• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. PENGERINGAN OSMOTIK

Osmosis merupakan suatu proses dimana suatu liquid dapat melewati suatu membran semipermeabel secara langsung. Apabila terdapat dua larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang berbeda dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel, maka akan terjadi perpindahan air dari larutan hipotonik (larutan dengan konsetrasi zat terlarut yang lebih rendah) ke larutan hipertonik (larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi). Misalnya yang terjadi dalam kasus dua buah liquid yang dipisahkan dengan suatu membran semipermeabel (Gambar 2) dimana pada salah satu kaki berisi pelarut murni misalnya air sebagai larutan hipotonik, dan satu kaki yang lain berisi larutan gula sebagai larutan hipertonik.

Gambar 2. Proses osmosis dua liquid

Pori dalam membran semipermeabel terlalu kecil untuk dapat dilewati oleh molekul zat terlarut misalnya gula, tetapi cukup besar untuk dilewati molekul air. Molekul air dari larutan maupun dari pelarut murni secara random dapat melewati membran semipermeabel. Akan tetapi laju pergerakan molekul air dari air-larutan dengan laju pergerakan molekul air dari larutan-air ditentukan oleh besarnya entropi dan tekanan yang diaplikasikan ke salah satu kaki. Karena entropi larutan adalah lebih besar dibandingkan dengan entropi pelarut murni maka secara spontan laju molekul air yang melewati air-larutan akan lebih cepat dibandingkan dengan laju molekul air dari larutan-air. Oleh sebab itu bila kita membiarkan kedua larutan untuk selang waktu tertentu maka ketinggian permukaan larutan pada salah satu kaki akan mengalami kenaikan. Proses ini akan terus berlangsung sampai ketinggian “h” mencapai tinggi tertentu dimana pada ketinggian tersebut tekanan larutan memiliki tekanan yang dapat menyeimbangkan laju pergerakan molekul air dari larutan-air dan air-larutan. Tekanan inilah yang disebut sebagai tekanan osmotik.

Gambar 3. Pergerakan air karena perbedaan tekanan osmotik

Sumber : belajarkimia.com Membran semipermeabel Larutan gula Pelarut murni (air)

aliran air dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik

Proses osmosis dapat juga diaplikasikan pada proses pengeringan pangan. Meningkatkan kualitas produk makanan yang diawetkan, memberikan kisaran kadar air dan zat terlarut bahan yang diinginkan untuk proses pengolahan selanjutnya, meminimalisasi stress pada bahan akibat panas dan mengurangi input energi pada pengeringan konvensional merupakan beberapa keuntungan dari pengeringan osmotik dalam proses stabilisasi konvensional (Chottanom et al., 2005). Pengeringan osmotik dilakukan dengan menciptakan lapisan semipermeabel dengan cara merendam produk ke dalam larutan gula, larutan garam, sorbitol, gliserol, dan sebagainya sebelum proses pengeringan. Proses ini biasa dilakukan dalam pembuatan produk pangan semi basah. Selanjutnya produk dikeringkan dengan penjemuran atau pengeringan buatan. Proses pengeringan osmosis dapat digunakan untuk perlakuan pengeringan awal yang dapat menurunkan kadar air bahan sampai 50% dari kadar air awal bahan (Karathanos et al., 1995). Metode pengeringan osmotik dikombinasikan dengan pengeringan udara terbukti mampu menghasilkan buah kering awet dengan kadar air sekitar 14%, sehingga kerusakan kimiawi, biologis dan enzimatis dapat dihindari. Perendaman irisan daging buah mangga kweni dalam larutan gula 60 oBrix selama 10 jam, kemudian dikeringkan pada suhu 55

o

C dan kelembaban 60% selama 9 jam menghasilkan manisan mangga kweni kering, berpenampilan menarik, warna kuning merata, manis, dan memiliki kadar air optimum yaitu 14.41% (Broto, 2003).

