• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pengembangan Sistem

Pengembangan sistem dapat berarti menyusun suatu sistem yang baru untuk menggantikan sistem yang lama secara keseluruhan atau memperbaiki sistem yang telah ada. Menurut Hoffler dkk dalam Kadir (2002) untuk mengembangkan suatu sistem informasi, kebanyakan perusahaan menggunakan suatu metodologi yang disebut metodologi pengembangan sistem. Yang dimaksud dengan metodologi ini adalah suatu proses standar yang diikuti oleh organisasi untuk melaksanakan seluruh langkah yang diperlukan untuk menganalisa, merancang, mengimplementasikan dan memelihara sistem informasi.

Prototype merupakan suatu metode dalam pengembangan sistem yang menggunakan pendekatan untuk membuat sesuatu program dengan cepat dan bertahap sehingga segera dapat dievaluasi oleh pemakai.

Metode ini memberikan ide bagi analis sistem atau pemrogram untuk menyajikan gambaran yang lengkap. Dengan demikian, pemesanan sistem akan dapat melihat pemodelan dari sistem itu baik dari sisi tampilan maupun teknik prosedural yang akan dibangun (Oetomo, 2002).

Menurut Oetomo (2002), ada dua jenis prototype yang dikembangkan oleh para ahli. Metode pertama lebih singkat dan kurang rinci dibandingakan metode kedua. Langkah-langkah dalam metode prototype yang pertama meliputi:

1. Mengidentifikasi kebutuhan pemakai. Pada tahap ini, analisis sistem akan melakukan studi kelayakan dan studi terhadap kebutuhan pemakai, baik yang meliput i model interface, teknik prosedural maupun dalam teknologi yang akan digunakan.

2. Pengembangan prototype. Pada tahap kedua ini, analis sistem bekerja sama dengan pemrogram mengembangkan prototype sistem untuk memperlihatkan kepada pemesan pemodelan sistem yang akan dibangunnya.

3. Menentukan prototype, apakah dapat diterima oleh pemesan atau pemakai. Analis sistem pada tahap ini akan mendeteksi dan mengidentifikasi sejauh mana pemodelan yang dibuatnya dapat diterima oleh pemesan. Perbaikan-perbaikan apa yang diinginkan pemesan atau bahkan harus merombak secara keseluruhan.

4. Penggunaan prototype. Pada tahap ini, analis sistem akan menyerahkan kepada pemrogram untuk mengimplementasikan pemodelan yang dibuatnya menjadi satu sistem.

Menurut Oetomo (2002), pada metode Prototype 2, ditambahkan empat langkah berikut:

1. Mengidentifikasi kebutuhan pemakai. Pada tahap ini, analisis sistem akan melakukan studi kelayakan dan studi terhadap kebutuhan pemakai, baik yang meliput i model interface, teknik prosedural maupun dalam teknologi yang akan digunakan.

2. Pengembangan prototype. Pada tahap kedua ini, analis sistem bekerja sama dengan pemrogram mengembangkan prototype sistem untuk memperlihatkan kepada pemesan pemodelan sistem yang akan dibangunnya.

3. Menentukan prototype, apakah dapat diterima oleh pemesan atau pemakai. Analis sistem pada tahap ini akan mendeteksi dan mengidentifikasi sejauh mana pemodelan yang dibuatnya dapat diterima oleh pemesan. Perbaikan-perbaikan apa yang diinginkan pemesan atau bahkan harus merombak secara keseluruhan.

4. Mengadakan sistem operasional melalui pemrogram sistem oleh pemrogram sistem oleh pemrogram berdasarkan pemodelan sistem yang telah disepakati oleh pemesan sistem.

5. Menguji sistem operasional. Pada tahap ini, pemrograman akan melakukan uji coba baik menggunakan data sekunder maupun data primer untuk memastikan bahwa sistem dapat berlangsung dengan baik dan benar, sesuai kebutuhan pemesan.

