• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Penyehatan Lingkungan

BAB IV : INFORMASI STATISTIK KE-PU-AN

4.3 Infrastruktur Cipta Karya

4.3.2 Pengembangan Penyehatan Lingkungan

Hasil Susenas pada tahun 2006 memberikan gambaran fasilitas rumah yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan, yaitu penggunaan tempat buang air besar. Sekitar 60,38 persen rumahtangga memiliki tempat buang air besar sendiri. Tetapi, satu hal yang masih perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah adalah masih ada sekitar 19,67 persen rumahtangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar (Tabel 4.35).

Tempat buang air besar merupakan salah satu fasilitas sanitasi yang harus ada dalam satu rumahtangga. Penggunaan fasilitas tersebut seyogyanya hanya diperuntukkan anggota rumahtangga agar bisa selalu terjaga kebersihannya.

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIVV

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 5577

Berdasarkan Susenas tahun 2005, ada sebanyak 39,71 persen rumahtangga yang belum mempunyai fasilitas buang air besar. Presentase rumahtangga yang menggunakan fasilitas buang air besar sendiri pada tahun 2005 sedikit turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Gambar 4.8)

Gambar 4.8 Persentase Rumahtangga Menggunakan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri Menurut Tipe Daerah, 2000-2005

60,29 58,80 57,55 54,96 56,35 61,62 50 52 54 56 58 60 62 64 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber : BPS, Statistik Perumahan 2006

Untuk lokasi IPAL hingga tahun 2007 hanya beberapa provinsi yang baru terkumpul (Tabel 4.36), dan kapasitas pengolahan Jawa Barat yang paling besar (261.500 M3/ hari). Untuk Air limbah, komponen-komponen yang dibangun/perbaikan yaitu IPLT dan IPAL, truck tinja, MCK, jaga/ jamlah, dan septic tank komunal. Pembuatan IPLT dan IPAL sangat dibutuhkan untuk pemrosesan air limbah. Saat ini baru sekitar sepuluh kota di Indonesia yang melakukan pengolahan air limbah secara on site (diolah dalam satu tempat) melalui sistem perpipaan.

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di berbagai kota banyak yang tidak berfungsi. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, yaitu akses dan kualitas pengolahan yang rendah, kelembagaan yang belum efektif termasuk belum lengkapnya perangkat perundang-undangan yang ada, terbatasnya

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIVV

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 5588

kapasitas pendanaan pembangunan di daerah, serta rendahnya peran serta masyarakat dan swasta.

Seperti halnya IPAL, maka lokasi IPLT hingga tahun 2007 hanya beberapa provinsi yang baru terkumpul. Sedangkan kapasitas pengolahan lokasi IPLT paling besar hingga tahun 2007 adalah provinsi Sulawesi Selatan, yaitu 700 M3/hari (Tabel 4.37).

Pada Tabel 4.38 menunjukkan, bahwa tangki septik (49,13%) merupakan tempat penampungan akhir tinja yang paling banyak digunakan rumah tangga. Namun di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Lampung sebagian besar penduduknya memilih lobang tanah sebagai tempat penampungan akhir tinja (48,20% dan 46,39%).

Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa sekitar 50 persen rumah tangga tidak memiliki tempat penampungan limbah/ mandi/ dapur/ cuci atau air limbah rumah tangga langsung dibuang ke got/ sungai. Persentase penduduk yang membuang air limbahnya ke tempat penampungan tertutup, hanya sebesar 11,58 persen. Hal ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya tempat penampungan air limbah masih relatif kecil.

Gambar 4.9 Persentase Rumah Tangga menurut Tempat Penampungan Air Limbah/ Mandi/ Dapur/ Cuci, Tahun 2007

11,58

21,74

10,13 56,55

Penam pungan tertutup di pekarangan Penam pungan terbuka di pekarangan Penam pungan di luar pekarangan

Tanpa penam pungan/ langsung ke got/ sungai Sumber : BPS, Statistik Perumahan dan Permukiman 2007

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIVV

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 5599

Gambar 4.10 Persentase Rumah Tangga menurut Keadaan Air Got/ Selokan Di Sekitar Rumah, Tahun 2007

32,68

3,86

52,83

10,63

Lancar Mengalir lambat Tergenang Tidak ada got

Sumber : BPS, Statistik Perumahan dan Permukiman 2007

Keadaan air got/ selokan yang ada di sekitar rumah perlu diperhatikan, terutama oleh mereka yang membuang air limbahnya langsung ke got. Gambar 4.10 memperlihatkan persentase rumah tangga yang keadaan air got di sekitar rumahnya mengalir dengan lancer, yaitu 52,83 persen, sekitar 10,63 persen airnya mengalir sangat lambat, air got/ selokannya tergenang sebesar 3,86 persen, dan 32,68 persen tidak memiliki got/ selokan. Kondisi air got/ selokan yang mengalir sangat lambat perlu mendapat perhatian karena menyebabkan bau yang tidak enak dan tempat berkembang biak berbagai sumber penyakit.

