• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Pengendalian Hama

Dalam sistem pertanian yang ekologis dan sehat pengendalian hama seharusnya menggunakan biopestisida atau dalam bahasa petani disebut larutan nabati. Penggunaan biopestisida yang dilakukan oleh petani di Desa Pablengan biasanya dilakukan sesuai dengan hama yang menyerang. Sebanyak 75% petani melakukan rotasi tanam untuk menghindari hama yang sama di lahan. Hama yang menyerang tanaman sesuai dengan jenis tanamannya. Sebanyak 92.5% petani menyatakan bahwa sistem agroekologi dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Seluruh responden sepakat penerapan agroekologi mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama.

Hama tanaman padi yang ditemui di lokasi penelitian adalah hama wereng dan penggerek batang. Menurut petani hama wereng merupakan hama yang paling sulit untuk dimusnahkan dan belum ditemukan juga bahan alami yang dapat memusnahkan hama tersebut, sehingga petani melakukan penyemprotan berulang kali. Hama lain yang sering merepotkan petani dan menyebabkan kerugian adalah penggerek batang. Penggerek batang adalah hama yang ulatnya hidup dalam batang padi. Hama ini berubah menjadi ngengat berwarna kuning atau coklat; biasanya 1 larva berada dalam 1 anakan. Ngengat aktif di malam hari. Larva betina menaruh 3 massa telur sepanjang 7-10 hari masa hidupnya sebagai serangga dewasa. Massa telur penggerek batang kuning berbentuk cakram dan ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat terang dari abdomen betina. Setiap massa telur mengandung sekitar 100 telur.Padi juga diserang oleh hama tikus, hama ini dapat dikendalikan dengan menggunakan biopestisida (larutan nabati) yaitu menggunakan daun pandan, dengan cara daun pandan yang telah diiris kemudian disebar ke sawah. Berikut adalah biopestisida alami (larutan nabati) yang digunakan petani :

1. Kelompok tumbuhan untuk mengendalikan hama insekta,contohnya babandotan, aglaia, bengkuang,bitung.

2. Kelompok tumbuhan sebagai pemikat (atraktan) untuk mengendalikan lalat buah,contohnya daun wangi, selasih ungu, dan selasih hijau. 3. Kelompok tumbuhan untuk mengendalikan tikus,contohnya gadung. 4. Kelompok tumbuhan sebagai pengendali cacing-cacingan, contohnya

Petani juga menggunakan kelompok tumbuhan untuk mengendalikanbeberapa jenis hama (serbaguna) contohnya jambu mete, lada, mimba, tembakau,cengkeh, jarak dan kecubung.

Petani responden pada penelitian ini mengendalikan hama walang sangit dengan menggunakan daun sirsak yang ditumbuk dan dicampur dengan air. Selain itu, untuk hama yang menyerang tanaman kayu-kayuan, cabe, bayam, kangkung petani masih menggunakan jeruk nipis dan kenikir. Petani di lokasi penelitian juga menggunakan pengetahuan lokal dalam mengendalikan hama. Pengetahuan lokal yang dimanfaatkan petani misalnya informasi tentang waktu tanam yaitu menggunakan bulan jawa (setiap tanggal 18 bulan jawa) dengan perhitungan ini diharapkan dapat mengurangi serangan hama dan meningkatkan hasil.

Kelembagaan dan Pendidikan Petani

Berdasarkan wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) penilaian sebagian besar petani mengenai penerapan agroekologi awalnya dianggap merugikan karena dengan menggunakan pupuk kandang dan pengurangan pupuk kimia menyebabkan hasil produksi berkurang. Berkurangnya hasil produksi merupakan awal perubahan yang dirasakan petani dari yang biasa menggunakan pupuk kimia dengan tanpa penggunaan pupuk kimia. Sehingga sangat diperlukan penyuluhan atau pendidikan non formal untuk petani agar mereka dapat lebih mengerti dan memahami keuntungan dari penerapan agroekologi.

