• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

2. Pengendalian Vektor

Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya

menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya

dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat

dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa

(Soedarto, 1992).

Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:

a. Cara Kimia

Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan

insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida.

Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi

temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm

atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai

efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect

growth regulator (Depkes RI, 2003).

b. Cara Biologi/Hayati

Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian

serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan

musuh-musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit,

dan patogen.

commit to user

Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997),

antara lain:

1) Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak

menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.

2) Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.

3) Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau

mangsanya.

4) Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah

apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi

keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.

Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di

antaranya (Jumar, 1997) :

1) Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.

2) Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk

penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.

3) Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi

kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan

yang khusus.

4) Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai.

c. Cara Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi,

bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta

commit to user

mengubur barang-barang bekas seperti kaleng dan ban. Pengurasan

tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur

sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat

berkembang biak di tempat itu (Depkes RI, 2003).

d. Cara Lingkungan

Cara ini dikenal dengan modifikasi lingkungan dan pengelolaan

lingkungan. Modifikasi lingkungan antara lain dengan (Depkes RI,

2000):

1) Perbaikan saluran air

Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia

pada jam tertentu maka harus diperhatikan kondisi penyimpanan air

pada berbagai jenis wadah. Suplai air minum yang tersedia dalam

jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan terus menerus sangatlah

penting agar penyimpanan air yang dapat digunakan sebagai tempat

perindukan larva dapat dikurangi.

2) Talang air atau tangki air bawah tanah dibuat antinyamuk

Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air

bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat

antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan

mengeringkan instalasi penampungan air. Genangan air akibat

kebocoran di ruang berdinding batu, pipa saluran, katup pintu air,

commit to user

kotak keran hidran, meteran air dapat menjadi tempat perindukan

larva Aedes aegypti apabila tidak ditangani dengan baik.

3. Mesocyclops aspericornis

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Maxillopoda

Ordo : Cyclopoida

Famili : Cyclopidae

Spesies : Mesocyclops aspericornis

(Myers, 2008)

b. Morfologi

Mesocyclops aspericornis berukuran 0,5 – 2,0 mm dan merupakan

Copepoda yang hidup bebas (Yuniarti dkk., 1995). Tubuhnya

bersegmen-segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada yang menjadi satu (sefalotoraks)

dan segmen abdomen (Upiek, 1998). Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang

kaki, pada kepala terdapat mata median (Radiopoetro, 1996). Pada bagian

anterior dilengkapi alat mulut dan antena, bagian posterior dilengkapi ekor

(Upiek , 1998). Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang

bergigi-gigi disebut gnathobasis (Radiopoetro, 1996). Yang betina membawa

telur-telurnya di dalam dua kantung yang terletak di sebelah lateral dekat ujung

abdomen (Borror et al., 1992).

commit to user

Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis

(labs1.eol.org)

c. Daur Hidup dan Habitat

Mesocyclops aspericornis mengalami reproduksi secara seksual. Baik

jantan maupun betina dapat melakukan perkawinan satu kali atau lebih

(Upiek, 1998).

Adapun siklus hidup atau metamorfosis Mesocyclops aspericornis,

adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) :

1) Telur: bentuk bulat bergerombol yang diletakkan pada oviseas atau kantung

telur

2) Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh yang memendek diwakili oleh antena

pertama, kedua, dan mandibel.

3) Nauphillus II: setelah masa pemberian makanan, mempunyai maksila

tambahan.

4) Nauphillus VI: mempunyai semua bagian tubuh menyambung dengan

pasangan lengan kedua.

commit to user

5) Copepodid I: mempunyai empat ruas toraks, semua bagian tubuh

menyambung dengan pasangan lengan keempat.

6) Dewasa: Mesocylcops aspericornis dewasa dapat bertahan hidup sampai 2,5

bulan. Untuk jantan lebih cepat mati karena bersifat kanibal. Mesocyclops

aspericornis dewasa dapat kawin satu kali dan lebih.

Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang sempurna,

dari telur hingga telur lagi merupakan variabel yang tinggi tergantung dari

spesies dan kondisi lingkungan, untuk Mesocyclops aspericornis berkisar 7

hingga 180 hari (Pennak, 1978).

Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (1997) menunjukkan

bahwa reproduksi Mesocyclops aspericornis paling tinggi diperoleh dari

medium rendaman tinja marmut, diikuti oleh medium rendaman eceng

gondok, dan rendaman jerami. Di daerah tropis dan subtropis, distribusi

Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah yang melimpah di danau air

tawar, reservoir (tendon air), parit, kolam, lubang pohon, sumur, dan liang

kepiting (Widyastuti, 1995). Mesocyclops aspericornis dilaporkan sebagai

hewan pemakan Algae, Rotifera, Protozoa, Chorinomid, Ologochaeta, ikan

kecil, dan beberapa organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997).

commit to user

d. Perilaku Mesocyclops aspericornis

Sama seperti predator pada umumnya, Mesocyclops aspericornis

sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri sebagai

berikut:

1) Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsa (telur, larva,

nympha, pupa, dan imago). Dalam hal ini Mesocyclops aspericornis

memangsa nyamuk pada masa larva instar I dan II awal.

2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya

dengan cepat.

3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya.

Mesocyclops aspericornis memakan kurang lebih 15 larva per hari.

4) Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri.

5) Kebanyakan predator bersifat karnivor, baik pada saat pradewasa maupun

sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa

jenis mangsa.

6) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh mangsanya.

7) Dari segi perilaku makannya, ada predator yang mengunyah semua bagian

tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops aspericornis.

8) Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang tidak sempurna.

4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva

Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti

sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti

commit to user

paling disukai oleh Mesocyclops aspericornis sebesar 100 % pada perbandingan

25:20 dibandingkan Culex queneuefasciatus (50,66 %) dan Anopeles aconitus

(27,33 %). Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis terhadap jentik nyamuk

Aedes aegypti paling besar dengan asumsi sebagai berikut:

a. Perilaku aktif jentik nyamuk Aedes aegypti yang aktif, karena menurut

monokov dalam Yuniarti, dkk (2000), Cyclopoida cenderung menangkap

mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi

hanya setelah kontak.

b. Perilaku makan jentik Aedes aegypti bisa mengambil makanan di dasar,

sedang Mesocyclops aspericornis yang hidup di dasar memungkinakan

terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan

berhubungan dengan keberhasilan Mesocyclops aspericornis dalam

memangsa larva nyamuk Aedes aegypti, berarti bahwa Mesocyclops

aspericornis sebagai predator larva nyamuk sangat berperan dan bermanfaat

guna mengendalikan perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor

Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman

Berdarah Dengue.

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

C . Hipotesis

Ketersediaan bahan organik menurunkan daya predasi Mesocyclops

aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

Mesocylops aspericornis

dipelihara di tempat

penampungan air berisi bahan

organik

Larva Aedes aegypti

Faktor yang mempengaruhi:

1. Suhu udara

2. Suhu air

3. Air yang dipakai

4. pH

Kemampuan makan

Mesocylops aspericornis

commit to user

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan post

test only group design

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang dipakai yaitu Mesocyclops aspericornis dan larva

Aedes aegypti instar I atau II

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling

E. Identifikasi Variabel :

1. Variabel bebas : Jenis bahan oganik dan kadar bahan organik.

2. Variabel terikat : Jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa

3. Variabel luar (pengganggu)

a. Terkendali :

1) Suhu udara dan suhu air

2) Air yang dipakai

commit to user

b. Tidak terkendali:

Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

a. Jenis bahan organik

Bahan organik yang digunakan adalah rendaman kangkung dan

rendaman tinja kelinci yang mengandung sumber makanan alternatif bagi

Mesocyclops aspericornis seperti Algae, Protozoa, dan Rotifera

(Setyaningrum dkk., 2008).

Skala : rasio

b. Kadar bahan organik

Konsentrasi rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang

digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan 45%.

Skala : interval

2. Variabel terikat

Larva Aedes aegypti yang dipakai yaitu larva instar I atau II, berumur

sekitar 1-3 hari, sebanyak 3000 ekor. Diperoleh dari hasil pemeliharaan dan

pengembangan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah.

commit to user

3. Variabel luar (pengganggu)

a. Terkendali :

1. Suhu udara dan suhu air

Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih 25

0

C).

Skala : interval

2. Air yang dipakai

Pada penelitian ini menggunakan air ledeng

3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis

Berukuran panjang kurang lebih 1 mm

Skala : interval

4. pH

Percobaan dilakukan pada pH

b. Tidak terkendali:

Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung selera makan

dan kondisi kesehatannya.

G. Alat dan Bahan

1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L

2. Pipet dengan diameter mulut pipet ± 4 mm untuk mengambil dan menghitung

jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.

3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II ditaruh ke dalam gelas-gelas plastik

dengan pipet.

commit to user

4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan jentik nyamuk

Aedes aegypti.