6. Melakukan sistem operasional apakah dapat diterima oleh pemesan atau harus dilakukan beberapa perbaikan, atau bahkan harus dibongkar semuanya dan dimulai dari awal lagi

7. Jika sistem telah disetujui, maka tahap terakhir adalah melakukan implementasi sistem.

Menurut Oetomo (2002), pada metode prototype 2 sangat cocok untuk pembangunan sistem skala kecil, karena kurang rincian tahapan yang dilalui dan kurangnya proses dokumentasi. Metode ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengembang sistem, karena :

1. Pengembang sistem dapat berkomunikasi aktif dengan pemakai, terkhusus dalam hal persamaan persepsi terhadap pemodelan sistem yang akan menjadi dasar pengembangan sistem operasionalnya.

2. Pemesan atau pemakai ikut terlibat secara aktif dan partisipatif dalam menentukan model dan sistem operasionalnya. Dengan kata lain, metode ini akan menghasilkan sistem dengan persektif pemakai.

3. Penggunaan metode ini meningkatkan kepuasan dari sisi pemesan karena keinginannnya dan harapannya dapat terimplementasi dengan baik, sementara pengembangan sistem menjadi lebih hemat.

Menurut Oetomo (2002), metode ini juga mengandung risiko, seperti:

1. Kurang dokumentasi secara terperinci dalam setiap tahap akan mengakibatkan deteksi dan kontrol tiap langkah kurang cermat, sehingga bila terjadi kesalahan, akan cukup sulit untuk memperbaikinya. Disamping itu, jika sistem yang berhasil

dibangun itu akan dikembangkan lagi, bisa jadi akan mengalami kesulitan karena ide-ide yang dihasilkan bersifat insidensial.

2. Pemesan dapat mengembangkan ide dan gagasannya ditengah perjalanan pembangunan sistem sehingga kadang-kadang menjadi sangat luas dan sulit untuk diimpementasikan.

Metode prototype 2 sangat cocok untuk digunakan dalam pembangunan sistem informasi yang inovatif, berdasarkan persektif pemakai dan tuntutan waktu penyelesaian yang cepat (Oetomo, 2002).

2.4.2 Metode Daur Hidup

Metode daur hidup ini merupakan metodologi klasik yang digunakan untuk mengembangkan, memelihara dan menggunakan sistem informasi. Metodologi ini mencakup sejumlah fase atau tahapan (Kadir, 2002).

Metode daur hidup ini terdiri dari beberapa tahap proses, yaitu: tahap peerencanaan, analisis, perancangan, penerapan, evaluasi, penggunaan dan pemeliharaan. Sementara itu, dalam setiap tahap dilakukan proses pendokumentasian atas segala yang telah dilakukan atau disepakati dalam setiap tahap tersebut (Kadir, 2002).

2.4.2.1 Tahap Perencanaan

Pada tahap ini, tim pembuat sistem mencoba memahami permasalahan yang muncul dan mendefenisikannya secara rinci, kemudian menentukan tujuan pembuat sistem dan mengidentifikasi kendala-kendalanya. Hasilnya dituangkan dalam proposal

proyek yang memuat tentang Teknologi Informasi yang akan digunakan dan prioritas-prioritas sistem informasi. Tahap ini menjadi sangat penting karena:

1. Permasalahan yang sebenarnya didefenisikan dan diidentifikasi secara rinci. Misalnya, pada pembangunan sistem informasi. Permasalahan-permasalahan yang melingkupinya didefenisikan, seperti penciptaan alur data dan informasi yang efisien, prosedur transaksi dan penyajian informasi secara komunikatif pada layar monitor. Selanjutnya, perlu dirumuskan tentang kasus-kasus bisnis yang ingin diselesaikan dan total investasi Teknologi Informasi yang akan disediakan. Setelah itu, perlu disusun rencana aksi yang kongkret termasuk perencanaan aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan, pembangunan dan penyebarannya.

2. Pembangunan sistem informasi harus diarahkan pada peningkatan keunggulan kompetitif.

3. Perubahan aliran informasi akan terjadi secara besar-besaran di dalam organisasi. 4. Implementasi teknologi komputer akan membawa dampak bagi tenaga kerja di

dalam organisasi.

