STUDI DESKRIPTIF DAN MUSIKOLOGIS GONDANG
SABANGUNAN DALAM UPACARA MARDEBATA PADA
MASYARAKAT PARMALIM HUTATINGGI-LAGUBOTI DI
DESA SIREGAR KECAMATAN LUMBAN JULU KABUPATEN
TOBA SAMOSIR
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
RESTAWATI MANURUNG
NIM : 020707007
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyajikan satu karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana. Skiripsi yang berjudul “Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangunan dalam Upacara Mardebata pada Masyarakat Parmalim Hutatinggi-Laguboti di Desa Siregar Kec. Lumban Julu, Kab. Toba samosir” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S,Sn) pada Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orangtua tercinta : ayahanda W. Manurung dan ibunda T. Sitinjak yang
banyak sekali memberikan dorongan moril dan materil serta selalu mendoakan
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Drs. Irwansyah
Harahap, MA selaku pembimbing I, dan kepada ibu Frida Deliana, M.si selaku
pembimbing II sekaligus ketua Jurusan Etnomusikologi yang telah membimbing
penulis hingga selesainya skripsi ini. Dan kepada bapak dan ibu dosen di Jurusan
Etnomusikologi yang telah membantu penulis selama perkuliahan.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Ompung RM Naipospos (Ihutan Parmalim), kepada Ompung R. Simanjuntak (Ulu Punguan
menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada informan lainnya yang telah memberikan
informasi dan penjelasan, penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan yang mungkin karena keterbatasan penulis dalam
penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, September 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR LAMPIRAN BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 LATAR BELAKANG ... 1
1.2 POKOK PERMASALAHAN ... 11
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT... 11
1.4 KONSEP DAN TEORI... 12
1.4.1 Konsep ... 11
1.4.2 Teori ... 15
1.5 METODE PENELITIAN... 18
1.5.1 Studi Kepustakaan... 19
1.5.2 Kerja Lapangan ... 19
1.5.3 Kerja laboratorium ... 20
1.5.4 Lokasi Penelitian... 20
BAB II IDENTIFIKASI DESA SIREGAR ... 21
2.1 Identifikasi Desa Siregar ... 21
2.2 Identifikasi Masyarakat Desa Siregar ... 22
2.3 Penduduk dan Bahasa ... 23
2.4 Sistem Religi ... 23
2.6 Sistem Mata Pencaharian ... 28
BAB III DESKRIPSI UPACARA MARDEBATA ... 29
3.1 Pengertian dan Tujuan Upacara Mardebata ... 29
3.2 Tempat Upacara ... 30
3.3 Saat Upacara ... 30
3.4 Peralatan dan Perlengkapan Upacara ... 32
3.5 Pendukung Upacara ... 34
3.5.1 Ihutan Parmalim ... 34
3.5.2 Ihutan Parmalim ... 35
3.5.3 Suhut ... 35
3.5.4 Pargonci ... 35
3.5.5 Peserta Upacara... 36
3.6 Pelaksanaan Upacara... 36
3.6.1 Persiapan Upacara... 36
3.6.2 Jalannya Upacara ... 37
3.7 Fungsi Gondang Sabangunan dalam Upacara ... 67
3.7.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 69
3.7.2 Fungsi Komunikasi ... 69
3.7.3 Fungsi Reaksi Jasmani ... 69
3.7.4 Fungsi Hiburan... 70
3.7.5 Fungsi Perlambangan ... 71
3.7.6 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan... 71
BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS ... 72
4.1 Pemilihan Repertoar Gondang Yang Ditranskripsi... 72
4.2 Proses Pentranskripsian... 72
4.3 Transkripsi Kedua Repertoar Gondang... 74
4.4 Analisis... 79
4.4.1 Tangga Nada ... 79
4.4.2 Nada Dasar ... 80
4.4.3 Range (wilayah Nada)... 81
4.4.4 Frekwensi Pemakaian Nada ... 82
4.4.5 Interval ... 83
4.4.6 Melodic Form (Bentuk melodi) ... 85
4.4.6.1Analisis Bentuk Gondang Ni Tuhan ... 85
4.4.6.2Analisis Bentuk Gondang tu Raja Nasiakbagi ... 89
4.4.7 Frasa ... 90
4.4.7.1Analisis Frasa Gondang Ni Tuhan ... 90
4.4.7.2Analisis Frasa Gondang tu Raja Nasiakbagi... 93
4.4.8 Pola Kadensa... 94
BAB V PENUTUP... 97
5.1 Rangkuman ... 97
5.2 Kesimpulan ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Foto-Foto Pelaksanaan Upacara Mardebata
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ugamo Malim1 adalah salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sejak dahulu sampai sekarang masih tetap hidup dan berkembang di
tengah-tengah bangsa Batak yaitu Batak Toba. Secara harfiah kata Ugamo berarti ajaran, dan Malim berarti suci (bersih), Sehingga Ugamo Malim berarti ajaran-ajaran suci. Pengikut dari Ugamo Malim disebut dengan Parmalim, dengan kata lain
Parmalim adalah sekumpulan orang-orang yang menjalankan dan mengamalkan ajaran-ajaran suci dalam kehidupannya sehari-hari.2 Hal ini terlihat dari sikap dan
kehidupan Parmalim yang terdiri dari 5 (lima) bentuk kesucian yang harus dijalankan yaitu Malim Parmanganon (mengendalikan diri dalam hal mencari nafkah hidup),
Malim Pamerengon (bersikap baik dalam kehidupan bermasyarakat), Malim Parhundulon (sopan santun terhadap sesama), Malim Panghataion (kehormatan dan tata susila), dan Malim Pardalanon (ketekunan dan kepatuhan). Hal ini disebut juga dengan Pangalaho Hamalimon yang merupakan ciri-ciri seseorang dapat dikatakan
Parmalim.
1
Ugamo Malim sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terdaftar pada Departemen Pendidikan Nasional R.I. nomor 1.1/F.3/N.1.1/1980
2
Ugamo Malim merupakan kepercayaan yang didirikan oleh Raja Sisingamangaraja sekitar tahun 1870 sebelum agama Kristen, Islam, dan penjajahan
Belanda datang ke tanah Batak3. Sejak jaman penjajahan hingga sekarang Parmalim
tidak pernah absen dalam melaksanakan upacara-upacara penghayatan atau
peribadatan walaupun dahulu sering mengalami hambatan dari pihak-pihak yang
tidak menginginkan nama Raja Sisingamangaraja disebut-sebut apalagi disembah dan
dipuja. Akan tetapi, Parmalim meyakini sepenuhnya bahwa Raja Sisingamangaraja adalah titisan roh suci dari Tuhan Yang Maha Esa menjadi raja pemimpin dan raja
iman bagi bangsa Batak.
Parmalim mempercayai adanya sesuatu yang memiliki kuasa yang Maha besar yang menjadikan langit, bumi dan segala isinya termasuk manusia dan segala
keberadaannya di bumi ini. Mereka menyebutnya dengan “Ompung4 Debata Mulajadi Nabolon”. Mulajadi Nabolon adalah “asal mula” (mulajadi), “Yang Maha Besar” (Nabolon). Ompung Debata Mulajadi Nabolon adalah Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat Parmalim yang memberikan berkat kepada mereka dan semua ciptaannya. Hal ini terlihat dari tonggo atau doa parmalim yang selalu diucapkan
Ihutan Parmalim5 dalam setiap ibadah :
Mauliate hudok hami tu Ho ale Ompung Debata Mulajadi Nabolon marhite somba nami timpul ni daupa dahot pangurason on, ala Ho do namanjadihon langit, manjadihon tano on, manjadihon saluhut nasa na adong…
Artinya :
3
Sebelumnya kepercayaan ini ditangani oleh Parbaringin selaku pembantu utama Raja Sisingamangaraja di tiap-tiap bius (kumpulan beberapa desa)
4
Sebutan Ompung adalah meluhurkan/memuliakan dalam kedudukan yang paling tinggi derajatnya dan sangat dihorrmati
5
Kami ucapkan terimakasih kepada-Mu Ompung Debata Mulajadi Nabolon melalui asap kemenyan dan air suci ini, karena Engkau yang menjadikan langit, menjadikan bumi, dan menjadikan segala yang ada….
