblower sangat diharapkan untuk memberantas tindak kecurangan atau pelanggaran. Maka dari itu

whistleblower sebagai pelapor tidak perlu merasa ragu atau takut akan hal

buruk yang akan menimpa setelah melakukan whistleblowing. 3. Niat Melakukan Whistleblowing

Salah satu cara dalam mencegah adanya pelanggaran atau kecurangan akuntansi sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan melakukan whistleblowing. Sebuat niat perilaku adalah probabilitas subjektif bahwa seseorang mempunyai probabilitas alternatif perilaku tertentu yang akan dipilih (Ajzen, 1991). Sedangkan menurut Near dan Miceli (1994) intensi seseorang dalam melakukan tindakan whistleblowing merupakan tindakan yang mungkin dilakukan individu untuk melaporkan pelanggaran baik secara internal maupun secara eksternal.

Pelaku whistleblowing seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, juga dikenal dengan istilah whistleblower yang memiliki makna

(43)

bermacam-macam. Kadang ia diartikan sebagai “saksi pelapor”, “pemukul kentongan”, atau “pengungkap fakta”. Menurut Harsanti, Ghozali, dan Chairi (2016), untuk disebut sebagai whistleblower, seseorang setidaknya harus memenuhi dua kriteria.

Pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan adanya pengungkapan kepada otoritas yang berwenang atau media massa, dugaan suatu kejahatan diharapkan dapat diungkap dan terbongkar.

Kedua, pelaku whistleblower adalah orang “dalam” yaiu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di perusahaan tempatnya bekerja atau dia berada. Karena skenario kejahatan selalu terorganisir, pelaku whistleblower juga memungkinkan merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia dapat merupakan bagian dari pelaku skandal kemudia mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

Dalam Theory of Planned Behavior (TPB), yang merupakan pengembangan dari Teori Tindakan Beralasan, perilaku whistleblowing yang ditampilkan seseorang timbul karena adanya niat (Intention) untuk berperilaku, sedangkan niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor penentu yang juga akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku.

(44)

4. Sikap terhadap Whistleblowing (Attitude Toward Whistleblowing) Sikap didefinisikan sebagai jumlah dari perasaan (afeksi) yang dirasakan seseorang untuk mendukung atau menolak suatu obyek yang dihadapi dan perasaan yang dirasakan tersebut diukur dengan skala evaluatif seperti baik atau buruk, setuju atau tidak setuju dan penting atau tidak penting (Ajzen, 1991). Sikap merupakan suatu faktor dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon positif atau negatif pada penilaian terhadap sesuatu yang diberikan. Menurut Suryono dan Chairi (2016) sikap seseorang ditentukan oleh keyakinan yang kuat atas suatu perilaku untuk mencapai hasil yang berharga baik positif atau negatif. Sedangkan menurut Park dan Blenkinsopp (2009) mengenai sejauh mana individu memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari whistleblowing adalah jumlah keyakinan yang dimiliki karyawan tentang konsekuensi dari whistleblowing dan evaluasi subjektif terhadap konsekuensi tersebut.

Dengan demikian, seseorang untuk dapat menjadi whistleblower harus memiliki komponen keyakinan bahwa whistleblowing adalah tindakan yang memiliki konsekuensi positif misalnya pencegahan yang dapat merugikan organisasi, kontrol terhadap tindakan korupsi, peningkatan kepentingan umum, kepuasan moral dan tugas karyawan (Saud, 2016). Selanjutnya keyakinan terhadap konsekuensi positif tersebut dievaluasi oleh sistem nilai individu seseorang dan menghasilkan sikap, sikap positif yang mampu mendorong kecendrungan seseorang untuk

(45)

melakukan whistleblowing. Sehingga,semakin besar kecendrungan sikap positif seseorang untuk melakukan whistleblowing semakin besar kemungkinan niat seseorang untuk melakukan whsitleblowing.

5. Norma Subyektif (Subjective Norm)

Ajzen dan Fishbein (2005) menjelaskan norma subyektif ialah persepsi seseorang atas tekanan sosial yang dirasakannya untuk melakukan (atau tidak melakukan) perilaku tertentu. Orang berniat akan melakukan perilaku ketika mereka mempertimbangkan tindakan itu positif dan percaya bahwa orang lain yang penting bagi dirinya pun berpikir mereka harus melakukan itu. Norma subyektif juga diasumsikan sebagai fungsi dari suatu keyakinan, yaitu keyakinan seseorang atas orang lain atau sekelompok orang lain yang memandang dirinya harus melakukan (atau tidak melakukan) suatu tindakan perilaku.

