ANALISIS DAYA DUKUNG HABITAT DAN
PEMODELAN DINAMIKA POPULASI GAJAH
SUMATERA
(
Elephas maximus sumatranus
):
STUDI KASUS DI KAWASAN SEBLAT
KABUPATEN BENGKULU UTARA
HUTWAN SYARIFUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Studi Kasus Di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2008
ABSTRACT
HUTWAN SYARIFUDDIN. Analysis of the Carrying Capacity and Dynamic Modeling of Sumatran Elephant Habitat (Elephas maximus sumatranus): A Case Study in the Seblat Area of the North Bengkulu Regency. Under the direction of ANDRY INDRAWAN as Chairman, ANI MARDIASTUTI and LILIK BUDI PRASETYO as member.
The Study was conducted from September 2006 until June 2007 in the Seblat Area of the North Bengkulu Regency. The aims of this study were to analyze the carrying capacity of Sumatran Elephant habitat to analyze resident pressure and people’s perception, and to build dynamic model Sumatran elephant population. Land cover interpretation was processed by remote sensing and GIS techique. The study showed that the elephant habitat were primary forest 1375.47 ha (20.04%), secondary forest 3375.09 ha (49.16%), bushes 775.35 ha (11.29%), savanna 479.79 ha (6.99%), plantations 170.56 ha (2.48%) and open area 688.74 ha (10.03%). Elephant consumed soil that contains P, Ca, Mg, K, and Na. Green fodder were Colocasia gigantea, Imperata cylindrica, Cynodon dactylon, Tithonia diversifolia, Ichnanthus vicinus, Dillenia excelsa, Angiopteris avecta, Knema, Macaranga gigantea and Dacryodes rostrata. Production of green fodder in the rainy season was 18855.89 kg/ha and in the dry season was 6766.97 kg/ha. The productivity green fodder in the rainy season was 471.39 kg/ha/day and in the dry season was 112.78 kg/ha/day. The carrying capacity of elephant habitat in the rainy season was 0.88 km2/elephant and in the dry season was 3.69 km2/elephant. Elephant population density was 40 elephants/68.65 km2. Simulation resulted in 2036, the elephant population will be only 3.96 elephants/68.65 km2. Based on the study, conversion of forest which the elephant habitat is not suggested.
RINGKASAN
HUTWAN SYARIFUDDIN. Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Studi Kasus Di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN Sebagai Ketua Komisi Pembimbing, ANI MARDIASTUTI dan LILIK BUDI PRASETYO Masing-Masing Sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Penelitian dilakukan pada bulan September 2006 sampai Juni 2007. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis komponen daya dukung habitat gajah, mengetahui tekanan penduduk dan persepsi masyarakat pada kawasan habitat gajah, dan menyusun pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutupan lahan pada kawasan habitat gajah terbagi atas 6 (enam) tipe; hutan primer 1375,47 ha (20,04%), hutan sekunder 3375,09 ha (49,16%), lahan terbuka 688,74 ha (10,03%), semak belukar 775,35 ha (11,29%), kebun masyarakat 170,56 ha (2,48%), dan padang rumput 479,79 ha (6,99%). Topografi mulai dari 50 dpl sampai dengan 82 dpl, sedangkan kelerengan dari datar hingga bergelombang dengan kondisi suhu sekitar berkisar antara 28oC -30oC.
Komponen daya dukung habitat berupa kualitas dan kuantitas air sungai cukup mendukung kehidupan populasi gajah. Kualitas air sungai yang mengalir di kawasan habitat memenuhi syarat sebagai air minum gajah karena mempunyai suhu berkisar 25oC-27oC, warna bening hingga bening kecoklatan, tidak berbau dan pH 6,0-6,8. Kandungan unsur hara tanah di kawasan habitat gajah berada pada tingkat rendah sampai sangat rendah. Jenis tanah didominasi tanah podsolik, pH-tanahnya mencapai 4,8 – 5,1 dengan suhu tanah 27-28oC. Mengasin dilakukan gajah dengan mengkonsumsi tanah yang mengandung unsur garam pospor (P), calsium (Ca), magnesium (Mg), potasium (K), dan sodium (Na).
Jumlah jenis tumbuhan terbanyak terdapat di Air Tenang (225 jenis), Air Senaba dan Air Sabai memiliki jumlah yang seragam (215 jenis), Batu Ampar (213 jenis), Simpang Tiga memiliki jumlah (207 jenis) dan yang terendah adalah Air Riki (197 jenis).Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah yang terdapat di Air Tenang (70 jenis), kemudian Air Senaba (67 jenis), Simpang Tiga (66 jenis), Air Sabai (64 jenis), Air Riki (63 jenis) dan Batu Ampar (59 jenis). Produksi pakan gajah pada musim hujan adalah 18855,89 kg/ha, sedangkan pada musim kemarau 6766,97 kg/ha. Produktivitas hijauan pakan gajah pada musim hujan mencapai 471,39 kg/ha/hari dan musim kemarau 112,78 kg/ha/hari, sehingga daya dukung terhadap gajah pada musim hujan sebanyak 0,88 km2/ekor dan musim kemarau 3,69 km2/ekor. Kepadatan populasi gajah yang dihitung berdasarkan kepadatan kotoran adalah 1,72 km2/ekor atau 40 ekor/68,65 km2.
pendidikan, jarak tempat tinggal masyarakat dengan habitat gajah dan pendapatan masyarakat dengan r = 0,537.
Struktur pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera dibagi dalam tiga sub model, yaitu sub model populasi gajah, sub model hijauan pakan dan sub model masyarakat. Hasil simulasi selama 30 tahun menunjukkan bahwa populasi gajah Sumatera terus menurun dari 40 ekor pada tahun 2006 menjadi 3,96 ekor/68,65 km2 sampai tahun 2036. Sedangkan hijauan pakan sebanyak 118.341.276,92 kg/68,65 km2 pada tahun 2036. Validasi model berdasarkan nilai Cronbach’s Alpha 0,995. Pemodelan dapat memberikan gambaran populasi gajah Sumatera jangka panjang, dan berguna dalam pembinaan habitat gajah Seblat.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap habitat gajah, disarankan untuk tidak melakukan konversi hutan untuk tujuan apapun pada wilayah yang sudah diketahui potensial sebagai habitat gajah. Perlu memperkuat status kawasan perlindungan hutan, pengelolaan dan pembinaan habitat gajah (management elephant range) hendaknya di ikuti dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi konflik manusia- gajah. Untuk menyelamatkan gajah yang semakin langka, pemerintah secepatnya mengatur tata ruang kawasan hutan, sehingga dapat menghindari terputusnya koridor habitat gajah dengan kawasan konservasi.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS DAYA DUKUNG HABITAT DAN
PEMODELAN DINAMIKA POPULASI GAJAH
SUMATERA (
Elephas maximus sumatranus
):
STUDI KASUS DI KAWASAN SEBLAT
KABUPATEN BENGKULU UTARA
HUTWAN SYARIFUDDIN
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji luar komisi ujian tertutup: Dr. Ir. Muladno, MSA
Penguji luar komisi ujian terbuka: 1. Dr. Ir. Tonny Soehartono, MSc
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Diser tasi : Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera (E l e p h a s
maximus sumatranus): Studi Kasus di Kawasan
Seblat Kabupaten Bengkulu Utara Nama : Hutwan Syarifuddin
NRP : P062040031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS Ketua
Prof. Dr.Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi . Dekan Sekolah Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
P r o f . D r . I r . S u r j o n o H S u t j a h j o , M S P r o f . D r . I r . K h a i r i l A n w a r N o t o d i p u t r o , M S
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi dengan judul “Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Studi Kasus di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara. Disertasi ini merupakan salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Doktor pada Progam Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS., Ibu Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti,MSc dan Bapak Dr.Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc yang telah
memberikan arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam menyelesaikan
penelitian ini.
2. Kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staff yang telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi.
3. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Ibu Dr.Ir. Etty Riani, MS dan Bapak Dr.
Drh. Ahmad Arif Amin, MSc selaku sekretaris Program Studi PSL, serta para
staf dan dosen di Program Studi PSL, dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bekal
ilmu, arahan dan segala masukan yang diberikan guna menyusun Disertasi ini.
