• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat

Dalam dokumen IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 40-47)

4.3. Pengembangan Kelembagaan

4.3.2. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian tampak adanya saling keterkaitan antar kelima stakeholder, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, masyarakat pemanfaat sampah, masyarakat pemerhati lingkungan, dan pemerintah. Beberapa penelitian juga memperlihatkan tentang hal ini. Aspek kelembagaan dalam penge lolaan persampahan adalah distribusi fungsi, tanggung jawab dan otoritas antara lembaga lokal, regional dan pusat; struktur organsisasi dari kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan sampah kota termasuk koordinasi antar sektor; prosedur dan metode untuk perencanaan dan

81 manajemen; kapasitas lembaga yang bertanggung jawab terhadap kapabilitas staf; dan sektor swasta yang terlibat dan peranserta masyarakat dan kelompok pengguna (Schubeler 1996).

Wade et al. (2006) melakukan pengkajian pengelolaan sampah rumah tangga di Kaunas, Lithuania. Peneliti menyusun dua skenario pengelolaan, yang pertama dengan implementasi pemilahan dan daur ulang; yang kedua dengan multi treatment yang meliputi pemilahan, daur ulang dan pemulihan energi atau yang disebut dengan mechanical-biological treatment (MBT). Dengan skenario pertama sampah yang akan sampai ke TPA sekitar 65 persen, sementara dengan skenario kedua sampah yang perlu dibuang ke TPA sekitar 31 persen. Penelitian ini hanya melihat segi teknologi belum dihitung aspek ekonominya.

Kirkeby et al. (2006) melakukan pengkajian lingkungan dari teknologi dan system pengelolaan sampah. Model yang baru dikembangkan adalah EASEWASTE singkatan dari Environmental Assessment of Solid Waste System and Technologies. Model ini dapat mengidentifikasi solusi paling ramah lingkungan yang akan berbeda tergantung materi limbah dan wilayah. Model ini telah digunakan untuk mengevaluasi dua skenario yang berbeda dalam pengelolaan sampah di Denmark yang berdasar pada life cycle analysis untuk menurunkan dampak pengelolaan sampah terhadap lingkungan.

Henry et al. (2006) meneliti pengelolaan sampah di Kenya dari sudut pandang pemerintah pusat dan lokal. Adanya kemiskinan dan migrasi dari desa ke kota yang mengakibatkan permukiman tidak terencana menambah masalah pengelolaan persampahan. Temuan dari penelitian ini adalah terjadinya peningkatan pengumpulan sampah pada saat musim hujan. Pada lokasi penelitian di beberapa pemerintah daerah kelebihan pegawai yang tidak mempunyai keahlian sehingga keuangan pemerintah daerah lebih banyak digunakan untuk membayar pegawai. Hal ini mengakibatkan ketidak efisienan pengelolaan persampahan kota. Law enforcement terhadap pembuangan limbah padat, pengumpulan retribusi dan manajemen relatif rendah. Temuan lainnya adalah adanya kesediaan membayar retribusi yang tinggi dari masyarakat ekonomi menengah ke atas dan dari wilayah Central Business District (CBD) yang telah melakukan pembayaran biaya pengelolaan sampah 10 kali lebih besar dibanding dengan wilayah lain.

Pengelolaan sampah di wilayah tersebut, dilakukan oleh pengelola swasta yang mendapat lisensi dari pemerintah daerah setempat.

Penelitian meliputi analisis terhadap semua stakeholder yang selanjutnya diproses melalui analisis prospektif untuk memperoleh skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat. Setiap stakeholder berperan dalam pengembangan kelembagaan berdasarkan kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya. Masyarakat penghasil sampah adalah penghasil sampah terbesar dibandingkan sumber sampah kota lainnya. Keterbatasan pengetahuan tentang 3R membuat sampah menjadi barang tidak bernilai. Kaum ibu sebagai sosok yang paling berperan dalam menangani sampah rumah tangga perlu ditingkatkan pengetahuannya tentang 3R. Melalui pemilahan maka akan diperoleh sampah basah yang berguna untuk dijadikan kompos dan sampah kering yang bernilai jual. Masyarakat pengelola sampah, yaitu RT dan RW, adalah pelaksana pengelolaan sampah dan pembina masyarakat ditingkat lokal. Sosialisasi tentang pengelolaan sampah, termasuk 3R, dapat dilakukan oleh RT/RW. Masyarakat pemanfaat sampah berpotensi untuk mengurangi sampah yang harus dibuang ke TPA, namun menghadapi kendala utama yaitu dalam hal pemasaran produk daur ulang sampah. Dukungan yang diperlukan adalah bantuan modal atau subsidi dan pemasaran produk. Masyarakat pemerhati lingkungan, umumnya berupa LSM, berpotensi dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 3R namun seringkali menghadapi kendala berupa keterbatasan dana kegiatan. Pemerintah, dalam hal ini PD Kebersihan, tidak memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Pengelolaan sangat bersifat teknis dan belum mendukung partisipasi masyarakat dalam 3R.