Meskipun para pemimpin organisasi mengerti betapa pentingnya perencanaan sistem informasi, namun beberapa di antaranya tidak memiliki konsep visi yang jelas dan rencana konkret. Mereka merasa bahwa semuanya itu adalah tanggung jawab pembuat sistem. Beberapa keuntungan dari perencanaan sistem informasi berbasis komputer adalah:

1. Meningkatkan komunikasi antara manajer, pemakai, dan pembuat. 2. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya organisai.

3. Mendukung komunikasi untuk mempertanggungjawabkan kegiatan yang dilakukan oleh individu maupun departemen.

4. Mendukung proses evaluasi.

5. Memungkinkan para manajer untuk mengelolah pembangunan sistem jangka panjang.

Proses perencanaan sistem informasi mempunyai dampak secara langsung dan berlangsung lama pada semua level-level manajemen, pesaing-pesaing dan para pelanggan.

1. Para pengelolah harus dapat terlibat langsung dan meluangkan waktu untuk belajar guna mengetahui skala dan potensi dari teknologi komputer yang akan diterapkan untuk membangun Sistem Informasi Manajemen.

2. Perencanaan ini mendorong para manajer departemental untuk berpikir secara integral antar depatemental.

3. Para staf level operasional yang tidak terampil dalam mengoperasikan teknologi akan segera pensiun.

4. Perencanaan ini mendorong terbentuknya suatu keunggulan kompetitif sehingga situasi persaingan antar organisasi akan semakin kompleks.

5. Para pelanggan akan mendapat layanan yang lebih baik lagi karena informasi-informasi tentang pelanggan telah menjadi bagian yang integral di dalam sistem informasi organisasi yang terpadu.

Perencanaan sistem informasi meliputi seluruh aspek aliran informasi dalam organisasi. Membuat perencanaan sistem informasi meliputi: kebijakan, sistem

informasi, perangkat keras, perangkat lunak, komunikasi, organisasi, personil, pengelolaan, operasional, standar prosedur, fasilitas, otomatisasi perkantoran, layanan-layanan dan lain-lain (Oetomo, 2002).

Menurut Oetomo (2002), peran manajer dalam proses perencanaan adalah 1. Memberi umpan balik dan membangun kerjasama antarindividu dan siapa saja yang

terlibat baik langsung maupun tidak langsung.

2. Manajer bertanggung jawab untuk membuat kesanggupan guna menyusun perencanaan sistem informasi berbasis komputer. Jika saatnya tiba, maka pengelolah harus siap untuk mendukung implementasi rencana tersebut.

Tanpa perencanaan yang baik, sistem yang dibangun menjadi tidak optimal atau bahkan tidak dapat digunakan.

2.4.2.2 Tahap Analisis

Pada tahap ini, tim pembuat sistem akan dilakukan menganalisis permasalahan secara lebih mendalam dengan menyusun suatu studi kelayakan. Menurut Mc.Leod, terdapat enam dimensi kelayakan, antara lain: (Oetomo, 2002)

a. Kelayakan teknis, yaitu dengan menganalisis ketersediaan perangkat keras, perangkat lunak dan organisasi untuk melaksanakan proses yang diperlukan.

b. Pengembalian ekonomis, yaitu dengan menganalisis manfaat, penggunaan dan potensi pengembalian secara ekonomis dari pembangunan sistem itu. Dengan memantau sejauh mana penghematan dapat dilakukan, maka peningkatan pendapatan dan laba dapat diperoleh sehingga perusahaan dapat merasakan manfaat nyata dari pembangunan sistem informasi tersebut.

c. Pengembalian non-ekonomis, yaitu dengan menganalisis manfaat, penggunaan, potensi dan keuntungan-keuntungan yang tidak dapat diukur secara financial, seperti ketersediaan informasi yang akurat dan up to date setiap saat, citra perusahaan, moral karyawan, layanan konsumen yang semakin memikat dan penguatan posisi perusahaan terhadap para pesaingnya.