Adalah suatu kewajiban bagi Parmalim untuk mengakui kesalahan dan dosa, dan memohon pengampunan atas dosa-dosanya tersebut kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon, serta melakukan penghayatan terhadap semua aturan ugamo malim agar memperoleh bekal untuk kehidupan yang abadi diluar kehidupan dunia ini. Tujuan itu tersirat dalam ajaran patik dalam bahasa batak disebutkan:
Marpanghirimon do namangoloi jala namangulahon patik ni Debata, nadapotsa do sogot hangoluan ni tondi asing ni ngolu ni diri on.
Artinya :
Mereka yang mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan Tuhan Yang Maha Esa mempunyai harapan kelak memperoleh kehidupan yang abadi diluar kehidupan dunia ini.
Parmalim selaku pengikut dari ajaran Ugamo Malim hidup ditengah-tengah masyarakat yang berbeda kepercayaannya. Kehidupan parmalim dalam bermasyarakat disamping menuruti tatanan kepercayaannya, juga berlaku tatanan
adat Batak, sebab adat Batak yang murni dan kapercayaan ugamo malim adalah saling mendukung. Adat dan haporseaon (kepercayaan) adalah sejalan dan seirama dalam kehidupan parmalim. Hal ini dapat dilihat dari penganutnya yang mayoritas suku Batak Toba, bahasa yang digunakan dalam setiap peribadatan adalah bahasa
Batak Toba, pemakaian ulos Batak (kain khas suku Batak Toba), serta penggunaan
Kepercayaan ugamo malim merupakan budaya spiritual leluhur yang secara melembaga dilaksanakan oleh Raja Sisingamangaraja dengan mendirikan Bale Pasogit (rumah peribadatan terhadap Ompung Debata Mulajadi Nabolon). Setelah
bale pasogit ini dibakar oleh pemerintah Belanda pada tanggal 15 agustus 1883, kepada Raja Mulia Naipospos6 diamanahkan agar kelak mendirikan bale pasogit di Hutatinggi sebagai pengganti bale pasogit yang telah dibakar Belanda. Amanah tersebut dapat diwujudkan setelah mendapat izin pemerintahan Belanda melalui Surat Controleur Van Toba nomor 1494/13 tanggal 25 juni 1921 untuk mendirikan rumah peribadatan parmalim di Hutatinggi. Hari ini juga ditentukan sebagai saat berdirinya
parmalim, dan secara struktural organisasi parmalim terdiri dari :
1. Ihutan, yaitu pemimpin tertingggi parmalim
2. Ulu Punguan, yaitu pemimpin di tiap-tiap wilayah
3. Pangula Ugasan Torop, yaitu orang-orang yang membantu ihutan atau ulu punguan dalam menjalankan tugasnya
4. Punguan7, yaitu kelompok parmalim yang tersebar di beberapa daerah
Dalam kehidupannya sehari-hari Parmalim mengenal upacara penghayatan atau peribadatan yang secara rutin dilaksanakan yaitu : Mararisabtu (peribadatan rutin setiap hari sabtu), Martutuaek (upacara pembabtisan dan pemberian nama pada bayi yang baru lahir), Pasahat Tondi (upacara penyerahan roh orang yang telah meninggal), Mardebata (upacara pengampunan dosa yang bersifat personal/pribadi), Mangan Napaet (upacara peribadatan memohon pengampunan dosa), Sipaha Sada
6
Raja Mulia Naipospos adalah ihutan parmalim yang pertama, yang juga adalah murid (sisean) Raja Sisingamangaraja
7
(upacara penyambutan kelahiran Tuhan Simarimbulubosi dan merupakan penyambutan tahun baru ugamo malim), dan Sipaha Lima (upacara syukuran kepada Ompung Mulajadi Nabolon). Dari ke-7 upacara tersebut, penulis terfokus pada
upacara Mardebata. Mardebata berarti Marsomba tu Debata (menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Mardebata merupakan salah satu upacara ritual
Parmalim yang dilakukan atas niat pribadi atau perseorangan. Upacara ini terdiri dari dua bentuk pelaksanaan yaitu Mardebatadi alaman atau di luar rumah yang diiringi dengan Gondang Sabangunan, selanjutnya Mardebata di jabu atau di dalam rumah yang diiringi dengan Gondang Hasapi. Adapun yang menjadi bahasan penulis disini adalah upacara Mardebata di alaman atau di luar rumah yang diiringi Gondang Sabangunan. Parmalim melakukan upacara Mardebata dilatarbelakangi karena dua hal pokok yaitu karena seseorang (keluarga) telah menyimpang atau lari dari ajaran
patik (aturan-aturan dalam Ugamo Malim), dan melakukan upacara mardebata
sebagai alat atau sarana meminta pengampunan atas dosa-dosanya kepada Ompung Mulajadi Nabolon. Selanjutnya karena seseorang (keluarga) selama hidupnya telah menerima berkat dari Ompung Debata Mulajadi Nabolon, dan melakukan upacara
mardebata sebagai ucapan syukur dan terimakasih. Adapun yang menjadi inti dari penulisan skripsi ini adalah upacara Mardebata yang dilakukan atas niat seseorang yang telah menyimpang dari ajaran patik sebagai sarana pengampunan dosa kepada
Ompung Mulajadi Nabolon.Pustaha Habonoron (kitab suci Parmalim) dalam bahasa Batak mengatakan bahwa:
jugianasosipot, dohot suri-suri pandapotan, parbue santi, daung maligas, manuk lahibini, hambing puti dohot lombu sitio-tio.
Artinya:
Bagi siapa melanggar atau lupa terhadap ajaran patik, harus mendirikan
langgatan, menyediakan sitompion, memainkan gondang besar, menyediakan
ulos jugianasopipot dan suri-suri pandapotan, menyediakan beras si pir ni tondi,daung maligas (ikan yang dikeringkan), ayam, kambing dan lembu. Dalam upacara Mardebata, untuk dapat berkomunikasi memohon pengampunan dosa kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya, Parmalim menyampaikannya melalui tonggo-tonggo (doa), dan juga melalui pelean
(sesaji/persembahan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya) yang
disampaikan oleh Ihutan parmalim selaku pemimpin upacara. Sebagaimana pesan
Ompung Debata Mulajadi Nabolon dalam bahasa batak disebutkan :
Asa saor hamu parbanua tonga tu hami parbanua ginjang ikkon marisi pelean tanganmu, ikkon ias do pelean i bahenonmu, namamelehon i pe ikkon ias jala malim.
Artinya:
Apabila manusia ingin berhubungan dengan parbannua ginjang (penghuni benua atas), haruslah ada sesaji (pelean) sebagai alas tangan, dan sesaji itu haruslah bersih dan suci, demikian pula yang menyajikannya haruslah bersih dan suci.
Hal inilah yang menjadi dasar bagi Parmalim dalam melakukan setiap upacara peribadatan, termasuk dalam melakukan upacara Mardebata. Adapun pelean
dalam upacara ini adalah : indahan na las (nasi putih), dengke nilaean (ikan batak),
(ikan yang dibumbui tanpa dimasak), pohul-pohul (kue yang dibuat dari tepung),
openg-openg (kue yang dibuat dari tepung dan pisang), sitompion (kue yang dibuat dari tepung), itak gurgur (kue yang dibuat dari tepung dan kelapa diparut), rondang-rondang (padi digongseng), pisang, mentimun, gajut (tempat sirih yang diisi daun sirih, beras, pinang, dan bane-bane atau daun kemangi), pangurason (air suci), daupa
(dupa), dan paradatan (ulos, kain putih, dan uang). Semua pelean-pelean ini disebut dengan pelean Debata.