Skenario terpilih yang dihasilkan adalah Agak Optimis, yaitu ada sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat. Skenario ini bertumpu pada gerakan 3R terutama pada daur ulang sampah menjadi kompos dan produk daur ulang. Sosialisasi 3R tetap dilakukan dengan tujuan pemahaman masyarakat terhadap 3R, terutama para ibu rumah tangga. Kebijakan pemerintah mengarah pada pemberian dukungan terhadap aktivitas daur ulang sampah basah dan kering berupa bantuan permodalan dan pemasaran. Rekomendasi untuk mencapai

83 skenario tersebut adalah sosialisasi 3R dan memberikan kesempatan yang luas dalam pemanfaatan sampah untuk kompos atau produk daur ulang. Dalam Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung terdapat tiga badan yang bisa bekerja sama dengan PD Kebersihan dalam mendukung usaha daur ulang sampah. Badan-badan tersebut adalah Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. Pembinaan bagi pengusaha kompos dan daur ulang bisa dilakukan oleh Sub Bidang Usaha Ekonomi Rakyat yang berada dibawah Badan Pemberdayaan Masyarakat. Dinas Pertamanan dan Pemakaman dan Dinas Pertanian adalah dua dinas yang dapat menyerap produk kompos dari para pengusaha kompos. Tabel 21 berikut ini memperlihatkan hasil analisis, pengembangan dan implementasi dari skenario pengembangan kelembagaan. Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat digambarkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat

Tabel 21 Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat

Kelompok Hasil Analisis Pengembangan Implementasi

Masyarakat penghasil sampah

1. Rumah tangga adalah penghasil terbesar sampah kota.

2. Mayoritas tingkat timbulan sampah = 10 liter per rumah per hari.

3. Mayoritas penanganan sampah rumah tangga = ibu.

4. Mayoritas masyarakat belum memahami dan melakukan 3R. 5. Sampah rumah tangga mengandung

60% sampah basah dan 40% sampah kering.

6. Pengumpulan sampah dilakukan oleh RT.

1. Ibu rumah tangga paham 3R. 2. Melalui 3R maka tingkat timbulan

sampah rumah tangga menurun sehingga jumlah sampah kota menurun.

3. Rumah tangga melakukan pemilahan sampah basah dan sampah kering. 4. Rumah tangga lambat laun mau

melakukan daur ulang berupa pembuatan kompos secara individual atau komunal.

1. Ibu rumah tangga memperoleh pengetahuan tentang 3R sampai tingkat paham dan terampil.

2. Melakukan pemilahan sampah.

3. Pada tahap lanjut melakukan komposting individual atau komunal.

Masyarakat pengelola sampah

1. RT adalah pelaksana pengumpulan sampah rumah tangga (sampah tercampur).

2. RW adalah koordinator RT dan penentu besarnya iuran sampah. 3. Tidak ada hubungan antara RW dengan

masyarakat pemanfaat sampah.

1. RT dan RW sebagai organisasi penanganan dan pembinaan persampahan lokal.

2. RT melakukan pengumpulan sampah terpilah dan penyedia sampah basah dan kering untuk masyarakat pemanfaat sampah. 3. RW berperan sebagai pembina 3R,

termasuk memberikan reward dan punishment.

1. RT menjual sampah basah dan kering kepada kelompok masyarakat pemanfaat sampah. 2. RW bekerjasama dengan LSM dalam

sosialisasi dan pelatihan 3R.

3. Memanfaatkan forum-forum di lingkungan RW sebagai wadah melakukan sosialisasi 3R, misalnya forum pengajian para ibu, kegiatan ibadah, arisan warga, dan sebagainya. 4. RW memberikan insentif bagi rumah tangga

yang sudah memilah sampah dan sanksi bagi rumah tangga yang belum memilah sampah.

85

Masyarakat pemerhati lingkungan

Kegiatan LSM dalam bidang persampahan, meliputi :

1. Sosialisi 3R

2. Pelatihan pembuatan kompos.

LSM membantu RW dalam melakukan pembinaan masyarakat tentang 3R dan pembuatan kompos skala rumah tangga.

Sosialisasi dilakukan dengan tahapan : 1. Pemahaman 3R pada kaum ibu.

2. Pelatihan pemilahan sampah menjadi sampah basah layak dikomposkan dan sampah kering layak didaur ulang.

3. Pelatihan membuat kompos skala rumah tangga.

Masyarakat pemanfaat sampah

Kendala pada usaha kompos dan daur ulang

1. Komposting : pemasaran.

2. Daur ulang : permodalan & badan hukum.

Lebih mampu dalam produksi kompos dan daur ulang karena adanya dukungan pemerintah berupa jaringan pemasaran dan legalitas usaha.

Pemulung tidak perlu bekerja di TPA.

1. Memanfaatkan sampah basah dan sampah kering dari RT

2. Membentuk organisasi/ asosiasi pengusaha kompos dan daur ulang dengan tujuan mempermudah akses terhadap pembinaan oleh pemerintah.

3. Memperbaiki mutu produk untuk menciptakan iklim pasar yang baik. Pemerintah 1. Kemampuan PD Kebersihan = 60-75%

dari jumlah sampah.

