• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN

PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

OLEH

CARDIANA HARAHAP 077005115 / HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN

PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

CARDIANA HARAHAP 077005115 / HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

NAMA : CARDIANA HARAHAP

N.I.M. : 077005115 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Prof. Chainur Arrasyid, SH

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM Anggota Anggota

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 13 Februari 2013

PANITIA PENGUJI

Ketua :

1. Prof. Chainur Arrasyid, SH

Anggota:

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

3.

Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

4.

Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang sebagai Penuntut Umum. Bidang tugas Kejaksaan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan terhadap perkara pidana khususnya tindak pidana Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika? dan kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). selain dilakukan studi pustaka juga dilakukan studi dokumen di Kantor Kejaksaan dan wawancara kepada beberapa informan.

Seimpulan pertama, peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika bertindak sebagai penuntut umum melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam SPP khususnya dengan penyidik BNN, Kepolisian, dan PPNS. Aturan dalam UU Narkotika, Kejaksaan tidak dapat bertindak sebagai penyidik terhadap kasus-kasus Narkotika melainkan hanya bertindak sebagai pihak yang menyetujui dimulainya penyidikan dan menerima berita acara penyidikan. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan yang paling dominan adalah masalah pengetahuan tentang fakta di lapangan sebab penuntut umum tidak bisa secara langsung melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus Narkotika di lapangan.

Saran pertama, agar Kejaksaan dalam melakukan perannya harus berani melakukan diskresi sesuai dengan aturan yang berlaku, menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan umum, dan keadilan dalam hal melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika sebab persoalan Narkotika menyangkut kepentingan publik. Kedua, agar UU Narkotika memberikan wewenang kepada pihak Kejaksaan juga bisa bertindak sebagai penyidik sebagaimana hal ini ada diatur dalam undang-undang khusus seperti UU Anti Korupsi.

(6)

ABSTRACT

One of the pillars of government functioning to materialize the national goal is the Indonesian Attorney that is given duty, function and authority as Public Prosecutor. According to Article 30 paragraph (1) b of Law No. 16/2004 on Prosecution, the duty of prosecutor is to prosecute criminal cases especially the criminal act related to narcotics. Law No. 35/2009 on Narcotics underlays the legal basis for the prosecution to play its role in conducting its duty in the field of prosecution which cannot be separated from the Criminal Justice System.

The problems discussed were, first, what was the role of Attorney in prosecuting the narcotics criminal act?, and, second, what constraints faced by the Attorney during the prosecution process and what did they do in facing the constratints?

The data for this analytical descriptive study with normative juridical approach were obtained from the primary legal materials in the forms of the Indonesian Criminal Codes, Law No. 16/2004 on the Indonesian Attorney, and Law No. 35/2009 on Narcotics, and through the documentation study condiucted in the Attorney’s Office and interviews with several informants.

The first conclusion is that in prosecuting narcotics criminal act, the Attorney plays a role as a public prosecutor coordinating with the other law enforcers under a warrant especially with the BNN (National Narcotics Bureau) investigators, Police, and Civil Servant Official. The regulation in Law on Narcotics says that the Attorney are not allowed to investigate the narcotics cases but as the party that approves the commencement of investigation and receives the official report of investigation done. Second, the most dominant constratint faced in the process of prosecution is related to problem about knowing about the fact in the field because a public prosecutor cannot directly investigate the narcotics cases in the field.

In play its role, the Attorney must be barve enough to conduct discretion in accordance with the existing regulations, to break through the rules through reasoning, to uphold human rights, public interest, and justice in prosecuting the narcotics cases because the problem of narcotics involves public interest. Second, the Law on Narcotics should authorize the Attorney to act as investigator for this issue is regulated in the special laws such as anti-corruption laws.

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan

rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat

menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program

Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian

tentang, ”Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana

Narkotika”.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) atas kesempatan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program

magister.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung,

SH, M. Hum atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi Mahasiswa Program

Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H.,

telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan selalu

mengingatkan tesis sampai pada akhirnya meja hijau.

4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada Prof. Chainnur Arrasyid, SH selaku Ketua Komisi

Pembimbing, Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH. DFM dan Dr. Mahmul Siregar,

SH, M.Hum selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian

telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang

konsruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Penghormatan saya atas apresiasi yang sangat luar biasa dari Dr. Madiasa

(8)

6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, beserta seluruh teman-teman Mahasiswa yang telah banyak

memberikan dukungan dan bantuannya.

7. Terimakasih juga kepada kedua Orang Tua dan Mertua saya yang telah memberi

dukungan dalam setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan

do’a agar penulis dapat mencapai cita-citanya dengan sukses.

