E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT
2. Pengendalian proses
Tersedia alur proses produksi yang baku dan dituangkan dalam SOP. Diantara prosedur makanan cair yang ada, terdapat salah satu prosedur yang perlu mendapat perhatian yaitu prosedur pembuatan makanan cair rumah sakit. Proses tersebut tidak melalui perebusan hanya menambahkan air mendidih ke dalam campuran bahan kering meskipun salah satu bahan bakunya adalah kuning telur. Menurut Blackburn et al. (2003) salah satu mikroba patogen yang dikhawatirkan berada dalam telur adalah Salmonella Enteritidis. Keberadaan mikroba tersebut berasal dari induknya, menerobos dan menjalar ke jaringan reproduksi unggas akhirnya dapat menembus telur dan anak ayam. Penambahan air mendidih ke dalam campuran bahan baku makanan enteral tanpa dilakukan perebusan hanya akan meningkatkan suhu sampai dengan 40-50 0C. Menurut Jay et al (2005) Amerika telah merekomendasi untuk menghindari konsumsi telur mentah atau setengah matang terutama pada anak-anak, orang tua dan orang sakit. Telur harus direbus pada suhu 63 0C selama 15 detik atau sampai kuning telur dan putihnya menggumpal. Jika telur akan disimpan dilakukan pada suhu 7,2 0C.
Rekomendasi Chantarapanont et al. (2000) tentang cara merebus telur sehingga dapat menginaktifkan Samonella Enteritidis yaitu masukkan telur dalam
air sampai dengan telur tersebut terendam oleh air, dipanaskan sampai air mendidih (100 0C), dipertahankan pada suhu tersebut selama 15 menit.
Perebusan dengan cara seperti ini, akan meningkatkan suhu kuning telur mencapai 62,3 ± 2 0C. Jika tidak akan dilakukan perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah sakit, telur dapat diganti dengan tepung telur yang telah tersertifikasi.
Wadah yang dipergunakan untuk makanan enteral antara lain rantang dengan bahan baku stainless steel, mangkok dengan bahan baku kaca, kemasan plastik kedap udara dengan bahan baku plastik jenis LDPE dan botol dengan bahan baku kaca. Ditinjau dari bahan bakunya, semua wadah yang digunakan tidak mudah bereaksi dengan produk tetapi salah satu wadah tersebut yaitu mangkok tidak mudah disanitasi. Mangkok terbuat dari bahan yang tidak tahan panas sehingga berisiko pecah pada saat dilakukan perebusan.
Permasalahan lain berkaitan dengan wadah yaitu wadah disiapkan oleh petugas dari ruang rawat inap. Sanitasi dilakukan di masing-masing ruang rawat
inap dengan cara dibilas air panas, kemudian dibawa ke dapur sonde. Di dapur sonde tidak dilakukan sanitasi ulang. Tenggang waktu antara sanitasi dan pengisian maupun perjalanan dari ruang rawat inap ke dapur sonde berpeluang terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitarnya. Sebaiknya wadah disanitasi di dapur sonde agar dapat segera dilakukan pengisian setelah wadah disanitasi.
Wadah disyaratkan mempunyai volume satu porsi dengan tujuan agar tidak sering dilakukan penuangan. Menurut Oliveira et al. (2000) kontaminasi proses rekonstitusi makanan enteral dapat terjadi pada saat persiapan, penyimpanan, penuangan dan saat pemberian kepada pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Beattie dan Anderton (2001) bahwa penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 103 CFU/mL. Wadah makanan enteral yang dipergunakan di dapur sonde mempunyai volume bervariasi mulai dari satu sampai dengan tiga porsi. Mangkok mempunyai volume satu porsi, kemasan plastik kedap udara 1–2 porsi , rantang dan botol 2-3 porsi. Wadah yang bervolume besar seandainya diisi sedikit akan tersisa ruang kosong yang cukup banyak berarti banyak udara yang terperangkap dan udara tersebut dapat menjadi sumber kontaminasi. Seandainya dipergunakan untuk mewadahi dua atau tiga porsi berarti diperlukan tahapan tambahan berupa pemorsian dan penuangan ke tempat lain saat akan menyajikan. Permasalahan lain sehubungan dengan risiko penuangan terhadap kontaminasi yaitu bahwa wadah yang dipergunakan bukan wadah yang digunakan untuk penyajian sehingga perlu penuangan ke dalam wadah penyajian. Hal ini juga memberikan peluang terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu berkaitan dengan wadah sebaiknya wadah mudah untuk disanitasi, volume wadah hanya untuk satu porsi dan dapat langsung dipergunakan sebagai wadah penyajian.