Selain pelean Debata, ada juga pelean habonaran yaitu pelean persembahan kepada roh-roh kebenaran yang mereka percaya sebagai pendamping mereka setiap
saat. Roh ini biasanya berada di dalam rumah, dalam kampung (desa), maupun dalam
langkah perjalanan. Adapun isi pelean habonaran antara lain : manuk mirapolin
(ayam berwarna merah), manuk jarumbosi (ayam berwarna hitam), manuk nabontar
(ayam berwarna putih) ; nasi dua warna yaitu nasi putih dan nasi kuning ; naniura
(ikan yang diberi bumbu dan jeruk nipis tanpa dimasak) ; pira ni ambalungan (telur rebus) ; sitompion (kue yang dibuat dari tepung dibungkus daun pisang dan dikukus) ;
openg-openg (kue yang dibuat dari tepung dan pisang) ; pohul-pohul (kue yang dibuat dari tepung) ; itak gurgur (kue yang dibuat dari tepung dan kelapa diparut) ;
rondang-rondang (padi digongseng) ; mentimun ; pisang ; sirih ; bane-bane (daun untuk memercikkan aek pangurason) ; gajut yaitu tempat sirih yang diisi dengan beras, telur, kemiri, sirih, pinang, dan bane-bane (daun untuk memercikkan aek pangurason). Pelean ini disajikan di dalam sebuah “mombang” yang terbuat dari daun enau, pucuk enau, rotan, dan tali yang dibuat dalam bentuk yang indah. Pelean
Untuk menyampaikan pelean Debata dan pelean Habonaran harus diiringi dengan Gondang Sabangunan. Kehadiran Gondang Sabangunan dalam upacara ini berfungsi untuk mengesahkan dan menghantarkan permohonan-permohonan kepada
Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya. Selain itu, Gondang Sabangunan juga berfungsi sebagai pengiring tortor (tarian masyarakat Batak Toba) yang juga merupakan bahagian dari pelaksanaan upacara Mardebata.
Setelah semua disiapkan, pelean kemudian dimasukkan ke dalam langggatan
(tempat pelean/sesaji). Ada dua langggatan dalam upacara Mardebatadi alaman atau di luar rumah yaitu langggatan sebelah kanan sebagai tempat pelean kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Debata Natolu, Siborudeakparujar, Siboru Saniangnaga, Patuan Raja Uti, dan Tuhan Simarimbulubosi. Sedangkan langgatan
sebelah kiri adalah tempat pelean kepada Raja Naopatpuluopat, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi.
Setelah pelean Debata dimasukkan ke dalam langgatan dan pelean habonaran dimasukkan ke dalam mombang, upacara Mardebatapun dimulai. Upacara ini dimulai dengan marsintua gabe (tanya jawab) antara suhut dan ihutan parmalim. Setelah marsintua gabe, Ihutan kemudian meminta kepada Bataraguru Humundul (pargonsi)8 untuk memainkan gondang Alu-alu kepada Raja Nasiakbagi,
kepada Raja Naopatpuluopat, dan kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon.
Setelah Gondang Alu-alu, Ihutan kembali berdoa mengucapkan puji syukur dan terimakasih kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa alam roh
8
lainnya, sekaligus memohon kepada-Nya agar apa yang diminta oleh suhut diterima dan dikabulkan. Setiap selesai berdoa, selalu diikuti dengan bunyi Gondang dan seluruh peserta upacara manortor. Demikian seterusnya sampai tonggo (doa) kepada
Raja Nasiakbagi. Setelah tonggo (doa) dan tortor kepada Raja Nasiakbagi, Ihutan
kemudian memberikan beras si pir ni tondi kepada suhut dan memercikkan aek pangurason (air suci) kepada seluruh peserta upacara.
Acara kemudian dilanjutkan dengan manortor yaitu dari kelompok ama
(bapak), kelompok ina (ibu), dan kelompok naposo bulung (muda-mudi). Setelah semua kelompok manortor, dilanjutkan dengan tortor suhut. Setelah suhut manortor kemudian ihutan dan suhut manortor bersama, sementara semua peserta upacara yang lain manatea. Setelah ihutan dan suhut manortor, seluruh peserta upacara berdiri dan
manortor yang dipimpin oleh ihutan parmalim. Adapun gondang yang dimainkan adalah gondang hasahatan. Dengan berakhirnya gondang hasahatan, upacara
mardebata di alaman atau di luar rumah tahap pertama selesai. Selanjutnya seluruh peserta upacara makan bersama.
Setelah makan malam, Gondang kemudian dimasukkan ke dalam rumah si
suhut. Kemudian martonggo (berdoa) yang dipimpin oleh Ihutan dan diikuti dengan bunyi Gondang dan seluruh peserta upacara manortor. Adapun gondang ini dimainkan adalah untuk mempersembahkan Pelean Habonaran. Setelah manortor,
suhut diterima dan dikabulkan oleh Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya. Acara kemudian selesai yang diakhiri dengan kata Horas...horas...horas…9
Bagi masyarakat Parmalim upacara Mardebata merupakan upacara yang sangat penting karena dengan melakukan upacara ini mereka yakin dan percaya
bahwa dosa-dosa mereka telah diampuni oleh Ompung Debata Mulajadi Nabolon. Segala rasa takut, kebingungan, rasa khawatir akibat dosa-dosa tersebut akan hilang
dengan melakukan upacara Mardebata. Benarkah demikian?
Dalam pelaksanaan upacara Mardebata, ensambel Gondang Sabangunan
mempunyai peranan yang sangat penting karena merupakan pengiring tortor bagi seluruh peserta upacara dalam mengikuti jalannya upacara, merupakan media
penyampaian pelean (sesaji) dan tonggo-tongggo (doa) kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya. Dalam hal ini ensambel Gondang Sabangunan juga berperan sebagai pelean. Bagi masyarakat parmalim gondang tidak semata-mata dimaknai hanya sebatas ungkapan ekspresif estetik-musikal tradisi batak toba, tetapi lebih dari itu, gondang merupakan representasi simbolik dari ungkapan penyampaian doa (tonggo) yang ditujukan bagi sang pencipta serta berbagai kekuatan supranatural yang mereka yakini.10
Adapun ensambel gondang sabangunan ini terdiri dari : 1 buah sarune bolon (aerophone), 5 buah taganing (membranophone), 1 buah gordang
(membranophone), 4 buah ogung (metalophone) yakni ogung oloan, ogung pangalusi (pangihuti), doal panggora, doal na godang, dan 1 buah hesek (idiophone).
9
Horas berarti “selamat, damai sejahtera, tentram”
10
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk membahasnya secara
detail dalam sebuah skripsi yang berjudul : Studi Deskriptif dan Musikologis
Gondang Sabangunan Dalam Upacara Mardebata Pada Masyarakat Parmalim
Hutatinggi-Laguboti di Desa Siregar Kec. Lumban Julu, Kab. Toba Samosir.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam tulisan ini adalah
1. Bagaimana Deskripsi Jalannya Upacara Mardebata di Desa Siregar, kec. Lumban Julu, Kab. Toba-Samosir
2. Bagaimana fungsi dan Penggunaan Gondang Sabangunan dalam Upacara
Mardebata di Desa Siregar, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba-Samosir.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk Memperoleh Deskripsi Pelaksanaan Upacara Mardebata di Desa Siregar, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba-Samosir
2. Untuk mengetahui Fungsi dan Pengggunaan Gondang Sabangunan dalam Upacara Mardebata di Desa Siregar, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba-Samosir.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep adalah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi-konsepsi atau
pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar 1997:10).
Konsep juga merupakan defenisis dari apa yang perlu diamati, dan merupakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata studi adalah kajian, telaah, penelitian, dan penyelidikan ilmiah (1990:860) ; deskriptif adalah menggambarkan apa adanya (1990:201) ; musikologis adalah berkaitan dengan ilmu musik, aspek historis, sosiologis (1990:602) ; upacara adalah 1) tanda –tanda kebesaran, 2) peralatan (menurut adat istiadat), rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat
kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, 3) perbuatan atau perayaan
yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (1990:994) ;
ritual adalah berkenaan dengan ritus, hal ikhwal ritus ; dan ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (1990:751).
Dalam Ensiklopedia Indonesia agama adalah manusia mengakui adanya yang
suci ; ada suatu kekuasaan yang melebihi segala yang ada. Kekuasaan ini dianggap
sebagai asal atau khalik segala yang ada. Menurut H. Endang Saifuddin Anshari,
agama adalah sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia akan adanya sesuatu yang dianggap Mutlak diluar
manusia; agama juga adalah satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam lainnya sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut. Lebih jauh Pasaribu
mengatakan bahwa dasar dari agama adalah kepercayaan, ucapan syukur dan
kesadaran akan kelemahan atau kekurangan dengan tujuan mencapai keharmonisan,
perdamaian, dan pengharapan. Menurut beliau beberapa hal yang menjadi tujuan
agama yakni : mengajar manusia tentang asal usulnya, mengajar manusia tentang
tujuan kehidupan, mengajar manusia memelihara keseimbangan, mengajar manusia
memberikan bimbingan dalam hidup, mengajar manusia menentramkan batin.