4. Bapak Dr.Ir. Muladno,MSA selaku penguji ujian tertutup, atas saran dan kritik
dalam perbaikan sehingga Disertasi ini menjadi lebih baik.
5. Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.
6. Jajaran staf BKSDA Propinsi Bengkulu dan petugas PLG Seblat Bengkulu
Utara.
7. Yayasan Damandiri dan Yayasan Toyota & Astra yang telah memberikan
bantuan dana penelitian.
8. Ungkapan terimakasih kepada Ayahanda H. Dahlan B, dan Ibunda tercinta Hj.
Maznah, mertua dan istriku tercinta Nila Mahdiati, SP dan kepada putra-putri
Ir. Hartini, Dra.Nuraidah, MKes dan Adinda Kurniawati, S.Sos serta seluruh
keluarga atas motivasi, doa dan kasih sayang.
9. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada teman seperjuangan, serta
semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya yang telah banyak membantu
memberikan dukungan dan bantuan baik moril maupun material dalam
penyelesaian studi ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penyusunan di masa yang akan datang. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih dan berharap supaya disertasi ini dapat memberikan
manfaat.
Bogor, Oktober 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 10 Nopember 1967 dari
pasangan H. Dahlan B dan Hj. Maznah. Penulis merupakan anak keempat dari lima
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Jambi, lulus pada tahun 1991. Pada tahun
1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya Malang dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas
Jambi sejak tahun 1993. Bidang kajian yang ditekuni penulis ialah agrostologi.
Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Himpunan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……… v
DAFTAR GAMBAR……….. vii
DAFTAR LAMPIRAN……… ix
I. PENDAHULUAN……… 1
1.1. Latar Belakang………... 1
1.2. Kerangka Pemikiran……… 3
1.3. Perumusan Masalah... 5
1.4.Tujuan Penelitian……….. 7
1.5. Manfaat Penelitian……… 8
1.6.Kebaruan (Novelty) Penelitian... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA………. 9
2.1.Klasifikasi Gajah... 9
2.2. Morfologi dan Anatomi Gajah……….. 9
2.3. Penyebaran dan Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)... ... 11 2.4. Punahnya Keanekaragaman Spesies... 12
2.5. Habitat Gajah Sumatera………. 13
2.6. Pola Penggunaan Ruang – Habitat... 15
2.7. Daya Dukung Habitat.……….. 18
2.8. Penentuan Kepadatan Gajah... 21
2.8.1.Penghitungan Langsung...………... 21
2.8.2. Penghitungan Tidak Langsung …... 21
2.9. Perilaku Gajah Sumatera... 22
2.9.1. Perilaku Makan dan Minum... 22
2.9.2. Istirahat dan Pemeliharaan Tubuh... 24
2.9.3. Perilaku Sosial Gajah………. 25
2.10. Biomassa Pakan Gajah... 28
2.12. Sistem Pemodelan ... 37
2.13. Teknik Sistem Informasi Geografis... 42
III. METODE PENELITIAN..……… 45
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian...………. 45
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ...…………... 47
3.3. Diagram Alir Metode Penelitian... 47
3.4. Rancangan Penelitian………..………. 52
3.4.1. Daya Dukung Habitat Gajah... 52
3.4.2. Kepadatan Populasi Gajah... 53
3.4.3. Tekanan Penduduk dan Persepsi Masyarakat... 53
3.5. Metode Pengumpulan Data... 54
3.6. Prosedur Penelitian... 57
3.7. Variabel yang Diamati... 60
3.8. Metode Analisis Data………... 60
3.8.1. Analisis Penutupan Lahan... 60
3.8.2. Ketinggian Tempat dan Kelerangan Tempat... 62
3.8.3. Distribusi Lokasi Kubangan... 63
3.8.4. Distribusi Wilayah Jelajah Gajah... 63
3.8.5. Analisis Vegetasi... 63
3.8.6. Produksi dan Produktivitas Hijauan Pakan ... 66
3.8.7. Diagram Profil Vegetasi... 69
3.8.8. Garam-Garam Mineral... 69
3.8.9. Analisis Daya Dukung Habitat Gajah... 69
3.8.10.Analisis Kepadatan Populasi Gajah... 70
3.8.11.Analisis Tekanan Penduduk dan Persepsi Masyarakat 71 3.8.12.PemodelanDinamika Populasi Gajah... 73
3.8.13. Struktur Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera... 75
3.9. Definisi Operasional... 79
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 82
4.1. Profil Kawasan Seblat…...……… 82
4.1.1. Letak dan Luas……… 82
4.1.3. Topografi dan Iklim……….. 82
4.1.4. Hidrologi………. 83
4.1.5 .Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat……….. 84
V. HASIL DAN PEMBAHASAN….………... 91
5.1. Penutupan Lahan Dilokasi Penelitian... 91
5.1.1. Hutan Primer... 91
5.1.2. Hutan Sekunder... 91
5.1.3. Lahan Terbuka... 91
5.1.4. Semak Belukar... 92
5.1.5. Kebun Masyarakat... 92
5.1.6. Rumput... 92
5.2. Kondisi Habitat Gajah Sumatera………...… 94
5.3. Komponen Daya Dukung Habitat………...….. 95
5.3.1. Kualitas dan Kuantitas Air Minum Gajah Sumatera... 95
5.3.2. Warna dan Bau………... 99
5.3.3. Kejernihan Air………... 99
5.3.4. pH dan Suhu………...…… 100
5.3.5. Lebar dan Kedalaman Sungai………….………. 100
5.3.6. Kesuburan Tanah di Kawasan HPT PLG Seblat... 100
5.4. Kelerengan dan Ketinggian Tempat Kawasan HPT PLG Seblat………...……….. 103
5.5. Mengasin (Satlick)………..……….. 105
5.5.1. Perilaku Mengasin ………..………. 105
5.5.2. Bentuk Tempat Mengasin………. 106
5.6. Analisis Vegetasi………... 108
5.6.1. Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis…... 108
5.6.2. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan…………... 111
5.6.3. Keseragaman Jenis Tumbuhan………... 112
5.6.4. Kesamaan Komunitas………... 113
5.7. Tumbuhan Pakan Gajah……...………... 116
5.7.1. Jumlah dan Kerapatan Jenis Pakan Gajah... 117
5.7.2. Produksi Tumbuhan Pakan Gajah………..………… 126
5.7.3. Produktivitas Tumbuhan Pakan Gajah……… 133
5.8. Analisis Kepadatan Populasi Gajah Sumatera di Kawasan
HPT PLG Seblat... 135
5.9. Analisis Tekanan Penduduk……….. 137
5.10.Faktor Penyebab Tekanan Penduduk………... 141
5.11.Persepsi Masyarakat Terhadap Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)... 145
5.12. Struktur Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera... 149
5.12.1. Formulasi Diagram Umpan Balik (Feedback loops) Gajah………... 151
5.12.2. Deskripsi Model pada Diagram Alir ….……... 154
5.13.Simulasi Pemodelan Dinamika Populasi Gajah... 156
5.13.1.Simulasi Populasi Gajah Selama 30 Tahun Pada Kondisi Lapangan... 156
5.13.2. Simulasi Populasi Gajah Selama 30 Tahun Berdasarkan Persen Hidup Dewasa... 158
5.13.3.Simulasi Populasi Gajah Selama 30 Tahun Berdasarkan Hasil Perburuan Gajah... 159
5.13.4.Simulasi Hijauan Pakan Gajah Selama 30 Tahun Berdasarkan Tekanan Penduduk... 160
5.13.5. Analisis Sensitivitas...…………... 161
5.13.6. Validasi Model. ….………... 165
5.13.7. Sintesis Hasil………... 165
5.14. Kebijakan Pengelolaan Gajah Sumatera... 166
5.15. Strategi Pengelolaan Gajah Sumatera... 167
