• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG

2. Pengendalian Secara Kimia

Pengendalian gulma secara kimia dilakukan dengan menggunakan herbi-sida. Herbisida merupakan bahan kimia yang mampu mengendalikan gulma dengan cara menekan pertumbuhannya. Pengendalian gulma secara kimia baru di-laksanakan pada bulan April 2004. Herbisida yang digunakan di kebun yaitu

herbisida dengan bahan aktif paraquat yang bersifat kontak dan metil sulfuron yang bersifat sistemik.

Kegiatan penyemprotan dilakukan oleh Buruh Harian Lepas (BHL) yang diberi upah kerja sebesar Rp. 40 640,00/hari. Penyemprotan dilakukan di gawang-an hidup dgawang-an piringgawang-an tgawang-anamgawang-an setinggi 30 cm di atas permukagawang-an tgawang-anah (Gambar 13). Adapun dosis yang digunakan yaitu 62.5 g herbisida dengan bahan aktif metilsulfuron/ ha dan 1.5l herbisida berbahan aktif paraquat/ ha, dengan volume semprot 400 l/ ha, dan warna nozel semprot biru.

Gambar 13. Pengendalian Gulma Secara Kimia Pada Perkebunan Sagu Kegiatan penyemprotan di kebun biasanya hanya sebatas batas tengah kebun. Hal ini disebabkan cairan semprot sudah habis di pertengahan lorong sehingga pekerja harus kembali ke ujung lorong untuk mengisi cairan semprot ter-sebut. Jadi setelah setengah jalur disemprot pekerja pindah ke jalur lain. Untuk sisi yang lain dikerjakan lain hari. Kendala yang dihadapi dalam kegiatan ter-sebut yaitu keselamatan kerja pada kegiatan penyemprotan belum diperhatikan. Sebagian besar pekerja tidak mau menggunakan masker, pakaian semprot, dan sarung tangan saat kegiatan penyemprotan.

PEMBAHASAN

Pengelolaan Budidaya Tanaman Sagu

Kegiatan Magang yang dilakukan di Perkebunan Sagu PT. National Sago Prima terdiri atas kegiatan pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemelihara-an, dan aspek manajerial serta pengorganisasian kebun. Pada saat magang ber-langsung, fokus kegiatan perusahaan adalah penyulaman sehingga pelaksanaan kegiatan teknis budidaya disesuaikan dengan kegiatan penyulaman. Kegiatan yang dilakukan di PT. National Sago Prima adalah kegiatan pembibitan, persiapan lahan, sensus tanaman, penyulaman, kegiatan pengendalian gulma, penjarangan anakan, dan perbaikan infrastruktur sedangkan kegiatan pemeliharaan tanaman seperti pemupukan, pengendalian HPT, dan pemanenan belum dilakukan. Dalam pelaksanaan teknik budidaya sagu yang ada di perusahaan sudah baik tetapi ada sebagian yang masih belum sesuai dengan SOP (Standart Operating System) dari perusahaan.

Sagu dapat diperbanyak secara generatif (bibit berasal dari biji) dan secara vegetatif (bibit sagu berasal dari anakan sagu). Perbanyakan sagu umumnya di-lakukan secara vegetatif karena akan memiliki sifat karakterteristik yang sama dengan pohon induk dan menghemat waktu tumbuh. Sebenarnya, ada kriteria bibit yang berasal dari areal kebun perusahaan belum sesuai dengan SOP yang ada. Bibit yang berasal dari areal kebun perusahaan merupakan bibit yang berasal dari tanaman yang baru dipanen satu kali atau belum pernah dipanen. Jadi bibit ter-sebut belum termasuk bibit tua. Bibit terter-sebut rentan terhadap serangan hama karena ujung banir yang belum keras akan memudahkan hama untuk masuk ke dalam banir tersebut. Anakan sagu yang digunakan sebagai bibit harus mem-punyai kriteria : anakan masih segar, bibit sudah cukup tua yang ditandai dengan ujung banir bila ditekan sudah keras dan sudah dipanen 3-4 kali terhadap pohon induknya, banir berbentuk L, tidak terserang hama dan penyakit, panjang pelepah dipotong 40 cm dari banir, dan bobotnya 2 – 4 kg (Djoefrie, 1999).