d. Hukum dan Etika, yaitu dengan menganalisis apakah sistem yang akan dibuat akan beroperasi dengan batasan hukum dan etika pada umumnya dan kultur perusahaan pada khususnya.

e. Operasional, yaitu dengan menganalisis apakah sistem dapat diimplementasikan. Hal ini menyangkut analisis terhadap tempat, lingkungan dan sumber daya manusia yang akan mengoperasikannya. Untuk memperoleh informasi yang tepat dari para pemakai, baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi konsumen dapat digunakan model kuesioner. Hal-hal yang berkaitan langsung dengan para pemakai antara lain model antarmuka yang interaktif dan komunikatif, prosedur pengoperasian dan lain sebagainya.

f. Jadwal, yaitu dengan menganalisis apakah mungkin dalam keterbatasan waktu yang ada, sistem tersebut dapat disusun dan diselesaikan.

Selain enam dimensi tersebut, studi kelayakan juga harus dilakukan terhadap beberapa faktor berikut ini agar pemodelan sistem informasi dapat digunakan dalam lingkup yang tepat (Oetomo, 2002).

a. Kelayakan organisasi. Sejauh mana organisasi mendukung dan memprioritaskan pembangunan sistem informasi? Tanpa dukungan yang penuh, sistem informasi tidak dapat terbentuk

b. Memilih kelompok bisnis atau pasar sasaran mana yang akan menjadi tujuan penetresi produk-produk yang akan dipasarkan. Pasar sasaran yang dipilih berarti juga menentukan siapa pemakai sistem tersebut kelak setelah jadi.

c. Melihat kemungkinan-kemungkinan pemodelan. Besarnya modal yang dapat dihimpun tentu akan mempengaruhi perancangan kinerja sistem. Bila modal yang tersedia besar, maka diperkirakan sistem yang dibangun sudah melibatkan teknologi-teknologi terkini.

d. Tingkat kompetisi produk harus dapat dideteksi dengan baik. Tingkat kompetisi akan mempengaruhi pengembangan sistem. Oleh karena itu, pembangunan sistem harus dilakukan dengan berorientasi pada pemakai, karena pemakailah yang akan memberi penilaian terhadap sistem dalam lingkungan kompetisi yang sangat ketat.

e. Lingkungan operasional sistem. Dimana sistem akan dioperasikan. Apakah hanya di dalam toko atau dapat diakses secara bebas melalui komputer pribadi atau warnet-warnet?. Hal ini akan mempengaruhi perancangan terhadap fleksibilitas sistem.

f. Sistem harga. Apakah dalam melakukan transaksi, harga produk didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan atau ada aturan-aturan pemberian diskon atau

bahkan terjadi tawar-menawar. Pemodelan sistem harga ini tentunya akan menentukan model pemasukan data dalam sistem.

Tahap ini harus dilakukan secara objektif agar hasilnya tidak bias karena kegagalan dalam melakukan studi kelayakan dapat mengakibatkan pada kegagalan total pembangunan sistem informasi, maka tahap ini harus dilakukan secara hati-hati oleh orang-orang yang telah berpengalaman (Oetomo, 2002).

Bila ditemukan indikasi ketidaklayakan dari hasil analisis tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap penyebab ketidaklayakan. Kemudian dilakukan pertimbangan secara cermat, apakah penyebab tersebut dapat diatasi atau tidak. Bila ya, maka segera disusun langkah-langkah konkritnya (Oetomo, 2002).

Dari tahap ini akan dihasilkan rekomendasi, apakah sistem layak untuk dibangun atau tidak. Jika rekomendasi menunjukkan bahwa sistem layak untuk dibangun, maka rekomendasi itu sebaiknya juga diikuti dengan usulan-usulan perancangannya termasuk perkiraan biaya yang dibutuhkan (Oetomo, 2002).

2.4.2.3 Tahap Perancangan

Proses perancangan diperlukan untuk menghasilkan suatu rancangan sistem yang baik, karena dengan adanya rancangan yang tepat akan menghasilkan sistem yang stabil dan mudah dikembangkan di masa mendatang (Oetomo, 2002).