Dari uraian diatas, pengertian atau defenisi serta tujuan dari agama terdapat
juga dalam Ugamo Malim. Dalam ajaran Ugamo Malim juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata pola manusia menuju keharmonisan, baik sesama
maupun kepada pencipta. Akan tetapi pemerintah menganggap bahwa Ugamo Malim
bukanlah agama melainkan hanya sebuah budaya yang bersifat religius. Pemerintah
mengatakan bahwa Ugamo Malim adalah salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
salah satu bentuk kebudayaan. Menurut beberapa pandangan ilmu sosial Ugamo Malim layak dijadikan sebagai agama resmi, hanya saja pemerintah membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya terdapat kejanggalan-kejanggalan,
misalnya ketidakadaan dokumen sejarah yang jelas mengenai kapan Ugamo Malim
pertama kali diyakini sebagai sebuah kepercayaan di tanah Batak, alasan lain yang
tentu saja mengacu pada persepsi umum adalah ketidakadaan kitab suci parmalim,
disamping itu masih saja ada persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa ajaran
Ugamo Malim adalah ajaran sesat. Oppung R.M.Naipospos mengatakan “Ugamo Malim bukan ajaran sesat, bahkan ajaran Ugamo Malim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Ompung Mulajadi Nabolon”.
Dalam mendefenisikan Masyarakat, penulis mengacu pada pendapat
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas.
Parmalim menurut bapak R.M.Naipospos adalah halak namangoloi ajar ni Malim (orang yang menuruti ajaran suci), sipulung pelean ambu-ambuan Malim
(orang yang mengumpulkan dan memberikan persembahan suci), siparngoluhon ajar ni Malim marojahan dibagasan hamalimon dohot dalan marsolam diri (orang yang hidup dalam ajaran suci, berdiri di dalam kesucian dengan jalan menahan dan
membatasi diri). Dengan kata lain, Parmalim ditujukan kepada jemaat atau umatnya, yaitu sekumpulan orang-orang yang mengikuti dan menjalankan ajaran-ajaran suci
dalam kehidupannya.
Dalam kepercayaan parmalim, ugamo adalah Dalan Pardomuan Dompak Debata artinya jalan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu cara atau jalan untuk dapat berkomunikasi dan berhubungan dengan
Tuhan yaitu dengan melakukan upacara Mardebata. Mardebata berarti Marsomba tu Debata (menyembah kepada Tuhan). Adapun tujuan upacara ini dilakukan adalah sebagai sarana pengampunan dosa kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon
melalui pelean yang bersih, dan melalui bunyi Gondang Sabangunan. Dalam upacara
Mardebata, untuk menyampaikan pelean dan permohonan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dilakukan dengan Martangiang yang kemudian diikuti dengan Manortor. Kata martangiang berasal dari kata Tangi yang berarti bege atau mendengar, dan kata
sesuatu yang dianggap lebih berkuasa, lebih illahi yaitu Ompung Debata Mulajadi Nabolon. Kemudian kata manortor adalah aktifitas menari pada masyarakat Batak Toba.
Dalam upacara Mardebata Gondang Sabangunan mempunyai peranan penting yaitu untuk mengesahkan dan menghantarkan permohonan-permohonan
kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa alam roh lainnya. Gondang Sabangunan juga berfungsi sebagai pengiring tortor yang merupakan bahagian dari upacara mardebata.
Berdasarkan konsep diatas, maka yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah
jalannya upacara mardebata termasuk gondang sabangunan yang merupakan bahagian dari upacara mardebata, sampai sejauh mana fungsi dan penggunaan
gondang sabangunan di dalam pelaksanaan upacara mardebata tersebut. Dalam hubungan ini akan dikaji juga tentang proses upacara, makna upacara, pelaku
upacara, benda atau peralatan upacara, serta ensambel musik yang digunakan di
dalam upacara.
Pada aspek musikalnya, penulis akan mengkaji dan menganalisa 2 (dua)
melodi gondang sabangunan yang dimainkan oleh sarune bolon yaitu melodi
gondang Ni Tuhan dan melodi gondang tu Raja Nasiakbagi. Dalam hal ini yang akan dianalisa adalah skala tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah pemakaian
nada, interval, bentuk melodi, frasa, dan pola-pola kadensa.
1.4.2 Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas
perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. (Bachtiar 1997:10)
mendefenisikan teori sebagai ketentuan-ketentuan dasar saintifik yang akan
diaplikasikan, dimana kebenarannya telah diuji dengan mengikuti disiplin tertentu
oleh para pakarnya.
Seeger (1958:184) menyebutkan, Deskriptif adalah penyampaian suatu objek
dengan menerangkannya terhadap pembaca secara tulisan ataupun lisan dengan
sedetail-detailnya. Dengan demikian deskriptif yang dimaksudkan dalam penulisan
ini adalah bersifat menyatakan dan menyampaikan sesuatu apa adanya dengan
menggambarkannya secara tulisan dan secara jelas mengenai upacara Mardebata oleh masyarakat Parmalim Hutatinggi-Laguboti
Menurut Aryono Suyono dalam Hutahaean (1955:17) pengertian upacara
ritual (ceremony) adalah:
1. Sistem aktifitas atau rangkuman tindakan yang ditata oleh adat atau hukum
yang berlaku dalam masyarakat pada berbagai macam peristiwa, wujud dari
adat istiadat yang berhubungan dengan segala peristiwa tetap yang biasanya
terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum
yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka memperingati
peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang berlaku.
Koentjaraningrat (1980:241) memberikan pengertian upacara adalah suatu
kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai
dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat
orang yang melaksanakan dan memimpin upacara. Beliau juga mengatakan bahwa
dunia gaib bisa dihadapi manusia dengan berbagai macam perasaan seperti cinta,
hormat, bakti tetapi juga takut, ngeri, dan sebagainya. Dengan berbagai macam
perasaan itu mendorong manusia untuk melakukan suatu upacara keagamaan.
Manusia selalu dihinggapi suatu emosi keagamaan yang dilaksanakan menurut tata
laksana baku dari upacara keagamaan atau ritus (1985:234).
Dalam studi musikologis pada dasarnya merupakan kerja analisis sehingga
secara struktural dapat diketahui dengan jelas. Untuk aspek musik ini penulis
mengacu pada pendapat Alan P Merriam yang mengatakan bahwa beberapa bagian
penting yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi adalah : 1) scale (tangga nada), 2) pitch centre (nada dasar), 3) range (wilayah nada), 4) frequency of note (jumlah pemakaian nada), 5) interval (jarak nada), 6) cadence patterns (pola-pola kadens), 7) melodic form (bentuk melodi), 8) contour (kontur/grafik melodi).
Untuk mendukung pembahasan dari aspek musik diatas, diperlukan suatu
transkripsi. Bruno Netll mengartikan, transkripsi adalah proses menotasikan bunyi
atau membuat bunyi menjadi simbol visual (1964:99). Dalam upacara Mardebata
terdapat beberapa repertoar Gondang yang dimainkan. Diantara repertoar gondang
yang dimainkan penulis memilih dua repertoar gondang yang akan ditranskripsi yaitu
Gondang Ni Tuhan, dan GondangtuRaja Nasiakbagi.
Mengenai hubungan Gondang Sabangunan dengan upacara Mardebata,
penulis mengacu pada pendapat Alan P Meriam mengenai penggunaan dan fungsi
…use then refers to the situation in which is employed in human action : function concern the reason for its employment and particulary the broader purpose which it serves…(1964:210)
Dari kalimat diatas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) menitikberatkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan
function (fungsi) menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu
mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.
Dalam mengkaji fungsi musik, tulisan ini berpedoman pada pendapat
Merriam (1964:219-226) yang membagi fungsi musik ke dalam 10 kategori fungsi,
yaitu fungsi : 1) pengungkapan emosional, 2) penghayat estetis, 3) hiburan, 4)
komunikasi, 5) perlambangan, 6) reaksi jasmani, 7) berkaitan dengan norma-norma
sosial, 8) pengesahan lembaga sosial, 9) kesinambungan kebudayaaan, 10)
pengintegrasian masyarakat. Dari ke-10 fungsi musik tersebut, upacara Mardebata
pada masyarakat Parmalim termasuk dalam fungsi pengungkapan emosional, fungsi komunikasi, fungsi reaksi jasmani, fungsi hiburan, fungsi perlambangan, fungsi,
fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat.