8. Terimakasih kepada Suami dan Anak anak saya yang menjadi dorongan

memunculkan semangat dan motivasi untuk maju dalam penyelesaian study ini.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi

manfaat bagi semua pihak dan menambah serta memperkaya wawasan ilmu

pengetahuan. Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam

penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi

perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu

pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.

Medan, 28 Januari 2013

Penulis

(9)

CURRICULUM VITAE

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

N a m a : CARDIANA HARAHAP, SH.

Tempat/Tgl Lahir : Pontianak, 22 Desember 1983

Alamat Rumah : Jl.H.Buang No.17 Rt04/Rw 07 Ulujami Pesanggrahan Jakarta Selatan.

Pekerjaan : Jaksa Fungsional Pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Alamat Kantor : Jl.Jend A.H Nasution No.1c , Telp. (061) 41034

Agama : Islam Jenis kelamin : Perempuan

Hobby : Bermain Piano dan menyanyi. Status Kawin : Menikah

suami : Akhmad E.P. Hasibuan, SH. MH.

Anak-anak : Anggreny salsabilla Hasibuan dan Muhammad Andromeda Hasibuan

No

PENDIDIKAN FORMAL

Jenjang Pendidikan/Jurusan Tahun Selesai

1. SD Hang Tuah IV Jakarta 1995

2. SMP Negeri XI Jakarta 1998

3. SMA Negeri 82 Jakarta 2001

4. Universitas Trisakti Jakarta/Hukum 2005 5. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU Medan 2013

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Bendahara Palang Merah Remaja tingkat SMP sekecamatan Tahun 1997-1998.

2. Bendahara Paduan Suara Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta 2003-2004.

3. Ketua Sosial Budaya Ikatan Adhyaksa Dharma Karini Tanjung Balai 2011-

(10)

PENGALAMAN KERJA

1. Pegawai Tata Usaha Kejaksaan pada Kejaksaan Negeri Binjai Tahun 2006-2007.

2. Pegawai Tata Usaha Kejaksaan pada Kejaksaan Negeri Medan 2007-2009.

3. Jaksa Fungsional Bidang Pidana khusus pada Kejaksaan Negeri Belawan 2009-2010.

4. Jaksa Fungsional Bidang Pidana umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

2010-2012.

5. Jaksa Fungsional Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara pada Kejaksaan Tinggi

Sumatera Utara 2012 sampai dengan saat ini

PENGALAMAN PELATIHAN/KURSUS

No Pelatihan/Kursus Tempat Tahun Pelaksana

1. Piano Jakarta 1995-2000 Yamaha Jakarta

2. Bahasa Belanda Jakarta 2001-2004 Erasmus Huis Jakarta

3. Bahasa Inggris Jakarta 1998-2002 EEP Jakarta

4. Peradilan Semu Jakarta 2003 Trisakti Jakarta

5. Pendidikan Pelatihan

Pengembangan dan

Pembentukkan Jaksa

Jakarta 2009 Kejaksaan Republik

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Landasan Konsepsional ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 21

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22

(12)

BAB II : PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUAN

TINDAK PIDANA NARKOTIKA ... 24

A. Tugas Pokok Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Narkotika ... 24

B. Penuntutan Tindak Pidana Narkotika oleh Kejaksaan Negeri Medan ... 44

1. Kasus Rudy Sukiman ... 44

2. Kasus Dedi Setiawan ... 48

3. Kasus Basirun ... 51

4. Kasus Jhon Ferdinand ... 56

5. Kasus M. Syafii ... 60

BAB III : KENDALA-KENDALA DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KEJAKSAAN ... 67

A. Pengendalian Kebijakan Penuntutan ... 67

B. Kendala yang Dihadapi Kejaksaan dari Sisi Undang-Undang ... 82

1. Tahap Pembuatan Berkas Perkara ... 85

2. Tahap Penuntutan ... 95

3. Tahap Setelah Tuntutan ... 102

(13)

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ganja ... 67

Tabel 2 : Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Shabu-Shabu /

Heroin ... 70

(15)

ABSTRAK

Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang sebagai Penuntut Umum. Bidang tugas Kejaksaan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan terhadap perkara pidana khususnya tindak pidana Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika? dan kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). selain dilakukan studi pustaka juga dilakukan studi dokumen di Kantor Kejaksaan dan wawancara kepada beberapa informan.

Seimpulan pertama, peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika bertindak sebagai penuntut umum melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam SPP khususnya dengan penyidik BNN, Kepolisian, dan PPNS. Aturan dalam UU Narkotika, Kejaksaan tidak dapat bertindak sebagai penyidik terhadap kasus-kasus Narkotika melainkan hanya bertindak sebagai pihak yang menyetujui dimulainya penyidikan dan menerima berita acara penyidikan. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan yang paling dominan adalah masalah pengetahuan tentang fakta di lapangan sebab penuntut umum tidak bisa secara langsung melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus Narkotika di lapangan.