Perancangan yang kurang baik akan mengakibatkan sistem yang dibangun harus dirombak total atau sistem yang dibangun akan sangat berlebihan dari kebutuhan yang diperlukan. Tahap perancangan disebut juga tahap pemecahan masalah, yaitu

dengan menyusun suatu algoritma, alur sistem, masukan, prosedur proses, keluaran dan

database (Oetomo, 2002).

2.4.2.4 Tahap Penerapan

Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengimplementasikan rancangan yang telah disusun agar dapat diwujudkan. Proses implementasi untuk prosedur dalam teknologi komputer akan menggunakan bahasa komputer. Pertimbangan untuk memilih bahasa komputer didasarkan pada dua hal, yaitu kemampuan bahasa

itu untuk menangani dan mengimplementasikan proses-proses yang dirancang (Oetomo, 2002).

Realisasi sistem pada tahap penerapan ini ditempuh dengan beberapa metode, antara lain penggunaan paket aplikasi, pengembangan oleh staf sendiri (insourcing)

dan pengembangan yang dilakukan dengan kerjasama dari pihak luar seperti konsultan atau software house (outsourcing) (Oetomo, 2002).

a. Paket Aplikasi

Metode ini paling mudah dan murah untuk dilakukan karena sistem diperoleh dengan cara membeli paket-paket aplikasi jadi yang dijual secara massal di toko-toko buku atau toko-toko komputer. Dengan menggunakan paket aplikasi ini, perusahaan akan menghemat waktu, tenaga dan dana. Namun sistem ini tidak tepat untuk sistem perusahaan yang unik, apalagi dengan skalabilitas yang besar dan kompleks. Beberapa fasilitasnya kurang andal dan biasanya sulit untuk dikembangkan lagi.

Sistem dibuat oleh staf ahli dari perusahaan sendiri. Dengan metode ini, proses pembuatan sistem dapat dikontrol dengan baik dan hemat waktu karena staf sudah memenuhi kebutuhan, model dan keinginan dari perusahaan. Biaya untuk pengembangan kelak juga akan lebih hemat. Namun melalui metode ini, sistem yang dibangun sering kali tidak memenuhi standar kualitas dan kurang terkonsep dengan baik untuk menghadapi perkembangan teknologi informasi mengingat kemampuan staf perusahaan berbeda-beda dan cenderung melakukan tambal sulam. Sementara itu tingkat ketepatan untuk menyelesaikan sistem tergolong rendah karena adanya tumpukan pekerjaan rutin (Oetomo, 2002).

c. Pengembangan yang dilakukan dengan kerjasama dari pihak luar

Metode yang dikenal outsourcing ini digunakan bila dalam pembuatan sistem informasi. Perusahaan mempercayakan kepada pihak konsultan atau software house

untuk membangun sistem yang dibutuhkan. Langkah ini ditempuh untuk memperoleh sistem yang andal dan memenuhi sistem standar kualitas. Dengan outsourcing, perusahaan akan mendapatkan sistem baru secara tepat waktu dan lebih mudah untuk merawat dan mengembangkan sistem karena hal itu menjadi tanggung jawab pembuat sistem. Namun metode ini sangat riskan karena strategi perusahaan yang diimplementasikan di dalam sistem dapat dibocorkan kepada pesaing atau pihak lain. Alternatif teknologi yang digunakan juga sangat tergantung dari pihak konsultan tersebut (Oetomo, 2002).

Pada tahap ini dilakukan uji coba sistem yang telah selesai disusun. Proses uji coba ini diperlukan untuk memastikan bahwa sistem tersebut sudah benar, sesuai karakteristik yang ditetapkan (Oetomo, 2002).

Proses uji coba dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, pengujian dilakukan dengan mengecek alur sistem secara keseluruhan, apakah sudah benar dan sesuai harapan. Tahap kedua dilakukan pengecekan dengan sampel data dan dilakukan dengan penelusuran, apakah prosedur yang digunakan untuk mengolah data menjadi informasi sudah benar dan beroperasi sesuai dengan logika sistem yang tepat. Tahap ketiga, dilakukan pengecekan dengan melibatkan data yang sesungguhnya (Oetomo, 2002).

