• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Pengolahan Rimpang Temulawak

4. Pengeringan

Pengeringan rimpang dilakukan dengan menggunakan sinar matahari. Rimpang yang sudah dirajang diletakkan di atas tikar dan ditutup dengan menggunakan kain hitam. Tujuan penggunaan kain hitam saat proses pengeringan adalah untuk mempercepat proses penguapan air yang terdapat dalam rimpang sehingga rimpang dapat kering dengan waktu yang lebih singkat. Pengeringan dilakukan selama 10 hari, namun apabila rimpang belum dapat dipatahkan selama pengeringan 10 hari, maka waktu pengeringan dilanjutkan hingga didapatkan rimpang yang mudah dipatahkan.

5. Pembuatan serbuk rimpang kering temulawak

Rimpang temulawak yang sudah mengalami proses pengeringan pada pengeringan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10 dicuplik ± 100 g sampel untuk digunakan dalam tahap pembuatan serbuk. Pembuatan serbuk dilakukan dengan menggunakan blender yang sebelumnya sudah disterilkan dengan

alkohol 70%, kemudian dilakukan pengujian nilai ALT pada serbuk rimpang temulawak tersebut.

6. Pengujian ALT rimpang kering temulawak (Badan Standarisasi Nasional,

1992; Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2006)

Rimpang temulawak yang sudah mengalami proses pencucian dan perajangan, dikeringkan selama 10 hari dan diuji ALT pada waktu pengeringan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10. Adapun tahap-tahap dalam pengujian ALT adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan larutan pengencer Pepton Dilution Fluid (PDF)

Sebanyak 15 g pepton dimasukkan ke dalam labu takar 1 L dan ditambahkan aquadest sampai volume 1 L, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

b. Penyiapan dan homogenisasi sampel

Sampel yang digunakan untuk homogenisasi adalah rimpang temulawak yang sudah dikeringkan pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10. Rimpang kering temulawak ditimbang sebanyak 1 g dalam kondisi yang steril. Selanjutnya serbuk yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml dan ditambahkan larutan pengencer PDF sampai volume 10 ml, dihomogenkan dan didapatkan sampel dengan konsentrasi 10-1.

c. Pembuatan media Plate Count Agar (PCA)

Sebanyak 16 g PCA dilarutkan dalam 800 ml aquadest, dipanaskan sambil diaduk, kemudian didinginkan hingga suhu 450C sampai 600C. Media

tersebut kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

d. Pengenceran serbuk rimpang temulawak

Dari masing-masing sampel (serbuk rimpang temulawak) pada tahap penyiapan dan homogenisasi sampel (konsentrasi 10-1), dalam kondisi steril dipipet sebanyak 1 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 9 ml PDF steril, dihomogenkan menggunakan vortex sehingga didapatkan pengenceran dengan konsentrasi 10-2. Dilakukan demikian hingga konsentrasi 10-6.

e. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam setiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA-1% TTC suhu 45 ± 1 0C. Cawan petri segera digoyang dan diputar sedemikian rupa hingga suspensi tersebar merata. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer dibuat uji kontrol (blanko), yaitu kontrol media dan kontrol pelarut. Pada uji kontrol satu cawan diisi 1 ml pengencer dan media agar, dan pada cawan yang lain hanya diisi media. Setelah media memadat, cawan diinkubasi pada suhu 370C selama 24-48 jam dengan posisi terbalik. Dilakukan enam replikasi dengan perlakuan duplo untuk masing-masing replikasi. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung menggunakan colony counter. Pengujian ALT dilakukan pada waktu pengeringan hari ke- 0, 2, 4, 6, 8, dan 10.