Saran pertama, agar Kejaksaan dalam melakukan perannya harus berani melakukan diskresi sesuai dengan aturan yang berlaku, menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan umum, dan keadilan dalam hal melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika sebab persoalan Narkotika menyangkut kepentingan publik. Kedua, agar UU Narkotika memberikan wewenang kepada pihak Kejaksaan juga bisa bertindak sebagai penyidik sebagaimana hal ini ada diatur dalam undang-undang khusus seperti UU Anti Korupsi.

(16)

ABSTRACT

One of the pillars of government functioning to materialize the national goal is the Indonesian Attorney that is given duty, function and authority as Public Prosecutor. According to Article 30 paragraph (1) b of Law No. 16/2004 on Prosecution, the duty of prosecutor is to prosecute criminal cases especially the criminal act related to narcotics. Law No. 35/2009 on Narcotics underlays the legal basis for the prosecution to play its role in conducting its duty in the field of prosecution which cannot be separated from the Criminal Justice System.

The problems discussed were, first, what was the role of Attorney in prosecuting the narcotics criminal act?, and, second, what constraints faced by the Attorney during the prosecution process and what did they do in facing the constratints?

The data for this analytical descriptive study with normative juridical approach were obtained from the primary legal materials in the forms of the Indonesian Criminal Codes, Law No. 16/2004 on the Indonesian Attorney, and Law No. 35/2009 on Narcotics, and through the documentation study condiucted in the Attorney’s Office and interviews with several informants.

The first conclusion is that in prosecuting narcotics criminal act, the Attorney plays a role as a public prosecutor coordinating with the other law enforcers under a warrant especially with the BNN (National Narcotics Bureau) investigators, Police, and Civil Servant Official. The regulation in Law on Narcotics says that the Attorney are not allowed to investigate the narcotics cases but as the party that approves the commencement of investigation and receives the official report of investigation done. Second, the most dominant constratint faced in the process of prosecution is related to problem about knowing about the fact in the field because a public prosecutor cannot directly investigate the narcotics cases in the field.

In play its role, the Attorney must be barve enough to conduct discretion in accordance with the existing regulations, to break through the rules through reasoning, to uphold human rights, public interest, and justice in prosecuting the narcotics cases because the problem of narcotics involves public interest. Second, the Law on Narcotics should authorize the Attorney to act as investigator for this issue is regulated in the special laws such as anti-corruption laws.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum memiliki tugas yang

sangat berat dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia secara komprehensif.

Hal demikian merupakan salah satu alasan Pemerintah Republik Indonesia yang

semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan

diundangkannya UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang

menggantikan UU No.5 Tahun 1991. Dalam satu diktum pertimbangan UU No.16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa menimbang Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka

penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai

tujuan nasional.1

Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan

nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan

wewenang sebagai Penuntut Umum. Sebagaimana penegasannya ditentukan dalam

Pasal 1 angka 1 UU No.16 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat

fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai

penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

1

(18)

kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. UU No.16

Tahun 2004 diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004 untuk lebih memantapkan

kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah

yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari segala

pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum

tidak bisa diabaikan. Sebab, di samping secara normatif ada yang mengaturnya, juga

dalam tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga atau aparat penegak hukum

di bidang penuntutan benar-benar berperan sehingga terwujud rasa keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagaian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.3 Kedudukan kejaksaan bukan sebagai pelaksana kekuasaan dalam penanganan perkara-perkara

yang dituntutnya, keadaan demikian dinilai bernuansa politis.4

Sejalan dengan peranan Kejaksaan dalam bidang penuntutan, salah satu

prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang

di hadapan hukum (equality before the law) sehingga karenanya, setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta

2

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal. 189.

3

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.

4

(19)

perlakuan yang sama di hadapan hukum. Badan-badan lain yang berperan

melaksanakan prinsip equality before the law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38

ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain

kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.

Penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Menegakkan supremasi hukum,

perlindungan kepentingan umum, dan penegakan HAM.5

Menjadi pengalaman yang berharga pada kasus yang melibatkan dua orang

Jaksa (Esther Tanak dan Dara Veranita) terlibat menggelapkan 343 butir ekstasi yang

dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta, menjadi sorotan publik dan preseden

buruk terhadap citra Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai kasus-kasus lain

yang melibatkan Jaksa hendaknya tidak terulang kembali dalam proses penegakan

hukum.

Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, terbebas dari

pengaruh kekuasaan pihak manapun.

6

Salah satu bidang hukum dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan menurut Pasal

30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan

dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

5

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32.