Keyakinan yang mendasari norma subjektif ini disebut dengan keyakinan normatif (normative beliefs). Selain itu, faktor kedua yang menentukan norma subyektif adalah adanya motivasi mematuhi (motivation to comply). Dengan kata lain, seseorang merasakan tekanan sosial pada dirinya ketika memutuskan untuk melakukan suatu perilaku.

Untuk membuat keputusan tentang pengaruh sosial untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tertentu, anggota keluarga, rekan kerja, teman, dan orang lain yang dekat dengan pembuat keputusan mungkin dapat mempengaruhi pembuat keputusan. Pelapor cenderung untuk menerima dukungan dari keluarga dan kenalan sosial (Near & Miceli,

(46)

1994). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Randall dan Gobson (1991) dalam penelitiannya bahwa pengaruh sosial mempengaruhi niat profesional untuk melaporkan rekan.

6. Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavioral Control)

Menurut ilmu psikologi persepsi merupakan pengertian seseorang tentang situasi sekarang dalam artian pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Persepsi yang dihasilkan oleh seorang individu akan bersifat subjektif dan situasional (Mahmud, 1990). Hal ini dikarenakan persepsi tentang suatu objek akan bergantung pada suatu kerangka ruang dan waktu. Sehingga satu persepsi akan terbentuk bukan dikarenakan jenis atau bentuk stimulinya, tetapi karakter dari orang yang menerima stimuli tersebut.

Persepsi kontrol perilaku didefinisikan sebagai persepsi individu tentang derajad kesulitan dalam melakukan perilaku tertentu. Beberapa individu akan merasakan bahwa akan terlalu sulit untuk melaporkan masalah, dan sebaliknya, orang lain akan merasa bahwa akan relatif mudah untuk melaporkan kesalahan. Persepsi kemampuan mengontrol perilaku adalah persepsi atau kemampuan diri individu mengenai kontrol individu tersebut atas suatu perilaku (Ajzen, 1991).

Dalam berperilaku seorang individu tidak dapat mengkontrol sepenuhnya perilakunya dibawah kendali individu tersebut ataupun dalam suatu kondisi dapat terjadi sebaliknya dimana seorang individu dapat mengkontrol perilaku dirinya dibawah kendali individu tersebut (Mahmud,

(47)

1990). Pengendalian seorang individu terhadap perilakunya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan juga faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut seperti keterampilan, kemauan, informasi, dan lain-lain. Persepsi terhadap kontrol perilaku adalah bagaimana seseorang mengerti bahwa perilaku yang ditunjukkannya merupakan hasil pengendalian yang dilakukan oleh dirinya. Hal ini memprediksikan bahwa semakin besar kontrol perilaku yang dirasakan, maka semakin kuat niat seseorang untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 1991).

7. Personal Cost of Reporting

Personal cost merupakan pandangan pegawai terhadap risiko

pembalasan atau balas dendam atau sanksi yang diterima orang yang melaporkan tindakan kecurangan (whistleblower) dari seseorang yang melakukan kecurangan yang dapat mengurangi minat pegawai untuk melaporkan kecurangan (Schultz, Johnson, Morris, & Dyrnes, 1993). Salah satu yang menjadi pertimbangan bagi seorang pegawai untuk melaporkan kecurangan adalah adanya ancaman atau pembalasan dari pelaku kecurangan. Resiko pembalasan dapat berasal dari manajemen, atasan atau rekan kerja (Bagustianto & Nurkholis, 2012).

Risiko pembalasan ini dapat berupa penolakan dari rekan kerja, mutasi ke bagian lain, penolakan kenaikan gaji, penilaian kinerja yang tidak adil (dinilai memiliki kinerja yang rendah), bahkan bentuk yang ekstrim adalah pemberhenian kerja dan penundaan promosi jabatan juga

(48)

dapat menjadi salah satu bentuk personal cost yang akan diterima pegawai tersebut (Curtis, 2006).

