BAB II. LANDASAN TEORI
                                                                2. Pengendalian Vektor
                                
                    Pemberantasan  sebenarnya  lebih  tepat  disebut  pengendalian,  tujuannya 
menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya 
dalam  menularkan  penyakit.  Pengendalian  nyamuk  Aedes  aegypti  dapat 
dilakukan  pada  beberapa  stadium,  yaitu  telur,  larva,  pupa,  dan  nyamuk  dewasa 
(Soedarto, 1992). 
Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu: 
a. Cara Kimia
Cara  pemberantasan  larva  Aedes  aegypti  menggunakan 
insektisida  pembunuh  larva  lebih  dikenal  dengan  istilah  larvasida. 
Larvasida  yang  biasa  digunakan  antara  lain  temephos.  Formulasi 
temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm 
atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai 
efek  residu  3  bulan.  Selain  itu  dapat  pula  digunakan  golongan insect 
growth regulator (Depkes RI, 2003). 
b. Cara Biologi/Hayati 
Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian 
serangga  dengan  cara  biologi,  yaitu  dengan  memanfaatkan  
musuh-musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit, 
dan patogen.  
commit to user 
Beberapa  keunggulan  pengendalian  hayati  dalam  Jumar  (1997), 
antara lain: 
1) Aman,  tidak  menimbulkan  pencemaran  lingkungan,  tidak 
menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak. 
2) Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran. 
3) Musuh  alami  bekerja  secara  selektif  terhadap  inang  atau 
mangsanya. 
4) Bersifat  permanen,  untuk  jangka  panjang  dinilai  lebih  murah 
apabila  keadaan  lingkungan  telah  stabil  atau  telah  terjadi 
keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya. 
Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di 
antaranya (Jumar, 1997) : 
1) Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat. 
2) Diperlukan  biaya  yang  cukup  besar  pada  tahap  awal  baik  untuk 
penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya. 
3) Pembiakan  masa  di  laboratorium  kadang-kadang  menghadapi 
kendala,  karena  musuh  alami  menghendaki  kondisi  lingkungan 
yang khusus. 
4) Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai. 
c.   Cara Fisik 
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi, 
bak  WC,  menutup  tempat  penampungan  air  rumah  tangga,  serta 
commit to user 
mengubur  barang-barang  bekas  seperti  kaleng  dan  ban.  Pengurasan 
tempat-tempat  penampungan  air  perlu  dilakukan  secara  teratur 
sekurang-kurangnya  seminggu  sekali  agar  nyamuk  tidak  dapat 
berkembang biak di tempat itu (Depkes RI, 2003). 
d.   Cara Lingkungan 
Cara  ini  dikenal  dengan  modifikasi  lingkungan  dan  pengelolaan 
lingkungan.  Modifikasi  lingkungan  antara  lain  dengan  (Depkes  RI, 
2000): 
1) Perbaikan saluran air 
Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia 
pada  jam  tertentu  maka  harus  diperhatikan  kondisi  penyimpanan  air 
pada  berbagai  jenis  wadah.  Suplai  air  minum  yang  tersedia  dalam 
jumlah  yang  cukup,  berkualitas  baik,  dan  terus  menerus  sangatlah 
penting  agar  penyimpanan  air  yang  dapat  digunakan  sebagai  tempat 
perindukan larva dapat dikurangi. 
2) Talang air atau tangki air bawah tanah dibuat antinyamuk 
Perindukan  larva Aedes  aegypti  di  talang  air  atau  tanki  air 
bawah  tanah  yang  bangunannya  terbuat  dari  batu  harus  dibuat 
antinyamuk.  Sedangkan  pengelolaan  lingkungan  dilakukan  dengan 
mengeringkan  instalasi  penampungan  air.  Genangan  air  akibat 
kebocoran  di  ruang  berdinding  batu,  pipa  saluran,  katup  pintu  air, 
commit to user 
kotak  keran  hidran,  meteran  air  dapat  menjadi  tempat  perindukan 
larva Aedes aegypti apabila tidak ditangani dengan baik. 