6

(20)

terkait dengan tindak pidana Narkotika. UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika7

Sebelum dilakukan penuntutan terhadap perkara dimaksud, untuk dapat

kepentingan pembuktiannya, pihak-pihak terkait terlebih dahulu melakukan penyitaan

terhadap barang-barang bukti yang dapat dijadikan dasar penuntutan di sidang

pengadilan. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) UU No.35 Tahun

2009 diketahui bahwa penyidik dalam perkara narkotika adalah penyidik Kepolisian

dan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) yang berwenang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di

bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana atau Criminal

Justice System.

8

Tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tersebut, wajib diberitahukan

kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali

dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan

kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan.9

7

UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan dua undang-undang sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan 155 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika tertanggal 12 Oktober 2009.

Pasal ini menegaskan kepada institusi Kejaksaan berperan dalam

melakukan penyitaan terhadap barang bukti Narkotika. Jadi, pihak Kejaksaan

8

Pasal 1 angka 2 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

9

(21)

menurut pasal ini hanya bersifat mengetahui telah dilakukannya penyitaan oleh

penyidik.

Penyidikan terhadap kasus Narkotika hanya dapat dilakukan oleh kepolisian,

BNN, dan PPNS kecuali ditentukan lain sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal

73 UU No.35 Tahun 2009 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan terhadap penyalahgunaan Narkotika, peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali

ditentukan lain dalam UU No.35 Tahun 2009.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan

Narkotika tersebut karena di satu sisi Narkotika merupakan obat atau bahan yang

bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan sedangkan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama. 10

Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,

mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan

yang ketat dan seksama adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

merupakan tindak pidana Narkotika.11

10

M. Arief Hakim, Narkoba: Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jember, 2007), hal. 25.

UU No.35 Tahun 2009 jelas melarang pelaku

yang menyalahgunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

11

(22)

dan seksama oleh karena peruntukannya hanya diperbolehkan untuk keperluan di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih berat dibandingkan dengan

undang-undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal

ini dimaksud untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan

sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua

puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana

tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah

Narkotika.12

Sehubungan dengan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika

tersebut, salah satu wujud dari pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam melakukan

penuntutan perkara tindak pidana Narkotika adalah melakukan penuntutan terhadap

terdakwa atas nama M. Syafii, tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara

dalam jual beli Narkotika golongan I. Menurut Laporan Jaksa Penuntut Umum bahwa

Putusan Nomor 1474/Pid.B/2011/PN-Mdn, atas nama terdakwa M. Syafii dinyatakan

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak

atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I” dan

menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda

12

(23)

sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupisah).13

Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Perbuatan

terdakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika

yang ditegaskan sebagai berikut:

Barang bukti dalam perkara Narkotika ini adalah golongan I yakni 1 (satu)

bungkus plastik klip tembus pandang berisikan Narkotika jenis shabu-shabu berat

bruto 15 (lima belas) gram dan 1 (satu) unit Handphone merek Soni Ericson berwarna

hitam nomor kartu 181375704805.14 JPU mengenakan Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana bahwa pasal tersebut merupakan

penambahan 1/3 (sepertiga) dari jumlah sanksi. Pertimbangan memberatkan yang

diajukan JPU dalam tuntutannya bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan

masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas

penyalahgunaan Narkotika.15

Kejaksaan berperan penting dalam melakukan penuntutan di sidang

pengadilan dalam kasus Narkotika untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam

13

Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011. Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan.

14

Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM-847/N.2.10.3/EP.2/mdn/05/2011 tertanggal 22 Agustus 2011, hal. 2.

15

(24)

persidangan. Apabila terjadi kesalahan dalam menentukan bukti-bukti yang tidak

cukup, dapat mangakibatkan bebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Dalam hal

bukti-bukti yang tidak mencakupi menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak

dibenarkan menjatuhkan putusan terhadap seseorang kecuali dengan

sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan hakim bahwa

suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Apabila tidak memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 183

KUHAP maka pengambilan pengambilan keputusan hakim dalam persidangan

mengakibatkan kekaburan (obscuur) bahan atau barang bukti sehingga dapat

berdampak terhadap penghukuman terdakwa atau bahkan terdakwa dapat dibebaskan

oleh hakim karena tidak terbukti kesalahannya. Keadaan demikian dapat diakibatkan

apabila penuntutan tidak dilaksanakan dengan memenuhi bukti-bukti yang cukup.