VI. KESIMPULAN DAN SARAN..………... 170
6.1. Kesimpulan………... 170
6.2. Saran………. 171
DAFTAR TABEL
No Uraian Halaman
1 Sebaran kawasan konservasi di Pulau Sumatera... 15
2 Nilai biomassa bagian atas permukaan tanah pada negara-negara tropis Asia... 30
3 Hubungan allometrik untuk pendugaan biomassa berdasarkan diameter pohon (D > 5 cm) dan tinggi... 32
4 Fungsi allometrik untuk perhitungan biomassa pohon dan tiang……….. 32
5 Variabel dan sumber informasi………... 55
6 Pembagian kelas lereng ………...……… 62
7 Pembagian kelas tinggi………... 63
8 Jenis dan metode analisis kandungan unsur hara tanah... 69
9 Curah hujan 2000-2005 Kawasan HPT PLG Seblat Bengkulu Utara ……….……. 83
10 Penduduk dari beberapa desa yang berbatasan dengan kawasan HPT PLG Seblat ……… 84
11 Komposisi penduduk menurut umur……… 85
12 Komposisi penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan... 86
13 Fasilitas pendidikan di sekitar kawasan HPT PLG Seblat……… 87
14 Komposisi penduduk menurut matapencaharian (orang). 87 15 Produktivitas lahan terhadap tanaman semusim………… 88
16 Mata pencaharian penduduk desa di sekitar kawasan HPT PLG Seblat berdasarkan kepemilikan lahan... 88
17 Penggunaan lahan desa di sekitar HPT PLG Seblat... 89
18 Data kualitas dan kuantitas air yang memasuki kawasan HPT PLG Seblat……….. 96
19 Kandungan unsur hara lokasi I hutan sekunder Air Tenang, lokasi II hutan primer Batu Ampar dan lokasi III semak belukar Sabai ……… 101
20 Ketinggian dan kelerengan tempat lokasi penelitian HPT PLG Seblat……….. 104
No Uraian Halaman
22 Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat vegetasi pada
seluruh lokasi penelitian……….. 111
23 Indeks keseragaman jenis tumbuhan tiap tingkat vegetasi
pada seluruh lokasi penelitian………. 113 24 Kerapatan pohon per hektar menurut kelas diameter... 115
25 Jumlah jenis pakan gajah di kawasan HPT PLG
Seblat……… 120
26 Kerapatan per hektar tumbuhan pakan gajah di HPT
PLG Seblat……….. 120
27 Produksi tumbuhan pakan gajah pada musim hujan…….. 127
28 Produksi pakan gajah pada musim hujan berdasarkan luas
tutupan lahan……… 127
29 Produksi tumbuhan pakan gajah pada musim kemarau….. 128
30 Produksi pakan gajah pada musim kemarau berdasarkan
luas tutupan lahan……… 128
31 Kepadatan kotoran gajah Sumatera pada kawasan HPT
PLG Seblat………... 136
32 Indikator tekanan penduduk, indikator luas lahan budidaya produktif, indikator jumlah petani, indikator proporsi penduduk tani, indikator fraksi pendapatan
non-tani, dan indikator kepemilikan lahan……… 138
33 Kategori desa penelitian berdasarkan koefisien tekanan
penduduk ... 139 34 Rata-rata kebutuhan lahan (ha), proporsi pendapatan dari
non-tani (a), jumlah penduduk petani (jiwa), lahan pertanian produktif (ha), dan tekanan penduduk
(TP)……….. 139
35 Hasil analisis sensitivitas terhadap variable-variabel dalam
DAFTAR GAMBAR
No Uraian Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian....……….……… 6
2 Diagram umpan balik (causal loop) dalam penelitian... 7
3 Peta lokasi penelitian kawasan HPT PLG Seblat... 46
4 Diagram alir metode penelitian……… 48
5 Diagram alir pembuatan peta digital……… 52
6 Tatalaksana Penelitian... 54
7 Metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak untuk menentukan kerapatan, dominasi, frekuensi semai, pancang, tiang dan pohon... 64
8 Petak 2 m x 2 m dalam metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak yang digunakan untuk pengambilan sampel produksi secara destruktif untuk semai, paku-pakuan, shrubs/herbs plot ukuran 2 m x 2 m, Rumput atau alang-alang (ukuran 1 m x 1 m). Sedangkan untuk pancang, non-woody liana, ephiphytes, pandanus dan palma plot contoh ukuran 5 m x 5 m... 67
9 Posisi petak contoh rumput atau alang-alang pada petak sampel 40 m x 5 m... 68
10 Posisi petak contoh semak belukar pada petak sampel 40 m x 5 m………... 68
11 Pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera …………. 76
12 Sub model populasi gajah………. 77
13 Sub model hijauan pakan gajah……… 78
14 Sub model masyarakat……….. 79
15 Peta penutupan lahan di kawasan HPT PLG Seblat…….. 93
16 Sungai dan anak sungai di sekitar kawasan HPT PLG Seblat ...……… 97
17 Tempat mengasin yang berupa lubang tusukan (a)……….. 106
18 Tempat mengasin yang berupa lubang tusukan (b)……….. 107
19 Lokasi Sample vegetasi di kawasan HPT PLG Seblat … 110 20 Dendrogram indeks keanekaragaman tingkat vegetasi dari masing- masing lokasi penelitian……… 112
21 Diagram profil vegetasi di lokasi istirahat... 118
22 Diagram profil vegetasi di lokasi berkubang... 119
No Uraian Halaman
24 Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah di Air Senaba……….. 122
25 Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah di Simpang Tiga……. 123
26 Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah di Air Riki………… 124
27 Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah di Air Sabai………… 125
28 Jumlah jenis tumbuhan pakan gajah di Batu Ampar……… 126
29 Kebutuhan lahan (KL), proporsi pendapatan dari non-tani (a), jumlah penduduk tani (JP) dan luas lahan pertanian produktif (LP), serta tekanan penduduk (TP) pada enam desa penelitian ………... 140
30 Diagram umpan balik dinamika populasi gajah... 152
31 Diagram umpan balik dinamika hijauan pakan………. 153
32 Diagram umpan balik dinamika masyarakat... 154
33 Hijauan pakan gajah dan populasi gajah..………. 158
34 Persen hidup dewasa populasi gajah……….. 159
35 Populasi gajah berdasarkan hasil perburuan…..…………... 160
36 Hijauan pakan gajah berdasarkan persen tekanan penduduk………....………... 161
37 Analisis sensitivitas terhadap hasil simulasi sub model dinamika populasi gajah selama 30 tahun... 163
38 Analisis sens itivitas terhadap hasil simulasi sub model dinamika hijauan pakan gajah selama 30 tahun... 163
DAFTAR LAMPIRAN
No Uraian Halaman
1 Jenis tumbuhan dominan untuk tiap tingkat vegetasi di
seluruh lokasi penelitian……….. 182 2 Daftar jenis tumbuhan pakan gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) yang terdapat diseluruh lokasi
penelitian……… 183
3 Daftar identifikasi jenis tumbuhan yang terdapat di
kawasan HPT PLG Seblat……….. 188
4 Ragam jenis tumbuhan pakan gajah pada habitat gajah dalam kawasan TNKS, Bengkulu Utara (Rizwar et al.
2002)……….. 195
5 Hasil analisis vegetasi untuk tiap tingkat vegetasi di seluruh lokasi studi……….
198
6 Indek Shannon Wienner (H), Hmax dan Evenness (J’)…… 215
7 Matrik kemiripan (similarity) dan ketidakmiripan
(dissimilarity)……….