3. Mesocyclops aspericornis 
a. Klasifikasi 
Kingdom  : Animalia 
Phylum  : Arthropoda 
Kelas    : Maxillopoda 
Ordo    : Cyclopoida 
Famili    : Cyclopidae 
Spesies   : Mesocyclops aspericornis
(Myers, 2008) 
b. Morfologi 
Mesocyclops aspericornis berukuran  0,5  –  2,0  mm  dan  merupakan 
Copepoda  yang  hidup  bebas  (Yuniarti  dkk.,  1995).  Tubuhnya  
bersegmen-segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada yang menjadi satu (sefalotoraks) 
dan segmen abdomen (Upiek, 1998). Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang 
kaki,  pada  kepala  terdapat  mata  median  (Radiopoetro,  1996).  Pada  bagian 
anterior  dilengkapi  alat  mulut  dan  antena,  bagian  posterior  dilengkapi  ekor 
(Upiek , 1998). Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang 
bergigi-gigi  disebut gnathobasis (Radiopoetro,  1996).  Yang  betina  membawa  
telur-telurnya  di  dalam  dua  kantung  yang  terletak  di  sebelah  lateral  dekat  ujung 
abdomen (Borror et al., 1992). 
commit to user 
Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis 
        (labs1.eol.org)
c. Daur Hidup dan Habitat 
Mesocyclops  aspericornis  mengalami  reproduksi  secara  seksual.  Baik 
jantan  maupun  betina  dapat  melakukan  perkawinan  satu  kali  atau  lebih 
(Upiek, 1998).  
Adapun  siklus  hidup  atau  metamorfosis  Mesocyclops  aspericornis, 
adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) : 
1) Telur:  bentuk  bulat  bergerombol  yang  diletakkan  pada  oviseas  atau  kantung 
telur 
2) Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh  yang  memendek diwakili oleh antena 
pertama, kedua, dan mandibel. 
3) Nauphillus  II:  setelah  masa  pemberian  makanan,  mempunyai  maksila 
tambahan. 
4) Nauphillus  VI:  mempunyai  semua  bagian  tubuh  menyambung  dengan 
pasangan lengan kedua. 
commit to user 
5) Copepodid  I:  mempunyai  empat  ruas  toraks,  semua  bagian  tubuh 
menyambung dengan pasangan lengan keempat. 
6) Dewasa: Mesocylcops  aspericornis  dewasa  dapat  bertahan  hidup  sampai  2,5  
bulan.  Untuk  jantan  lebih  cepat  mati  karena  bersifat  kanibal. Mesocyclops 
aspericornis dewasa dapat kawin satu kali dan lebih. 
Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang sempurna, 
dari  telur  hingga  telur  lagi  merupakan  variabel  yang  tinggi  tergantung  dari 
spesies  dan  kondisi  lingkungan,  untuk Mesocyclops  aspericornis  berkisar  7 
hingga 180 hari (Pennak, 1978). 
 Penelitian  yang  dilakukan  oleh  Yuniarti  dkk.  (1997)  menunjukkan 
bahwa  reproduksi  Mesocyclops  aspericornis  paling  tinggi  diperoleh  dari 
medium  rendaman  tinja  marmut,  diikuti  oleh  medium  rendaman  eceng 
gondok,  dan  rendaman  jerami.  Di  daerah  tropis  dan  subtropis,  distribusi 
Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah yang melimpah di danau air 
tawar,  reservoir  (tendon  air),  parit,  kolam,  lubang  pohon,  sumur,  dan  liang 
kepiting  (Widyastuti,  1995). Mesocyclops  aspericornis  dilaporkan  sebagai 
hewan  pemakan  Algae,  Rotifera,  Protozoa,  Chorinomid,  Ologochaeta,  ikan 
kecil, dan beberapa organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997). 
commit to user 
d. Perilaku Mesocyclops aspericornis
Sama  seperti  predator  pada  umumnya,  Mesocyclops  aspericornis
sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri sebagai 
berikut: 
1) Predator dapat  memangsa semua tingkat perkembangan  mangsa (telur, larva, 
nympha,  pupa,  dan  imago).  Dalam  hal  ini  Mesocyclops  aspericornis
memangsa nyamuk pada masa larva instar I dan II awal. 
