• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KENDALA-KENDALA DALAM MELAKUKAN

A. Pengendalian Kebijakan Penuntutan

109

Kendala terjadi dalam melakukan penuntutan perkara Narkotika dalam hal

masalah penentuan jumlah tuntutan sering terjadi disparitas penuntutan karena tidak

ada ketentuan yang menjadi tolok ukur jaksa-jaksa penuntut. Untuk mempermudah

menentukan jumlah tuntutan pidana terhadap perkara Narkotika, Jaksa saat ini telah

dapat berpedoman pada Surat Keputusan Jaksa Muda Tindak Pidana Umum yang

menjadi tolok ukur tuntutan pidana Narkotika bagi Jaksa. Sebagaimana pada tabel

Barang Bukti berikut ini:110

Tabel: 1

Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ganja No. Berat / Jumlah

Barang Bukti

Tuntutan Keterangan

1 s/d 50 gr 5 thn-6 thn SEJA No. SE- 010/A/JA/12/1010 Tanggal 23 Desember 2010. s/d 1000 gr : Kejari 1 Kg-10 Kg : Kejati Di atas 10 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung 2 51 gr-100 gr 6 thn-7 thn 3 101 gr-500 gr 7 thn-8 thn 4 501 gr-1.000 gr 8 thn-10 thn 5 1.001 gr-5.000 gr 10 thn-13 thn 6 5.001 gr-10.000 gr 13 thn-15 thn 7 10.001 gr-50.000 gr 15 thn-18 thn 8 50.001 gr-100.000 gr 19 thn-20 thn 9 100.001 gr-250.000 gr Seumur hidup 10 Di atas 250.000 gr Pidana mati 11 Produsen/Penanam 5 thn-seumur hidup

Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

Berdasarkan SEJA Nomor: SE-010/A/JA/12/1010 tertanggal 23 Desember

2010 tersebut dalam tabel 1 diketahui bahwa berat atau jumlah barang bukti

Narkotika jenis Ganja sudah ditentukan jumlah tuntutan untuk kategori berat barang

110

Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-78/E/Ep.2/01/2011 tertanggal 27 Januari 2011.

bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang bukti Narkotika sebagaimana dimaksud

dalam tabel 1 di atas:

1. Berat dari 1 gram sampai dengan 50 gram tuntutannya 5 tahun sampai dengan

6 tahun penjara.

2. Berat dari 51 gram sampai dengan 100 gram tuntutannya 6 tahun sampai

dengan 7 tahun penjara.

3. Berat dari 101 gram sampai dengan 500 gram tuntutannya 7 tahun sampai

dengan 8 tahun penjara.

4. Berat dari 501 gram sampai dengan 1.000 gram tuntutannya 8 tahun sampai

dengan 10 tahun penjara.

5. Berat dari 1.001 gram sampai dengan 10.000 gram tuntutannya 13 tahun

sampai dengan 15 tahun penjara.

6. Berat dari 10.001 gram sampai dengan 50.000 gram tuntutannya 15 tahun

sampai dengan 18 tahun penjara.

7. Berat dari 50.001 gram sampai dengan 100.000 gram tuntutannya 19 tahun

sampai dengan 20 tahun penjara.

8. Berat dari 100.001 gram sampai dengan 250.000 gram tuntutannya pidananya

seumur hidup

9. Berat di atas 250.000 gram tuntutan pidananya adalah pidana mati.

10.Untuk produsen atau penanam Narkotikan tuntutan pidananya 5 tahun sampai

Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 gram sampai

dengan 1000 gram dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan

terhadap barang bukti Narkotika dari 1 Kilogram sampai dengan 10 Kilogram

dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi, penuntutan barang bukti di atas 10 Kilogram

dilakukan oleh Kejaksaan Agung, demikian pula untuk penuntutan terhadap orang

yang memproduksi atau menanam Narkotika dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Selama ini kecenderungan kendala yang dihadapi oleh jaksa adalah disparitas

dalam mengajukan tuntutan terhadap perkara sejenis. Hal tersebut diakui oleh Jaksa

Henny Merita bahwa disparitas terjadi dalam perkara yang jumlah barang buktinya

sama dan kasus posisi sejenis dituntut dengan tintutan yang berbeda.111

Jaksa Muda Tindak Pidana Umum telah mengeluarkan Surat Nomor: R-

78/E/Ep.2/01/2011 tertanggal 27 Januari 2011 hingga sampai saat ini menjadi

pedoman dalam melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika. Surat tersebut

menjadi tolok ukur penuntutan bagi jak-saksa untuk barang bukti Narkotika

(khususnya ganja, shabu-shabu/heroin, dan ekstasy).