216
8 Kandungan unsur hara tanah………. 217
9 Hasil analisis bahan kering (BK) dan gross energi (GE)
tumbuhan pakan gajah di lokasi penelitian………... 218 10 Kepadatan kotoran gajah Sumatera pada kawasan HPT
PLG Seblat... 221 11 Tekanan penduduk daerah sekitar lokasi penelitian
terhadap habitat gajah……… 222
12 Penyebab tekanan penduduk pada kawasan habitat gajah… 223
13 Hubungan antara umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama bermukim,jarak dari habitat gajah, pendapatan per bulan, luas lahan budidaya terhadap
persepsi masyarakat ……… 230
14 Struktur sub model populasi gajah, sub model hijauan
pakan dan sub model masyarakat………... 240 15 Populasi gajah dan hijauan pakan gajah pada kondisi
sekarang……….. 241
16 Formulasi sub model populasi gajah, sub model hijauan
pakan dan sub model masyarakat……….. 242 17 Populasi gajah berdasarkan hasil berburu yang dilakukan
oleh penduduk (2 ekor, 3 ekor dan 4 ekor)..…………... 246 18 Populasi gajah berdasarkan persen hidup dewasa (70%,75%
dan 80%)……… 247
19 Hijauan pakan gajah berdasarkan tekanan penduduk..…….. 248
20 Analisis sensitivitas hasil simulasi model.………
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup
dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan
menentukan komposisi, penyebaran, dan produktivitas flora dan fauna. Habitat
yang mempunyai kualitas tinggi atau daya dukung tinggi akan menghasilkan
kualitas kehidupan flora dan fauna yang tinggi. Demikian sebaliknya, habitat yang
rendah kualitasnya atau rendah daya dukungnya, juga akan menghasilkan kondisi
atau kualitas flora dan fauna yang rendah.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)
merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang termasuk satwa langka
berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu dilindungi dan dilestarikan. Gajah Sumatera
merupakan satwa liar yang dikhawatirkan akan punah sehingga secara resmi telah
dilindungi sejak 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Nomor 134
dan 226 dan diperkuat SK Menteri Pertanian RI Nomor 234/Kpts/Um/1972 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora and Fauna) gajah termasuk dalam daftar
Appendix 1 (CITES 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan Blouch dan Haryanto (1984) dan Blouch
dan Simbolon (1985) diketahui bahwa gajah Sumatera terdapat pada 44 lokasi
habitat, dengan populasi gajah di Propinsi Bengkulu berkisar antara 100-200 ekor,
yang penyebarannya terdapat di sekitar hutan Sungai Ipuh dan Gunung Sumbing
serta hutan Bukit Barisan Selatan. Selanjutnya Supriyanto et al. (2000) dan Rizwar
et al. (2001) mengemukakan bahwa terdapat enam kelompok gajah di Kabupaten
Bengkulu Utara yang menyebar di dalam hutan yang terfragmentasi dan sebagian
besar telah rusak di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka pelestarian
satwa langka, khususnya gajah Sumatera, melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 420/Kpts-III/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang
diantaranya terdapat alokasi kawasan hutan produksi terbatas fungsi khusus seluas
6.865 ha sebagai kawasan habitat gajah yang diperuntukkan untuk perlindungan
gajah Sumatera.
Habitat gajah terdiri atas beberapa tipe hutan, yaitu: hutan rawa (swamp
forest), hutan gambut (peat swamp forest), hutan hujan dataran rendah (lowland
forest), dan hutan hujan pegunungan rendah (lower mountain forest) (Haryanto
1984; WWF 2005), Habitat yang paling disenangi gajah adalah hutan dataran
rendah. Gajah Sumatera sebagai spesies genting (endangared species) mengalami
tekanan berat karena hutan dataran rendah sebagai habitat utamanya banyak di
buka untuk perkebunan, pertanian ataupun pemukiman, menyebabkan banyak
kawasan hutan yang tadinya merupakan habitat gajah terkonversi menjadi areal
peruntukan lain. Akibatnya timbul permasalahan-permasalahan gangguan gajah
yang semakin lama dirasakan semakin meningkat.
Secara alamiah gajah membutuhkan areal yang luas untuk mencari makan
dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila habitat alamiah gajah cukup luas,
migrasi atau perpindahan gajah baik harian maupun musiman tidak akan
membawa keluar jalur atau memasuki areal budidaya milik masyarakat atau
pemukiman. Dalam kondisi habitat yang rusak, gajah melakukan aktivitas untuk
mendapatkan makanan dan pelindung (cover) dengan mencari hutan lain yang
lebih baik dan lebih luas. Tetapi apabila hutan terus dibuka maka ketersediaan
makanan gajah menjadi terbatas, sehingga gajah akan mencari makanan
alternatif yang terdapat pada areal perkebunan, areal budidaya pertanian dan
perladangan penduduk serta daerah pemukiman. Selain itu gajah juga akan
melakukan serangan terhadap manusia dan perusakan terhadap perumahan
(Alikodra 1997b).
Di Kabupaten Bengkulu Utara konflik antara gajah dan masyarakat sekitar
sebenarnya tetap menjadi permasalahan yang serius dalam usaha- usaha
melestarikannya. Pada kenyataannya saat ini (existing condition) dari peningkatan
aktivitas manusia, misalnya pembukaan lahan untuk transmigrasi, perluasan areal
perkebunan, persawahan, pertambangan, maupun kegiatan pembangunan lainnya
berakibat mengubah fungsi hutan yang semula merupakan habitat gajah menjadi
gajah dan akan sangat berpengaruh terhadap pertambahan ukuran populasi dan
kelangsungan hidupnya di masa mendatang (Dasman 1981). Menurut Primack et
al. (1998) ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh
kegiatan ma nusia adalah perusakan habitat, fragmentasi habitat, dan gangguan
pada habitat.
Kegiatan manusia akan mengakibatkan sempitnya habitat gajah apabila
dibiarkan dan tidak cepat ditangani, suatu saat gajah di Sumatera akan mengalami
kepunahan. Untuk itu perlu tindakan pengelolaan habitat yang tepat dengan
melakukan analisis daya dukung habitat gajah dan pembuatan model
(pemodelan) terhadap populasi gajah Sumatera dengan mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.
1.2. Kerangka Pemikiran
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik di suatu kawasan yang menjadi habitatnya. Populasi
gajah akan berubah mengikuti perubahan atau dinamika lingkungannya. Dengan
daya dukung yang baik akan menyebabkan penyebaran dan produktivitas gajah
meningkat yang diikuti dengan peningkatan populasi gajah, demikian sebaliknya
apabila daya dukungnya rendah akan menyebabkan produktivitas gajah rendah dan
akhirnya populasi gajah juga menurun.
Dalam kehidupan dan aktivitas manusia, sumberdaya hutan mempunyai
peranan yang sangat penting. Pemanfaatan hutan sebagai sumber pendapatan,
penghasil kayu, daun, buah, perkebunan, perladangan, dan perburuan satwa liar. Di
samping itu hutan juga merupakan habitat alami tempat hidup dan
berkembangnya satwa liar.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan aktivitas manusia di bidang
pembangunan terutama pada pembangunan perkebunan dan pertanian
khususnya di daerah pedesaan, sering melampaui daya dukung lahan (over
carrying capacity), sehingga mengarah pada eksploitasi sumberdaya alam yang
berakibat pada perubahan tutupan lahan. Menurunnya kualitas hutan yang berperan
sebagai habitat gajah diakibatkan aktivitas manusia seperti penebangan kayu,
dan transmigrasi serta kebisingan yang ditimbulkan mesin pemotong kayu akan
berpengaruh negatif terhadap keberadaan gajah.
Aktivitas penebangan akan menurunkan kerapatan tegakan (jumlah pohon),
demikian juga aktivitas pembukaan lahan dan pengambilan vegetasi yang dapat
mempengaruhi ketersediaan sumber pakan (biomassa) yang di konsumsi gajah.
Penurunan kerapatan tegakan (jumlah pohon) dan penurunan ketersediaan pakan
akan menyebabkan ketidakseimbangan populasi gajah dengan daya dukung
sehingga gajah bermigrasi atau pindah ke tempat lain untuk mencari makanan
seperti pada areal budidaya pertanian dan pemukiman penduduk sehingga dapat
menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Fragmentasi habitat dan kematian gajah dapat menimbulkan penurunan
populasi yang dapat menyebabkan terjadinya kepunahan gajah Sumatera. Kegiatan
konservasi melalui pembinaan habitat dan pembinaan populasi sangat penting
untuk dilakukan. Untuk melakukan pembinaan diperlukan suatu analisis terhadap
daya dukung habitat dan pemodelan dinamika populasi gajah yang ada saat ini
(existing condition) yang dapat digunakan untuk keberlanjutan dari gajah
Sumatera. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada (Gambar 1).