Tabel 7 Tanaman yang Digunakan Petani Responden Sebagai Bahan Pembuatan Larutan Nabati

No Jenis Tanaman Bagian yang digunakan Hama/Penyakit yang dikendalikan

1 Adas Biji Kutu (beras, sereal, palawija) 2 Alang-alang Rimpang Antraknosa pada buncis 3 Babandotan Seluruh tanaman Nematoda pada kentang 4 Bengkoang Biji Ulat pada kubis

5 Brotowali Batang Lalat buah

Kutu aphids pada cabe 7 Daun wangi Daun Lalat buah, bactrocera

dorsalis

8 Gadung Umbi Tikus/rodentisida 9 Jahe Rimpang Ulat pada kubis 10 Jambu mete Kulit Ulat jambu mete 11 Jambu biji Daun Antraknosa

12 Jengkol Buah Walan gsangit pada cabe 13 Kacang babi Biji Ulat pucuk

14 Kayu manis Daun Pestisida organic

15 Kemangi Daun Busuk hitam pada anggrek 16 Kecubung Bunga Kutu, ulat tanah

17 Kenikir Bunga Walangsangit Sumber : Hasil wawancara dan FGD

Penyuluhan dan pendidikan non formal petani di lokasi penelitian diawali dengan pembentukan kelompok tani seperti Pagar Alam. Kelompok tani ini kemudian bergabung dan mendirikan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Cabang Kabupaten Karanganyar. Kelembagaan petani ini merupakan wadah para petani untuk saling bertukar informasi dan pengalaman. Kelembagaan petani ini juga menyelanggarakan terjadinya proses penyuluhan sesama petani. Para petani saling berbagi pengalaman untuk mengatasi organisme pengganggu tanaman (OPT) pada lahan petani. Petani juga bertukar informasi tentang benih yang unggul. Kelembagaan petani ini juga menyelenggarakan pelatihan pengomposan, pembuatan mikrob lokal, pembuatan larutan nabati (biopestisida dan biofungisida cara petani), penangkaran benih dan pemuliaan tanaman.

Petani yang menjadi responden pada penelitian ini semuanya menyatakan bahwa kelembagaan petani baik melalui kelompok tani dan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia Cabang Karanganyar adalah untuk mendorong sistem agroekologi. Responden pada penelitian ini 100 % menyatakan mendapat manfaat dari adanya lembaga milik petani. Namun kelembagaan petani ini tidak seluruhnya mendorong untuk terciptanya pangan lokal sebab terdapat 12.5% petani yang masih melakukan tata niaga hasil pertanian ke luar dari Kabupaten Karanganyar.

Petani responden melalui wawancara dan FGD menyatakan pertemuan mereka rutin setiap bulannya. Petani dalam setiap pertemuan membahas tentang persiapan lahan, rencana kerja dan jadwal pelatihan, dan pemuliaan tanaman. Petani dalam setiap pertemuan juga mengumpulkan iuran untuk mengatasi keuangan anggota yang bermasalah menjelang tanam. Pertemuan rutin juga membicarakan permasalahan anggota di luar permasalahan pertanian.

Pengaruh Pengelolaan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap Keanekaragaman Mikrob Tanah

Salah satu pilar dalam praktek agroekologi adalah meningkatkan total keanekaragaman hayati tanah (Pimentel 2005). Kondisi ini dapat dihitung melalui peningkatan spesies dan populasi miroorganisme di dalam tanah perlakuan agroekologi. Perbedaan pertanian konvensional dengan agroekologi yang paling nyata adalah peningkatan total populasi mikrob (Francis et al. 2003). Banyak literatur menunjukan bahwa perlakuan agroekologi memperlihatkan pengaruh yang signifikan dalam kelimpahan ragam mikrobdi dalam tanah (Hole et al.

2005).

Aktivitas mikrob tanah membantu penyediaan ketersediaanhara secara langsung langsung maupun tidak langsung. Efek langsung adalah pemecahan bahan organik dan melepas unsur hara. Unsur hara yang dirilis tidak digunakan dalam membangun sel mikrob sehingga tersedia bagi tanaman (Bengtssonet al.