Bagustianto dan Nurkholis (2012) juga mengatakan bentuk lain risiko pembalasan adalah seperti paksaan untuk menarik segala tuduhan pelanggaran yang dilaporkan tanpa terkecuali, mempersulit proses pengaduan, mengisolasi pelapor, mencemarkan nama baik pelapor, tidak pernah dilibatkan lagi dalam rapat dan lainnya. Personal cost bukan hanya dampak tindakan balas dendam dari pelaku kecurangan, melainkan juga keputusan menjadi pelapor dianggap sebagai tindakan tidak etis, misalnya melaporkan kecurangan atasan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis karena menentang atasan.

8. Lingkungan Etika

Seperti istilah yang menyangkut konteks ilmiah pada umumnya, “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang; kebiasaan; adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang telah digunakan oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) untuk menunjukan filsafat moral (Bertens K. , 2007)

Seperti juga yang terjadi dalam bidang profesional lainnya, etika merupakan konsep fudamental bagi semua bidang akuntansi, pemasaran, keuangan, pemerintahan dan lain sebagainya. Perilaku dan tindakan etis

(49)

seseorang akan memberikan dampak pada orang lain dan lingkungannya termasuk lingkungan tempat ia bekerja begitu juga sebaliknya, lingkungan yang telah terbentuk di suatu organisasi dapat mempengaruhi anggota organisasinya (Nugraha, 2017). Individu yang baru memasuki sebuah instansi, biasanya akan mencoba beradaptasi dengan lingkungan instansi tersebut. Apabila individu tersebut masuk pada instansi yang memiliki lingkungan etika yang kuat, maka ia juga akan berusaha mengikuti etika yang berlaku. Begitupula dengan individu yang masuk pada instansi dengan lingkungan etika yang lemah, maka yang akan terjadi adalah individu tersebut tidak akan tau bagaimana untuk bersikap etis karena di lingkungannya sendiri tidak menerapkan hal tersebut (Suzila, 2018).

Perilakudan tindakan etis pun menjadi bagian kritis dari aktor penentu keberlangsungan perusahaan. Kesadaran akan pentingnya hal ini justru muncul ketika berbagai kasus kontra etis terjadi baik pada profesi akuntan dan maupun bisnis secara umum (Riandi, 2017). Etika yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam kasus whistleblowing adalah etika utilitarianisme. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan sejauh mana dan berapa besar atau kecilnya kerugian atau keuntungan yang dialami perusahaan jika karyawan (akuntan) membocorkan atau mendiamkan kecurangan tersebut (Keraf, 1998).

(50)

B. Pengembangan Hipotesis

1. Pengaruh sikap dengan niat melakukan whistleblowing

Sikap menurut Park dan Blenkinsopp (2009) mengenai sejauh mana individu memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari whistleblowing dan jumlah keyakinan yang dimiliki seseorang tentang konsekuensi dari whistleblowing dan evaluasi subjektif terhadap konsekuensi tersebut.dengan demikian, seseorang untuk dapat mejadi whistleblower harus memiliki komponen keyakinan bahwa

whistleblowing adalah tindakan yang memiliki konsekuensi positif seperti

pencegahan yang dapat merugikan organisasi, kontrol terhadap tindakan kecurangan, peningkatan kepentingan umum, kepuasan moral dan tugas karyawan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perdana et al. (2018) menjelaskan bahwa sikap berpengaruh terhadap niat melakukan

whistlblowing. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saud

(2016) yang menyatakan bahwa sikap berpengaruh secara signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh Winardi (2013), Latan (2016), dan Harsanti (2016) juga menyatakan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (2018) dan Rustiarini dan Sunarsih (2017) menyatakan bahwa sikap tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Chariri (2016)

Gambar

Tabel 2. Penelitian Terdahulu
Tabel 2. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)  No  Peneliti
Tabel 2. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
Tabel 2. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan itu untuk meningkatkan produksi pada usahatani organik padi putih dilakukan dengan (1) meningkatkan luas lahan, tenaga kerja dan pupuk kandang

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data maka pada bagian penutup ini akan disajikan kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian yaitu

“ Presiden mengusulkan Calon Anggota Dewan Energi Nasional yang berasal dari unsur Pemangku Kepentingan hasil penyaringan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebanyak

Gigi geraham dapat dibedakan menjadi gigi geraham kecil atau rem%lar () dan gigi geraham besar atau M%lar (M) yang memiliki fungsi mengunyah dan melumatkan makanan...

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

nasionalnya dan ini adalah hukum Inggris. 4etapi hukum Inggris ini menun$uk kembali kepada hukum Prancis yaitu hukum dari domisili. Maka apakah menurut hukum Prancis akan