Berdasarkan uraian di atas, maka perubahan kondisi habitat gajah
berpengaruh terhadap keberadaan gajah Sumatera sebagai endangered spesies
dan satwa endemik. Oleh karena itu pengamatan dalam penelitian ini akan
difokuskan terhadap daya dukung habitat gajah (ketinggian tempat, kelerengan
tempat, vegetasi, produksi dan produktivitas hijauan pakan, sumber air/kubangan,
dan garam-garam mineral), tekanan penduduk dan persepsi masyarakat terhadap
konservasi gajah (luas lahan produktif, kebutuhan lahan petani, pendapatan tani
dan non-tani, jumlah penduduk dan jumlah petani, tingkat umur, tingkat
pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama bermukim, jarak tempat tinggal
penduduk dari kawasan habitat gajah, dan kepedulian masyarakat terhadap
konservasi gajah), dan pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera.
Untuk melakukan pengelolaan gajah di kawasan habitatnya dalam rangka
perlindungan dan pelestarian perlu diketahui perkembangan atau dinamika
parameter-parameter yang berhubungan dalam causal loop umpan balik dapat
memiliki hubungan positif dan negatif (Gambar 2).
Komponen utama yang mempengaruhi dinamika populasi gajah adalah
populasi gajah atau kepadatan gajah, jumlah hijauan pakan gajah, dan masyarakat
(jumlah penduduk), serta luas habitat gajah. Variabel lain yang membangun causal
loop dinamika populasi gajah di antaranya variabel kelahiran, kematian gajah
(mati alami dan mati perburuan), rasio ketersediaan pakan gajah, kebutuhan
hijauan pakan gajah, perburuan, tekanan penduduk terhadap habitat gajah, laju
pertambahan penduduk, kebutuhan luas lahan pertanian, tingkat pendidikan
masyarakat, kelahiran dan kematian masyarakat, dan persepsi masyarakat.
1.3. Perumusan Masalah
Habitat gajah yang berada di Seblat terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara
yang merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan fungsi khusus pusat
pelatihan gajah (PLG) sebagai wilayah konservasi gajah Sumatera. Namun
demikian kawasan ini dikelilingi oleh areal pengembangan budidaya kelapa sawit
dan pemukiman penduduk. Keberadaan daerah pemukiman di sekitar kawasan
dengan penduduk yang terus bertambah akan menambah aktivitas penduduk dalam
eksploitasi hutan, untuk perkebunan dan pemukiman yang berdampak menurunnya
kualitas dan berkurangnya luas habitat gajah. Berdasarkan permasalahan tersebut,
maka dapat disusun perumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana kondisi daya dukung habitat gajah Sumatera; keadaan fisik
(ketinggian, kele rengan tempat, lokasi kubangan/sumber air, dan
garam-garam mineral), dan keadaan biologi (komposisi dan struktur vegetasi,
profil vegetasi, produksi dan produktivitas hijauan pakan).
2. Bagaimana pengaruh tekanan penduduk dan persepsi masyarakat
(sosial-ekonomi) terhadap kawasan habitat gajah.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Populasi
Gajah Menurun
Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah
Pembinaan Populasi P Pembinaan
Populasi Pembinaan
Habitat
Konservasi Gajah Gajah Terancam
Kepunahan
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Satwa yang Dilindungi
Kerusakan/ Fragmentasi
Habitat Kematian Gajah
Populasi
Tujuan penelitian adalah menganalisis daya dukung habitat dan menyusun
pemodelan dinamika populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di
kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara.
Adapun tujuan operasional dari penelitian adalah:
1. Menganalisis komponen daya dukung habitat yang meliputi: ketinggian,
kelerengan tempat, lokasi kubangan/sumber air, dan garam-garam mineral,
dan keadaan biologi (komposisi dan struktur vegetasi, profil vegetasi,
2. Mengetahui tekanan penduduk dan persepsi masyarakat (sosial-ekonomi)
pada kawasan habitat gajah.
3. Menyusun pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Sebagai dasar bagi pengambil kebijakan dalam mengelola kawasan habitat
gajah dan melindungi gajah Sumatera.
2. Sebagai dasar pengelolaan dan pembinaan masyarakat sekitar kawasan
habitat gajah agar ikut berperan serta dalam konservasi dan pelestarian
kawasan habitat gajah Sumatera
3. Sebagai sumber informasi dalam mengembangan ilmu pengetahuan di
bidang konservasi gajah.
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian
Penelitian mengenai gajah Sumatera telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Namun demikian khususnya untuk gajah Sumatera yang ada di kawasan Seblat
Kabupaten Bengkulu Utara masih sangat terbatas oleh karena itu penelitian ini
sangat perlu dilakukan. Penelitian ini mencakup segi pendekatan atau metode dan
hasil. Dari segi pendekatan atau metode, menggunakan: (1) analisis daya dukung
habitat gajah (biofisik), (2) analisis tekanan penduduk dan persepsi masyarakat
(sosial-ekonomi) pada kawasan habitat gajah, dan (3) menyusun pemodelan
dinamika populasi gajah Sumatera. Dari segi hasil penelitian dapat disajikan
berdasarkan hasil analisis; analisis daya dukung habitat, analisis tekanan penduduk
dan persepsi masyarakat pada konservasi gajah, dan simulasi pemodelan dinamika
populasi gajah Sumatera menggunakan perangkat lunak (Powersim Ver 2.50.4.1),
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Gajah
Gajah Sumatera termasuk salah satu gajah Asia yang terancam punah
(Glastra 2003). Menurut Altevogt dan Kurt (1975) dan Huffman (1999), gajah
Sumatera merupakan sub-spesies dari gajah Asia yang pertama kali diperkenalkan
oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck,
1847. Sistematika hewan ini adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub-Phylum :Vertebrata
Class : Mammalia
Sub-Class :Eutheria
Ordo : Proboscidea
Family : Elephantidae
Genus : Elephas
Spesies : Elephas maximus Linnaeus, 1768
Sub-Spesies : Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847
2.2. Morfologi dan Anatomi Gajah
Ukuran tubuh gajah Sumatera dan ga jah Asia adalah panjang kepala dan
badan 550-640 cm, panjang ekor 120-150 cm, tinggi bahu 250-300 cm dan
beratnya mencapai 5000 kg untuk gajah jantan (Lekagul dan McNeely 1977;
Medway 1978). Ukuran tubuh gajah Asia lebih kecil bila dibandingkan dengan
ukuran tubuh gajah Afrika. Telapak kaki gajah bagian depan berbentuk bulat,
telapak kaki belakang berbentuk bulat telur (Eltringham 1982). Jejak kaki gajah
Sumatera dewasa berkisar 35-44 cm, sedangkan gajah muda berkisar 18-22 cm
(Poniran 1974). Tinggi gajah pada waktu lahir kira-kira 90-95 cm dan meningkat
sampai 130 cm setelah berusia dua tahun. Pada usia tiga tahun, tinggi gajah adalah
150-160 cm. Pada umur empat tahun sekitar 175-190 cm, dan pada umur enam
Gajah Asia umumnya memiliki punggung cembung, telinga lebih kecil,
kulit berkerut dan belalai dengan satu “jari” pada ujung nya. Sedangkan gajah
Afrika memiliki punggung cekung, telinga lebih besar, kulit relatif halus dan
belalai dengan 2 “jari” pada ujungnya (Seidensticker 1984). Perbedaan antara
kedua spesies juga terdapat dalam jumlah tulang rusuk dan tulang belakang, gigi
molar dan jumlah kuku kakinya.
Gading merupakan perkembangan dari sepasang gigi seri, umumnya
dijumpai baik pada gajah Afrika jantan dan betina, sedangkan untuk gajah Asia
umumnya hanya dijumpai pada gajah jantan. Gajah Asia betina umumnya hanya
memiliki tonjolan gigi seri (Eltringham 1982; Lekagul dan Mc Neely 1977).
Rumus gigi gajah adalah: I 1/0, C 0/0, PM 3/3, M 3/3 X 2=26 buah
(Lekagul dan Mc Neely 1977). Tiga pasang gigi pre molarnya adalah gigi susu,
sehingga untuk seumur hidupnya seekor gajah dewasa memiliki 14 buah gigi
seluruhnya.