Keterangan produksi atau dalam hal ini label yang berisi minimal keterangan nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis diet, ruang dan kamar pasien sangat diperlukan untuk menghindari salah sasaran. Penggunaan wadah seperti yang sekarang digunakan tidak mudah untuk menempelkan label, sehingga kadang-kadang tidak ditempel keterangan produksi.
Sebetulnya RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta saat ini tidak melakukan penyimpanan makanan enteral. Pada saat lemari penyimpanan hot & cool thermobox berfungsi, makanan enteral disimpan di bagian yang panas (hot) apabila belum segera dikonsumsi (seperti yang tercantum pada SOP makanan enteral formula rumah sakit diet rendah laktosa pada Lampiran 11). Makanan enteral dapat diproduksi sekaligus untuk dua atau tiga frekwensi jika tersedia lemari penyimpanan yang dapat mempertahankan suhu makanan enteral di luar “danger zone”. Saat ini karena thermobox rusak, tidak dilakukan penyimpanan. Akan tetapi ada perlakuan menyimpan makanan enteral untuk mengatasi pesanan yang mendadak karena penambahan pasien. Dapur sonde selalu menyediakan cadangan makanan saring tanpa susu sebanyak 2-3 porsi. Proses pembuatan makanan saring tanpa susu yaitu perebusan, pemblenderan dan penyaringan. Blender yang tersedia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta tidak dapat digunakan untuk meblender bahan dalam keadaan panas (70-80 0C), oleh karena itu bahan makanan saring tanpa susu yang telah direbus diturunkan suhunya menjadi sekitar 40 0C sebelum diblender. Waktu tunggu penurunan suhu sekitar satu jam. Setelah pemblenderan, dilakukan penyaringan dan selanjutnya makanan enteral yang digunakan sebagai cadangan ditempatkan dalam teko plastik, ditutup wrapping film dan disimpan pada suhu ruang selama 2-3 jam. Jika tidak ada pesanan, setelah 2-3 jam kemudian, makanan enteral tersebut dibuang.
Waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba karena berada pada zona berbahaya. Oleh karena itu tahap tersebut seharusnya dihindari dengan cara langsung dilakukan pemblenderan setelah perebusan Hal ini dapat dilakukan jika blender yang digunakan tahan terhadap panas. Perbaikan thermobox juga diperlukan agar penyimpanan makanan enteral dapat diterapkan sebagaimana mestinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. . Disamping itu juga perbaikan thermobox akan dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.
3. Penyaluran makanan.
Penyaluran makanan enteral dari dapur sonde ke ruang rawat inap menggunakan troly. Troly selalu bersih sehingga terjamin tidak akan terjadi kontaminasi silang. Jarak antara dapur sonde ke ruang rawat inap paling pendek
kurang lebih 50 meter dan paling jauh 400 meter dengan waktu tempuh kurang lebih antara 5 sampai dengan 25 menit. Waktu tempuh yang lama akan menyebabkan suhu makanan turun dan menyebabkan suhu makanan berada pada “danger zone”. Hal ini akan memberikan peluang besar terjadinya peningkatan pertumbuhan mikroba. Menurut Rahayu (2010) satu diantara delapan prinsip penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5 0 C atau lebih rendah.