Penyidik tindak pidana Narkotika adalah Badan Narkotika Nasional (BNN)

dan pihak Kepolisian yang menurut ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun

2009 wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala Kejaksaan

Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam

sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan

negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap

Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan

menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN

(25)

puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya

disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, ketua pengadilan negeri

setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Apabila berpedoman pada Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka setelah dilakukan

penyitaan oleh penyidik tindak pidana Narkotika, maka berkas perkaranya

dilimpahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk kepentingan

pembuktian dalam sidang pengadilan.16

Sebagai penegak hukum dalam Sistim Peradilan Pidana (SPP), Kejaksaan

merupakan salah satu unsur penting dalam penegakan hukum secara litigasi yang

berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, Kepala Kejaksaan Negeri setempat

berkewajiban menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika

untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau

dimusnahkan. Apabila Kepala kejaksaan negeri secara melawan hukum tidak

melaksanakan kewajibannya menetapkan status barang sitaan Narkotika dan

Prekursor Narkotika, menurut Pasal 141 UU No.35 Tahun 2009 dapat dipidana baik

pidana penjara maupun denda.

16

(26)

dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di

Lembaga Pemasyarakatan.17

SPP telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam

penegakan hukum dengan menggunakan dasar pendekatan sistim.

18

Peradilan pidana

yang baik memiliki ciri-ciri:19

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana;

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi

penyelesaian perkara; dan

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi

peradilan pidana.

Dalam proses peradilan pidana berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 tugas

pokok Kejaksaan menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan;

mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan

pengadilan. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana dalam Pasal 30 ayat

(1) UU No.16 Tahun 2004 meliputi:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

17

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal. 33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.

18

Ibid, hal. 14.

19

(27)

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Peranan Jaksa dalam menyita dan menuntut barang bukti perkara tindak

pidana Narkotika dalam rangka pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang

Narkotika pada hakikatnya melaksanakan tujuan UU No.35 Tahun 2009 sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 4 sebagai berikut:

1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Peranan Kejaksaan sebagai salah satu unsur penting dalam SPP menempati

peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam

rangka melaksanakan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika di sidang

pengadilan, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang: Peranan

Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam

Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai judul dalam

(28)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan ada 2

(dua) pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana

Narkotika?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa

upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian terhadap Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan

dan Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka

Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini adalah:

1. Untuk mengkaji peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan tindak

pidana Narkotika.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan

penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi

kendala tersebut?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap

(29)

1. Secara teoritis dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir bagi kalangan

akademisi terhadap permasalahan hukum terkait dengan peranan kejaksaan

dalam melakukan penyitaan dan penuntutan barang bukti perkara tindak

pidana Narkotika.

2. Secara praktis bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum: Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Polisi,

Jaksa, dan Hakim sebagai institusi yang berperan penting dan berkoordinasi

secara terpadu dalam menangani kasus-kasus tindak pidana pada umumnya

dan tindak pidana Narkotika pada khususnya.

E. Keaslian Penulisan

Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu telah dilakukan

penelusuran terhadap judul dan permasalahan di perpustakaan Universitas Sumatera

Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari

penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian

ini. Permasalahan dan judul tentang Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan dan

Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka

Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baru pertama kali dilakukan

penelitian dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam

penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis

(30)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori sangat penting digunakan dalam setiap penelitian berfungsi

sebagai pisau analisis dalam mengupas dan menganalisa permasalahan. Kerangka

teori tersusun dari berbagai teori-teori dan doktrin berkaitan dengan permasalahan.

Untuk menganalisis peranan Kejaksaan dalam penyitaan dan penuntutan barang bukti

perkara tindak pidana Narkotika diambil dari teori sistim hukum (legal system theory)

dikaitkan dengan Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Legal system theory membedakan dua sistim hukum yaitu: civil law

(Continental Europe Legal System) yang didominasi hukum perundang-undangan,

dan common law (Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak

tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent). Dapat dipahami

definisi sistim hukum menurut para pakar berikut ini:

a. H. Ridwan Syahrani, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu susunan atau

tatanan yang teratur dari keseluruhan elemen yang terdiri atas bagian-bagian

yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil

dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan”.20

b. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu

kesatuan sistim besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub

20

(31)

sistim pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain,

yang hakekatnya merupakan sistim tersendiri”.21

Definisi di atas menunjukkan sistim hukum sebagai suatu kompleksitas sistem

yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

Tiga komponen dalam sistim hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan

kultur hukum.22

Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu

apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.

Ketiga komponen tersebut merupakan elemen penting dalam

penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan

baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada gilirannya akan terjadi

kepincangan hukum.

23

Soerjono

Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian faktor-faktor

penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.24 Hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan.

25

21

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

Hukum akan mampu

dipakai di tengah masyarakat, jika lembaga pelaksananya dilengkapi dengan tugas

dan kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pasal 30 ayat (1) UU No.16 Tahun

22

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

23

Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

24

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor…….Op. cit, hal. 5.