Oleh sebab

kecenderungan disparitas jumlah tuntutan itu, Kejaksaan Agung mengeluarkan

SEMA No. SE-010/A/JA/12/1010 teranggal 23 Desember 2010.

Tabel: 2

Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Shabu-Shabu/Heroin No. Berat / Jumlah Tuntutan Keterangan

111

Wawancara dengan Jaksa Henny Merita, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Sumut, tanggal 22 November 2012.

Barang Bukti

1 s/d 10 gr 5 thn-6 thn SEJA No. SE- 010/A/JA/12/1010 Tanggal 23 Desember 2010. s/d 500 gr : Kejari 5001 gr-1 Kg : Kejati Di atas 1 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung 2 11 gr-50 gr 6 thn-7 thn 3 51 gr-100 gr 7 thn-10 thn 4 101 gr-500 gr 10 thn-13 thn 5 501 gr-1000 gr 13 thn-15 thn 6 1.001 gr-3.000 gr 15 thn-20 thn 7 3.001 gr-5.000 gr Seumur hidup 8 Di atas 5.000 gr Pidana mati 9 Produsen/Pabrikan 5 thn-pidana mati

Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor: SE-

010/A/JA/12/1010 tertanggal 23 Desember 2010 tersebut diketahui bahwa berat atau

jumlah barang bukti Narkotika jenis Shabu-Shabu atau Heroin ditentukan jumlah

tuntutan untuk kategori berat barang bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang

bukti Narkotika sebagaimana dimaksud dalam tabel 2 di atas adalah:

1. Berat dari 1 Gram sampai dengan 10 Gram tuntutannya 5 tahun sampai

dengan 6 tahun penjara.

2. Berat dari 11 Gram sampai dengan 50 Gram tuntutannya 6 tahun sampai

dengan 7 tahun penjara.

3. Berat dari 51 Gram sampai dengan 100 Gram tuntutannya 7 tahun sampai

dengan 10 tahun penjara.

4. Berat dari 101 Gram sampai dengan 500 Gram tuntutannya 10 tahun sampai

dengan 13 tahun penjara.

5. Berat dari 501 Gram sampai dengan 1.000 Gram tuntutannya 13 tahun sampai

6. Berat dari 1.001 Gram sampai dengan 3.000 Gram tuntutannya 15 tahun

sampai dengan 20 tahun penjara.

7. Berat dari 3.001 Gram sampai dengan 5.000 Gram tuntutannya pidananya

seumur hidup.

8. Berat di atas 5.000 Gram tuntutan pidana mati.

9. Produsen atau Pabrik yang memproduksi Narkotika tuntutan pidana 5 tahun

sampai dengan pidana mati.

Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 Gram sampai

dengan 500 Gram dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan

terhadap barang bukti Narkotika dari 5.001 Gram sampai dengan 1 Kilogram

dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi. Untuk penuntutan di atas 1 Kilogram dilakukan

oleh Kejaksaan Agung, dan terhadap orang yang memproduksi atau menanam

Narkotika maka penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Dapat dibandingkan dari jumlah tuntutan untuk barang bukti ganja dan heroin

sebagaimana pada tabel 1 dan tabel 2 di atas. Bahwa untuk ganja 1 s/d 50 gr

tuntutannya 5 tahun s/d 6 tahun sedangkan untuk heroin/shabu-shabu dari 1 s/d 10 gr

tuntutannya 5 tahun s/d 6 tahun. Dalam hal ini beratnya berbeda tetapi jumlah

tuntutannya sama. Berarti heorin/shabu-shabu lebih tinggi tuntutannya daripada

ganja. Hal itu juga tampak pada tuntutan untuk barang bukti ganja di atas 250.000 gr

pidana mati sedangkan tuntutan pidana mati untuk barang bukti heroin/shabu-shabu

beratnya hanya 5.000 gr.

Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ekstasy No. Berat / Jumlah

Barang Bukti

Tuntutan Keterangan

1 s/d 10 gr 5 thn-6 thn SEJA No. SE- 010/A/JA/12/1010 Tanggal 23 Desember 2010. s/d 5000 btr : Kejari 501 btr-1.000 btr : Kejati Di atas 1 Kg : Kejagung Produsen : Kejagung 2 11 gr-50 gr 6 thn-8 thn 3 51 gr-100 gr 8 thn-10 thn 4 101 gr-500 gr 10 thn-13 thn 5 501 gr-1000 gr 13 thn-15 thn 6 1.001 gr-5.000 gr 15 thn-18 thn 7 5.001 gr-9.000 gr 18 thn-20 thn 8 9.001 gr-10.000 gr Seumur hidup

Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor: SE-

010/A/JA/12/1010 tertanggal 23 Desember 2010 tersebut diketahui bahwa berat atau

jumlah barang bukti Narkotika jenis Ekstasy sudah ditentukan jumlah tuntutan untuk

kategori berat barang bukti. Kategori jumlah tuntutan untuk barang bukti Narkotika

sebagaimana dimaksud dalam tabel 3 di atas adalah:

1. Berat dari 1 Gram sampai dengan 10 Gram tuntutannya 5 tahun sampai dengan 6 tahun penjara.

2. Berat dari 11 Gram sampai dengan 50 Gram tuntutannya 6 tahun sampai dengan 8 tahun penjara.

3. Berat dari 51 Gram sampai dengan 100 Gram tuntutannya 8 tahun sampai dengan 10 tahun penjara.

4. Berat dari 101 Gram sampai dengan 500 Gram tuntutannya 10 tahun sampai dengan 13 tahun penjara.

5. Berat dari 501 Gram sampai dengan 1.000 Gram tuntutannya 13 tahun sampai dengan 15 tahun penjara.

6. Berat dari 1.001 Gram sampai dengan 5.000 Gram tuntutannya 15 tahun sampai dengan 18 tahun penjara.

7. Berat dari 5.001 Gram sampai dengan 9.000 Gram tuntutannya 18 tahun sampai dengan 20 tahun penjara.

8. Berat dari 9.001 Gram sampai dengan 10.000 Gram tuntutannya pidananya seumur hidup.

Untuk penuntutan terhadap barang bukti Narkotika dari 1 butir sampai dengan

5000 butir dilakukan oleh Kejaksaan Negeri setempat. Untuk penuntutan terhadap

barang bukti Narkotika dari 501 butir sampai dengan 1.000 butir dilakukan oleh

Kejaksaan Tinggi. Untuk penuntutan di atas 1 Kilogram dilakukan oleh Kejaksaan

Agung, dan terhadap orang yang memproduksi atau menanam Narkotika maka

penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Jika tabel 3 di atas dibandingkan dengan tabel 1, tuntutan seumur hidup

berlaku untuk barang bukti ekstasy adalah dari 9.001 gr-10.000 gr sedangkan untuk

barang bukti ganja tuntutan seumur hidup jika berat barang buktinya dari 100.001 gr-

250.000 gr. Tuntutan sama-sama seumur hidup untuk barang bukti yang berbeda

jenisnya, beratnya juga berbeda. Dari tabel 1 dan tabel 2 jumlah tuntutan ekstasy

lebih berat dibandingkan ganja. Walaupun ganja lebih berat daripada ekstasy tetapi

sama-sama dituntut seumur hidup sesuai dengan tabel 3 dan tabel 1.

Jika tabel 3 dibandingkan dengan tabel 2, tuntutan seumur hidup berlaku

untuk barang bukti ekstasy adalah dari 9.001 gr-10.000 gr sedangkan barang bukti

heroin/shabu-shabu tuntutan seumur hidup baru berlaku jika berat barang buktinya

dari 3.001 gr-5.000 gr. Dalam hal ini tuntutan sama-sama seumur hidup untuk barang

bukti yang berbeda jenisnya, beratnya juga berbeda. Tetapi jumlah tuntutan

heroin/shabu-shabu lebih berat dibandingkan ekstasy. Berarti walaupun ekstasy lebih

berat timbangannya daripada heroin/shabu-shabu tetapi sama-sama dituntut seumur

Sehingga berdasarkan tolok ukur tuntutan di atas, dapat disimpulan bahwa

tuntutan untuk barang bukti heroin/shabu-shabu lebih berat daripada tuntutan

terhadap barang bukti ekstasy dan tuntutan untuk barang bukti ekstasy lebih berat

tuntutannya dibandingkan ganja.