Belalai berfungsi sebagai tangan, alat pembau, alat bernafas, sebagai senjata
dan alat berkomunikasi. Belalai dilengkapi dengan otot berjumlah ± 40 000 buah,
sehingga sangat elastis (Harthoorn dalam Murray 1976).
Daun telinga berupa tulang rawan berkulit tipis dan dilengkapi dengan
jaringan pembuluh darah yang rapat dan dekat permukaan. Kibasan daun telinga
akan mendinginkan darah yang mengalir dengan kecepatan tinggi, sehingga selain
sebagai alat komunikasi dan alat pendengar daun telinga juga berfungsi sebagai
alat pengatur suhu tubuh (Harthoorn dalam Murray 1976).
Kulit gajah berwarna coklat gelap sampai abu-abu hitam dan sangat sensitif,
ketebalan kulit punggung dan samping tubuh mencapai 2 – 3 cm. Kulit tidak
mengandung kelenjar keringat, hanya ada kelenjar susu (mammary glands) dan dua
buah kelenjar temporal pada setiap bagian samping kepala (Eltringham 1982).
Setelah dewasa rambut rontok, meninggalkan rambut jarang-jarang di
punggung dan kepala, di sekitar mata berupa bulu mata, di lubang telinga dan di
ujung ekor (Lekagul dan Mc Neely 1977).
Gajah berjalan seolah-olah secara plantigrade, padahal sebenarnya secara
digitigrade (berjalan pada ujung jari kaki). Gajah memiliki lima jari pada tiap kaki,
lima kuku pada kaki depan dan empat kuku pada kaki belakang (Eltringham
1982).
Determinasi seks selain dari gading dapat dilakukan dengan melihat bentuk
tengkoraknya. Gajah betina memberi penampakan persegi, sedang gajah jantan
memiliki dahi bulat telur (Eltringham 1982 dan Sukumar 2003).
Sistem pencernaan gajah terdiri atas mulut yang berukuran relatif kecil dan
tidak dapat membuka lebar, kelenjar ludah (salivary glands) berkembang baik,
oesophagus pendek penuh dengan kelenjar mucus, perut berupa kantung sederhana
berbentuk silindris, caecumnya berbuku-buku dan terletak pada pertemuan antara
usus besar dan usus kecil. Feces berbentuk silinder pendek (bolusis) dengan
dimensi yang ada mencerminkan dimensi rectum.
Sistem reproduksi gajah jantan terdiri atas testes yang tetap berada di
rongga perut, penis berbentuk seperti bandul, mirip penis kuda. Apabila keluar
dapat menyentuh tanah, tetapi umumnya ditarik ke dalam kantong kulit yang
mengarah ke bawah menyerupai vulva gajah betina. Karena itu sukar membedakan
jenis kelamin gajah di lapangan berdasarkan penampakan genetalia luarnya
(Eltringham 1982).
Pada gajah betina vagina dan uretranya berupa saluran urino genetal yang
panjang, mengarah ke bawah dan ke depan serta membuka di vulva di depan kaki
belakang. Clitoris gajah betina dapat ditarik panjang-pendek seperti halnya penis
pada gajah jantan meskipun tidak sama panjangnya (Eltringham 1982).
Indra penciuman gajah merupakan indra terpenting (Eltringham 1982).
Indra penglihatan disebut buruk, meskipun gajah dapat melihat jelas dalam jarak
pendek serta percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa penglihatan gajah
sebagus penglihatan kuda (Altevogt dan Kurt 1975; Eltringham 1982). Indra
pendengarannya sangat baik dan indra peraba berkembang sangat baik terutama di
ujung belalainya (Eltringham 1982).
2.3.Penyebaran dan Populasi Gajah Sumatera(Elephas maximus sumatranus) Gajah Sumatera tersebar di Pulau Sumatera meliputi 8 propinsi dan terbagi
dalam 44 populasi (Blouch dan Haryanto 1984), meliputi Lampung (11 populasi),
Sumatera Barat (1 populasi), Riau (8 populasi), Sumatera Utara (1 populasi) dan
Nangroe Aceh Darussalam (4 populasi). Populasi gajah Sumatera menurut Blouch
dan Simbolon (1985) memperkirakan antara 2800 sampai 4800 ekor.
Dari 44 populasi yang ada 30% mempunyai populasi kurang dari 50 ekor,
36% mempunyai populasi 50-100 ekor, 25% individu 100-200 ekor, dan hanya 9%
yang mempunyai ukuran populasi lebih dari 200 ekor (Santiapillai dan Jackson
1990), dari jumlah tersebut 14 kelompok berada di dalam kawasan konservasi
dengan jumlah perkiraan 1.030 ekor dan sisanya di luar kawasan konservasi.
Populasi gajah yang terdapat di wilayah-wilayah kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS), menurut Suprahman dan Sutantohadi (2000) adalah di
sekitar Sipurak-Sula (Wilayah Jambi), Rupit-Bukit Kelam (wilayah Sumatera
Selatan) dan Air Retak – Air Ipuh-Air Seblat (wilayah Bengkulu), dengan
perkiraan ukuran populasi masing- masing 40-50 ekor, < 30 ekor dan 80 –100
ekor. Dari ketiga populasi tersebut, kecuali populasi Rupit – Bukit Kelam, dua
populasi yang lain lebih sering dijumpai di luar kawasan TNKS. Pergerakan dan
mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas kawasan TNKS, yang
berupa areal HPH, perkebunan atau perladangan. Hasil penelitianRizwar et al.
(2001) di sekitar kawasan TNKS menunjukkan kepadatan populasi gajah di Air
Seblat – Air Rami 50 ekor/ 70 km2 (0,72 ekor/km2).
2.4. Punahnya Keanekaragaman Spesies
Manusia melakukan konversi habitat alami menjadi lahan perkebunan,
perladangan/pertanian, pemukiman, transmigrasi, pertambangan dan untuk
kegiatan industri. Pertambahan penduduk yang terus meningkat akan semakin
meningkatkan penggunaan sumberdaya alam dan dapat berdampak terhadap
kerusakan lingkungan yang berarti ancaman terhadap punahnya keanekaragaman
spesies akan semakin cepat.
Menurut WRI, IUCN dan UNEP (1992) dalam Iqbal (2004) punahnya
keanekaragaman spesies diakibatkan oleh enam penyebab yaitu: 1) laju
peningkatan populasi manusia dan konsumsi sumberdaya alam yang tidak
berkelanjutan; 2) rendahnya keanekaragaman produk yang diperdagangkan dalam
yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumberdayanya;
4) ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan, dan penyaluran keuntungan dari
penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati; 5) kurangnya pengetahuan dan
penerapannya; dan 6) sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
2.5. Habitat Gajah Sumatera
Habitat merupakan tempat organisme untuk dapat hidup dan berkembang
biak secara alami serta manusia dapat menemukan organisme tersebut (Suwasono
dan Kurniati 1994). Gajah Sumatera dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem.
Mulai dari pantai sampai ketinggian di atas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci.
Habitat yang paling disenangi adalah hutan dataran rendah (Haryanto 1984; WWF
2005).
Walaupun habitat gajah Sumatera telah ditetapkan sebagai kawasan
perlindungan, dan gajah Sumatera sebagai satwa yang dilindungi, namun demikian
tidak menjamin akan kelestarian gajah tersebut, menurunnya kualitas dan
berkurangnya luas habitat gajah oleh karena rusaknya daerah aliran sungai, vegetasi
hutan khususnya pohon-pohon peneduh dan sumber pakan menyebabkan daya
dukung habitat menjadi kecil. Terpecahnya populasi gajah menjadi sub-sub
populasi kecil-kecil yang satu sama lain tidak terjadi komunikasi, menyebabkan
keberadaan populasi minimum gajah tidak dapat dipenuhi sehingga kelestarian
satwa gajah pada masa yang akan tidak dapat dijamin.