Sebelum dilakukan penanaman, perusahaan harus melakukan kegiatan per-siapan lahan. Kegiatan perper-siapan lahan yang dilakukan yaitu pemancangan ajir lubang tanam, pelorongan, dan pembuatan lubang tanam. Kegiatan pemancangan

ajir lubang tanam dan pelorongan sudah dilakukan sesuai dengan SOP. Sementara itu, kegiatan pembuatan lubang tanam belum sesuai dengan SOP yang ada. Lubang tanam yang dibuat seharusnya berukuran 40×40×40 cm tetapi yang ada di lapangan adalah lubang tanam dengan panjang 40 cm, lebar hanya sesuai dengan mata cangkul, dan dalamnya hanya sebatas terdapat air dalam lubang tersebut. Pengawasan dalam pembuatan lubang tanam tersebut harus lebih teliti agar tidak terdapat lubang tanam yang terlalu kecil. Dalam kegiatan penyulaman, jika lubang tanam terlalu kecil akan menyulitkan bibit untuk masuk ke lubang tanam. Hal ter-sebut mengakibatkan bibit dipaksa untuk masuk ke lubang tanam sehingga bibit tersebut akan mati.

Kegiatan pengelolaan air harus dilakukan untuk mempertahankan muka air tanah. Pembuatan kanal merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan muka air tanah. Kanal juga berfungsi untuk menunjang kegiatan kebun. Kanal yang terdapat dalam areal kebun perusahaan memiliki ukuran yang tidak sesuai dengan literatur yang ada. Kanal utama yang seharusnya memiliki ukuran lebar 6 m dan dalam 4 m, hanya memiliki lebar 5 m dan dalam 2.5 m. Sementara itu, kanal sekunder yang seharusnya memiliki ukuran lebar 5 m dan dalam 3 m, hanya memiliki lebar 4 m dan dalam 2.5 m. Hal tersebut tidak menjadi masalah selama fungsi dari kanal tersebut bisa terpenuhi. Pelebaran dan pendalaman kanal hanya akan menambah biaya operasional perusahaan. Di dalam perusahaan, terdapat istilah yang kurang lazim yaitu istilah pencucian kanal sehingga akan lebih baik lagi kalau digunakan istilah pendalaman kanal. Pada dasarnya pencucian kanal adalah pengangkatan gumpalan tanah gambut pada dasar kanal.

Kegiatan penanaman dilakukan setelah kegiatan penyiapan lahan dan per-semaian telah selesai. Kegiatan penanaman dilakukan oleh PT Prima Kelola. Pada tahun 2010 belum dilakukan penanaman pada blok baru tetapi masih dilakukan penyisipan ke Divisi I sampai IV karena masih banyak tanaman yang mati di setiap bloknya. Kegiatan penyulaman yang melibatkan dua perusahaan harus di-lakukan dengan kerjasama yang baik antar kedua belah pihak. Kegiatan pe-nyulaman baru bisa dilakukan setelah kegiatan sensus hidup mati, pelorongan, dan pengukuran muka air tanah dilakukan. Pada kenyataannya, perusahaan sering ter-lambat untuk melakukan penanaman karena kurangnya koordinasi. Pada saat bibit

43

sudah siap ditanam, lahannya belum siap untuk ditanami. Keterlambatan pe-nyiapan lahan biasanya dikarenakan susahnya untuk mencari tenaga kerja. Hal ini bisa diatasi jika antara pihak perusahaan dengan PT Prima Kelola mempunyai rencana kerja yang jelas dan kerja sama yang bagus satu dengan yang lainnya.