2005).Unsur hara juga tersedia dari biomassa mikrob yang mati karena diserang oleh mikrob lain.Efek tidak langsung adalah adanya hasil dari interaksi mikrob, tanah dan nutrisi. Misalnya adalah ketersediaan P hasil interaksi dari tanah dan mikrob pelarut fosfat.

Tabel 8 Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap Populasi Mikrob Tanah Pada 13 Minggu Setelah Tanam (MST)

Populasi Mikrob Tanah SPK g-1 Perlakuan* Total Mikrob

x 106 Azotobacter sp x 103 MPF x 103 Rhizobium x 103 Azospirillium sp x 103 IKM 32.78 a 0.96 c 2.10 a 1.73 b 1.92 b GKM 38.39 a 1.25 a 2.04 a 1.77 b 1.63 c IKMP 44.78 a 0.83 c 2.11 a 2.51 a 1.88 b GKMP 43.11 a 1.30 a 2.18 a 2.56 a 1.37 c IKMPS 38.01 a 1.13 b 1.88 a 1.67 c 2.50 a GKMPS 46.06 a 1.24 a 2.15 a 1.47 c 1.42 c

Keterangan : I = IF 8, G = Gandamana, K=Kompos, M = Mikrob lokal, P = Provibo, S = 50 % dosis NPK.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan total populasi mikrob antar perlakuan tidak berbeda nyata secara uji statistik. Dari Tabel 8 terlihat bahwa penambahan input tidak berpengaruh nyata terhadap populasi total mikrob baikpenambahan input berupa pupuk hayati dan NPK 50%.

Hasil penelitian menunjukan bahwa populasi mikrob pelarut fosfat (MPF) tidak berbeda dalam setiap perlakuan. Mikrob pelarut fosfat merupakan kelompok mikrob tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman. Mikrob pelarut fosfat ini dapat berupa bakteri misal Pseudomonas, Bacillus,

Escheria, Actinomycetes, dan lain lain. Sekitar sepersepuluh sampai setengah jumlah bakteri yang diisolasi dari tanah mampu melarutkan fosfat, jumlah bakteri tersebut berkisar 105 - 107 per gram tanah dan banyak dijumpai di daerah perakaran tanaman. Menurut Hole et al. (2005) dari beberapa strain bakteri, ternyata genus Pseudomonas dan Bacillus mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan fosfat. Menurut Simarmata (2004) tanaman yang memiliki cukup fosfat akan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit tanaman dan serangan hama.Hal ini diduga karena kandungan P2O5 dalam pupuk anorganik yang diberikan sebagai input pertanian tidak berpenagaruh terhadap pelepasan sejumlah unsur hara P di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut Ratna (2007), mekanisme kerja MPF dalam melarutkan P tanah dan P asal pupuk yang diberikan berdasarkan pada sistem sekresi bakteri barupa asam organik, meningkatnya asam organik biasanya diikuti dengan pembentukan kelat dari Ca dengan asam organic. Mekanisme mikrob dalam melarutkan P tanah yang terikat dan P yang berasal dari alam diduga karena asam-asam organik yang dihasilkan akan bereaksi dengan AlPO4, FePO4, dan Ca(PO4)2.Dari reaksi

tersebut terbentuk khelat organik dari Al, Fe, dan Ca sehingga P terbebaskan dan larut serta tersedia untuk tanaman (Illmer et al. 1995). Kecukpan P menyebabkan tanaman dalam penelitian ini tidak mendapat serangan hama dan penyakit yang banyak.

1. Azotobacter

Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap populasi Azotobacter berbeda nyata antar perlakuan. Apabila perlakuan dengan benih yang sama dibandingkan maka terlihat perbedaan yang nyata antar pelakuan dalam memberikan respon terhadap Azotobacter. Respon yang berbeda nyata diperlihatkan oleh perlakuan IKM dibandingkan dengan GKM, IKMP dibandingkan dengan GKMP dan IKMPS dan GKMPS. Populasi Azotobacter di rhizosper berbeda nyata antar dua varietas lokal padi yang diuji. Populasi

Azotobacter pada varietas Gandamana lebih tinggi dibanding varietas IF 8 (Tabel 8).