Habitat gajah Sumatera yang dahulu berupa satu kesatuan ekosistem luas,
telah terfragmentasi menjadi habitat- habitat kecil dan sempit. Satu sama lain tidak
berhubungan. Daerah jelajah (home range) gajah menjadi sempit, akhirnya
kecenderungan gajah untuk keluar dari habitat alaminya. Konflik dengan pengguna
lahan lain tidak terelakkan. Persaingan yang tinggi diantara anggota kelompok
gajah dalam penggunaan ruang dan makanan, mempercepat penurunan populasi
gajah. Penjagaan yang kurang intensif terhadap wildlife corridor ini akan berakibat
terganggunya proses penyebaran satwa liar untuk melakukan migrasi dari suatu
tempat ke tempat lainnya (menuju habitat aslinya), oleh karena itu pengelolaan
tersebut sangat penting untuk keberlangsungan hidup satwa dan kelestarian
Konversi hutan untuk areal perkebunan dan transmigrasi juga menjadi awal
tekanan-tekanan terhadap habitat gajah. Selain itu produksi kayu utama di
Sumatera berasal dari hutan alam dengan jenis andalan adalah famili
Dipterocarpaceae. Namun pembalakan (logging) yang dilakukan sering tidak
memenuhi prosedur yang berlaku bahkan melebihi target panen, sehingga banyak
areal bekas tebangan yang rusak. Menurut Alikodra (1997b) bahwa ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan habitat, yaitu:
karena bencana alam, kegiatan manusia (eksploitasi hutan).
Menurut Oliver (1978), diperkirakan kepadatan gajah di logged over forest
mungkin dua kali lipat daripada di hutan primer. Banyak hutan yang rusak
menyebabkan gajah tidak mempunyai jalan ke luar untuk bergerak dari areal yang
terganggu ke hutan tua, yang jaraknya cukup jauh. Hal ini yang menyebabkan
fragmentasi habitat gajah, dan populasi yang semula besar menjadi
kelompok-kelompok kecil (Santiapillai dan Jackson 1990).
Suatu populasi manusia yang besar dan konversi hutan menjadi kebun
kelapa sawit dan perkebunan karet menyebabkan gajah ke luar dari Provinsi
Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Kemf dan Santiapillai 2000). Hanya 15
populasi telah dipercaya terdiri dari lebih 100 ekor gajah. Pertengahan tahun
1990an, total populasi diperkirakan antara 2.800 dan 4.800 (Tilson et al. 1994).
Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan konservasi di Pulau
Sumatera dengan luas 5.634.348,48 ha (Departemen Kehutanan 2005).
Mengingat wilayah jelajah (home range) gajah sangat luas, maka sering
terjadi populasi gajah keluar dari habitatnya di hutan, ke daerah sekitarnya yang
berupa perkebunan, lahan pertanian maupun pemukiman penduduk, hal ini sering
menimbulkan konflik antara manusia dengan gajah. Suprahman dan Sutantohadi
(2000) menyatakan bahwa gajah di dalam kawasan TNKS ditaksir hanya sekitar
20% untuk populasi Sipurak-Sula dan sekitar 30% untuk populasi Air Retak-Air
Ipuh-Air Seblat. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa habitat di kedua wilayah
itu lebih merupakan tempat berlindung atau tempat tidur (istirahat). Sedangkan
untuk pergerakan dan mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas
Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan
konservasi di Pulau Sumatera (Tabel 1). Namun, kawasan lindung saat ini pun
masih belum aman dan banyak bahkan sebagian besar telah kehilangan hutan
mereka akibat tekanan yang terus- menerus.
Tabel 1 Sebaran kawasan konservasi di Pulau Sumatera
No Status Kawasan Unit Kawasan
Luas Kawasan (Ha)
1. Taman Nasional 11 3.892.028,61
2. Taman Buru 5 129.650,00
3. Cagar Alam 62 357.497,05
4. Cagar Alam Laut 1 13.735,10
5. Suaka Margasatwa 23 828.224,95
6. Taman Hutan Raya 7 115.369,00
7. Taman Wisata Alam 19 27.443,77
8 Taman Wisata Alam Laut 3 270.400,00
Jumlah 131 5.634.348,48
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2005)
2.6. Pola Penggunaan Ruang -Habitat
Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa
dengan habitatnya (Lindsay 1993). Wiersum (1973) menyatakan bahwa habitat
merupakan kawasan yang terdiri atas berbagai komponen dan dipergunakan
sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar. Selanjutnya Alikodra
(1997a) menyatakan bahwa komponen fisik penyusunan habitat tersebut terdiri
atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan komponen biotiknya
meliputi ve getasi, mikro fauna dan makro fauna serta manusia yang merupakan
satu kesatuan dan berinteraksi satu dengan lainnya membentuk suatu habitat
tertentu.
Keadaan habitat tergantung pada faktor atau komponen penyusunnya
serta interaksi antara komponen tersebut. Pada umumnya tipe habitat satwa liar
digambarkan berdasarkan komunitas vegetasi, walaupun keberadaan komunitas
vegetasi tersebut sangat ditentukan oleh komponen abiotik. Kawasan yang
ditemukan berbagai komponen yang dibutuhkan seperti pakan, tempat yang cocok
untuk berkembang biak, berlindung, beristirahat, maupun kesesuaian dalam
melakukan aktivitas sosial. Kesesuaian habitat tersebut berlainan antara spesies,
dan suatu habitat yang baik bagi spesies tertentu belum tentu juga baik bagi
spesies yang lain, karena setiap jenis satwa liar menghendaki kondisi habitat yang
berbeda-beda Alikodra (1997a).
Satwa liar menempati habitat tertentu yang sesuai dengan kondisi
lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Walaupun kondisi
habitat yang dibutuhkan berbeda antara jenis satwa liar namun demikian menurut
Alikodra (1979) dan Bailey (1984) hal yang penting adalah habitat tersebut
mampu menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung. Selain ketiga
komponen tersebut dibutuhkan oleh satwa liar untuk dapat hidup dan berkembang
biak secara alami (Wiersum 1973 dan WWF 2005). Makanan dan air merupakan
faktor pembatas bagi kehidupan margasatwa, baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya artinya pertumbuhan populasi sangat ditentukan oleh jumlah
minimum dari faktor tersebut (Alikodra 1979).
Habitat mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati, oleh karena itu habitat dan ekosistemnya mendapat
perhatian atau sasaran utama dalam konsentrasi spesies baik flora maupun fauna.
Menurut Alikodra (1997a), habitat dipergunakan sebagai tempat hidup dan
berkembang biak oleh mahluk hidup termasuk satwa liar. Oleh karena itu untuk
konservasi spesies baik flora maupun fauna, diperlukan satu kesatuan kawasan
yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih,
garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat untuk
mengasuh anak-anaknya.
Konservasi pada tingkat komunitas dalam habitat akan memungkinkan
pelestarian sejumlah besar spesies, dalam kesatuan-kesatuan yang besar biasanya
sulit dilaksanakan, mahal dan seringkali tidak berhasil. Secara tidak langsung,
konservasi habitat akan memainkan peranannya dalam fungsi ekologis khususnya
dalam mengatur perilaku sistem drainase air, terutama dalam menyekap air hujan
dan air itu ditahan oleh hutan dan padang rumput sehingga mengalir ke luar lebih
periode hujan lebat dan melepaskan air terus menerus selama periode musim
kemarau (MacKinon et al. 1993).
Dilihat dari peranan habitat, maka pelestarian habitat secara utuh
merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan seluruh keanekaragaman
hayati. Bahkan dapat dikatakan bahwa pelestarian habitat merupakan satu-satunya
cara yang efektif untuk melestarikan spesies, terutama mengingat dalam situasi
penangkaran, pengetahuan yang kita miliki hanya dapat menyelamatkan sebagian
kecil saja spesies yang ada di bumi. Menurut Primack et al. (1998), upaya
pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa di kawasan konservasi
dan zona inti taman nasional merupakan perlindungan percontohan perwakilan
semua habitat utama termasuk perairan laut, bersama-sama dengan flora dan
faunanya. Oleh karena itu peranan yang begitu besar terhadap konservasi
tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya, keutuhan dan keaslian dari suatu kawasan
perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya berjalan secara alami.