25

(32)

2004 tentang Kejaksaan ditegaskan tugas dan wewenang Jaksa di bidang pidana,

yaitu:

a. Melakukan penuntutan;26

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;27

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat;28

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Kejaksaan dalam menjalankan tugas atas dasar hukum yang baik dan adil

karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga negara melalui

26

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Huruf a UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk guna melengkapi untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke penuntutan.

27

Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual atau dilelang.

28

(33)

koordinasi antar instansi terkait dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. 29 Koordinasi antara Kejaksaan dengan penegak hukum lainnya dalam Pasal 33 UU

No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan Kejaksaan membina hubungan

kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau

instansi lainnya.30 Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.31 Kejaksaan dalam menjalankan tugas nya tunduk dan patuh pada sumpah atau janji,

serta kode etik jaksa sebagai pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugas

sehari-hari yang lazim disebut ”Tri Krama Adhyaksa”.32

a. Stya artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama

manusia;

Tri Krama Adhyaksa menurut

Liliana Tedjosaputro landasan jiwa dari setiap warga Jaksa dalam meraih cita-cita

luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” meliputi tiga krama yaitu:

b. Adhy, artinya kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada

kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga

dan sesama manusia; dan

29

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tanpa tahun), hal. 295.

30

Penjelasan Pasal 33 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menjelaskan bahwa menjadi setiap kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan terpadu.

31

Supriadi, Op. cit, hal. 127.

32

(34)

c. Wicaksana, artinya bijaksana dalam tutur kata dan perilaku khususnya dalam

penerapan kekuasaan dan kewenangan.33

Dalam melaksanakan tugas, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan

kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan

mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib

menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

34

Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan

antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan

pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan

makmur (walfare state) berdasarkan Pancasila, melindungi kepentingan masyarakat,

dan berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah

dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance).

35

Teori legal system dalam kaitannya dengan tugas Kejaksaan dalam proses

peradilan pidana tidak terlepas dari teori peranan (role theory) yang mengatakan

peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda

33

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 103.

34

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 35.

35

(35)

pula.36 Setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran yang berbeda pada masing-masing kedudukan, lembaga, atau institusinya dalam menciptakan

kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional

dapat berjalan dengan baik.37

1. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan

konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi

atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berkut:

a) Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu

posisi tertentu dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.

b) Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus

oleh hakim di sidang pengadilan.

d) Tindak pidana adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam oleh

undang-undang dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.

36

Indria Samego, Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1.

37

(36)

e) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

f) Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa

hak atau melawan hukum disebut pula dalam penelitian ini sebagai tindak

pidana Narkotika.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan

masalah berdasarkan metode tertentu. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk

dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang

bersangkutan.38 Penelitian atau kegiatan ilmiah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.39

38

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

Penelitian hukum adalah

suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

39

(37)

tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala hukum dengan cara

menganalisisnya.40

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu

penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga

sebagai penelitian doktrinal. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu

menggambarkan fakta tentang peranan Kejaksaan dalam penuntutan perkara

Narkotika dan menjelaskan hubungan antara fakta tersebut dengan peraturan

perundang-undangan seperti UU UU Kejaksaan dan UU Narkotika serta peraturan

lainnya yang menyangkut dengan penelitian ini. Selain digunakan yuridis normatif,

dalam penelitian ini juga digunakan penelitian hukum empiris melalui wawancara

mendalam terhadap pihak-pihak terkait gunanya untuk memperkuat

argumentasi-argumentasi yuridis dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap:

Jaksa Penuntut, pelaku tindak pidana Narkotika, dan masyarakat sedangkan

data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer atau pokok: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009

40

(38)

tentang Narkotika (UU Narkotika).

b. Bahan hukum sekunder atau bahan yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer: makalah-makalah seminar, majalah,

jurnal ilmiah, artikel, internet, dan surat kabar yang relevan dengan objek

penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia) dan Bahasa Inggris yang memiliki

relevansi dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap

dokumen-dokumen yang relevan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan dengan

mengidentifikasi data yang yang berhubungan dengan peranan Kejaksaan dalam

melakukan penuntutan perkara tindak pidana Narkotika. Selain itu, pengumpulan data

dilakukan penelitian lapangan dengan memanfaatkan beberapa pihak sebagai

responden. Wawancara dilakukan untuk mendukung dan memperkuat

argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini.

Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan dipilah-pilah

guna memperoleh pasal-pasal dalam UU Narkotika dan UU Kejaksaan yang

mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma yang relevan dengan permasalahan

yang sedang diteliti. Kemudian dilakukan sistematisasi untuk mendapatkan

(39)

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data

yang dikumpulkan dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan

berakhir dengan suatu teori. Data yang dianalisis secara kualitatif tersebut kemudian

disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan

permasalahan. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian

secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,

selanjutnya dinyatakan secara deduktif sehingga selain menggambarkan secara

umum dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap

permasalahan yang dalam melakukan penuntutan oleh Kejaksaan.