1. Heroin/shabu-shabu berat timbangannya dari 3.001 gr-5.000 gr dituntut

seumur hidup.

2. Ekstasy berat timbangannya dari 9.001 gr-10.000 gr dituntut seumur hidup.

3. Ganja berat timbangnnya dari 100.001 gr-250.000 gr dituntut seumur hidup.

Berat timbangan heroin/shabu-shabu lebih ringan daripada ekstasy dan

ekstasy lebih ringan daripada ganja, tetapi berdasarkan tolok ukur tersebut di atas,

jumlah tuntutan untuk ketiga barang bukti tersebut berbanding terbalik dari jumlah

berat timbangnnya. Di mana tuntutan untuk barang bukti heroin/shabu-shabu lebih

berat daripada tuntutan terhadap barang bukti ekstasy dan tuntutan untuk barang bukti

ekstasy lebih berat tuntutannya dibandingkan ganja.

Tolok ukur tuntutan pidana untuk perkara Narkotika dengan barang bukti

Ganja, Shabu-Shabu/Heroin, dan Ekstasy tersebut di atas ditetapkan berdasarkan

Lampiran Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-78/E/Ep.2/01/2011

tertanggal 27 Januari 2011. Dengan demikian tolok ukur tersebut menjadi pedoman

bagi Jaksa dalam melakukan tuntutan pidana bagi pelaku tindak pidana Narkotika.

Untuk perkara Narkotika yang barang buktinya tergolong besar sebagaimana pada

tabel di atas, maka penuntutan harus dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik

Namun, berdasarkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang

dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 2011, menegaskan bahwa tolok ukur tuntutan

pidana Narkotika di atas dapat dikesampingkan karena pertimbangan hal-hal yang

meringankan terdakwa. Apabila ancaman pidana maksimal dari pasal yang terbukti

adalah di bawah tolok ukur dimaksud, tidak pula harus ditafsirkan bahwa terdakwa

harus dituntut dengan pidana maksimal apabila dalam diri terdakwa masih terdapat

hal-hal yang meringankan tersebut.112

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-

001/JA/4/1995 tertanggal 27 April 1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana telah

mengatur kriteria yang harus dipenuhi apabila Jaksa Penuntut Umum akan menuntut

terdakwa dengan pidana maksimal (mati). Namun walaupun demikian tidak serta

merta terdakwa dapat dituntut dengan pidana maksimal sebab jika dalam diri

terdakwa masih terdapat hal-hal yang meringankan, maka terdakwa tersebut tidak

dituntut dengan pidana maksimal (mati) dimaksud.

Sebelum dikeluarkannya Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-

374/E/Ep.2/05/2011 tertanggal 10 Mei 2011, Jaksa Penuntut Umum tidak dibolehkan

melakukan tuntutan rehabilitasi terhadap terdakwa jika terdakwa ternyata berstatus

sebagai pecandu atau penyalahguna. Namun setelah berlakunya Surat Jaksa Muda

Tindak Pidana Umum Nomor: R-374/E/Ep.2/05/2011 mulai tanggal 10 Mei 2011,

112

Surat Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R-374/E/Ep.2/05/2011 tertanggal 10 Mei 2011.

seluruh jajaran Kejaksaan dapat menuntut rehabilitasi bagi terdakwa yang berstatus

sebagai pencandu atau penyalahguna.

Apabila terdapat barang bukti Narkotika dengan jumlah yang relatif banyak,

maka secara logika tidak mungkin terdakwa tersebut berstatus sebagai pencandu atau

penyalahguna, melainkan cenderung sebagai pengedar atau lainnya. Jika hal ini masih

bersifat dugaan, maka jaksa dapat berpedoman pada petunjuknya (P-19) agar

meminta kepada penyidik untuk mencari alat bukti ataupun barang bukti lain guna

dijadikan sebagai dasar menetapkan terdakwa sebagai pengedar.