Semua organisme memerlukan makanan sebagai sumber energi untuk dapat
hidup dan berkembang biak dengan baik. Satwa liar menggunakan perantara
organisme lain sesuai dengan posisinya dalam rantai makanan. Organisme yang
makanannya beranekaragam akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungannya. Demikian pula sebaliknya, organisme yang mempunyai jenis
makanan yang terbatas, akan sulit beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (Alikodra 1980).
Padang pengge mbalaan (grazing area) merupakan salah satu komponen
lingkungan yang mempunyai peranan sangat penting karena dapat menyediakan
makanan bagi satwa liar dan juga sebagai tempat untuk melakukan aktivitas
sosialnya (Alikodra 1979). Menurut Schroder (1976), padang rumput yang
merupakan padang pengembalaan atau grazing area, disamping sebagai tempat
sumber makanan, juga merupakan sumber air bagi satwa liar.
Air merupakan komponen habitat yang sangat dibutuhkan oleh satwa liar.
Satwa liar memerlukan air untuk berbagai spesies, diantaranya digunakan untuk
pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkut bahan-bahan sisa, dan untuk
mendinginkan dalam proses evaporasi. Demikian juga untuk mendapatkan air,
bebas yang tersedia di danau, kolam, ataupun sungai, dan air yang terdapat pada
parit-parit irigasi, bagian tanaman yang mengandung air, embun, dan air yang
dihasilkan dari proses-proses metabolisme lemak maupun karbohidrat di dalam
tubuh (Alikodra 1997a). Bila dikaji dari aspek ketergantungannya terhadap air,
maka gajah termasuk golongan satwa water dependent spesies yaitu binatang
yang memerlukan air untuk proses penghancuran makanan dan memperlancar
proses pencernaannya.
Pelindung atau cover juga merupakan salah satu komponen lingkungan
yang dapat menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan, dan untuk
mempertahankan kehidupannya. Keberadaan pelindung sangat diperlukan karena
peranannya sangat penting untuk melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai
kegiatan satwa liar lainnya (Alikodra 1997a). Struktur vegetasi hutan merupakan
salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar
merupakan tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap
perubahan temperatur (thermal cover). Di samping hal tersebut, menurut Alikodra
(1979), pada umumnya pelindung atau cover mempunyai 2 fungsi utama yaitu
sebagai tempat untuk hidup dan berkembang biak bagi margasatwa, dan juga
sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Pelindung dapat berupa
pegunungan, hutan mangrove, padang rumput atau savana.
2.7. Daya Dukung Habitat
Daya dukung lingkungan memiliki pengertian menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain (Sekretaris Negara 1997). Menurut Alikodra (2002), konsep
daya dukung sudah lama dikenal oleh para ahli biologi, peternak sapi, dan
pengelola satwa liar. Wiersum (1973) mendefinisikan daya dukung adalah
banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi
tertentu. Menurut Dasman (1981), habitat hanya dapat menampung jumlah satwa
pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung menya takan fungsi dari habitat.
Jadi dalam hal ini penambahan dan penurunan populasi ditentukan oleh faktor
Konsep daya dukung menurut Soemarwoto (1997), juga berarti besarnya
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan, hewan, yang dinyatakan
dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa jumlah
hewan yang dapat didukung tergantung pada biomassa (bahan organik tumbuhan)
yang tersedia untuk makanan hewan, sehingga daya dukung ditentukan oleh
banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per
satuan luas dan waktu.
Berdasarkan ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat
didukung oleh lingkungan tertentu, Dasman et al. (1977) mengelompokkan daya
dukung menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu
yang dapat didukung oleh sumberdaya pada tingkat sekedar hidup (disebut
juga kepadatan subsistem)
2. Daya dukung pada saat jumlah individu berada dalam keadaan kepadatan
keamanan atau ambang keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah
daripada kepadatan subsistem. Pada kepadatan tersebut, tingkatan populasi
suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup
di lingkungan yang sama.
3. Daya dukung optimum, yaitu daya dukung yang menunjukkan bahwa
jumlah individu berada dalam keadaan kepadatan optimum. Pada
kepadatan tersebut, individu- individu dalam populasi mendapatkan segala
keperluan hidupnya serta menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangbiakan yang baik.
Besarnya daya dukung suatu habitat dapat dihitung melalui pengukuran
salah satu komponen penyusun habitat. Susetyo (1980) mengemukakan bahwa
pendugaan daya dukung suatu habitat dapat dilakukan dengan mengukur jumlah
hijauan per hektar yang tersedia bagi satwa yang memerlukan. Menurut McIlroy
(1964), untuk menghitung produktivitas hijauan pada padang rumput dapat
dilakukan dengan cara pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput
sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung produksi per luas per unit waktu.
Menurut Susetyo (1980), hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya
pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian tanaman yang
dapat dimakan satwa tersebut disebut proper use dan faktor yang paling
berpengaruh terhadap proper use adalah keadaan tofografi lapangan karena
sangat membatasi ruang gerak satwa. Selanjutnya dikatakan bahwa proper use
lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0-5o) adalah 60-70 persen, pada
lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5-23o) adalah 40-45 persen, dan
pada lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23o) proper use
adalah 25-30 persen.
Alikodra (2002) mengemukakan bahwa populasi, produktivitas, dan
penyebaran satwa liar sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya.
Dasar-dasar konsep daya dukung dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dan
evaluasi habitat. Salah satu cara untuk menilai daya dukung, adalah perhitungan
berdasarkan pola makan, yaitu:
A= B x C D Dimana :
A = jumlah satwa liar/hari yang dapat ditampung
B = jumlah makanan yang tersedia (g)
C = jumlah kandungan energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme
yang terdapat di dalam makanan (kcal)
D = jumlah energi yang diperlukan satwa liar per hari (kcal).
Menurut Susetyo (1980), apabila daya dukung suatu kawasan dihitung per
hari, maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Daya dukung = A x B x C D Dimana :
A = produksi hijauan/hari (g/hari)
B = proper use (%)
C = luas permukaan yang ditumbuhi pakan satwa (m2)
2.8. Penentuan Kepadatan Gajah
Pengamatan terhadap kepadatan populasi gajah di lapangan dilakukan
dengan menggunakan dua metode, yaitu:
2.8.1.Peng hitungan Langsung
Penghitungan langsung menggunakan metode sensus seperti metode
concentration count cara penghalauan, sistem alur, sensus dengan menggunakan
pesawat udara, perahu, dan mobil (Alikodra 2002; Anonim 1994) untuk
menghitung kepadatan populasi gajah yang ditemukan di lapangan. Penghitungan
seluruh individu gajah juga dilakukan dengan bantuan teropong dan radio–tracking
(Galanti et al. 2000).
2.8.2.Peng hitungan Tidak Langsung
Penghitungan secara langsung dilapangan sering sulit dilakukan karena
terdapat beberapa kendala yang acapkali ditemukan, antara lain:
1. Kerapatan vegetasi dan tutupan tajuk yang tinggi, sehingga akan
berpengaruh terhadap hasil sensus
2. Pertemua n dengan kelompok gajah di lapangan sulit terjadi kecuali bila
beruntung
3. Faktor lain seperti cuaca, kemiringan dan medan yang berat sering
ditemukan
Sehubungan dengan itu, dalam penghitungan kepadatan populasi gajah
dilakukan pula pengamatan tidak langsung. Metode ini terdiri dari:
a. Metode estimasi jumlah total kotoran yang ditinggalkan dalam satuan
luas tertentu (Yanuar 2000; Obot et al. 2005)
b. Metode estimasi kepadatan gajah dari hasil perkalian jumlah total
kotoran dengan laju urai kotoran dibagi dengan laju produksi kotoran
(Dekker et al. 1991; Dawson 1993)
c. Estimasi jumlah kotoran atau kepadatan kotoran per km2 (Barnes 1996).
Kepadatan populasi gajah baru dapat dihitung setelah laju urai kotoran
diketahui, sedangkan laju produksi kotoran gajah Sumatera menurut Santiapillai