Pada saat magang, perusahaan melaksanakan kegiatan pemeliharaan kebun yang terdiri atas penjarangan anakan (thinning out), pelorongan, dan penyemprot-an gulma dengpenyemprot-an menggunakpenyemprot-an herbisida. Pemeliharapenyemprot-an tpenyemprot-anampenyemprot-an sagu harus di-laksanakan sesuai dengan Standard Operating Prosedure (SOP) yang telah di-tetapkan oleh perusahaan. Pemeliharaan yang ada di kebun dinilai kurang efektif dan efisien karena kegiatan yang dilakukan masih sebatas kebutuhan jangka pendek dari tiap blok. Oleh karena itu, asisten divisi harus bisa merencanakan dan mengatur agar kegiatan pemeliharaan dapat terlaksana secara efektif, berke-sinambungan dan seluruh blok mendapatkan pemeliharaan yang teratur. Salah satu contohnya yaitu pelaksanaan kegiatan pelorongan seharusnya dilakukan setelah kegiatan panen dan sebelum waktu pemupukan.

Kegiatan kebun yang belum terlaksana diantaranya pemupukan, pe-ngendalian hama atau penyakit, pengimasan gulma berkayu, pengolesan gulma berkayu dengan racun, dan panen. Kegiatan tersebut belum bisa dilaksanakan karena perusahaan masih fokus terhadap kegiatan penyulaman. Keseluruhan ke-giatan kebun seharusnya dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan sehingga tidak boros dalam biaya operasional dan memperoleh produksi yang optimal.

Kegiatan budidaya sudah terlaksana dengan baik selama magang ber-langsung. Perusahaan sedikit mengalami kendala yaitu kekurangan tenaga kerja karena perusahaan baru saja menyelesaikan masalah transisi kepemilikan antara perusahaan lama dan baru. Selain itu, banyaknya pekerjaan yang ditawarkan untuk tenaga kerja borongan membuat masyarakat sekitar lebih memilih pekerjaan borongan yang dapat memberikan upah yang lebih besar tiap harinya. Oleh karena itu, perusahaan harus segera mencari cara agar banyak pekerja yang bergabung. Salah satu caranya yaitu menjanjikan ketepatan pembayaran upah dan peng-angkatan menjadi pekerja tetap jika pekerjaannya bagus.

Pengaruh Sistem Persemaian Dan Jenis Tanaman Induk Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu

Pembibitan di PT. National Sago Prima masih menggunakan teknik rakit di kanal. Keuntungan menggunakan teknik tersebut adalah kemampuan tumbuh bibit tinggi serta pemeliharaan tanaman sangat sedikit. Meskipun mempunyai ke-mampuan hidup yang tinggi dalam persemaian tetapi lebih dari 40% bibit mati pada saat dipindahtanamkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan per-semaian bibit sagu dengan berbagai teknik perper-semaian untuk mengetahui teknik persemaian terbaik dan memiliki tingkat hidup yang tinggi saat di tanam di lapangan. Salah satu teknik persemaian yang dicoba yaitu teknik persemaian dengan polibag. Selain itu juga dilakukan teknik persemaian kolam dengan meng-gunakan polibag sebagai modifikasi dari teknik kolam lumpur yang ada pada Departemen Pertanian Malaysia khususnya di Serawak.

Pertumbuhan Vegetatif Bibit Sagu (Metroxylonspp.)

Panjang Petiol Daun

Pada percobaan yang dilakukan selama 11 MSS (Minggu Setelah Semai) diperoleh bahwa rata-rata bibit sagu telah mempunyai 2 petiol daun. Panjang petiol daun yang diukur pada percobaan ini adalah panjang petiol mulai dari pangkal pemangkasan sampai titik teratas bibit, baik ketika masih berupa tunas maupun setelah berubah menjadi daun.