BAB II

(40)

TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Tugas Pokok Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Narkotika

Tugas adalah amanat yang wajib dilakukan dalam kedudukan atau posisi

tertentu. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan

kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak.

Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu dalam posisi tertentu.

Tanpa tugas dan wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan Kejaksaan

khususnya penuntut umum tidak memiliki landasan yang kuat.41

Penetapan tugas dan wewenang oleh undang-undang terhadap suatu institusi

atau lembaga tertentu menjadi hak yang sah yang wajib dilaksanakan khususnya

bagi lembaga Kejaksaan. Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa, ”Suatu hak yang

telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan

kebijakan-kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang

penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan”.

42

Dengan tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh UU No.16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan, maka dapat difungsikan sesuai dengan maksud dan tujuan badan

tersebut.43

1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

Antara tugas dan wewenang merupakan selalu berkaitan satu sama lain.

Tugas dan wewenang Jaksa menurut Pasal 30 UU Kejaksaan:

a. Melakukan penuntutan;

41

Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 205.

42

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal. 121.

43

(41)

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;44

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;45

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;46

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.47

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

44

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

45

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.

46

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

47

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;

b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;

c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

(42)

Salah satu tugas pokok Kejaksaan yaitu melakukan penuntutan yakni tindakan

penuntut umum (jaksa) untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.48 Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.49

Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dengan menyerahkan

perkara pidana tersebut beserta berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan

supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap

terdakwa.

Posisi seseorang ketika

pada proses penuntutan perkara berstatus sebagai terdakwa, dimana penuntut umum

bertindak sebagai penuntut atau mendakwa si terdakwa sesuai dengan ketentuan

hukum pidana yang dilanggarnya.

50

Seorang jaksa memiliki daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah

hukum Kejaksaan Negeri dimana jaksa tersebut ditugaskan. Seorang jaksa di Pasal 137 KUHAP menentukan penuntut umum berwenang melakukan

penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu delik dalam daerah

hukumnya dengan melimpahkan perkara tersebut ke hakim pengadilan yang

berwenang mengadili.

48

Pasal 1 angka 7 KUHAP. Lihat juga: Pasal 1 angka 3 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).

49

Pasal 13 KUHAP.

50

(43)

Kejaksaan Tinggi atau di Kejaksaan Agung dapat menuntut seseorang jika ia terlebih

dahulu diangkat untuk Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya dilakukan delik

itu.51 Kejaksaan Negeri menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk dilimpahkan dan diadili di Pengadilan Negeri.52

Apabila suatu berkas perkara penyidikan menurut pertimbangan penuntut

umum tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri atau karena

perkara tersebut bukan merupakan delik, maka penuntut umum membuat suatu

ketetapan mengenai hal itu.

53

Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada

tersangka dan jika seseorang itu ditahan maka wajib dibebaskan.54 Surat penetapan demikian sering disebut dengan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) oleh

Kejaksaan dan wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau penasihat

hukumnya, pejabat Rumah Tahanan Negara (Rutan), penyidik, dan hakim.55

Perkara ditutup demi hukum adalah hak tersangka yang wajib diberikan oleh

penuntut umum kepada tersangka sesuai dengan Bab VIII Buku I KUH Pidana

tentang hapusnya hak menuntut (asas non bis in idem).56

51

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indoneisa, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 165.

Akan tetapi berdasarkan

asas nebis in idem, jika di kemudian hari penyidik ternyata menemukan alasan atau

bukti-bukti baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena

kurangnya bukti-bukti sebelumnya, maka penuntut umum dapat menuntut

(44)

tersangka.57 Dengan adanya asas nebis in idem ini dapat mengecualikan asas non bis in idem jika perkara yang dikesampingkan itu tidak mengandung asas oportunitas.58 Hal lain yang termasuk bidang tugas pokok Kejaksaan adalah pembuatan surat

dakwaan dan tuntutan (requisitoir).59

Dalam melakukan penuntutan, jaksa sebelumnya melakukan prapenuntutan

yaitu tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima

pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik dan dapat memberi petunjuk

guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat

dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Dalam KUHAP ditegaskan beberapa ketentuan tentang wewenang penuntut

umum yaitu:60

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk

dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan

oleh penyidik;

57

Pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP.

58

Andi Hamzah, Op. cit, hal. 168.

59

Ibid, hal. 169 dan hal. 170-188.