2) Predator  membunuh  dengan  cara  memakan  atau  menghisap  mangsanya 
dengan cepat. 
3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya. 
Mesocyclops aspericornis memakan kurang lebih 15 larva per hari. 
4) Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri. 
5) Kebanyakan  predator  bersifat  karnivor,  baik  pada  saat  pradewasa  maupun 
sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa 
jenis mangsa. 
6) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh mangsanya. 
7) Dari  segi  perilaku  makannya,  ada  predator  yang  mengunyah  semua  bagian 
tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops aspericornis. 
8) Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang tidak sempurna. 
4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva
Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti
sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti
commit to user 
paling  disukai  oleh Mesocyclops  aspericornis  sebesar  100  %  pada  perbandingan 
25:20  dibandingkan Culex  queneuefasciatus  (50,66  %)  dan Anopeles  aconitus
(27,33 %). Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis terhadap jentik nyamuk 
Aedes aegypti paling besar dengan asumsi sebagai berikut: 
a. Perilaku  aktif  jentik  nyamuk  Aedes  aegypti  yang  aktif,  karena  menurut 
monokov  dalam  Yuniarti,  dkk  (2000),  Cyclopoida  cenderung  menangkap 
mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi 
hanya setelah kontak. 
b. Perilaku  makan  jentik  Aedes  aegypti  bisa  mengambil  makanan  di  dasar, 
sedang  Mesocyclops  aspericornis  yang  hidup  di  dasar  memungkinakan 
terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi. 
Berdasarkan  hasil  penelitian-penelitian  yang  telah  dilakukan 
berhubungan  dengan  keberhasilan  Mesocyclops  aspericornis  dalam 
memangsa  larva  nyamuk  Aedes  aegypti,  berarti  bahwa  Mesocyclops 
aspericornis sebagai  predator  larva  nyamuk  sangat  berperan  dan  bermanfaat 
guna  mengendalikan  perkembangan  nyamuk Aedes  aegypti sebagai  vektor 
Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman 
Berdarah Dengue. 
commit to user 
B. Kerangka Pemikiran
C . Hipotesis 
Ketersediaan  bahan  organik  menurunkan  daya  predasi Mesocyclops 
aspericornis terhadap larva Aedes aegypti. 
Mesocylops aspericornis
dipelihara di tempat 
penampungan air berisi bahan 
organik  
Larva Aedes aegypti
Faktor yang mempengaruhi: 
1. Suhu udara 
2. Suhu air 
3. Air yang dipakai 
4. pH 
Kemampuan makan 
Mesocylops aspericornis
commit to user 
18 
BAB III 
METODE PENELITIAN 
A. Jenis Penelitian 
Penelitian  ini  merupakan  penelitian  eksperimental  laboratorik  dengan post 
test only group design 
B. Lokasi Penelitian 
Penelitian  ini  dilaksanakan  di  Balai  Besar  Penelitian  dan  Pengembangan 
Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah
C. Subjek Penelitian 
Subjek  penelitian  yang  dipakai  yaitu  Mesocyclops  aspericornis dan  larva 
Aedes aegypti instar I atau II
D. Teknik Sampling 
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara  random sampling 
E. Identifikasi Variabel  :
1. Variabel bebas   : Jenis bahan oganik dan kadar bahan organik.  
2. Variabel terikat  : Jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa 
3. Variabel luar (pengganggu) 
a. Terkendali : 
1) Suhu udara dan suhu air 
2) Air yang dipakai 
commit to user 
b. Tidak terkendali: 
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis 
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas 
a. Jenis bahan organik 
Bahan  organik  yang  digunakan  adalah  rendaman  kangkung  dan 
rendaman  tinja  kelinci  yang  mengandung  sumber  makanan  alternatif  bagi 
Mesocyclops  aspericornis seperti  Algae,  Protozoa,  dan  Rotifera 
(Setyaningrum dkk., 2008).  