5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung secara manual

dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi air.

6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci

H. Rancangan Penelitian

Eksperimen

M e s o c y l o p s a s p e r i c o r n i s Pelih ara sela ma 3 hari Larva Aedes aegypti Bandingkan jumlah larva yang tersisa 850 ml air + 150 ml rendaman kangkung 550 ml air + 450 ml rendaman kangkung 700 ml air + 300 ml rendaman kangkung 1 L air

commit to user

.

I. Cara Kerja

Penelitian dilakukan menurut metode Endah Setyaningrum (2008) yang

dimodifikasi

1. Pembuatan media

a. Kangkung dan tinja kelincidikeringkan kemudian ditimbang berat keringnya.

M e s o c y l o p s a s p e r i c o r n i s Pelih ara sela ma 3 hari Larva Aedes aegypti Bandingkan jumlah larva yang tersisa 850 ml air + 150 ml

rendaman

tinja kelinci

550 ml air + 450 ml rendaman tinja kelinci 700 ml air + 300 ml rendaman tinja kelinci 1 L air

commit to user

b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong kecil-kecil kemudian

masing-masing sebanyak 5 gram direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades

selama 4 hari.

c. Media siap digunakan untuk mengembangbiakkan Mescyclops aspericornis.

Setiap jenis media dijadikan sebagai perlakuan.

2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan saringan biasa

lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml .

3. Pada setiap wadah dimasukkan satu ekor Mesocyclops aspericornis dewasa

betina tanpa kantung telur yang sudah dipuasakan terlebih dahulu selama satu

hari. Pelihara selama 3 hari.

4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti.

5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25

o

C dan pH 7

6. Dibiarkan selama 2 hari lalu jumlah jentik nyamuk yang tersisa dihitung pada

jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, dan kedua puluh empat, dan keempat

puluh delapan.

7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997).

Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus

Keterangan:

n : jumlah ulangan

t : jumlah kelompok perlakuan

commit to user

Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka:

(n-1)(t-1) > 15

(n-1)(8-1) > 15

7n > 22

n > 3,14

jadi untuk setiap kelompok, ulangan harus lebih dari 3,14. Dalam penelitian ini

digunakan 3 kali ulangan dalam setiap kelompok.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik dengan

menggunakan Uji Analisis Varians (Anova) yang dilanjutkan dengan Post-Hoc

test untuk mengetahui kemaknaan antar kadar dan uji t untuk mencari letak

perbedaan antar jenis bahan organik (Subana dan Sudrajat, 2009).

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang

menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah

berkembang pesat di seluruh dunia akhir- akhir ini. Dua setengah milyar

orang, yaitu dua perlima dari populasi dunia sekarang berisiko terkena

virus Dengue. World Health Organization memperkirakan ada kurang

lebih lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya di dunia (WHO,

2009).

Demam Berdarah Dengue juga merupakan penyakit endemis di

Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan

kematian 35 orang di 12 Provinsi yakni : Bangka Belitung, Lampung,

Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi

Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010).

Penanggulangan DBD seperti juga penyakit menular lain, dapat

didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen

penularan terdiri dari virus Dengue, Aedes aegypti, dan manusia

penderitanya. Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan

commit to user

kesakitan, kematian, serta penderitaan individu dan keluarganya. Namun

karena sampai sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu

penanggulangan penyakit DBD adalah dengan cara pencegahan

penularannya, yaitu dengan memberantas vektornya. Pemberantasan vektor

DBD stadium pradewasa relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya.

Pemberantasan stadium dewasa Aedes aegypti dapat dilakukan secara

hayati atau kimiawi. Upaya secara kimiawi menggunakan insektisida,

semakin lama justru menimbulkan resistensi nyamuk vektor. Jika dosis

insektisida terus-menerus ditingkatkan, pada suatu saat akan

membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. WHO (1987)

melaporkan bahwa di Karibia dan sekitarnya, jentik Aedes aegypti telah

resisten terhadap Malathion, Fenitrothion, Fenthion, dan Temephos yang

digunakan secara luas sejak tahun 1973. Melihat adanya resistensi

pemakaian larvasida kimia yang dimasukkan ke dalam tempat

penampungan air, termasuk air minum perlu mendapatkan perhatian yang

seksama. Alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu

dipertimbangkan untuk mengendalikan vektor penyakit. Salah satu cara

yang banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik

nyamuk dalam upaya pengendalian vektor secara hayati (Yuniarti &

Widyastuti, 2000).

commit to user

Mesocyclops adalah Cyclopoid Copepoda, dilaporkan sebagai

predator jentik Aedes dan jentik nyamuk dari genus atau spesies lain.

Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan

ada air dan suplai makanan (Marten, 1989).

Mesocyclops aspericornis merupakan salah satu jasad hayati yang

terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian

jentik nyamuk malaria dan demam berdarah. Mesocyclops aspericornis

memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan

berbagai macam organisme seperti: Algae, Rotifera, Copepoda yang lain,

Protozoa, Chironomid, Oligochaeta, larva ikan, dan beberapa organisme

akuatik yang lain (Williamson, 1991).

Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup

bebas dan tersebar luas di danau air tawar, reservoir, parit, kolam, lubang

pohon, sumur dan liang/lubang kepiting (Brown dan Hendriksz, 1991).

Menurut Williamson (1991) Copepoda juga ditemukan berlimpah pada

rawa, tanah basah, air payau, empang, genangan air, dan beberapa spesies

Copepoda dapat hidup pada celah atau di bawah sistem permukaan tanah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai

daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa

Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik

nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar

commit to user

antara 77.77% - 99.34% dan pada air sumur berkisar antara 97.32- 100%

sedangkan reproduksi Mesocyclops aspericornis tertinggi terdapat pada

rendaman tinja marmut (97,59 ekor).

Oleh karena hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk

mengendalikan faktor yang mempengaruhi daya predasi Mesocyclops

aspericornis, di antaranya adalah ketersediaan bahan organik seperti

kondisi di alam. Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan

media rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci dalam berbagai

kadar selama beberapa hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi

Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi

Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritik :

Memperluas pengetahuan tentang pemberantasan vektor, khususnya

secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.

commit to user

2. Praktis :

Mesocyclops aspericornis diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif

pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat digunakan

dalam kehiduapan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui media

optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops aspericornis.

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1.Aedes aegypti

a.Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Aceloturata

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Aedes

Subgenus : Stegomyia

Spesies : Aedes aegypti

commit to user

b.Morfologi

Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong

Stegomyia dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada,

perut, dan tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh

nyamuk. Corak putih pada dorsal dada nyamuk berbentuk seperti siku yang

berhadapan (Fitriasih, 2008).

Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas

tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo, di bawah

mikroskop, pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak ada

garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes

aegypti berbentuk lonjong, tampak seperti anyaman kasa pada dindingnya.

Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir

bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999).

1. Daur Hidup dan Habitat

Perkembangan Aedes aegypti melalui berbagai perubahan bentuk

(metamorphosis) : telur – jentik (larva) – kepompong (pupa) – nyamuk.

Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik

menjadi kepompong rata- rata 4 – 9 hari, dan dari kepompong sampai

menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009).

Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan

telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk

commit to user

Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur membutuhkan

waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009).

Larva ini terbagi menjadi 4 stadium sebelum tumbuh menjadi

pupa (Hoedojo, 1993). Stadium larva biasanya berlangsung 6-8 hari

(Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa

ini tidak makan tapi masih memerlukan oksigen yang diambil melalui

tabung pernapasan. Pupa ini sangat sensitif terhadap pergerakan air.

Stadium ini berlangsung antara 2-3 hari dan akan tumbuh menjadi

nyamuk dewasa (Soedarto, 1992). Pertumbuhan dari sejak telur keluar

sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7-14 hari (Hardjanto,

1997).

c. Sifat Hidup Larva

Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva yang disebut larva

stadium I (instar I). Kemudian larva stadium I ini melakukan 3 kali

pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting), berturut- turut menjadi larva

stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).

Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan

aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan

turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat

hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam

kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan

commit to user

melakukan pengelupasan kulit sebelum berkembang menjadi pupa

(Pandujati, 2009).

2. Pengendalian Vektor

Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya

menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya

dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat

dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa

(Soedarto, 1990).

Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:

a. Cara Kimia

Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan

insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida.

Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi

temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm

atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai

efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect

growth regulator (Depkes RI, 2003).

b. Cara Biologi/ Hayati

Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian

serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan

musuh-commit to user

musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit,

dan patogen.

Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997),

antara lain:

1. Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak

menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.

2. Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.

3. Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau

mangsanya.

4. Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah

apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi

keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.

Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di

antaranya (Jumar, 1997) :

1. Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.

2. Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk

penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.

3. Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi

kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan

yang khusus.

commit to user

c. Cara Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi,

bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta

Dokumen terkait