7. Cara perhitungan ALT (Badan Standarisasi Nasional, 1992)

Perhitungan hasil uji ALT dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Dipilih cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 25-250 setiap cawan, dihitung semua koloni dalam cawan petri dan dihitung rata-rata jumlah koloni, dikalikan dengan faktor pengenceran dan hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri per mililiter atau gram.

b. Jika salah satu dari dua cawan petri terdapat jumlah koloni lebih kecil dari 25 atau lebih besar dari 250, dihitung rata-rata jumlah koloni, dikalikan dengan faktor pengenceran dan hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri per mililiter atau gram.

c. Jika hasil dari dua pengenceran jumlahnya berturut-turut terletak antara 25-250 koloni, dihitung jumlah koloni dari masing-masing pengenceran seperti yang disebut pada butir a dan b di atas, dan dihitung rata-rata jumlah koloni dari ke dua pengenceran tersebut. Jika jumlah yang tertinggi lebih besar dari dua kali jumlah yang terkecil, jumlah yang lebih kecil dinyatakan sebagai jumlah bakteri per mililiter atau gram.

d. Jika rata-rata jumlah koloni masing-masing cawan petri tidak terletak antara 25 dan 250 koloni, dihitung jumlah koloni seperti pada butir a dan b di atas, dan dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per mililiter atau g.

e. Jika jumlah koloni dari semua pengenceran lebih dari 250 koloni, maka setiap dua cawan petri dengan pengenceran tertinggi dibagi ke dalam 2, 4,

atau 8 sektor. Dihitung rata-rata jumlah koloni dalam satu cawan petri dan dikalikan dengan faktor pengenceran. Hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per mililiter atau g.

f. Jika dalam 1/8 bagian cawan petri terdapat lebih dari 200 koloni, maka jumlah koloni yang didapat = 8 x 200 (1000), dikalikan dengan faktor pengenceran dan hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per mililiter atau gram lebih besar dari jumlah yang didapat (lebih besar dari 1600 x faktor pengenceran).

g. Jika tidak ada koloni yang tumbuh dalam cawan petri maka jumlah bakteri perkiraan dinyatakan lebih kecil dari satu dikalikan dengan pengenceran yang terendah (< 10).

h. Jika hanya terjadi satu perambatan (seperti rantai) maka koloni dianggap satu. Tetapi bila satu atau lebih rantai terbentuk dan yang berasal dari sumber yang berpisah-pisah, maka tiap sumber dihitung sebagai satu koloni.

8. Menghitung dan membulatkan angka

Dalam melaporkan jumlah koloni atau jumlah koloni perkiraan hanya dua angka penting yang digunakan, yaitu angka yang pertama dan kedua (dimulai dari kiri), sedangkan angka yang ketiga diganti dengan 0 apabila kurang dari 5 dan apabila 5 atau lebih dijadikan 1 yang ditambahkan pada angka kedua.

Contoh : 523.000 dilaporkan sebagai 520.000 (5,2 x 105), 83.600 dilaporkan sebagai 84.000 (8,4 x 104).

F. Analisis Hasil

Data pada penelitian ini merupakan data yang berupa nilai ALT yang diperoleh dari hasil pengamatan dan perhitungan ALT pada waktu pengeringan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10. Perhitungan ALT didasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroorganisme.

Pada analisis deskriptif komparatif, nilai ALT yang didapatkan dalam penelitian dibandingkan dengan persyaratan nilai ALT yang terdapat dalam KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/VII/1994 yaitu tidak lebih dari 107 koloni/gram bahan untuk sediaan dalam bentuk rajangan, sedangkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan secara bermakna atau tidak bermakna dari waktu pengeringan terhadap nilai ALT rimpang temulawak, maka dilakukan analisis statistik. Langkah pertama yang dilakukan untuk melakukan analisis statistik adalah dengan melakukan uji normalitas.

Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk sampel yang lebih besar dari 50, sedangkan uji Shapiro-Wilk untuk sampel yang kurang dari 50. Dalam penelitian ini digunakan uji Shapiro-Wilk karena sampel yang digunakan kurang dari 50. Besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu enam sampel yang dihitung berdasarkan pengambilan sampel rimpang temulawak pada pengeringan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10.

Langkah ke dua yang dilakukan adalah melihat distribusi data yang dihasilkan dari uji normalitas, apakah berdistribusi normal atau tidak. Normal atau tidaknya distribusi data yang didapatkan dilihat dari besarnya nilai signifikansi yang dihasilkan. Data yang berdistribusi normal mempunyai nilai signifikansi (p)

> 0,05, apabila nilai signifikansi kurang dari nilai tersebut maka data yang didapatkan tidak berdistribusi normal.