Standar pembuktian di negara-negara berbeda satu sama lainnya tergantung

pada hukum pembuktian yang berlaku di negara masing-masing. Pada umumnya

pertama-tama jaksa akan memperhatikan apakah bukti-buktinya cukup apakah bukti-

buktinya dapat membentuk suatu perkara yang masih harus dikembangkan karena

hanya memiliki bukti permulaan yang minim (prima facie) atau apakah bukti-

buktinya dapat menghasilkan penghukuman oleh hakim.113

Masalah yang paling kompleks sebenarnya bukan pada waktu atau pada saat

menentukan penuntutan, terutama jika bukti-buktinya cukup untuk menghasilkan

penghukuman oleh hakim. Alasan-alasan yang paling dapat membenarkan tindakan

penghentian penuntutan itu adalah kehendak dari kepentingan umum.114

113

James L. Le Grende, The Basic Process of Criminal Justice, (New York: Glencoe Press, 1973), hal. 7.

Karena

begitu penting maka penggunaan kekuasaan diskresi di banyak negara telah

114

diusahakan beberapa cara untuk mencegah adanya disparsitas diskresi penuntutan

maupun untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan penuntutan.115

Standar tindakan penuntutan dapat dirujuk terhadap beberapa pedoman kerja.

Di negara Indonesia kejaksaannya disentralisasikan di aman setiap jaksa berada di

bawah bimbingan dan pengawasan jaksa atasannya.116 Di samping itu, latihan dan rapat-rapat kerja Kejsakaan sudah barang tentu akan mengurangi disparitas

penyelesaian penuntutan.117

Mengenai cara-cara pencegahan terhadap terjadinya penyalahgunaan

kekuasaan penuntutan, dimungkinkan dengan bermacam-macam sistem pengujian

dan pengujian kembali (check and recheck system) melalui upaya pengawasan oleh

Kejaksaan yang lebih tinggi, meninjau kembali mengenai tata cara pengajuan

permohonan kepada badan peradilan untuk penyelesaian penuntutan oleh jaksa dan

untuk melakukan penuntutan baru.

Tuntutan kerja dalam menjalankan tugas jaksa tidak cukup dengan kecakapan

atau ilmu yang diperoleh dari perguruan tinggi. Oleh sebab itu, selain Kejaksaan

memberi kesempatan kepada jaksa-jaksa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat

Pascasarjana dan Doktor, Kejaksaan juga melakukan pelatihan-pelatihan menyangkut

teknis. Penuntutan merupakan seni, keterampilan yang tidak hanya memerlukan

115

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit, hal. 29, dan hal. 37. Diskresi kejaksaan adalah kebebasan menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan umum, dan keadilan. Contohnya: mengenai wewenang tidak menuntut karena alasan teknis seperti: kalau tidak cukup bukti-buktinya; kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana; dan kalau perkaranya ditutup demi hukum.

116

Selain Indonesia juga diterapkan di Jepang, Korea Selatan, Belanda, Filipina, dan Thailand.

117

kecakapan tetapi juga penguasaan teknis yang dapat diperoleh dan dibentuk dari

pengalaman, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.118

Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dalam prekrutan jaksa-jaksa baru,

diupayakan agar mendahulukan tenaga yang tepat diterima terlebih dahulu daripada

tenaga yang dipengaruhi oleh praktik-praktik KKN. Tidak sulit untuk menguji fisik

dan mengevaluasi para calon jaksa, tetapi yang lebih tinggi lagi nilainya daripada

fisik dan pendidikan adalah watak, karakter, etika, dan moral. Seperti yang

digambarkan oleh Jackson, Hakim Agung Amerika Serikat berikut:

Sulitnya dan tidak mungkinnya membuat definisi sifat-sifat seorang jaksa yang baik sama sulitnya dan tidak mungkin seperti membuat definisi sifat- sifat yang menjadi ciri seorang ksatria. Sedangkan mereka yang seharusnya diingatkan toh tidak bakal memahaminya. Suatu kepekaan atas permainan yang jujur dan atas sportivitas boleh jadi perlindungan terbaik dari penyalahgunaan kekuasaan, sedangkan keamanan warga terletak di tangan jaksa yang memadukan semangatnya dengan kemanusiaan, yang mencari kebenaran dan bukan mencari korban, yang mengabdi kepada hukum dan bukan mengabdi kepada kepentingan golongan, dan yang melakukan pendekatan yang rendah hati terhadap tugasnya.119