1.5 Metode Penelitian
Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan
pada latar dan individu tersebut secara utuh (Bogdan dan Taylor 1975:5). Suatu
penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan
Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktifitas
penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu : kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan, pendekatan
dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan kerja
laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dari
keseluruhan data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum melakukan hal ini
terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan literatur atau
sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Adapun
penelitian yang penulis lakukan adalah bertempat di desa Siregar Kec. Lumban julu.
Kab. Toba Samosir. Di desa inilah penulis melihat dan menyaksikan jalannya upacara
mardebata oleh masyarakat parmalim. 1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni
dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan yang akan menjadi dasar dalam
melakukan penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi,
jurnal, bulletin, skripsi, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini
penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan
dan penyusunan skripsi ini. Dalam tulisan ini penulis akan membahas salah satu dari
upacara ritual Parmalim yaitu upacara Mardebata, dimana upacara ini belum pernah dibahas sebelumnya.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data
melakukan berbagai wawancara dengan beberapa parmalim dan juga informan lainnya. Tehnik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke
pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka
ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi
kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan.
Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa.
Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis
dengan mengikuti kerangka penulisan.
1.5.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis adalah di desa Siregar kecamatan Lumban julu,
kabupaten Toba Samosir. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena di desa ini masih
BAB II
IDENTIFIKASI DESA SIREGAR
2.1 Identifikasi Desa Siregar
Desa Siregar merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Menurut sejarah desa yang dikemukakan oleh bapak
M. Siregar selaku kepala desa di desa Siregar, bahwa desa Siregar sebenarnya adalah
tanah hak milik Nairasaon yaitu marga Butar-butar. Akan tetapi beberapa puluh tahun yang lalu Guru Nilaingan (marga Siregar) dan Guru Mandatas (marga Gultom) datang sekaligus bertempat tinggal di desa Siregar tersebut. Hal ini mengakibatkan pihak marga Butar-butar marah karena merasa tanah hak milik mereka dirampas oleh marga Siregar. Hal ini juga menimbulkan perang antara kedua belah pihak. Akan tetapi perang tersebut dimenangkan oleh marga Siregar, sehingga sampai sekarang ini desa Siregar menjadi hak milik dari marga Siregar. Hal ini juga terlihat dari penduduk desa Siregar yang didominasi oleh marga Siregar. Selain itu putra keturunan marga Siregar juga kebanyakan memperistri boru Butar-butar (Nairasaon), dan menurut adat di desa Siregar tersebut, marga Butar-butar
memberikan kepada putrinya yang akan menikah sebidang sawah yang disebut
Desa Siregar terdiri dari 3 (tiga) dusun yaitu :
1. Dusun I Desa Sosor Mual
2. Dusun II Desa Lumban Hinabean
3. Dusun III Toba Holbung
Desa Siregar memiliki area 350 Ha, yang terdiri dari areal pemukiman
penduduk, perladangan, sawah, hutan tanaman rakyat, dan selebihnya merupakan
hutan dan semak belukar.
Kedudukan Desa Siregar berbatasan dengan :
- Sebelah Utara : Panamean (sampuara)
- Sebelah Selatan : Sigaol Barat
- Sebelah Barat : Danau Toba
- Sebelah Timur : Sampuara (parik)
2.2 Identifikasi Masyarakat Desa Siregar
Dalam membahas identifikasi masyarakat Desa Siregar, penulis mengacu
kepada pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:146-147), bahwa :
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat konyinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Demikian juga masyarakat di desa Siregar yang terbentuk karena adanya
interaksi antar warga-warganya, adanya ikatan adat istiadat, adanya norma-norma,
hukum, dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku masyarakat,
adanya kontinuitas dalam waktu, serta adanya suatu rasa identitas kuat yang mengikat
2.3 Penduduk dan Bahasa
Penduduk desa Siregar berjumlah 528 jiwa. Laki-laki 256 jiwa dan perempuan
272 jiwa. Monografi desa Siregar menjelaskan bahwa perkembangan penduduk selalu
berubah setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan penduduk yang
menunjukkan grafik naik turun. Dengan demikian, keadaan penduduk selalu berubah
dalam hal jumlah, usia, dan lain sebagainya. Cepat atau tidaknya keadaan suatu desa
berkembang sangat dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya itu sendiri yaitu
dengan melihat banyaknya penduduk yang mengecap pendidikan. Dalam hal
pendidikan di desa Siregar, faktor yang mendukung masih sangat kurang. Hal ini
terlihat dari sekolah-sekolah yang berdiri di desa Siregar yang hanya terdiri dari SD
dan SLTP, sedangkan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMU, anak-anak dari
desa Siregar harus ke ibukota kecamatan yang berjarak 14 km dari desa Siregar.
Bahasa yang digunakan di desa Siregar adalah bahasa Batak Toba, karena semua
penduduk desa Siregar adalah suku Batak Toba dan suku di luar Batak Toba jarang
bahkan tidak ada dijumpai di desa ini, sehingga dalam melakukan komunikasi
sehari-hari penduduk desa Siregar menggunakan bahasa Batak Toba.
2.4 Sistem Religi
Religi berasal dari religion yang berarti kepercayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dari
ideologi mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Koentjaraningrat (1985:144-145) mengatakan bahwa religi terdiri dari 4 komponen yaitu :
2. Sistem keyakinan manusia tentang sifat Tuhan, tentang wujud akan gaib
(supranatural), serta nilai, norma-norma dan ajaran dari religi yang
bersangkutan
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang mendiami
alam gaib
4. Umat dan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan
melaksanakan ritus dan upacara
Sebelum masuknya agama kristen dan agama islam ke tanah Batak khususnya
desa Siregar, masyarakat mengenal konsepsi kepercayaan bahwa yang menguasai
alam semesta ini dan yang menciptakannya adalah Mulajadi Nabolon. Ia Maha besar, Maha mutlak, dan Dialah asal mula segala yang ada. Masyarakat Batak Toba
mengenal beberapa konsep tentang roh dan jiwa, yakni : 1) Tondi, yang merupakan roh seseorang yang memiliki kekuatan sebagai penggerak raga. Tondi sudah dapat diterima seseorang semasa dalam kandungan. 2) Sahala, yaitu kekuatan atau daya khusus dari tondi. Sahala merupakan pemberian Mulajadi Nabolon kepada seseorang dalam kualitas dan jumlah yang berbeda. 3) Begu, yaitu tondi dari orang yang telah meninggal.
Setelah agama kristen dan agama islam memasuki tanah Batak khususnya
desa Siregar, sebagian besar masyarakat menerima agama tersebut. Masyarakat desa
Siregar mayoritas memeluk agamam kristen khatolik dan kristen protestan. Akan
tetapi sampai saat ini masih ada masyarakat desa Siregar yang menganut kepercayaan
penganutnya hanya sedikit yakni hanya 103 orang dari 528 orang, mereka tetap
menjalankan dan mempertahankan kepercayaannya tersebut.
Sama seperti agama lainnya, parmalim juga mempunyai acara ibadah rutin yang biasanya dilaksanakan pada hari sabtu. Ibadah ini disebut dengan Mararisabtu.
Selain Mararisabtu ibadah yang rutin dilaksanakan, yakni : Mangan Napaet, yaitu upacara peribadatan memohon pengampunan dosa ; Sipaha Sada, yaitu upacara peribadatan penyambutan kelahiran Tuhan Simarimbulubosi dan juga merupakan penyambutan tahun baru Ugamo Malim ; Sipaha Lima, yaitu upacara syukuran kepada Ompung Mulajadi Nabolon.
Selain upacara tersebut, upacara peribadatan yang secara khusus yang
dilakukan parmalim yakni : Martutuaek, yaitu upacara pembabtisan dan pemberian nama pada bayi yang baru lahir ; Mardebata, yaitu upacara yang dilakukan sebagai sarana pengampunan dosa ; Pasahat Tondi, yaitu upacara penyerahan roh orang yang telah meninggal.
2.5 Sistem Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan erat antara individu yang satu dengan yang
lain, atau antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai ikatan yang menghubungkan anggota-anggotanya
satu sama lain. Ikatan dasar dan hakiki adalah ikatan akibat adanya hubungan darah
dan hubungan perkawinan. Masyarakat Batak Toba dalam menentukan garis
keturunan adalah berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) yang dikenal
laki-laki, dan garis keturunan ini akan punah apabila tidak ada anak laki-laki yang
dilahirkan.
