• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN

Dalam dokumen MANAJEMEN STRATEGI PROSES PENGENDALIAN S (Halaman 39-54)

Pengertian Manajemen Proyek Pengertian Manajemen Proyek

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN

17 Votes

Oleh:

Edi Gunawan Abstrak

Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah

lingkungan serta meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia dalam produksi pertanian, sehingga penerapan teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan harus mendapat perhatian dari semua pihak. Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan tersebut, karena aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) ini yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan adalah pembangunan pertanian secara hayati karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati sangat besar pada tingkat laboratorium dan rumah kaca, namun hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek pengendalian hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan. Prospek keanekaragaman dari mikrooragnisme yang antagonistik dan kekayaan sumberdaya alam di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.

1. 1. Pendahuluan

Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan back to nature telah menjadi trend baru dan meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian (Anonim, 2002). Oleh karena itu, penerapan teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan harus mendapat perhatian dari semua pihak, sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pola pembangunan pertanian seperti ini, selain harus dapat memelihara tingkat produksi, juga harus mampu mengurangi dampak kegiatan

pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu kegiatan nyata yang perlu dilakukan adalah dengan menjaga produksi pertanian dari

gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) serta memperhatikan jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian, seperti jasa penyerbukan, jasa penguraian dan jasa pengendali hayati (Tobing, 2009).

Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Organisme pengganggu tanaman merupakan salah satu penghambat produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke suat negara, karena dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya. Berdasarkan pengalaman, masih adanya permasalahan OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk buah dan sayuran buah dan virus gemini pada cabai. Selain itu, dalam kaitannya dengan terbawanya OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional (Mulyaman, 2008).

Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar sehingga petani tidak berani menanggunag resiko kegagalan usaha taninya. Selain itu, ketertarikan konsumen terhadap produk hortikultura yang bersih dan cantik, serta kurang tersedianya pengendalian non kimia yang efektif, maka pestisida sintetis tetap menjadi primadona bagi petani (Istikorini, 2002).

Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah disatu sisi cara mengatasi masalah OPT dengan pestisida sintetis dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia sintetis akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi

bertambah tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu

pestisida yang melebihi ambang toleransi (Setyono, 2009 dan Anonim, 2009).

Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (resistensi hama sasaran, gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu pada hasil (Anonim, 2008). Terdapat kecenderungan penurunan populasi total mikroorganisme seiring dengan peningkatan takaran pestisida (Emalinda et al., 2003). Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis.

Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai

produk yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi (Saptana at al., 2010). Salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk

menunjang pertanian berkelanjutan pembangunan pertanian secara hayati karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami. Aplikasi pengendalian hayati harus kompatibel dengan peraturan (karantina),

pengendalian dengan jenis tahan, pemakaian pestisida dan lain-lain.

Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat untuk mengendalikan organisme pengganggu pada tanaman, sebenarnya sudah cukup

menggembirakan, walaupun masih relatif sedikit yang dapat digunakan secara efektif di

lapangan. Komponen ini jelas berperan dalam peningkatan peranan dalam pengamanan produksi dan pelestarian lingkungan.

Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.

1. 2. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1. Mengetahui makna pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan 2. Mengetahui kendala dan pengembangan pengendalian hayati

3. Mengetahui cara pengendalian organism pengganggu tanaman berdasarkan konsep pengendalian hayati

4. Mengetahui beberapa agen pengendali hayati

5. Sebagai informasi untuk mengetahui peluang dan prospek pengendalian hayati

6. Agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang lestari dalam pemanfaatan pengendalian hayati.

1. Pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan

Pengendalian hayati adalah pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai OPT dengan cara memanfaatkan musuh alami, memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus berlangsung (Basukriadi,2003). Pengendalian hayati sebagai

komponen pengendalian hama terpadu sejalan dengan definisi sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT sejalan dengan paradigma pembangunan agribisnis (Suniarsyih, 2009).

Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya (Untung, 2001).

Menurut Istikorini (2002), pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut :

a) Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Misalnya

keanekaragaman mikroorganisme antagonistik dalam tanah atau di rizosfir (daerah sekitar perakaran) dengan mengkombinasikan berbagai komponen system usaha tani yaitu tanaman, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.

b) Berusaha memanfaatkan pestisida sintetis seminimal mungkin untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.

Dalam pembangunan di bidang pertanian, peningkatan produksi seringkali diberi perhatian utama sehingga seringkali batas maksimal produksi dilampaui. Akibatnya ekosistem akan mengalami degradasi dan kemunginan akan runtuh sehingga hanya sebagian orang yang bisa hidup dengan sumberdaya tersebut. Konsekwensinya, bahwa bila batas produksi tercapai maka harus dilakukan sesuatu terhadap ekosistem, misalnya pengembalian sumberdaya alam. Prinsip ekologi dasar mewajibkan kita untuk menyadari bahwa produktivitas pertanian memiliki kemampuan terbatas.