Azotobacter dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah telah sering diteliti namun dengan hasil yang bervariasi, bahkan kadang-kadang tidak meningkatkan hasil tanaman. Kondisi tersebut sangatlah logis mengingat kontribusi rizobakteri hidup bebas terhadap nitrogen tanah hanya sekitar 15 kg N ha-1 tahun-1 yang jauh lebih rendah daripada kontribusi bakteri penambat N2 simbiosis yang mencapai 24-584 kg N ha-1 t-1 (Shantharam & Mattoo 1997). Azotobacter secara alamiah menambat N2 di dalam rizosfer.

Azotobacter sp menggunakan karbon untuk proses metabolismenya dari substansi senyawa karbon yang ada di alam. Ketika Azotobacter diaplikasikan ke dalam benih, perkecambahan benih diperbaiki ke tingkat yang lebih baik, juga

Azotobacter berperan dalam mengontrol penyakit tanaman melalui substansi yang dihasilkan oleh Azotobacter sp. Azotobacter mendapat perlakuan yang khas dari para peneliti sebab memiliki keunikan dari model metabolismenya. Azotobacter

dapat menambat N2. secara aerob. Azotobacter mampu memproduksi protein yang dapat melindungi enzim nitrogenase dari oksigen. Ciri/sifat lain dari Azotobacter

ini adalah kemampuan dalam mensintesis tidak hanya satu macam enzim, tetapi tiga enzim nitrogenase (Halsall & Gibson 1985). Di samping menghasilkan nitrogenase Azotobacter sp juga menghasilkan thiamin, riboflavin, dan gibralin. 2. Rhizobium

Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap populasiRhizobium berbeda nyata antar perlakuan. Tabel 8. menunjukan bahwa apabila perlakuan dengan jenis benih yang sama dibandingkan maka terlihat pengaruh adanya pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi. Tabel 8 juga menunjukan bahwa input pertanian yang sama tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Apabila antar perlakuan pada penelitian ini dibandingkan berdasarkan input teknologi maka populasi Rhizobium menunjukan perbedaan yang nyata. Perlakuan dengan penambahan pupuk hayati Provibio dan

penambahan NPK 50 % dosis rekomendasi memperlihatkan respon yang berbeda. Populasi Rhizobium juga tidak terlalu tinggi karena tanaman padi bukan inang untuk Rhizobium. Penambahan Provibio secara nyata meningkatkan populasi rhizobium sebaliknya penambahan pupuk 50% dosis NPK pada perlakuan yang menggunakan Provibio justru menurunkan populasi rhizobium.

Status hara tanah memiliki pengaruh besar pada simbiosis serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup Rhizobium. Penambatan cenderung menurun seiring peningkatan N tanah. Menurut Tewari (1995), jumlah N yang diperoleh dari penambatan N2 ditentukan oleh perbedaan antara kebutuhan N tanaman dan N tersedia di tanah. Dengan peningkatan N tanah, kuantitas tanaman memperoleh N2 dari penambatan biologis menurun. Namun demikian, pemupukan nitrogen diperlukan terutama pada awal pertumbuhan sampai terjadinya simbiosis secara efektif. Kekurangan nitrogen pada awal pertumbuhan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan. Akibatnya proses infeksi oleh rhizobia pada akar terganggu. Menurut Mapegau (2007) jumlah nitrogen yang ditambat oleh simbiosis 40-70% dari seluruh nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan, sehingga diperlukan masukan nitrogen sekitar 30-60% di luar simbiosis tersebut.

Nitrogen sering menjadi faktor pembatas bagi tanaman. Hal ini karena ketersediaan N bagi tanaman yang cukup rendah di tanah sementara kebutuhan tanaman akan unsur Ncukup tinggi. Hampir 80% dari atmosfer terdiri dari gas N2, namun N2 tersebut tidak dapat digunakan langsung oleh sebagian besar makluk hidup (Kumazawa 1984).