Pengeringan osmotik melibatkan dua aliran material yang berlawanan arah dan terjadi secara simultan, yaitu keluarnya air dari jaringan produk ke larutan osmotik dan aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam jaringan produk. Laju kehilangan air dari jaringan produk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi dan konsentrasi larutan osmotik, fase kontak, karakteristik produk, perlakuan awal terhadap produk, ukuran dan bentuk geometri produk, tingkat pengadukan, dan lamanya proses pengeringan (Khan et al., 2008).

Suhu memberikan pengaruh positif (sebanding) dengan kehilangan air dan kenaikan padatan pada buah mangga dengan perlakuan pengeringan osmotik. Pada buah nanas yang telah dilakukan pengeringan osmotik selama 6 jam, dengan suhu 30, 40 and 50 ºC dalam larutan hipertonik (60% sukrosa), menunjukkan bahwa penurunan kadar air nanas mempunyai fungsi linier terhadap suhu perendaman. Makin tinggi suhu, makin turun kadar air nanas, kadar sukrosa dalam buah makin tinggi (Ramalo dan Mascheroni, 2005).

Jenis dan konsentrasi larutan osmotik sangat mempengaruhi laju pengeringan dan mutu yang dihasilkan. Karathanos et al. (1995) menemukan bahwa larutan glukosa dengan konsentrasi 45% memberikan laju kehilangan air yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi larutan 30% dan 15%. Kalsium klorida umumnya digunakan pada konsentrasi 0.5 – 1.0% sebagai tambahan pada bahan osmosis yang sebenarnya, terutama untuk menguatkan struktur jaringan sayuran atau buah- buahan. Natrium klorida sangat cepat menghasilkan efek pengeringan osmosis, tetapi mempunyai kelemahan yaitu molekul NaCl cepat mempenetrasi bahan dan mengubah rasa. Akibat adanya perubahan organoleptik, maka disarankan untuk menggunakan konsentrasi 10% bagi sayuran, dan 1 - 3% sebagai tambahan pada media osmosis utama untuk mengeringkan buah-buahan. Larutan NaCl juga telah ditemukan mempunyai efek inhibitor terhadap aktifitas polyphenol oksidase (Lenart, 1996). Sukrosa dianggap merupakan bahan osmosis yang terbaik, kehadiran sukrosa pada permukaan bahan yang dikeringkan membantu menghalangi kontak dengan oksigen yang berakibat terhadap penurunan laju pencoklatan enzimatik (enzymatic browning). Sukrosa lebih dapat diterima jika ditinjau dari segi rasa, tetapi rasa manis dapat tidak cocok digunakan bagi sayur-sayuran. Maltodekstrin dan sirup pati dianjurkan untuk menurunkan kadar air sayur-sayuran dan buah-buahan terutama jika efek kemanisan yang diakibatkan oleh sukrosa pada produk akhir tidak diinginkan.

Monteiro et al. (2003) melakukan pengeringan osmotik pada potongan buah mangga untuk memperoleh kondisi perlakuan dengan rasio kinerja pengeringan yang maksimum. Rasio kinerja

maksimum diperoleh pada kondisi suhu larutan 46 oC dan konsentrasi larutan 65.5 oBrix untuk sampel yang tidak dilapisi alginat. Untuk sampel yang dilapisi alginat, rasio kinerja maksimum diperoleh pada perlakuan suhu larutan 44 oC dan konsentrasi larutan 65.5 oBrix. Rasio kinerja maksimum yang diperoleh masing-masing perlakuan tersebut yaitu 5.16 dan 9.51, sehingga pemberian alginat pada sampel dapat meningkatkan kehilangan air dan menurunkan pemasukan padatan terlarut pada sampel.

C.