Berdasarkan konsep segitiga penyakit, pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan mendukung. Inang dalam keadaan rentan, pathogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul (Wiyono, 2007). Pemanfaatan musuh alami OPT menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan. Di alam musuh alami dapat terus berkembang selama nutrisi dan faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain) sesuai untuk pertumbuhannya. Proses pengendalian hayati meniru ekologi alami sehingga untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan musuh alami tersebut bisa dilakukan dengan memanipulasi sinar matahari, unsur hara tanah dan curah hujan sehingga sistem pertanian dapat terus berlanjut. Misalnya

dengan penambahan bahan organik pada tanaman yang akan dikendalikan. Bahan organik atau residu tanaman adalah media yang kondusif untuk mikrooraganisme yang antagonistik terhadap OPT yang pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah berkembangnya OPT, sebagai sumber unsur hara dan untuk perbaikan fisik tanah pertanian.

1. 4. Kendala Pengendalian Hayati

Berbagai kendala yang sering menjadi titik lemah dalam komponen hayati antara lain adalah : a) Untuk mengetahui secara pasti peranan agensia hayati tidak mudah karena terlalu banyak hal yang dianggap mendasar untuk diteliti.

b) Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari eksploirasi, isolasi, identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum sampai sumberdaya manusia peneliti yang tekun.

c) Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasi yang cepat sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat dalam kurun waktu yang panjang.

Selain itu, Pengendalian hayati memerlukan waktu yang cukup lama dan berspektrum sempit (inangnya spesifik). Walaupun demikian, banyak keuntungannya, antara lain aman, relatif permanen, dalam jangka panjang relatif murah dan efisien, serta tidak akan menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya (Santoso, 2009).

1. 5. Pengembangan Pengendalian Hayati

Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan berkesempatan sebagai komponen yang kuat dalam konsep PHT. Hal ini akan terwujud dengan menggiatkan koordinasi untuk melakukan eksplorasi, pengadaan agensia hayati, penggunaan di lapangan dan evaluasi terus-menerus. Dalam upaya eksplorasi uantuk mendapatkan agensia hayati diperlukan penelitian yang tekun dan berkelanjutan. Pengadaan agensia hayati untuk dapat digunakan di lapangan pada umumnya memerlukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Isolasi mikroorganisme atau jasad sebagai agensia hayati 2. Penelitian dasar

3. Perbanyakan

4. Proses pengembangan dan optimasi dan 5. Produksi dan aplikasi

Dalam perbanyakan agensia hayati diperlukan penelitian tentang media untuk perbanyakan yang mudah didapat dan murah. Selanjutnya perlu diteliti juga faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Produksi agensia hayati selanjutnya dilakukan dalam skala luas di bawah kondisi yang dapat diatur. Untuk ini pengembangan sumberdaya manusia (terutama

ilmuwan/peneliti) harus mendapat perhatian yang cukup kuat.

Dalam menerapkan pengendalian hayati di lapangan, keperdulian unsur-unsur terkait

(peneliti/pakar/petugas proteksi tanaman, petani, tokoh masyarakat, pengambil kebijakan) perlu terpadu dengan aktif. Selanjutnya petani dalam mengidentifikasi, menguji coba dan menerapkan pengendalian hayati diharapkan kerjasama terutama dengan penyuluh dan peneliti.

Menurut Tobing (2009), pada pertanaman monokultur sangat sulit dilakukan pengendalian hayati yang tepat dan efisien karena kurang jelasnya penampakan efektif dari musuh alami dan adanya gangguan beberapa perlakuan dalam sistem ini Mengganti atau menambah keragaman pada agroekosistem yang telah ada dapat dilakukan agar musuh alami efektif dan populasinya meningkat dengan cara:

1. Menyediakan inang alternatif dan mangsa pada saat kelangkaan populasi inang 2. Menyediakan pakan (tepung sari dan nektar) parasitoid dewasa

3. Menjaga populasi hama yang dapat diterima pada waktu tertentu untuk memastikan kelanjutan hidup dari musuh alami serangga hama.

1. 6. Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep Pengendalian hayati

Pengendalian hayati didasarkan pada pemahaman siklus hidup OPT dan mencegah

perkembangan OPT tersebut. Untuk mengembankan teknik pengendalian secara hayati maka langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Definisi masalah. Pertama harus dipahami masalah, mengetahui penyebab hama penyakitnya, di mana penyebab hama penyakit bertahan, bagaimana cara menularnya penyakit dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan ekobiologi dan epidemiologinya. Pada sebagian besar kasus, informasi ini dapat diperoleh dari literature pertanian. Informasi yang dapat diperoleh adalah tingkat kerusakan, periode ketika tanaman rentan, tingkat ambang ekonomi. 2. Langkah-langkah pencegahan. Langkah selanjutnya analisis praktek budidaya, selangkah demi selangkah. Dengan pengetahuan tentang hama atua patogen yang diperoleh selama definisi masalah, orang bias mengetahui apakah praktek budidaya dapat diubah untuk membatasi berkembangnya patogen. Sumber informasi utama dapat diperoleh dari petani.