2. Teknik operasional = sampah tercampur.

3. Biaya operasional tinggi karena seluruh sampah diangkut ke TPA.

4. Usaha pengomposan dan pemulungan sampah kering dilakukan di TPA. 5. Adanya dinas/ lembaga teknis di

lingkungan pemerintah Kota Bandung yang dapat dikaitkan dengan masalah sampah, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat.

1. Teknik operasional pengelolaan sampah selaras dengan 3R, pengangkutan hanya pada sampah sisa.

2. Membangun jaringan pemasaran kompos dan produk daur ulang. 3. Membina pengusaha kompos dan

daur ulang (organisasi, koperasi, bantuan hukum).

4. Pemberian insentif bagi pengusaha kompos dan daur ulang berupa pembebasan atau keringanan pajak, bantuan modal atau kredit usaha, dan sebagainya.

1. Jumlah sampah menurun, tingkat kemampuan PD Kebersihan meningkat.

2. PD Kebersihan bisa lebih memfokuskan diri sebagai regulator dibandingkan sebagai operator.

3. Bekerjasama dengan dinas-dinas yang terkait dengan pemanfaatan kompos di lingkungan pemerintah Kota Bandung (Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian).

4. Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dalam pembinaan usaha kompos dan daur ulang.

5. Penerbitan peraturan daerah yang mengatur tentang 3R.

Rukun Warga (RW) bekerja sama dengan LSM sebagai masyarakat pemerhati lingkungan untuk melakukan sosialisasi tentang 3R kepada masyarakat penghasil sampah. Pemerintah menerbitkan peraturan tentang insentif bagi masyarakat yang sudah melakukan 3R dan disinsentif bagi masyarakat yang belum melakukan 3R. Pemahaman tentang 3R dan adanya peraturan insentif dan disinsentif tersebut akan mendorong masyarakat untuk menangani sampah dengan 3R, termasuk didalamnya memilah sampah. Keadaan ini membuat penanganan sampah oleh RT/RW dilakukan terhadap sampah terpilah. Sampah organik dan anorganik selanjutnya disalurkan kepada masyarakat pemanfaat sampah, sedangkan sampah sisa dibawa ke TPS untuk selanjutnya diangkut ke TPA oleh PD Kebersihan atau sejenisnya.

Rangkaian tersebut di atas memberikan manfaat kepada setiap stakeholder. Masyarakat penghasil sampah akan memperoleh insentif yang dapat berupa potongan biaya pengelolaan sampah, kompos yang dibuat sendiri, atau barang bekas yang dijual sendiri. Masyarakat pengelola sampah memperoleh pendapatan dari penjualan sampah organik dan anorganik, selain itu mengecilnya jumlah sampah yang harus dikelola karena hanya berupa sampah sisa. Masyarakat pemanfaat sampah memperoleh sampah organik segar sebagai bahan baku kompos dan sampah anorganik yang lebih bersih dibandingkan bila pemulungan dilakukan di TPA. Manfaat ekonomi juga diperoleh para produsen daur ulang karena adanya jaringan pemasaran yang bisa menyerap produk mereka. Pemerintah memperoleh manfaat berupa semakin kecilnya jumlah sampah yang harus diangkut ke TPA. Hal ini secara langsung akan menurunkan biaya pengangkutan sampah dan kebutuhan lahan untuk TP A. Menyusutnya jumlah sampah yang harus ditangani membuat fungsi pengelola sampah kota berubah dari operator menjadi regulator. Bilamana manfaat ini dapat dirasakan oleh setiap stakeholder maka partisipasi dari setiap stakeholder akan terus berlangsung dan akan terbentuk budaya pengelolaan sampah Kota Bandung yang berbasis partisipasi masyarakat.

Peraturan insentif dan disinsentif 3R ditujukan bagi masyarakat penghasil sampah. Peraturan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung yang mengacu pada:

87 1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP);

2. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 pasal 4 ayat 2 dan pasal 6 ayat 1;

3. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan;

4. Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung;

5. Surat Edaran Walikota Bandung Nomor 658.1/SE.030-PD.KBR Tahun 2006 kepada para camat dan lurah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan 3R.

Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai masyarakat pemerhati lingkungan menjadi pemrakarsa dalam penyusunan rancangan akademik peraturan insentif dan disinsentif 3R dengan mengikutsertakan seluruh stakeholder.

Ruang lingkup dari rancangan peraturan insentif dan disinsentif 3R meliputi bentuk, tata cara, pelaksanaan dan pengawasan. Bentuk insentif dapat berupa pembebasan iuran dan retribusi sampah, sedangkan bentuk disinsentif dapat berupa pembebanan iuran dan retribusi sampah yang besarnya beberapa kali lipat. Pemungutan iuran dan retribusi sampah adalah melalui rukun warga (RW) dengan alasan RW adalah pelaksana pengumpulan sampah dari rumah tangga. Untuk keperluan pengawasan dilakukan oleh perwakilan Perusahaan Derah Kebersihan di tingkat kecamatan.

4.3.3. Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario

Dalam dokumen IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 40-47)

Dokumen terkait