Dalam adat istiadat masyarakat Batak Toba khususnya di desa Siregar,
perempuan dan laki-laki yang mempunyai marga yang sama disebut mariboto
(bersaudara), dan mereka tidak diperbolehkan menikah, apabila hal ini terjadi maka
mereka akan dikucilkan dari masyarakat serta tidak berhak ikut dalam kegiatan adat.
Seperti masyarakat Batak Toba pada umumnya, masyarakat desa Siregar mengenal
sistem kemasyarakatan yang disebut dengan ”Dalihan Natolu”. Secara harfiah berarti ”Tungku nan Tiga”. Adapun fungsi Dalihan Natolu ini adalah mengatur hubungan antara tiga kelompok kekerabatan yang merupakan satu kesatuan sosial yang erat.
Ketiga kelompok kerabat tersebut adalah :
1. Dongan Sabutuha. Secara harfiah artinya teman satu perut atau teman lahir, atau pengertian yang lebih tepatnya adalah saudara seibu yang dianggap
seperti saudara kandung dan mempunyai hubungan yang istimewa. Sebuah
pepatah dikenal yang menggambarkan hubungan ini adalah ”manat mardongan tubu” yang artinya penuh tenggang rasa. Kebiasaan yang terjadi walaupun belum saling mengenal namun sudah saling mengetahui, bahwa
seseorang yang mempunyai marga yang sama dengannya akan merasa lebih
akrab dan mendapat sambutan yang hangat.
2. Hula-hula yaitu keluarga pihak pemberi istri. Mempunyai sifat yang sangat peka, oleh sebab itu bagi masyarakat Batak Toba tindakan atau perlakuan
terhadap hula-hulanya harus hati-hati. Kehati-hatian tersebut digambarkan
3. Boru yaitu pihak yang menerima gadis (istri). Pihak boru menganggap bahwa dirinya berkewajiban menolong hula-hulanya dalam segala hal, terlebih dalam kegiatan adat. Di lain pihak hula-hula juga berhak untuk menerima sumbangan dari borunya. Oleh sebab itu, boru tidak akan pernah merasa rugi apabila memberikan yang terbaik bahkan terkadang sampai berkorban hutang
demi memberikan sumbangan kepada hula-hulanya. Hal ini dapat terjadi karena adanya anggapan bahwa hula-hula dapat menjatuhkan kutuk selama tujuh generasi, doa restu hula-hula dapat menjadikan seseorang kaya, dan doa restu hula-hula dapat menjadikan agar memiliki keturunan.
Ketiga kelompok kekerabatan dalam Dalihan Natolu, dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari, dan dalam melakukan upacara adat mereka saling mengisi
2.6 Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat di desa Siregar dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya adalah dengan cara bertani dan berladang. Tanaman yang biasa ditanami
adalah padi dan umbi-umbian. Selain bertani dan berladang, kelompok ibu-ibu juga
martonun yaitu membuat ulos yang nantinya akan dijual, sedangkan kelompok bapak-bapak adalah sebagai nelayan. Namun beberapa bulan terakhir pekerjaan
sebagai nelayan telah ditinggalkan, hal ini disebabkan semakin punahnya ikan-ikan di
danau.11
11
BAB III
DESKRIPSI UPACARA MARDEBATA
3.1Pengertian dan Tujuan Upacara Mardebata
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa upacara Mardebata
adalah upacara ritual Parmalim yang dilakukan karena seseorang atau keluarga telah menyimpang dari ajaran Patik. Upacara ini dilakukan adalah sebagai sarana pengampunan dosa-dosa kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya karena telah melanggar ajaran Patik. Mengakui kesalahan dan dosa serta memohon pengampunan dosa kepada Ompung Mulajadi Nabolon adalah kewajiban bagi masyarakat parmalim agar memperoleh bekal untuk kehidupan yang abadi diluar kehidupan dunia ini. Untuk mencapai kehidupan diluar kehidupan dunia ini, dalam
ajaran Ugamo Malim disebutkan :
Indion ma pangan hamu na Hupapungu na di sopo on, mardos roha ma hamu marbagi i, umbaen na Hupapungu i, asa adong do mangudut haleonmu.
Artinya :
Inilah kamu makan, yang telah Kusediakan dalam rumah ini, seiasekatalah kamu membaginya, sebab ini kusediakan agar kelak kamu tidak berkekurangan.
Bekal yang dimaksud adalah Poda (firman Tuhan), Tona (perintah Tuhan),
Patik (aturan Tuhan), dan Uhum (hukum Tuhan). Hal ini terpadu di dalam Patik ni
yang telah dilakukan. Kesalahan dan dosa, kebaikan atau kebajikan, semua
dipersembahkan kepada Ompung Mulajadi Nabolon. Agar dosa diampuni, kebajikan diberkati menjadi pengabdian kepada-Nya. Setiap saat Parmalim diwajibkan membaca ulang kegiatan kehidupannya untuk kemudian menata kehidupan bercermin
kepada Patik dan aturan Ugamo Malim. 3.2. Tempat Upacara
Upacara Mardebata adalah upacara yang sifatnya pribadi (perseorangan), maka yang menjadi tempat pelaksanaan upacara mardebata ini adalah di rumah si
suhut atau penyelenggara upacara yaitu di Desa Siregar, Kecamatan LumbanJulu Kabupaten Toba Samosir. Hal ini berbeda dengan upacara ritual parmalim lainnya yaitu sipaha sada dan sipaha lima yang pelaksanaannya dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan yang merupakan pusaat peribadaataan parmalim, berada di Desa Hutatinggi-Laguboti.
3.3Saat Upacara
Saat pelaksanaan upacara Mardebata ditentukan dengan cara maniti ari
(menentukan hari yang tepat) untuk menentukan hari yang baik pelaksanaan upacara
mardebata yang akan dilakukan. Maniti ari dilakukan oleh ihutan atau ulu punguan
yaang ditentukan berdasarkan pada Parhalaan yaitu kalender Batak dahulu yang sampai sekarang masih tetap dipedomani dalam menentukan hari pelaksanaan suatu
pesta atau upacara. Parhalaan ini berisi nama-nama hari dan nama bulan serta simbol (lambang) dari masing-masing hari. Adapun nama-nama hari dalam parhalaan
tersebut adalah :
2. Suma
Kemudian Nama-nama Bulan Batak :
1. Sipaha Sada
3.4 Peralatan dan Perlengkapan Upacara
Adapun peralatan yang digunakan dalam upacara Mardebata yaitu : 1. Daupa dan aek Pangurason
Dalam setiap menjalankan tata ritual atau ibadahnya parmalim tidak pernah lepas dari penyertaan daupa (asap kemenyan) dan aek pangurason12 (air suci pengurapan) karena keduanya merupakan pelean yang utama diantara pelean-pelean (persembahan) yang lainnya. Adapun fungsi dari daupa dan aek pangurason ini adalah sebagai alat untuk mengurapi atau mensucikan terhadap
pelean yang disajikan dan juga mensucikan parmalim sebelum dan sesudah upacara mardebata dilaksanakan.
2. Pelean (persembahan)
Pelean adalah persembahan (sesaji) yang merupakan syarat utama dari pelaksanaan upacara mardebata. Pelean dalam upacara mardebata ada dua bagian, yaitu pelean Debata yakni pelean persembahan kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya, dan pelean habonaran yakni pelean
persembahan kepada roh-roh kebenaran Ompung Debata Mulajadi nabolon dan roh kebenaran penguasa yang lainnya. Selain daupa dan aek pangurason, pelean
yang akan dipersembahkan antara lain : indahan na las (nasi putih), dengke nilaean (ikan batak), pira ni ambalungan (telur ayam), manuk mirapolin (ayam berwarna merah), manuk jarumbosi (ayam berwarna hitam), manuk nabontar
(ayam berwarna putih), manuk nanidugu (ayam panggang), hambing puti
12
(kambing putih), naniura (ikan yang dibubui tanpa dimasak), pohul-pohul (kue yang dibuat dari tepung), openg-openg (kue yang dibuat dari tepung dan pisang),
sitompion (kue dari tepung), itak gurgur (kue dari tepung dan kelapa yang diparut), rondang (padi yang digongseng), mentimun, pisang, daun sirih, bane-bane (daun kemangi), gajut (tempat sirih yang diisi dengan beras, daun sirih, dan
bane-bane), serta paradatan (ulos, hio puti/kain putih, dan uang).