3. Langkah-langkah pengendalian. Langkah-langlah pengendalian yang khusus dipertimbangkan, dimulai dari langkah-langkah yang lebih lemah dan kemudian ke yang lebih kuat yang lebih memiliki efek samping lingkungan.

Dalam pengendalian hayati banyak hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan sifatnya yang ekologis dan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pengendalian penyakit secara hayati meliputi hal-hal berikut ini :

1. Mengenal OPT dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan ekobiologi dan epidemiologinya.

2. Memahami situasi pada saat tertentu, seperti tanda-tanda terjadinya eksplosi, apakah proses penularan penyakit berlangsung biasa atau lambat

3. Menghindari terjadinya lingkungan yang kondusif untuk perkembangan dan penularan penyakit, misalnya drainase jelek, tumpukan tanaman inang, tanaman yang tidak terpelihara. Keberdaan dan efektifitas agensia hayati dikaitan dalam kondisi seperti ini kurang memberi keuntungan 4. Memanfaatkan proses pengendalian alami yang berorientasi pada keseimbangan biologi dan

ekosistem, maka agensia hayati harus dipantau untuk mempertahankan dan meningkatkan peranannya dalam jangka waktu tertentu

5. Karena konsep ini mengait dengan system, maka partisipasi dan kepedulian dari pihak-pihak disiplin ilmua terkait perlu ada, sebaiknya secara institusional

6. Sebagai salah satu alternatif dari PHT, pengendalian hayati harus kompatibel dengan komponen lain, dengan catatan khusus terhadap pestisida sintetis.

7. Pengendalian hayati sebagai satu sub- system yang efektif dapat terwujud dengan

mengembangan pengadaan dan proses sub-komponen utama antagonistic, bahan organik, rotasi dengan tanaman/tumbuhan yang bermanfaat

8. Melakukan eksploirasi, identifikasi, efikasi, perbanyakan dan aplikasi yang sistematik dari antagonis potential

9. Mengidupkan informasi dua arah antara pengguna, penyuluh dan sumber teknologi pengendalian hayati

10. Memasukkan komponen lain (mekanik, pestisida dan lain-lain) pada situasi epidemik dan pertimbangan lain yang memerlukan tindakan khusus

1. 7. Beberapa Agen Pengendali Hayati 1. Parasit Telur Telenomus

Parasit telur Telenomus (Telenomus rowani; Hymenoptera; Scelionidae) merupakan parsit kecil berwarna hitam yang memparasiti telur-telur pengerek batang padi. Tingkat parasitasi tabuhan telenomus dilapangan adalah antara 36%-90% kelomok telur penggerek batang padi.

Parasit Trichogramma (Trichogramma japonicum; Hymenoptera; Trichogrammitidae) ini berwarna hitam, lebih kecil dari semut. Hama ini sering muncul dari kelompok telur pengerek batang. Tingkat parsitasi dilapangan berkisar antara 40% kelomok telur penggerek batang padi.

1. Jangkrik Ekor Pedang

Jangkrik ekor pedang (Metioche vittaticollis atau Anaxpha longipennis; Orthroptera: Gryllidae) merupakan jangkrik pemangsa. Jangkrik ini disebut jangkrik ekor pedang karena memiliki ekor seperti pedang. Jangkrik ekor pedang muda pun merupakan pemangsa kelompok telur pengerek batang padi (Santoso, 2009).

1. 4. Lycosa sp.

Lycosa sp. umumnya terdapat di pertanaman padi sawah pada awal pertumbuhan vegetative dan memangsa hama sebelum populasi hama tersebut meningkat hingga aras yang merusak. Laba-laba jenis ini mampu membunuh 2-3 ngengat setiap hari (Harsanti et al., 2000)

1. Trichoderma spp.

Trichoderma koningi mempunyai daya antogonistis terhadap Rigidoporus microporus.

pengamatan secara mikroskopis menunjukan miselia T. koningi akan membelit keseluruhan hifa dari R. microsporus sehingga penetrasi dari miselia patogen tidak terjadi dan T koningi akan tumbuh di daerah pertumbuhan hifa inang patogen tersebut. Selain itu, berbagai jenis

mikroorganisme juga telah dipastikan aktif mengendalikan patotogen penyebab penyakit baik secara alami maupun dengan aplikasi (Istikorini, 2002).