Dalam mencapai kualitas seperti yang dikatakan oleh Hakim Agung Amerika

Serikat di atas, maka alternatif penentuan calon-calon para jaksa di Indonesia selalu

dipertimbangkan integritas moralnya melalui pengujian-pengujian akademis,

kecakapan, dan psikologis, serta ditambah dengan pendidikan khusus Kejaksaan,

sebab semboyan Kejaksaan Indonesia tersirat dalam adagium ”Satya, Adhi, dan

Wicaksana. Lagi pula dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung Republik

Indonesia terdapat perangkat pengawasan umum yang dilengkapi dengan instrumen

118

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Ibid, hal. 27.

119

hukum dan peraturan disiplin untuk mengawasi badan penuntut umum di Indonesia.

Uraian ini pada prinsipnya mutatis mutandis bagi seluruh institusi Kejaksaan di

Indonesia mulai dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi sampai pada jajaran yang

paling rendah yaitu Kejaksaan Negeri khususnya Kejaksaan Negeri Medan.

Persyaratan menjadi jaksa tidak begitu berbeda dengan persyaratan menjadi

seorang hakim. Seorang calon hakim maupun jaksa wajib seorang lulusan Sarjana

Hukum. Syarat ini boleh dikatakan sebagai syarat atau kemampuan akademis, namun

untuk memperoleh kemampuan skil, para jaksa maupun hakim yang sudah lulus

diwajibkan mengikuti program latihan jabatan, sepesialisasi, dan perolehan sertifikat.

Akhirnya tidak bisa juga disangkal bahwa standar etika dan moral adalah

benteng terakhir untuk jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya

bidang penuntutan. Oleh karena itu, penuntut umum ketika melakukan tugas

penuntutan harus didasarkan atas pertimbangan pengawasan dari berbagai pihak atau

masyarakat, LSM-LSM, dari keluarga pihak terdakwa, saksi-saksi pihak terdakwa,

pers, pengadilan, badan penyelidik, dari kalangan pakar hukum (akademisi),

pengacara, dan lain-lain.

Dengan demikian ketika penuntutan dilakukan dengan hadirnya pihak-pihak

dimaksud di atas, akan memberikan keadaan yang berimbang antara pihak

pemerintah (dalam hal ini Polisi, Jaksa, dan Hakim) dengan pihak terdakwa maupun

pengacaranya. Sehingga terwujud keadilan yang dicita-citakan hukum dan keadilan

yang dicari oleh para pencari keadilan di negeri ini. Walaupun keadilan yang

paling tidak sistem peradilan pidana mampu membuat perlindungan secara berimbang

terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana Narkotika.

Pemikiran tentang pengendalian kebijakan penuntutan dalam sub bab ini

digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan sebagaimana menurut

Utrecht,120 walaupun keadilan itu bukan satu-satunya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan

hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).121 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor

hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah

hilang (the lost justice) inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai keadilan

korektif.122

Keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum itu juga. Keadilan

akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan

memperhatikan kepribadian masing-masing. Prinsip keadilan dirincinya dalam

bentuk pemenuhan hak yang sama terhadap dasar dan pengaturan perbedaan ekonomi

dan sosial sehingga akan terjadi kondisi yang tertib.123

Hukum modern saat ini pada prinsipnya menghendaki ketertiban sebagai

tujuan hukum dimana perdamaian manusia lah yang dipertahankan oleh hukum

dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan,

120

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20.

121

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Loc. cit.

122

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

123

jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.124 Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana

pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan

dengan teratur dan tertib.125

Hal yang mendasarinya berangkat dari teori restoratif (restorative) dengan

pandangannya yang paling menonjol adalah memidana bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi

hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses

mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the

theori of social defence).

126

Konsekuensi yang dikehendakinya adalah adanya perlindungan secara

berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana,

masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan

restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan

restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan

perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang

ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi

pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya,

124

Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”,Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8.

125

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Putra A. Bardin, 2000), hal. 13.

126

J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 14.

perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata

berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam

mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis

untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang

ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan

maupun yang bersifat emosional.127

Dalam penciptaan keadilan dimaksud pengendalian kebijakan penuntutan

bagi Kejaksaan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, penting menjadi

Dokumen terkait