3. Azospirillum

Perlakuan benih IKM dan IKMP memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan IKMPS, akan tetapi GKM, GKMP dan GKMPS tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Tabel 8 menunjukan bahwa pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap populasiAzospirillum

hanya berbeda nyata apabila ditambahkan dosis NPK 50 %. Pada benih IF 8. Penambahan dosis NPK 50 % diduga memberikan ekosistem terbaik untuk

Azospirillum. Azospirillum hidup bebas di dalam tanah, baik di sekitar maupun dekat dengan perakaran.Potensinya telah diketahui oleh banyak peneliti memiliki banyak manfaat baik dalam tanah maupun pada tanaman, sehingga banyak diaplikasikan sebagai biofertilizer. Eckert et al. (2001) menyatakan bahwa

Azospirillum digunakan sebagai biofertilizer karena mampu menambat N2 40-80% dari total nitrogen dalam rotan, 30 % nitrogen dalam tanaman jagung dan 26% pada tanaman padi. Akbari et al. (2007) menyatakan bahwa Azospirillum sp juga menghasilkan hormon pertumbuhan hingga 285,51 mg liter-1, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Azospirillum sp selain mampu menambat N2 dan menghasilkan hormon pertumbuhan, juga mampu merombak bahan organik di dalam tanah. Bahan organik yang dimaksud adalah bahan organik yang berasal

dari kelompok karbohidrat, seperti selulosa, amilosa, dan bahan organik yang mengandung sejumlah lemak dan protein.

Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap Produktivitas Padi

Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap tinggi tanaman berbeda nyata antar perlakuan pada tinggi tanaman umur 3 minggu setelah tanam (MST). Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadaptinggi tanaman pada 4 MST beda nyata. Pada tanaman umur 5 MST berbeda nyata untuk perlakuan GKM dan GKMP, umur 6,7 dan 8 MST berbeda nyata antara perlakuan IKMP dan GKMP (Tabel 9).

Tabel 9 Tinggi Tanaman Padi Sawah pada 3 Minggu Setelah Tanam (MST) – 8 Minggu Setelah Tanam (MST)

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST IKM 50.83c 59.97b 74.27 ab 100.73 b 94.643 c 107.33 b GKM 50.28 d 57.53c 72.66 b 99.866b 95.520 c 99.86 b IKMP 51.51 b 59.67b 73.98 ab 104.466 a 95.147 c 104.47 a GKMP 53.84 a 63.13c 74.79a 105.330b 99.270 a 105.33b IKMPS 48.88 f 58.13c 74.23 ab 103.333 a 97.850 b 103.33 a GKMPS 49.61 e 58.30c 74.04 ab 104.400 a 98.100 ab 103.40 a Keterangan : I = IF 8, G = Gandamana, K=Kompos, M = Mikrob Lokal, P = Provibo, S = 50 % dosis NPK.

Menurut Maulana (2004) produktivitas padi sawah ditentukan oleh kemampuan berproduksi varietas dan mutu usaha tani. Pertama, pemilihan benih merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktivitas lahan. Kemampuan berproduksi minimum varietas benih IF-8 adalah 6.4 ton ha-1 gabah kering panen (GKP), produktivitas maksimum adalah 14.9 ton ha-1 (GKP). Rata-rata produktivitas benih lokal varietas IF 8 adalah 10.2 ton ha-1 (GKP). Kedua, mutu usaha tani ditentukan oleh intensitas penanaman dan kualitas lahan. Intensitas penanaman dan kualitas lahan menyebabkan terkurasnya unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Petani dalam penelitian ini menanam dua kali dalam setahun kemudian diisi dengan tanaman sela berupa sayur dan kacang-kacang. Sering juga lahan diberakan untuk memulihkan lahan garapan. Para petani juga dalam setiap olah lahan menambahkan kompos jerami ke dalam lahan garapannya untuk mengurangi keluarnya unsur hara dari lahan. Kualitas lahan garapan petani agroekologi dianggap baik dan petani agroekologi juga terus memperbaiki kualitas lahannya melalui rotasi tanaman.

Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap anakan produktif hanya berbeda nyata pada perlakuan IKM, sementara pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap jumlah gabah malai-1, panjang malai dan gabah isi tidak berbeda nyata. Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap bobot 1.000 butir berpengaruh nyata pada perlakuan IKM dan GKMP. Pengaruh pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi terhadap gabah kering panen memperlihatkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Perlakuan dengan benih IF 8 memperlihatkan perbedaan yang nyata apabila ditambahkan Provibio dan 50 % dosis NPK, sama halnya dengan perlakuan benih Gandamana memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan penambahan Provibio dan 50 % dosis NPK. Hal ini menunjukan tanah di lokasi penelitian responsif terhadap penambahan Provibio dan 50 % dosis NPK.

Tabel 10 Pengaruh Pengelolaan Lahan Sawah Berbasis Agroekologi Terhadap Hasil Pengamatan Jumlah Anakan Produktif, Jumlah Gabah/Malai, Panjang Malai, Bobot 1000 butir, Gabah Isi dan Gabah Kering pada 13 MST Perlakuan* Anakan Produktif Jumlah Gabah/Malai Panjang Malai (cm) Bobot 1000 butir (g) Gabah Isi (%) Gabah Kering Panen (ton/Ha) IKM 15.177 b 166 a 27.41 a 27.30 b 92.57 a 9.23 bc GKM 18.000 a 179 a 27.48 a 28.11 ab 92.26 a 8.55 c IKMP 19.410 a 181 a 27.27 a 27.81 ab 93.48 a 9.64 b GKMP 17.440 a 173 a 26.99 a 27.39 b 93.30 a 9.04 c IKMPS 19.290 a 184 a 27.70 a 28.62 a 93.97 a 10.81 a GKMPS 19.280 a 176 a 27.13 a 27.84 ab 94.18 a 9.07 ab Keterangan : I = IF 8, G = Gandamana, K=Kompos, M = Mikrob lokal, P = Provibo, S = 50 % dosis NPK.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian produksi rata-rata padi yang dikelola dengan sistem konvensional menggunakan pupuk sintetik dan pestisida adalah sebesar 7 ton ha-1 GKP. Sistem pengairannya adalah irigasi teknis dari pengairan irigasi gunung Lawu. Pengelolaan lahan sawah berbasis agroekologi dengan menggunakan kompos, MOL, pupuk hayati Provibio dan 50 % dosis NPK menghasilkan produktivitas yang paling tinggi (Tabel 10).

Pengaruh Pengelolaan Sawah Berbasis Agroekologi terhadap Pendapatan Petani

Pendapatan merupakan faktor yang penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup seseorang termasuk petani. Seseorang akan melakukan kegiatan untuk dapat menghasilkan keuntungan atau pendapatan yang maksimal. Petani menerapkan sistem ini karena mengikuti saran yang diberikan dari pihak-pihak pemerhati pertanian dengan tujuan memaksimumkan keuntungan. Penelitian ini mengestimasi pendapatan petani yang menerapkan sistem agroekologi.

Pengurangan input eksternal yang telah dilakukan petani di lokasi penelitian adalah sekitar 200 kg pupuk kimia/ha per musim tanam dengan rincian 100 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Pengurangan penggunaan input eksternal dapat mengurangi biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh petani dan berimplikasi pada peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keuntungan ekonomi dari penerapan agroekologi. Analisis kelayakan usahatani dianalisis melalui analisis

R/C ratio.Penerimaan petani agroekologi merupakan nilai dari penjualan komoditas yang dihasilkan. Komoditas utama yang diukur pada penelitian ini adalah padi. Selain tanaman padi dihasilkan tanaman sela berupa kacang-kacangan dan sayuran. Penelitian ini hanya mengukur nilai penjualan padi. Satu musim usahatani padi dapat dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan sampai empat bulan, sehingga dalam satu tahun, panen padi dapat dilaksanakan dua kali. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan, petani juga menanam tanaman yang dapat ditanam di sekitar sawah seperti singkong dan pisang. Petani juga melakukan tanaman selingan seperti kacang-kacangan dan jagung.