1. Prospek Pengendalian Hayati

Prospek pengendalian hayati perlu ditinjau dari berbagai aspek, terutama aspek teknis sejak kegiatan di laboratorium dan rumah kaca. Jumlah dan jenis penelitian yang sudah diperoleh oleh ahli-ahli di bidang pengendalian hayati sangat besar pada tingkat laboratorium dan rumah kaca, namun hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek pengendalian hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan.

Keanekaragaman dari mikrooragnisme yang antagonistik dan kekayaan sumberdaya alam di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 6 tahun 1995 pasal 4 tentang Perlindungan tanaman disebutkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam

keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam atau lingkungan hidup (Suniarsyih, 2009). Untuk maksud tersebut yang paling cocok pertanian untuk masa depan adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Adapun definisi pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang

berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Dalam pertanian berkelanjutan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) (Istikorini, 2002).

Pengendalian secara hayati merupakan cara pengendalian yang lebih ramah lingkungan dbandingkan dengan pemakaian pestisida. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas pengendalian OPT secara hayati dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian hama secara terpadu (PHT).

Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengendalian secara hayati berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan sumberdaya alam serta memanfaatkan proses-proses alami.

2. Penelitian tentang pengendalian OPT secara hayati tidak bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi stabil dan memadai dalam jangka panjang

3. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap OPT dengan penyakit yang ditimbulkannya terutama kalau dikaitan dengan tanaman inang, pola tanam, system pertanian, daya dukung lahan dan system pengendalian pada waktu tertentu perlu diantisipasi dengan cermat dan baik. 4. Dalam menerapkan pengendalian hayati di lapangan, keperdulian unsur-unsur terkait

(peneliti/pakar, penyuluh/petugas proteksi tanaman, petani, tokoh masyarakat, pengambil keputusan perlu terpadu dengan aktif.

5. Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan kesempatan sebagai komponen yang kuat dalam PHT akan terwujud dengan menggiatkan koordinasi untuk melakukan eksplorasi, pengadaan agensia, penggunaan di lapangan dan evaluasi terus menerus.

6. Peluang dan prospek pengendalian hayati penyakit tanaman cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia.

Ucapan Terima Kasih

Syukur Alhamdulillah kita ucapkan kepada Allah SWT. karena dengan rahmat dan ridhoNya, makalah ini dapat diselesaikan. Dalam penulisan makalah ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Amri dan Rosiya.

2. Prof. Ir. Urip Santoso, S.Ikom., M.Sc., Ph.D. 3. Dwinardi Apriyanto, Ph.D.

Daftar Pustaka

Anonim. 2002. Prospek pertanian organik di Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/. 3 Maret 2010.

Anonim, 2008. Pestisida sintetis dan bahayanya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

http://www.pertaniansehat.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=66. 3 Maret 2010 Anonim, 2009. Bahaya residu pestisidahttp://forum.travian.co.id/showthread.php?t=13301. 3 Maret 2010

Basukriadi, A. 2003. Pengendalian hayati. http://ebook.ut.ac.id. 3Maret 2010.

Emalinda, O., A.P. Wahyudi dan Agustian. 2003. Pengaruh herbisida glifosat terhadap

pertumbuhan dan keragaman mikroorganisme dalam tanah serta pertumbuhan tanaman kedelai (Glicune max (L.) Merr.) pada ultisol. Stigma. Vol. XI. 309-314.

Harsanti, E.S., Poniman, S.Y. Jatmiko dan P. Sanjoto. 2000. Peranan laba-laba dalam menekan hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas di wilayah Kabupaten Pati. Hal 365-369. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda Pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000.

Istikorini, Y. 2002. Pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati yang ekologis dan berkelanjutan. http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/yunik_istikorini.htm. 3 Maret 2010.

Mulyaman, 2008. Sinergisme sistem perlindungan tanaman, tantangan dan peluang penanganan opt untuk akses pasar. http://smulyaman.blogspot.com/2010/01/jadwal-hari-ini-12-januari-2010.html. 3 Maret 2010.

Santoso, 2009. Predator, musuh alami yang berguna.

http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbpp_binuang/publikasi/edisiIII09/edisiIII09-3.pdf. Maret 2010 Saptana , T. Panaji, H. Tarigan dan A. Setianto. 2010. Analisis Kelembagaan pengendalian hama terpadu mendukung agribisnis kopi rakyat dalam rangka otonomi daerah

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%283%29%20soca-saptanadkk-kelembagaan%20hpt %281%29.pdf . 9 Maret 2010

Setyono, A. B., 2009. Kajian pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan serta

alternatif solusinya.

Dalam dokumen MANAJEMEN STRATEGI PROSES PENGENDALIAN S (Halaman 39-54)

Dokumen terkait