Adapun fungsi dari pelean-pelean ini adalah untuk menghormati dan memuliakan oknum yang dituju yang dimintakan dalam tonggo-tonggo (doa) sekaligus mengundang kehadiran oknum yang dituju tersebut dalam upacara
mardebata yang sedang dilaksanakan.
2. Langgatan, yaitu tempat meletakkan pelean. Terbuat dari bambu dengan tinggi kira-kira 1 meter. Langgatan dalam upacara mardebata ada dua yaitu
langgatan sebelah kanan yaitu tempat pelean kepada Ompung Mulajadi Nabolon, Tuhan Debata Natolu, Siborudeakparujar, Siborusaniangnaga, Patuan Raja Uti, dan Tuhan Simarimbulubosi. Sedangkan langgatan sebelah kiri yaitu tempat pelean kepada Raja Naopatpuluopat, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Langgatan ini ditutup dengan kain warna putih serta dihiasi dengan mare-mare (daun enau) dan bunga-bungaan.
3. Tiang Sitolu Rupa (3 buah bendera masing-masing berwarna merah, putih dan hitam). Tiang ini adalah lambang dari Tuhan Debata Natolu.13
4. Ensambel Gondang Sabangunan, terdiri dari :
13
a) Taganing (membranofon), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka satu yang terdiri dari odap, paidua odap, paitonga, paidua tingting, dan tingting. Taganing berfungsi sebagai pembawa variasi ritem dan melodi
b) Gordang (membranofon),yaitu gendang-bas bermuka satu yang lebih besar dan lebih rendah. Gordang berfungsi sebagai pembawa ritem yang tetap.
c) Ogung (metalofon), yaitu empat buah gong dengan ukuran yang berbeda, yaitu panggora, pandoali (doal), oloan, dan ihutan. Pola bunyi yang dihasilkan mengorganisasikan pola ritmik yang konstan
dan terus menerus diulang dimana panjangnya empat ketukan.
d) Sarune bolon (aerofon), yaitu jenis alat musik tiup berlidah ganda.
Sarune bolon berfungsi sebagai pembawa melodi repertoar (lagu). e) Hesek (idiofon), yaitu alat dari plat besi, botol kosong, atau benda lain
yang menghasilkan bunyi tajam. Hesek berfungsi menuntun instrumen yang lain secara bersama-sama dimainkan. Berfungsi juga sebagai
patokan ritem atau pembawa ritem konstan.
3.5Pendukung Upacara
Mengenai pendukung upacara akan dijelaskan sebagai berikut :
3.5.1 Ihutan Parmalim
tonggo-tonggo (doa) dan permohonan-permohonan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya.
3.5.2 Ulu Punguan
Ulu punguan bertugas sebagai pembantu ihutan dalam pelaksanaan upacara
Mardebata, khususnya dalam mempersiapkan pelean yang akan dipersembahkan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya. Ulu punguan membantu
ihutan dalam membagi pelean-pelean dan menaruhnya kedalam piring yang telah disediakan. Ulu punguan juga membantu ihutan memercikkan aek pangurason
kepada seluruh peserta upacara pada saat memulai tonggo-tonggo dan setelah upacara selesai.
3.5.3 Suhut
Suhut adalah penyelenggara upacara Mardebata. Suhut bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan upacara, termasuk
dalam menyediakan pelean. Semua biaya dalam upacara ini ditanggung oleh Suhut. 3.5.4 Pargonci
Pargonci adalah sebutan kepada yang memainkan ensambel gondang sabangunan. Mereka sering dipanggil dengan amang panggual pargonci atau amang pande nami atau amang tukkang nami. Kedudukan pargonci dengan ihutan dalam pelaksanaan upacara mardebata adalah sama. Ihutan adalah yang memimpin dalam menyampaikan pelean dan permohonan melalui tonggo-tonggo (doa) sedangkan
pargonci adalah yang menyampaikan melalui bunyi gondang sabangunan.
Menurut bapak S. Sitorus (pemain sarune parmalim), kriteria untuk enjadi
artinya dia harus mengetahui semua aturan-aturan dalam ugamo malim. Beliau juga mengatakan bisa saja dia pintar memainkan alat musik misalnya sarune, tetapi jika dia tidak menguasai ruhut-ruhut ni ulaon hamalimon dia tidak bisa menjadi pargonci
di parmalim. Selain itu kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi pargonci parmalim adalah tentu saja dia harus parmalim.
3.5.5 Peserta Upacara
Adapun peserta yang dimaksud adalah kelompok ama (bapak), ina (ibu), dan
naposo bulung (muda-mudi), mereka adalah tamu yang diundang hadir untuk menghadiri pelaksanaan upacara mardebata.14
3.6Pelaksanaan Upacara
Mengenai pelaksanaan upacara, penulis menjelaskan berdasarkan hasil
penelitian yang penulis peroleh di lapangan pada tanggal 24 oktober 2006, di desa
Siregar, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba Samosir. Adapun pelaksanaan upacara yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
3.6.1 Persiapan Upacara
Pada pagi harinya peserta upacara dari kelompok ama (bapak), kelompok ina
(ibu), dan kelompok naposo bulung (muda-mudi) yang datang dari tempatnya masing-masing semuanya marhobas (bekerja) mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan upacara. Ada yang memasak pelean, melilit langgatan dengan kain warna putih, menghias langgatan dengan bunga-bungaan, mendirikan Tiang Sitolu rupa
(bendera 3 warna, merah putih, dan hitam), menyiapkan pardaupaan (dupa), menyiapkan tikar untuk alas duduk, dan lain sebagainya. Demikian juga bagi
14
pargonci (pemusik), mereka mempersiapkan alat-alat musiknya, memasang dan men-set alat musik tersebut serta padomuhon (menyamakan) suara sarune dengan gondang
sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan. Setelah semuanya selesai
disiapkan, seluruh peserta upacara Mardebata kemudian makan bersama. Setelah makan bersama selanjutnya pelean-pelean diatur, ditata dengan harmonis di atas tikar di rumah si suhut oleh Ihutan Parmalim dan beberapa orang dari kelompok ama
(bapak), sementara peserta yang lainnya mempersiapkan diri untuk mengikuti
upacara. Selain mempersiapkan diri secara fisik, mereka juga mempersiapkan diri
secara rohani yakni memusatkan perhatian dan pikiran hanya untuk pelaksanaan
upacara Mardebata. Kemudian peserta upacara mengambil tempat masing-masing sesuai dengan kelompoknya masing-masing yaitu kelompok ama (bapak), kelompok
ina (ibu), dan naposo bulung (muda-mudi).
3.6.2 Jalannya Upacara
Setelah semua pelean tersusun dan tertata dengan rapi di atas tikar, upacara
Mardebata dimulai. Upacara mardebata dimulai dengan“Marsintua gabe” yaitu Tanya jawab antara Ihutan dan Suhut. Adapun Tanya jawab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Ihutan : marsintu gabe ma hita suhut nami
Suhut : mauliate ma Raja nami, marsintua gabe ma hita
Ihutan : gabe ma hita jala horas, asi ma roha ni Ompunta Debata marpungu hita nuaeng di bagas on, hundul hita di lage tiar sai tiur ma panggabean tiur parhorasan. Marsangap martua ma hita tu joloan ni ari on pasu-pasuon ni Ompunta Debata. Lolo dison indahan na las, dengke ni laean, pira ni ambalungan, manuk naipelei, hambing puti, sitompion na bolon, napuran martomuuruk, dohot sanggul bane-bane
Suhut : mauliate ma Raja nami, ba hata ni i panggabean ma dohot parhorasan Ihutan : panggabean ma tutu dohot parhorasan, angkup ni panggabean dohot
Suhut : mauliate ma raja nami, asi ni roha ni Ompunta Debata do angkup ni pasu-pasu ni namarsangap namartua I, mangajari hami asa lam marroha manuturi hami lam marbisuk, mangugamohon harajaon ni Ompunta Debata asa botoon nami mangulahon lomo ni rohaNa. Alai ala gale ni roha nami, jot-jot do hami Raja nami manimpang sian dalan ni amanta I, mamboan-boan lomo nami. Alai alani pangabaraonmu Raja nami, dang dijujur Ho I tu parbadanon lumobi tu partondion nami. Dipaloas do hami sahat ro di tingkion manghasuhuthon tinonahon nai mandok mauliate tu Ompunta Debata dohot mangido asi ni roha. Tung so huboto hami pe nuaeng among manggoari akka hasalaan nami, mangelek ma Ho tu Debata asa disesahon sian parningotanNa disoadahon sian bagasan rohaNa, anggiat sahat dipargogoi diparbisuhi hami boi songon sininta-sinta ni rohaMi, jolma namarguna. Angkup ni i Raja nami, adong dope sipangidoon nami, sian ias ni roha ni Debata napinangidoMi dilehon di hami parpinomparon. Digongggom mai hot di gonggoman nai, ala sai dong doi natarboan-boan lomo na. Pangidoan nami raja nami, asa mulaki Raja nami tu gonggomanmu
Ihutan : mauliate ma, marasi ma rohani Ompunta Debata sai dilehon ma asi-asina di hamu suhut nami nang dohot di hita saluhutna.