Skala  : rasio 
b. Kadar bahan organik 
Konsentrasi  rendaman  kangkung  dan  rendaman  tinja  kelinci  yang 
digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan 45%. 
Skala  : interval 
2. Variabel terikat 
Larva Aedes  aegypti  yang  dipakai  yaitu  larva  instar  I  atau  II,  berumur 
sekitar  1-3  hari,  sebanyak  3000  ekor.  Diperoleh  dari  hasil  pemeliharaan  dan 
pengembangan  di  laboratorium  Balai  Besar  Penelitian  dan  Pengembangan 
Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah.  
commit to user 
3. Variabel luar (pengganggu) 
a. Terkendali : 
1. Suhu udara dan suhu air 
  Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih 25
0 C). 
  Skala : interval  
2.  Air yang dipakai 
  Pada penelitian ini menggunakan air ledeng 
3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis
  Berukuran panjang kurang lebih 1 mm 
  Skala : interval 
4. pH 
  Percobaan dilakukan pada pH  
b. Tidak terkendali: 
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung selera makan 
dan kondisi kesehatannya. 
G. Alat dan Bahan
1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L 
2. Pipet  dengan  diameter  mulut  pipet  ±  4  mm  untuk  mengambil  dan  menghitung 
jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.
3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II  ditaruh ke dalam gelas-gelas plastik 
dengan pipet. 
commit to user 
4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan jentik nyamuk 
Aedes aegypti.
5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung secara manual 
dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi air. 
6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci 
H. Rancangan Penelitian
Eksperimen 
M
e
s
o
c
y
l
o
p
s 
a
s
p
e
r
i
c
o
r
n
i
s 
Pelih
ara 
sela
ma 3 
hari 
Larva 
Aedes 
aegypti 
Bandingkan 
jumlah larva 
yang tersisa 
850 ml  air 
+ 
150 ml  
rendaman
kangkung 
550 ml  air 
+ 
450 ml 
rendaman 
kangkung 
700 ml air 
+ 
300 ml 
rendaman 
kangkung 
1 L air 
commit to user 
. 
I. Cara Kerja
Penelitian  dilakukan  menurut  metode  Endah  Setyaningrum  (2008)  yang 
dimodifikasi 
1. Pembuatan media  
a. Kangkung dan tinja kelincidikeringkan kemudian ditimbang berat keringnya. 
M
e
s
o
c
y
l
o
p
s 
a
s
p
e
r
i
c
o
r
n
i
s 
Pelih
ara 
sela
ma 3 
hari 
Larva 
Aedes 
aegypti 
Bandingkan 
jumlah larva 
yang tersisa 
850 ml  air 
+ 
150 ml  
rendaman 
tinja kelinci
  
550 ml  air 
+ 
450 ml 
rendaman 
tinja kelinci 
700 ml air 
+ 
300 ml 
rendaman 
tinja kelinci
1 L air 
commit to user 
b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong kecil-kecil kemudian 
masing-masing sebanyak 5 gram direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades 
selama 4 hari. 
c. Media  siap  digunakan  untuk  mengembangbiakkan Mescyclops  aspericornis. 
Setiap jenis media dijadikan sebagai perlakuan. 
2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan saringan biasa 
lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml . 
3. Pada  setiap  wadah  dimasukkan  satu  ekor Mesocyclops  aspericornis  dewasa 
betina  tanpa  kantung  telur  yang  sudah  dipuasakan  terlebih  dahulu  selama  satu 
hari. Pelihara selama 3 hari.  
4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti. 
5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25
o C dan pH 7 
6. Dibiarkan  selama  2  hari  lalu  jumlah  jentik  nyamuk  yang  tersisa  dihitung  pada 
jam  pertama,  kedua,  keempat,  kedelapan,  dan  kedua  puluh  empat,  dan  keempat 
puluh delapan.  
7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997). 
Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus 
Keterangan: 
n : jumlah ulangan 
t : jumlah kelompok perlakuan 
commit to user 
Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka: 
(n-1)(t-1) > 15 
(n-1)(8-1) > 15 
7n      > 22 
n      > 3,14 
jadi  untuk  setiap  kelompok,  ulangan  harus  lebih  dari  3,14.  Dalam  penelitian  ini 
digunakan 3  kali ulangan dalam setiap kelompok. 
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik dengan 
menggunakan  Uji  Analisis  Varians  (Anova)  yang  dilanjutkan  dengan Post-Hoc
test  untuk  mengetahui  kemaknaan  antar  kadar  dan  uji  t  untuk  mencari  letak 
perbedaan antar jenis bahan organik (Subana dan Sudrajat, 2009). 
commit to user 
BAB I 
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Masalah 
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang 
menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah 
berkembang  pesat  di  seluruh  dunia  akhir-  akhir  ini.  Dua  setengah  milyar 
orang,  yaitu  dua  perlima  dari  populasi  dunia  sekarang  berisiko  terkena 
virus  Dengue.  World  Health  Organization  memperkirakan  ada  kurang 
lebih  lima  puluh  juta  infeksi  Dengue  setiap  tahunnya  di  dunia  (WHO, 
2009). 
Demam  Berdarah  Dengue  juga  merupakan  penyakit  endemis  di 
Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan 
kematian  35  orang  di  12  Provinsi  yakni  :  Bangka  Belitung,  Lampung, 
Banten,  Jawa  Barat,  Daerah  Istimewa  Yogyakarta,  Kalimantan  Barat, 
Kalimantan  Tengah,  Kalimantan  Selatan,  Kalimantan  Timur,  Sulawesi 
Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010). 
Penanggulangan  DBD  seperti  juga  penyakit  menular  lain,  dapat 
didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen 
penularan  terdiri  dari  virus  Dengue,  Aedes  aegypti,  dan  manusia 
penderitanya. Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan 
commit to user 
kesakitan,  kematian,  serta  penderitaan  individu  dan  keluarganya.  Namun 
karena sampai sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu 
penanggulangan  penyakit  DBD  adalah  dengan  cara  pencegahan 
penularannya, yaitu dengan memberantas vektornya. Pemberantasan vektor 
DBD stadium pradewasa relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya. 
Pemberantasan  stadium  dewasa  Aedes  aegypti  dapat  dilakukan  secara 
hayati  atau  kimiawi.  Upaya  secara  kimiawi  menggunakan  insektisida, 
semakin  lama  justru  menimbulkan  resistensi  nyamuk  vektor.  Jika  dosis 
insektisida  terus-menerus  ditingkatkan,  pada  suatu  saat  akan 
membahayakan  kesehatan  manusia  dan  lingkungan.  WHO  (1987) 
melaporkan  bahwa  di  Karibia  dan  sekitarnya,  jentik Aedes  aegypti  telah 
resisten  terhadap  Malathion,  Fenitrothion,  Fenthion,  dan  Temephos  yang 
digunakan  secara  luas  sejak  tahun  1973.  Melihat  adanya  resistensi 
pemakaian  larvasida  kimia  yang  dimasukkan    ke  dalam  tempat 
penampungan  air,  termasuk  air  minum  perlu  mendapatkan  perhatian  yang 
seksama.  Alternatif  lain  yang  lebih  berwawasan  lingkungan  perlu 
dipertimbangkan  untuk  mengendalikan  vektor  penyakit.  Salah  satu  cara 
yang banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik 
nyamuk  dalam  upaya  pengendalian  vektor  secara  hayati  (Yuniarti  & 
Widyastuti, 2000). 
commit to user 
Mesocyclops  adalah  Cyclopoid  Copepoda,  dilaporkan  sebagai 
predator  jentik  Aedes  dan  jentik  nyamuk  dari  genus  atau  spesies  lain. 
Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan 
ada air dan suplai makanan (Marten, 1989). 
   Mesocyclops  aspericornis merupakan  salah  satu  jasad  hayati  yang 
terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian 
jentik  nyamuk  malaria  dan  demam  berdarah. Mesocyclops  aspericornis 
memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan 
berbagai  macam  organisme  seperti:  Algae,  Rotifera,  Copepoda  yang  lain, 
Protozoa,  Chironomid,  Oligochaeta,  larva  ikan,  dan  beberapa  organisme 
akuatik yang lain (Williamson, 1991).  
Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup 
bebas dan tersebar luas  di danau  air tawar, reservoir, parit,  kolam, lubang 
pohon,  sumur  dan  liang/lubang  kepiting  (Brown  dan  Hendriksz, 1991). 
Menurut  Williamson  (1991)  Copepoda  juga  ditemukan  berlimpah  pada 
rawa, tanah basah, air payau, empang, genangan air, dan beberapa spesies 
Copepoda dapat hidup pada celah atau di bawah sistem permukaan tanah. 
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai 
daya  predasi  dan  reproduksi Mesocyclops  aspericornis dilaporkan  bahwa 
Mesocyclops  aspericornis memiliki  kemampuan  makan  terhadap  jentik 
nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar 
commit to user 
antara  77.77%  -  99.34%  dan  pada  air  sumur  berkisar  antara  97.32-  100% 
sedangkan  reproduksi Mesocyclops  aspericornis tertinggi  terdapat  pada 
rendaman tinja marmut (97,59 ekor). 
 Oleh  karena  hal  tersebut  di  atas,  penulis  berkeinginan  untuk 
mengendalikan  faktor  yang  mempengaruhi  daya  predasi  Mesocyclops 
aspericornis,  di  antaranya  adalah  ketersediaan  bahan  organik  seperti 
kondisi  di  alam.  Dalam  penelitian  kali  ini  penulis  akan  menggunakan 
media  rendaman  kangkung  dan  rendaman  tinja  kelinci  dalam  berbagai 
kadar selama beberapa hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.  
B. Rumusan Masalah
Adakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi 
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti? 
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi  
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritik  :  
Memperluas  pengetahuan  tentang  pemberantasan  vektor,  khususnya      
secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.
commit to user 
2. Praktis   :  
Mesocyclops  aspericornis  diharapkan  dapat  sebagai  salah  satu  alternatif 
pemberantasan  vektor  nyamuk Aedes  aegypti  sehingga  dapat  digunakan 
dalam kehiduapan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui media 
optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops aspericornis. 
commit to user 
BAB II 
LANDASAN TEORI 
A. Tinjauan Pustaka 
1.Aedes aegypti 
a.Klasifikasi 
Kingdom  : Animalia 
Filum    : Arthropoda 
Subfilum  : Aceloturata 
Kelas    : Insecta 
Ordo    : Diptera 
Famili    : Culicidae 
Genus    : Aedes 
Subgenus  : Stegomyia 
Spesies : Aedes aegypti
commit to user 
b.Morfologi 
Aedes  yang  berperan  sebagai  vektor  penyakit  semuanya  tergolong 
Stegomyia  dengan  ciri-ciri  tubuh  bercorak  belang  hitam  putih  pada  dada, 
perut,  dan  tungkai.  Corak  ini  merupakan  sisi  yang  menempel  di  luar  tubuh 
nyamuk.  Corak  putih  pada  dorsal  dada  nyamuk  berbentuk  seperti  siku  yang 
berhadapan (Fitriasih, 2008). 
Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas 
tampak  bulat  panjang  dan  berbentuk  oval  menyerupai  torpedo,  di  bawah 
mikroskop,  pada  dinding  luar  (exochorion)  telur  nyamuk  ini,  tampak  ada 
garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes 
aegypti  berbentuk  lonjong,  tampak  seperti  anyaman  kasa  pada  dindingnya. 
Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir 
bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999). 
1. Daur Hidup dan Habitat 
Perkembangan Aedes  aegypti  melalui  berbagai  perubahan  bentuk 
(metamorphosis)  :  telur  –  jentik  (larva)  –  kepompong  (pupa)  –  nyamuk. 
Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik 
menjadi  kepompong  rata-  rata  4  –  9  hari,  dan  dari  kepompong  sampai 
menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009). 
Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan 
telur  pada  permukaan  air  bersih  secara  individual.  Setiap  hari  nyamuk 
commit to user 
Aedes  betina  dapat  bertelur  rata-rata  100  butir.  Telur  membutuhkan 
waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009). 
Larva  ini  terbagi  menjadi  4  stadium  sebelum  tumbuh  menjadi 
pupa  (Hoedojo,  1993).  Stadium  larva  biasanya  berlangsung  6-8  hari 
(Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa 
ini  tidak  makan  tapi  masih  memerlukan  oksigen  yang  diambil  melalui 
tabung  pernapasan.  Pupa  ini  sangat  sensitif  terhadap  pergerakan  air. 
Stadium  ini  berlangsung  antara  2-3  hari  dan  akan  tumbuh  menjadi 
nyamuk  dewasa  (Soedarto,  1992).  Pertumbuhan  dari  sejak  telur  keluar 
sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7-14 hari (Hardjanto, 
1997). 
c. Sifat Hidup Larva 
Setelah  telur  menetas  tumbuh  menjadi  larva  yang  disebut  larva 
stadium  I  (instar  I).  Kemudian  larva  stadium  I  ini  melakukan  3  kali 
pengelupasan  kulit  (ecdysis  atau moulting),  berturut-  turut  menjadi  larva 
stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).  
Dalam  air  di  wadah,  larva  Aedes  bergerak  sangat  lincah  dan 
aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan 
turun  ke  dasar  wadah  secara  berulang-ulang.  Larva Aedes  aegypti  dapat 
hidup  di  wadah  yang  mengandung  air  ber-pH  5,8  –  8,6.  Jentik  dalam 
kondisi  yang  sesuai  akan  berkembang  dalam  waktu  6  –  8  hari  dan  akan 
commit to user 
melakukan  pengelupasan  kulit  sebelum  berkembang  menjadi  pupa 
(Pandujati, 2009). 
2. Pengendalian Vektor
Pemberantasan  sebenarnya  lebih  tepat  disebut  pengendalian,  tujuannya 
menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya 
dalam  menularkan  penyakit.  Pengendalian  nyamuk  Aedes  aegypti  dapat 
dilakukan  pada  beberapa  stadium,  yaitu  telur,  larva,  pupa,  dan  nyamuk  dewasa 
(Soedarto, 1990). 
Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu: 
a. Cara Kimia
Cara  pemberantasan  larva  Aedes  aegypti  menggunakan 
insektisida  pembunuh  larva  lebih  dikenal  dengan  istilah  larvasida. 
Larvasida  yang  biasa  digunakan  antara  lain  temephos.  Formulasi 
temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm 
atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai 
efek  residu  3  bulan.  Selain  itu  dapat  pula  digunakan  golongan insect 
growth regulator (Depkes RI, 2003). 
b. Cara Biologi/ Hayati 
Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian 
serangga  dengan  cara  biologi,  yaitu  dengan  memanfaatkan  
musuh-commit to user 
musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit, 
dan patogen.  
Beberapa  keunggulan  pengendalian  hayati  dalam  Jumar  (1997), 
antara lain: 
1. Aman,  tidak  menimbulkan  pencemaran  lingkungan,  tidak 
menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak. 
2. Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran. 
3. Musuh  alami  bekerja  secara  selektif  terhadap  inang  atau 
mangsanya. 
4. Bersifat  permanen,  untuk  jangka  panjang  dinilai  lebih  murah 
apabila  keadaan  lingkungan  telah  stabil  atau  telah  terjadi 
keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya. 
Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di 
antaranya (Jumar, 1997) : 
1. Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat. 
2. Diperlukan  biaya  yang  cukup  besar  pada  tahap  awal  baik  untuk 
penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya. 
3. Pembiakan  masa  di  laboratorium  kadang-kadang  menghadapi 
kendala,  karena  musuh  alami  menghendaki  kondisi  lingkungan 
yang khusus. 
commit to user 
c.   Cara Fisik 
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi, 
bak  WC,  menutup  tempat  penampungan  air  rumah  tangga,  serta