EDIBLE COATING

Polimer biodegradable adalah molekul-molekul besar yang dapat dihancurkan atau diurai mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Salah satu metode yang sedang dikembangkan adalah kemasan edible, yaitu kemasan yang dapat dimakan, antara lain dengan teknik coating (lapisan). Teknik ini sering disebut sebagai edible film dan/atau edible coating. Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung pada produk yang dikemas. Sedangkan film dibentuk menyerupai lapisan tipis terlebih dahulu, kemudian diaplikasikan ke produk makanan yang dikemas.

Edible film / coating merupakan lapisan tipis dan kontinyu, terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dengan melapisi komponen makanan atau diletakkan di antara komponen makanan. Lapisan ini berfungsi sebagai penahan (barrier) yang baik untuk perpindahan massa (kelembaban, lipid, cahaya, zat terlarut, gas O2 dan CO2,sebagai bahan tambahan, serta dapat mencegah hilangnya

senyawa-senyawa volatile pada aroma atau rasa khas suatu produk pangan. Sehingga kemasan edible film/coating harus memiliki sifat diantaranya:

(1) Menahan kehilangan kelembaban produk.

(2) Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu.

(3) Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk memepertahankan warna pigmen alami dan gizi.

(4) Menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.

Aplikasi edible film/coating dapat digunakan pada potongan buah atau sayuran dengan cara pencelupan, pembuihan, penyemprotan, penetesan, dan penetesan terkendali. Cara aplikasinya tergantung pada jumlah, ukuran, sifat produk dan hasil yang diinginkan. Bahan dasar pembuatan edible film/coating dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, turunan selulosa, alginat, pektin, dan pati), lipida (asam lemak, wax, asilgliserol), serta campuran (hidrokoloid dan lemak).

Edible film/coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Penggunaan Jenis edible film/coating yang sesuai Menghambat penyerapan uap air Lipida, komposit

Menghambat penyerapan gas Hidrokoloid, lipida, atau komposit Menghambat penyerapan minyak dan lemak Hidrokoloid

Menghambat penyerapan zat-zat larut Hidrokoloid, lipida, atau komposit Meningkatkan kekuatan struktur atau memberi

kemudahan penanganan

Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Menahan zat-zat volatile Hidrokoloid, lipida, atau komposit Pembawa bahan tambahan makanan Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta etal. (1994)

Salah satu jenis edible coating ialah kitosan. Kitosan merupakan bahan pelapis berupa polisakarida yang berasal dari limbah pengolahan udang (Crustaceae). Misalnya limbah padat pengolahan yang terdiri atas kulit, kaki dan kepala, dapat mencapai hingga 40% dari total produksi udang. Untuk memperoleh kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk mendapatkan kitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Zat itu merupakan satu- satunya selulosa yang dapat dimakan, mempunyai muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena kitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009) dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk, 2008). Selain itu, molekul kitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan kitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Rochima, 2009).

Kitosan tidak larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam asam lemah seperti asetat dan formiat. Asam organik seperti asam hidroklorida dan asam netral dapat melarutkan kitosan pada pH tertentu dalam keadaan hangat dan pengadukan lama, tetapi hanya sampai derajat terbatas. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Berikut ini disajikan spesifikasi kitosan niaga pada Tabel 4.

Tabel 4. Spesifikasi kitosan niaga

Parameter Ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air ≤ 10.0 %

Kadar abu ≤ 2.0 %

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi ≥ 70.0 %

Kelas viskositas (cps) - Rendah - Medium

- Tinggi pelarut organik - Sangat tinggi

< 200 200 – 799 800 – 2000 >2000

Sumber: Purwatiningsih S et al., 2009

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis pada benih dan buah-buahan misalnya pada tomat (El-Ghaouth et al., 1992). Sifat lain kitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi kitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi (Baldwin, 1994). Nisperos-Carriedo et al. (1994) menyatakan bahwa pelapis dari karbohidrat dapat menyerap uap air. Oleh karena itu, penghambatan transpirasi dari dalam ke luar buah tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi kitosan yang digunakan.

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011 di Laboratorium Energi dan Listrik Pertanian serta Laboratorium Pindah Panas dan Massa, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dokumen terkait