60

(45)

4. Membuat surat dakwaan;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan

waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah

ditentukan;

7. Melakukan penuntutan;

8. Menutup perkara demi kepentingan umum;

9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10.Melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut umum melaksanakan tugas dan wewenangnya terhadap perkara

tindak pidana yang terjadi di daerah hukumnya.61

61

Pasal 15 KUHAP.

Fungsi Kejaksaan menurut UU

No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mencakup aspek preventif dan refresif. Aspek

preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan

penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran

kepercayaa, pencegahaan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, penelitian dan

pengembangan hukum serta statistik kriminal. Aspek refresif mencakup tindakan

Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan

(46)

pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang

berasal dari penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Menurut Soerjono Soekanto, ”Hukum dan penegakan hukum merupakan

sebagaian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan

akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan”.62

Kedudukan Kejaksaan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan adalah

lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta

kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 1

angka 1 UU Kejaksaan bahwa, ”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Penuntut umum adalah jaksa yang

diberi wewenang oleh KUHAP dan UU Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim. Sehingga dapat dikatakan jabatan fungsional jaksa

adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang karena

fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.

Keberadaan Kejaksaan sebagai penegak hukum memiliki kedudukan yang sentral dan

memiliki peran yang strategis sehubungan dengan fungsinya sebagai filter dalam

penegakan hukum antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan,

sehingga keberadaannya dalam kehiduoan masyarakat harus mampu mengemban

tugas pokok (tupoksi) sebagai penegak hukum.

62

(47)

Penegasan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, menentukan Kejaksaan merupakan

suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di

bidang penuntutan dan kewenangan lain. Selain tugasnya di bidang penuntutan,

juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang seperti membuat dakwaan,

melaksanakan putusan pengadilan, sebagai Jaksa Pengacara Negara, dan lain-lain.

Dalam kerangka Negara Indonesia sebagai negara hukum, salah satu prinsip

penting negara hukum, menjamin kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum

(equality before the law). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.63 Dengan demikian, dalam menjalankan Tupoksinya, Kejaksaan sebagai penuntut

umum harus memperhatikan dan mempertimbangkan kesetaraan derajat setiap

orang dengan memperlakukan sama di hadapan hukum. Sejalan dengan amandemen

UUD 1945, UU No.48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, dan UU No.16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan semakin mempertegas badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman, termasuk Kejaksaan.64

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang (Pasal 30 ayat (1) huruf d UU

Kejaksaan) seperti penyidikan tindak pidana dalam UU No.36 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun

63

Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 127.

64

(48)

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No.30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.65

Kejaksaan dengan kuasa khusus di bidang perdata dan tata usaha negara,

dapat bertindak sebagai pengacara (JPN) baik di dalam maupun di luar pengadilan

untuk dan atas nama negara dan atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan

ketenteraman umum, Kejaksaan turut serta menyelenggarakan kegiatan peningkatan

kesadaran hukum masyarakat, penanganan kebijakan penegakan hukum, pengamanan

peredaran barang cetakan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,

penelitian dan pengambangan hukum serta statistik kriminal.

Selanjutnya Pasal 31 UU Kejaksaan, dapat meminta kepada hakim untuk

menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau di temapt perawatan jiwa, atau di

tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau

disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau

dirinya sendiri. Selanjutnya Pasal 33 diatur bahwa dalam melakukan tugas dan

wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak

hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya.66

65

Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 206. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu.

Kemudian Pasal 34

66

Gambar

Tabel: 1

Referensi

Dokumen terkait

Karena keterbatasan SDI yang ahli di bidang perbankan syariah, menyebabkan bank syariah merekrut tenaga-tenaga yang kurang ahli di bidang perbankan syariah, terutama di SDI

Dari analisa data data yang dilakukan, dalam sampel ini diketahui bahwa siswa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, mayoritas siswa masuk kategori indeks massa

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari nilai rata-rata tekanan intraokular, kedalaman bilik mata depan, dan ketebalan lensa pada pasien preoperasi katarak senilis di RS PHC

Verval NUPTK periode 2013 , untuk inf o lebih lanjut

Dalam penelitian dengan menggunakan metode lima fase ini memiliki tujuan antara lain mengidentifikasi lini proses yang bermasalah, mengidentifikasi dan menganalisa jenis cacat pada

Dokumen ini adalah f ormulir Resmi Verval NUPTK periode 2013, untuk inf o lebih lanjut kunjungi http://padamu.kemdikbud.go.id. ALUR

Dengan adanya kanban yang merupakan suatu alat untuk mencapai produksi Just In Time, diharapkan dapat menekan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem produksi dengan membuat

Untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan perbaikan tempat kerja dengan melibatkan semua pihak intern perusahaan serta teknik-teknik sederhana tanpa melibatkan sejumlah dana yang