Menurut Oetomo (2002), disamping pengecekan terhadap sistem yang terbentuk, perlu dilakukan evaluasi terhadap perangkat keras yang digunakan. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi perangkat keras adalah: 1. Kemampuan perangkat keras itu sendiri yang meliputi kecepatan proses dalam

distribusinya.

2. Seberapa besar biaya yang harus disediakan untuk pengoperasian dan perawatan sistem.

3. Kompatibilitas perangkat keras terhadap sistem-sistem yang terkait. 4. Seberapa lama teknologi yang digunakan akan dapat bertahan.

5. Sejauh mana pilihan-pilihan terhadap komputer yang digunakan memperhatikan faktor-faktor ergonomik.

6. Tingkat keandalan dan skalabilitas jaringan komputer yang dibangun sebagai infrastruktur sistem tersebut.

2.4.2.6 Tahap Penggunaan dan Pemeliharaan

Pada tahap ini sistem yang sudah diuji coba dan dinyatakan lolos dapat mulai digunakan untuk menangani prosedur bisnis yang sesungguhnya. Selama sistem digunakan, tim teknis harus memperhatikan masalah pemeliharaan sistem. Hal tersebut penting untuk memelihara keutuhan data dan informasi yang telah dihimpun di dalamnya (Oetomo, 2002).

Pemeliharaan sistem secara rutin dapat meliputi penataan ulang database, memback-up dan scanning virus. Sementara itu, pemeliharaan juga termasuk melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjaga kemutakhiran sistem atau pembetulan atas kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dan belum diketahui sebelumnya (Oetomo, 2002).

2.4.3 Metode Spiral

Metode ini dikembangkan sebagai gabungan dari metode Prototype dan Daur Hidup. Metode ini dirancang secara evolusioner dengan tahapan yang jelas, tetapi terbuka juga bagi partisipasi pemesan untuk ikut serta guna menentukan pemodelan dari sistem yang dirancang tersebut (Oetomo, 2002).

Menurut Elelista (2008) model spiral dibagi menjadi enam wilayah tugas yaitu:

2. Perencanaan, yaitu tugas-tugas untuk mendefinisikan sumber daya, ketepatan waktu, dan proyek informasi lain yang berhubungan.

3. Analisis resiko, yaitu tugas-tugas yang dibutuhkan untuk menaksir resiko manajemen dan teknis.

4. Perekayasaan, yaitu tugas yang dibutuhkan untuk membangun satu atau lebih representasi dari apikasi tersebut.

5. Konstruksi dan peluncuran, yaitu tugas-tugas yang dibutuhkan untuk mengkonstruksi, menguji, memasang dan memberi pelayanan kepada pemakai.

6. Evaluasi Pelanggan, yaitu tugas-tugas untuk mendapatkan umpan balik dari

pelanggan.

Gambar 2.1 Metode Spiral 2.4.4 Selfsourcing

Selfsourcing adalah model pengembangan dan dukungan sistem teknologi informasi yang dilakukan para pekerja disuatu area fungsional dalam organisasi

(misalnya Akunting, Keuangan dan Produksi) dengan sedikit bantuan dari pihak spesialis sistem informasi atau tanpa sama sekali. Model ini dikenal juga dengan istilah

end-user computing atau end-user development (Kadir, 2003).

2.4.5 Outsourcing

Outsourcing adalah pendelegasian terhadap suatu pekerjaan dalam sebuah organisasi ke pihak lain dengan jangka waktu tertentu, biaya tertentu dan layanan tertentu. Bentuk outsourcing yang umum dilakukan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah bidang layanan kebersihan ruangan. Dalam bidang teknologi informasi, beberapa bank di Indonesia telah menerapkan outsourcing. Dalam hal ini, pengembang sistem dilakukan oleh perusahaan perangkat lunak (Kadir, 2003).

Dokumen terkait