Perlakuan teknik persemaian pada bibit sagu tidak memberikan pengaruh nyata pada awal persemaian sampai akhir percobaan terhadap pertumbuhan panjang petiol daun pertama. Perlakuan teknik persemaian pada bibit sagu mem-berikan pengaruh nyata pada pengamatan 8 sampai 11 MSS (Tabel 3) untuk per-tumbuhan panjang petiol daun ke-2. Sementara itu perlakuan jenis tanaman induk sagu tidak memberikan pengaruh nyata pada awal persemaian sampai akhir per-cobaan terhadap pertumbuhan panjang petiol daun pertama dan ke dua (Lampiran 6).

45

Tabel 3. Pengaruh Teknik Persemaian Terhadap Pertumbuhan Petiol Daun 1 dan 2 Bibit Sagu Selama Masa Persemaian

Umur (MSS) Uji F Perlakuan Teknik Persemaian Bibit

Rakit Polibag Kolam

Panjang Petiol Daun 1

………..cm………. 0 tn 0.00 0.00 0.00 1 tn 2.25 2.18 2.15 2 tn 3.78 2.78 3.01 3 tn 11.92 9.70 9.38 4 tn 17.36 13.41 13.68 5 tn 21.97 16.88 18.52 6 tn 26.25 19.98 23.43 7 tn 29.40 22.12 27.77 8 tn 34.35 27.18 32.87 9 tn 36.63 28.00 36.35 10 tn 39.20 31.48 38.57 11 tn 41.72 31.77 40.67

Panjang Petiol Daun 2

…………..………….cm…..………. 0 tn 0.00 0.00 0.00 1 tn 0.00 0.00 0.00 2 tn 0.00 0.00 0.00 3 tn 0.35 1.23 0.15 4 tn 2.51 2.53 2.36 5 tn 5.52 4.00 5.07 6 tn 9.87 6.12 9.00 7 tn 14.08 8.58 13.60 8 * 22.05a 12.95b 20.35ab 9 * 26.48a 15.30b 24.90a 10 * 31.80a 18.88b 30.43a 11 * 37.13a 21.08b 35.38a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

tn : tidak berbeda nyata

*) : berbeda nyata pada taraf 5 %.

Pada awal persemaian sampai akhir percobaan, perlakuan teknik persemai-an pada bibit sagu tidak memberikpersemai-an pengaruh nyata terhadap pertumbuhpersemai-an panjang petiol daun pertama. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan petiol daun pertama akan lambat atau berhenti saat petiol daun ke-2 sudah mulai tumbuh. Pertumbuhan petiol daun yang pertama dipengaruhi oleh bobot bibit karena belum terbentuknya daun dan akar sehingga energi pertumbuhan hanya berasal cadangan

makanan dari banir. Saat tanaman mulai membentuk petiol daun ke-2, energi pertumbuhan lebih banyak di disalurkan untuk pembentukan petiol daun ke-2.

Pertumbuhan panjang petiol daun ke-2 tidak berbeda nyata dari awal per-semaian sampai 7 MSS. Pada pengamatan 8 sampai 11 MSS perlakuan teknik persemaian pada bibit sagu dapat memberikan pengaruh nyata. Hal ini disebabkan pada awal persemaian sampai 7 MSS energi pertumbuhan hanya dari cadangan makanan yang berasal dari banir tetapi setelah itu tanaman memiliki daun pertama yang digunakan untuk membantu menghasilkan energi pertumbuhan melalui foto-sintesis. Pada 8 MSS teknik persemaian dengan menggunakan polibag memiliki nilai rata–rata pertumbuhan panjang petiol daun ke-2 paling rendah, diikuti teknik persemaian kolam dan rakit. Pada 9-11 MSS teknik persemaian polibag memiliki nilai rata–rata pertumbuhan panjang petiol daun ke-2 paling rendah, sedangkan pada teknik persemaian rakit dan polibag tidak terdapat perbedaan nyata. Perbeda-an Perbeda-antara teknik persemaiPerbeda-an rakit, polibag dPerbeda-an kolam pada dasarnya adalah per-bedaan kadar air yang tersedia. Pembibitan sagu memerlukan air dengan jumlah yang banyak agar pertumbuhan bibit sagu dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, pembibitan dengan menggunakan teknik rakit paling bagus pertumbuhan petiol daun ke-2.