Artinya :
Ihutan : suhut kami, marilah kita marsintua gabe
Suhut : terimakasih raja kami, marilah kita marsintua gabe
Ihutan : damai sejahtera bagi kita semua, kasih karunia Ompung Debata Mulajadi Nabolon kita berkumpul di rumah ini, duduk di atas tikar, damai sejahtera bagi kita semua, di hari yang akan datang semoga kita selalu diberkati Ompung Debata Mulajadi Nabolon. Disini telah tersedia nasi putih, ikan batak, telur rebus, ayam yang sudah dimasak, kambing,
sitompion, daun sirih, dan banebane. Maksud dan tujuannya, suhut kami bisa jelaskan
Suhut : terimakasih, adapun maksud dari pelean-pelean ini adalah untuk damai sejahtera
Ihutan : damai dan juga sejahtera, selain dari itu suhut kami bisa jelaskan
Ompung Debata Mulajadi Nabolon, serta memohon kepada kasih-Nya. Kami telah satu hati dibawah lindungan-Mu. Walaupun kami tidak bisa menyebutkan segala kesalahan kami, mohonkanlah kepada Ompung Debata Mulajadi Nabolon agar dosa-dosa kami dilupakan dari ingatan-Nya dihapus dari dalam hati-ingatan-Nya, semoga kami diberi kekuatan, diajari, sehingga kami bisa menjadi manusia sesuai dengan keinginan-Nya, orang yang berguna. Selain itu, masih ada permohonan kami kepada
Ompung Mulajadi Nabolon yang Engkau mintakan, memberikan anak buat kami. Dibimbinglah dia agar tetap dibawah lindungan-Nya. Akan tetapi, masih saja ada yang terbawa-bawa akan keinginannya sendiri, kami memohon agar dia kembali kepada lindungan-Mu
Ihutan : terimakasih, semoga Ompung Debata Mulajadi Nabolon memberikan kasih- Nya kepada suhut kami dan kepada kita semua.
Selanjutnya Ihutan dan suhut berjalan menuju ke halaman rumah dan menghadap ke langgatan. Kemudian beberapa dari kelompok ama (bapak) berdiri dan mulai dari dalam rumah hingga ke langgatan. Masing-masing saling memberi dan menerima pelean yang telah tersedia di atas tikar. Namun untuk meletakkan dan menyusun pelean ke dalam langgatan dilakukan oleh Ihutan selaku pemimpin upacara. Hal ini bertujuan untuk menjamin keabsahan dari pelean tersebut. Ihutan
menerima dan menyusun pelean-pelean ke dalam langgatan sesuai letak yang telah ditentukan. Ada dua langgatan dalam upacara Mardebata di alaman atau di halaman rumah yaitu :
1. Langgatan sebelah kanan yaitu tempat pelean kepada Ompung Mulajadi Nabolon, Tuhan Debata Natolu, Siborudeakparujar, Siborusaniangnaga, Patuan Raja Uti, dan kepada Tuhan Simarimbulubosi. Adapun pelean dalam langgatan ini adalah :
indahan na las (nasi putih), dengke nilaean (ikan batak), pira ni ambalungan (telur rebus) ; manuk nabontar (ayam berwarna putih), manuk jarumbosi (ayam berwarna hitam), manuk mirapolin (ayam merah) ; manuk nanidugu (ayam panggang) ;
(kambing putih) ; pohul-pohul (kue yang dibuat dari tepung) ; openg-openg (kue yang dibuat dari tepung dan pisang) ; sitompion (kue yang dibuat dari tepung) ; pisang ; mentimun ; daun sirih ; pangurason (air suci pengurapan) ; gajut yaitu tempat sirih yang diisi dengan parbue santi (beras), kemiri, telur, sirih, pinang, dan
bane-bane (daun untuk memercikkan aek pangurason).
2. Langgatan sebelah kiri yaitu tempat pelean kepada Raja Naopatpuluopat, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Adapun pelean dalam langgatan ini adalah : indahan na las (nasi putih), dengke ni laean (ikan batak), pira ni ambalungan (telur rebus) ; manuk mirapolin (ayam berwarna merah) ; hambing puti
(kambing putih) ; itak gurgur (kue yang dibuat dari tepung dan kelapa parut) ; pisang ; mentimun ; rondang (padi yang digongseng) ; sitompion (kue yang dibuat dari tepung) ; aek pangurason yaitu air suci pengurapan ; paradatan (ulos Batak, kain putih, dan uang).
Setelah semua pelean Debata disusun dan ditata di dalam langgatan,
kemudian pelean habonaran di masukkan ke dalam mombang. Adapun isi pelean ini adalah : manuk mirapolin (ayam berwarna merah), manuk jarumbosi (ayam berwarna hitam), manuk nabontar (ayam berwarna putih) ; nasi dua warna yaitu nasi putih dan nasi kuning ; naniura yaitu ikan yang dibumbui tanpa dimasak ; pira ni ambalungan
; gajut yaitu tempat sirih yang diisi dengan beras, telur, kemiri, sirih, pinang, dan
bane-bane (daun untuk memercikkan aek pangurason).
Setelah semua pelean disiapkan, selanjutnya ihutan mengambil pangurason
dan sitompion dari langgatan sebelah kanan dan memberikannya kepada suhut yang telah berdiri menghadap langgatan. Di belakang mereka telah berdiri ina paniaran
(kelompok ibu yang merupakan keluarga dari suhut) dan kelompok ama (bapak) yang berdiri mengelilingi langgatan. Kemudian Ihutan meminta kepada Bataraguru Humundul (pargonci) untuk memainkan Gondang Alu-alu.Ihutan kemudian berkata :
Alu-aluhon ma tu Amanta Raja Nasiakbagi parajar sioloan I, ajar naima na taoloi uhum naima na ta parngoluhon. Di ari nauli mula na denggan on, ro hasuhuton on pasahathon pelean puji-pujian tu Ompunta Debata Mulajadi Nabolon. Di gohi ma hata pangidoan nami.
Artinya:
Ajukanlah kepada Bapa kita Raja Nasiakbagi yang menjadi teladan bagi kita. Ajar-Nya yang kita jalankan, hukum-Nya yang kita jalankan. Di hari yang baik awal yang baik ini hasuhuton datang membawa pelean puji-pujian kepada Ompung Mulajadi Nabolon, dikabulkanlah permintaan kita
Kemudian pargonci memainkan gondang alu-alu. Gondang ini hanya dimainkan oleh partaganing saja. Kemudian Ihutan berkata :
Alu-aluhon ma tu Rajanta Raja Naopatpuluopat, panggomal ni portibi pangarahut hata pangkansing ni desa na ualu on
Artinya :
Ajukanlah kepada Raja kita Raja Naopatpuluopat yang mempunyai kuasa di bumi ini
Alu-aluhon ma tu Ompunta Debata Mulajadi Nabolon, sombahononta ma pelean puji-pujion on mardongan Gondang Sabangunan…
Artinya :
Ajukanlah kepada Ompung Mulajadi Nabolon, kita akan mempersembahkan
pelean puji-pujian ini bersama dengan Gondang Sabangunan
Setelah Gondang alu-alu, kemudian Ihutan martonggo (berdoa) dan seluruh peserta upacara berdoa dengan posisi tangan menyembah. Adapun tonggo (doa) yang disampaikan oleh Ihutan secara berurutan ditujukan kepada :
1. Ompung Debata Mulajadi Nabolon 2. Tuhan Debata Natolu Ihutan kemudian berkata :