Hasil penelitian menunjukan seluruh perlakuan memiliki nilai R/C ratio

lebih besar dari satu. Petani yang menerapkan perlakuan IKMPS dengan nilai Nilai R/C ratio 4,82, artinya petani denga perlakuan tersebut akan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 4,82,- dengan modal Rp. 1,-. Menurut Firdaus (2008) apabila R/C ratio melebihi dari 1 maka perlakuan usaha tani menguntungkan. Perbedaan penerimaan berdasarkan perbedaan jumlah gabah kering panen (ton ha-1) dan biaya produksi, jumlah gabah kering panen paling tinggi secara langsung akan mendapat penerimaan yang tinggi dimana biaya produksi relatif tidak berbeda nyata.

Praktek agroekologi meningkatkan produktivitas lahan dengan meminimumkan penggunaan input eksternal yang berimplikasi pada pengurangan biaya yang harus dikeluarkan petani dalam proses produksi. Perbedaan antara paket teknologi juga memberikan pengaruh yang berbeda pada pendapatan sebagaimana ditampilkan pada tabel 11.

Tabel 11 Analisis R/C Berdasarkan Pendapatan Petani

No Perlakuan Penerimaan Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) R/C Ratio 1 IKM 29,613,000 6,200,000 22,413,000 4.61 2 GKM 26,505,000 6,325,000 20,180,000 4.19 3 IKMP 29,884,000 6,550,000 23,334,000 4.56 4 GKMP 28,024,000 6,675,000 21,349,000 4.19 5 IKMPS 33,511,000 7,170,000 26,341,000 4.82 6 GKMPS 28,117,000 7,295,000 20,822,000 3.97

Keterangan : I = IF 8, G = Gandamana, K=Kompos, M = Mikrob lokal, P = Provibo, S = 50 % dosis NPK.

Paket teknologi yang menghasilkan produksi paling tinggi adalah paket teknologi dengan Mikrob lokal ditambah pupuk hayati Provibio dan pupuk sintetik dengan dosis 50% NPK (Tabel 12). Paket teknologi ini menghasilkan gabah kering rata-rata sebanyak 9,94 ton/ha dengan rata-rata pendapatan petani sebesar Rp 23.811.500. Sementara paket teknologi MOL+Kompos meningkatkan produksi rata-rata gabah sampai 8,89 ton/ha dengan rata-rata pendapatan petani mencapai Rp 21.296.500,-.

Tabel 12 Perbedaan Antar Paket Teknologi Pertanian Perlakuan Rata-rata produksi

gabah kering (ton/ha)

Rata-rata pendapatan petani (Rp) MOL+Kompos 8,89 21.296.500 MOL+ Kompos+Provibio 9,34 22.341.500 MOL+Kompos+Provibio+50 % NPK 9,94 23.811.500

Petani di lokasi penelitian juga menanam tanaman sela dilakukan untuk menambah penerimaan petani dan juga dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, tujuan petani melakukan penanaman tanaman sela adalah untuk menunggu waktu musim tanam berikutnya dan menunggu benih siap tanam. Tanaman yang ditanam setelah panen padi ini (jagung dan kacang-kacangan) memiliki umur panen tiga bulan sehingga waktu panen sesuai dengan waktu musim tanaman padi berikutnya dan benih siap tanam. Tanaman sela ini biasanya ditanam sekali dalam satu tahun. Selain tanaman sela, petani juga menanam singkong yang dapat dipanen sekali dalam satu tahun. Beberapa petani juga menanam cabe yang merupakan tanaman yang mempunyai umur enam bulan dan bisa dipanen 12 kali dalam satu musim tanam. Penerimaan petani juga diperoleh dari penanaman tanaman tahunan seperti Jabon dan sengon yang dapat dipanen selama lima tahun. Dalam penelitian ini, hasil dari pertanaman selain padi tidak digunakan untuk menghitung pendapatan petani.

Petani responden pada penelitian ini 100% menyatakan bahwa menerapkan sistem agroekologi mereka dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan mereka mengganti penggunaan pupuk kimia dengan penggunaan pupuk kandang dan pupuk organik. Kesejahteraan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material maupun

Dokumen terkait