Gambar 14. Pertumbuhan Panjang Petiol Ke-2

Pembibitan dengan menggunakan teknik rakit dan jenis tanaman induk yang tidak berduri memiliki pertumbuhan petiol daun ke dua yang paling bagus

47

dibandingkan yang lainnya (Gambar 14). Pada perlakuan tersebut menghasilkan panjang petiol daun ke dua paling tinggi sebesar 38.5 cm. Hal ini diduga karena pada teknik persemaian rakit tersedia banyak air untuk membantu pertumbuhan bibit sagu dan jenis tanaman sagu tidak berduri diduga lebih responsif terhadap pengambilan unsur hara yang terkandung di dalam air tersebut. Hal ini dikarena-kan tanaman sagu tidak berduri yang lebih dahulu menyebar ke wilayah barat Indonesia daripada sagu berduri, sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan-nya (Haryanto dan Pongloli, 1992).

Jumlah Daun dan Anak Daun Bibit Sagu

Dari percobaan diperoleh rata-rata dua daun pada bibit sagu sampai saat percobaan berakhir (11 MSS). Perlakuan teknik persemaian pada bibit mem-berikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 11 MSS. Teknik persemaian kolam memiliki nilai rata–rata jumlah daun paling sedikit, sedangkan teknik persemaian rakit dan polibag tidak terdapat perbedaan nyata (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh Teknik Persemaian Terhadap Jumlah Daun Pada Bibit Sagu Selama Masa Persemaian

Umur (MSS) Uji F Perlakuan Teknik Persemaian Bibit

Rakit Polibag Kolam

0 Tn 1.00 1.00 1.00 1 Tn 1.00 1.00 1.00 2 Tn 1.00 1.00 1.00 3 Tn 1.00 1.00 1.00 4 Tn 1.00 1.00 1.00 5 Tn 1.17 1.00 1.00 6 Tn 1.33 1.00 1.17 7 Tn 1.50 1.00 1.17 8 Tn 1.67 1.00 1.33 9 Tn 1.67 1.33 1.67 10 Tn 1.83 1.50 1.67 11 * 2.00a 2.00a 1.67b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

tn : tidak berbeda nyata

*) : berbeda nyata pada taraf 5 %.

Perlakuan teknik persemaian bibit dan jenis tanaman induk tidak member-kan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak daun baik anak daun ke-1 maupun

anak daun ke-2. Meskipun demikian, jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan maka perlakuan teknik persemaian bibit dengan menggunakan rakit dan jenis tanaman induk yang tidak berduri menghasilkan jumlah anak daun yang paling banyak (Gambar 15 dan 16). Hal ini diduga karena persemaian dengan menggunakan rakit akan lebih cepat menghasilkan akar. Dalam pembentukan anak daun diperlu-kan banyak energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari cadangan madiperlu-kanan dalam banir dan air yang diserap melalui akar sebelum mempunyai daun.

Gambar 15. Pertumbuhan Jumlah Anak Daun Pertama

Gambar 16. Pertumbuhan Jumlah Anak Daun Ke-2

Tingkat Persentase Kematian

Cuaca sangat mempengaruhi tingkat persentase kematian bibit di per-semaian. Suhu yang tinggi akan mengakibatkan berkurangnya kadar air sehingga

49

ujung pemangkasan bibit cepat mengering dan calon tunas sulit untuk keluar (tunas terjepit).