Pengurangan sampah pada sumbernya dapat mengurangi beban sampah yang masuk dalam Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Salah satu masalah utama pengelolaan persampahan di Indonesia adalah bertambahnya timbunan sampah akibat jumlah penduduk yang kian bertambah. Kegiatan penggunaan kembali, pengurangan, dan daur ulang (reuse, reduce, recycle atau 3R) merupakan upaya pengurangan jumlah sampah mulai dari sumbernya. Tabel 4.39 menunjukkan lokasi TPA hingga tahun 2007 dari beberapa provinsi di Indonesia. Dari provinsi-provinsi yang ada, maka provinsi yang mempunyai lokasi TPA terluas adalah Jawa Barat (445,90 Ha). Untuk selanjutnya, solusi

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIVV

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 6600

yang akan dilakukan Pemda Jawa Barat adalah dengan menyiapkan calon lokasi yang sesuai dengan tata ruang dan persyaratan SNI.

Pada tahun 2005 diinformasikan, bahwa jenis tempat membuang sampah sebagian besar keluarga di Indonesia, terdiri atas tempat sampah kemudian diangkut, dalam lubang dibakar, sungai, dan lainnya. Dari Tabel 4.40 terlihat, bahwa tempat membuang sampah dalam lubang dibakar yang paling banyak dipilih oleh sebagian besar keluarga, yakni sebesar 45,054 desa. Sedangkan warga yang membuang sampah di sungai paling sedikit, yaitu sejumlah 4,204 desa. Di Provinsi DKI Jakarta sudah tidak ada yang membuang sampah di sungai dan tempat lainnya.

Salah satu perilaku hidup sehat yang mempengaruhi kebersihan lingkungan adalah cara pembuangan sampah. Gambar 4.11 memperlihatkan sebagian besar rumah tangga membuang sampah dengan cara membakarnya (66,23%), kemudian menimbun sampah (21,46%), serta diangkut oleh petugas (20,63%). Walaupun demikian yang membuang sampah dengan cara yang salah cukup besar seperti membuang sampah ke kali (11,34%), dibuang sembarangan (10,68%) dan lainnya (9,80%).

Gambar 4.11 Persentase Rumah Tangga menurut Cara Pembuangan Sampah, Tahun 2007 20,63 11,34 10,68 9,80 66,23 21,46

Diangkut petugas/ dibuang ke TPS/ TPA Ditimbun

Dibakar Dibuang ke kali/ selokan

Dibuang sembarangan Lainnya

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIVV

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 6611

Penyediaan prasarana serta sarana permukiman bagi kawasan rumah sederhana sehat (RSH) dilakukan untuk menurunkan harga jual rumah, sehingga diharapkan masyarakat berpenghasilan rendah punya kemampuan untuk memiliki rumah yang layak huni dalam kawasan yang sehat. Dalam Tabel 4.41 terlihat hanya Sulawesi Barat belum mendapat dukungan RSH. Peremajaan kawasan (urban renewal) menjadi salah satu upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan potensi kawasan permukiman di perkotaan. Dari tahun 2005-2007 urban renewal di Indonesia baru ada 7 kawasan (Tabel 4.38). Penyediaan prasarana dan sarana permukiman di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil dilaksanakan pada pulau kecil yang didiami penduduk dengan prasarana dan sarana terbatas. Pengembangan permukiman di pulau kecil paling banyak terdapat di Sulawesi Tenggara, yaitu ada 11 kawasan (Tabel 4.41). Pengembangan prasarana dan sarana permukiman di kawasan perbatasan dilaksanakan pada kawasan yang berbatasan langsung dengan negara lain, baik berupa daratan maupun pulau-pulau, sesuai Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Perbatasan Antar Negara. Pengembangan permukiman di daerah perbatasan sudah mencapai 91 kawasan, dimana yang paling besar adalah Sulawesi Utara, yaitu 20 kawasan (Tabel 4.41).

Dokumen terkait