Secara keseluruhan perlakuan teknik persemaian pada bibit sagu dan jenis tanaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase kematian bibit sagu. Persentase kematian tertinggi terdapat pada teknik persemaian dengan menggunakan polibag sedangkan teknik persemaian rakit tingkat persentase ke-matian paling rendah bila dibandingkan dengan persemaian kolam dan polibag (Tabel 5). Sementara itu, jenis tanaman sagu yang berduri memiliki tingkat per-sentase kematian lebih tinggi dari pada jenis tanaman sagu yang tidak berduri (Tabel 6).

Tabel 5. Pengaruh Teknik Persemaian Terhadap Persentase Kematian Bibit Selama Masa Persemaian

Umur (MSS) Uji F Perlakuan Teknik Persemaian Bibit

Rakit Polibag Kolam

………..%………. 0 Tn 0.00 0.00 0.00 1 * 1.67b 10.00a 1.67b 2 * 2.50b 12.50a 5.83b 3 * 4.17b 16.67a 7.50b 4 * 4.17b 20.83a 13.33a 5 * 7.50b 22.50a 13.33b 6 * 10.00b 26.67a 18.33ab 7 * 10.83b 28.33a 20.83a 8 * 14.17b 31.67a 27.50a 9 * 15.00b 31.67a 30.00a 10 * 16.67b 33.33a 30.83a 11 * 20.00b 34.17a 31.67ab

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

tn : tidak berbeda nyata

*) : berbeda nyata pada taraf 5 %.

Persemaian dengan menggunakan rakit memiliki tingkat persentase ke-matian paling rendah bila dibandingkan dengan persemaian kolam dan polibag. Hal ini diduga cuaca yang panas menyebabkan bibit dalam persemaian kolam dan polibag terlalu panas dan banyak mengalami kehilangan air. Pada persemaian rakit, meskipun cuaca panas tetapi adanya aliran air pada kanal yang menyebab-kan suhu air tidak terlalu panas dan terdapat sirkulasi oksigen di dalam menyebab-kanal

ter-sebut. Selain itu, pada teknik persemaian rakit, banir tanaman sagu ditenggelam-kan ke air jadi tidak terjadi serangan hama ke bibit tersebut. Sementara itu untuk teknik persemaian dengan menggunakan kolam dan polibag, hama mudah ke dalam banir karena menggunakan media tanah. Selain itu, pada teknik persemaian dengan menggunakan kolam dan polibag tidak ada aliran air sehingga tidak terjadi sirkulasi oksigen.

Tabel 6. Pengaruh Jenis Tanaman Terhadap Persentase Kematian Bibit Selama Masa Persemaian

Umur (MSS) Uji F Perlakuan Jenis Tanaman Induk

Berduri Tidak Berduri

……….%……… 0 Tn 0.00 0.00 1 * 6.67a 2.22b 2 * 10.00a 3.89b 3 * 13.33a 5.56b 4 * 17.22a 8.33b 5 * 18.89a 10.00b 6 * 22.22a 14.44b 7 * 25.00a 15.00b 8 * 31.11a 17.78b 9 * 32.22a 18.89b 10 * 34.44a 19.44b 11 * 36.11a 21.11b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

tn : tidak berbeda nyata

*) : berbeda nyata pada taraf 5 %.

Jenis tanaman sagu yang berduri memiliki tingkat persentase kematian lebih tinggi dari pada jenis tanaman sagu yang tidak berduri. Hal tersebut terjadi karena diduga jenis tanaman sagu yang tidak berduri sudah beradaptasi dengan kondisi di daerah Indoneisa bagian barat dibandingkan sagu yang berduri. Haryanto dan Pongloli (1992) menyatakan bahwa Metroxylon rumpii menyebar ke arah timur Indonesia sedangkan Metroxylon sagus (sagu tidak berduri) me-nyebar ke arah barat. Hal ini menyebabkan sagu yang tidak berduri memiliki ke-tahanan terhadap cuaca di wilayah barat Indonesia dari pada tanaman sagu yang berduri.

51

Dokumen terkait