Data yang berdistribusi normal dilanjutkan dengan uji Repeated ANOVA, namun apabila data berdistribusi tidak normal, maka dilakukan transformasi data. Transformasi data dilakukan untuk mendapatkan luaran data yang berbeda dari data awal, sehingga bisa didapatkan data yang berdistribusi normal dan analisis dapat dilanjutkan dengan uji Repeated ANOVA. Apabila setelah dilakukan transformasi data masih berdistribusi tidak normal, maka dilakukan uji Friedman sebagai alternatif uji Repeated ANOVA untuk data yang berdistribusi tidak normal. Nilai signifikansi (p) yang diharapkan pada uji Friedman untuk mengetahui bahwa terdapat perbedaan bermakna antara waktu pengeringan rimpang temulawak dan nilai ALT adalah < 0,05. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna, maka data dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc. Salah satu uji Post Hoc yang dapat digunakan adalah uji Wilcoxon, di mana uji ini dilakukan untuk melihat pada hari yang ke berapa nilai ALT memberikan nilai signifikansi yang berbeda bermakna (p > 0,05).

33

HASIL DAN PEMBAHASAN

Besarnya penggunaan obat tradisional di Indonesia membuktikan bahwa obat tradisional memberikan dampak yang baik bagi kesehatan. Salah satu bahan baku obat tradisional yang banyak digunakan di Indonesia sebagai pengobatan alternatif adalah rimpang temulawak. Temulawak sering digunakan untuk mengobati penyakit hati seperti jaundice dan pengerasan empedu, demam, konstipasi, dan penggunaan dalam sediaan infusa yang diberikan pada wanita untuk melancarkan proses laktasi (Perry, 1980).

Peningkatan kualitas obat tradisional penting untuk diperhatikan karena dampak positif dari penggunaannya di kalangan masyarakat. Peningkatan kualitas ini dilakukan guna menjamin kualitas, keamanan dan khasiat bahan baku yang akan digunakan dalam pengobatan di masyarakat. Kualitas bahan baku obat tradisional dapat dilihat dari penampakan fisik simplisia, di mana tidak terdapat perubahan-perubahan yang tidak diinginkan seperti penampilan, tekstur, rasa, dan bau yang terdapat pada makanan (Hariyati, 2008).

Keamanan bahan baku obat tradisional dapat dilihat dari besarnya jumlah cemaran yang terdapat dalam simplisia. Simplisia yang aman dikatakan aman apabila besarnya jumlah cemaran mikrobia yang tidak melebihi batas keamanan yang ditetapkan dalam KepMenKes RI (1994). Apabila kualitas dan keamanan simplisia memenuhi kriteria yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa

simplisia tersebut mempunyai khasiat yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Pengolahan simplisia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas obat tradisional. Proses pengolahan simplisia dapat dijadikan suatu standar yang memperlihatkan bahwa bahan baku obat tradisional yang digunakan mempunyai kualitas, keamanan dan khasiat yang terjamin. Tahap-tahap dalam pengolahan simplisia yang dapat dilakukan antara lain adalah pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan dan penyimpanan.

Pengolahan simplisia di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara tradisional, terutama proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan cara menjemur simplisia di bawah sinar matahari guna mengurangi kandungan air yang terdapat dalam simplisia. Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari dengan tujuan untuk mengkondisikan dengan cara pengeringan tradisional yang masih banyak dilakukan oleh pedagang pengumpul, di mana rimpang-rimpang tersebut kemudian didistribusikan kepada pengelola rimpang temulawak untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan obat tradisional, baik industri rumah tangga maupun industri dengan skala besar.

Pengeringan di bawah sinar matahari dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya cuaca dan kelembaban lingkungan pengeringan. Faktor-faktor ini berpengaruh secara langsung terhadap besarnya kandungan air dalam simplisia. Kandungan air yang tinggi akan memberikan kesempatan pada mikrobia untuk tumbuh dan berkembang, terutama bakteri. Keberadaan bakteri dalam simplisia

akan mempengaruhi kualitas dan keamanan simplisia. Apabila terdapat bakteri pada simplisia, maka keberadaannya harus berada pada batas standar keamanan yang sudah ditetapkan.

Besarnya jumlah bakteri dalam simplisia dapat dilihat dengan melakukan uji Angka Lempeng Total (ALT). Batas standar keamanan nilai ALT yang ditetapkan oleh KepMenKes RI No. 661/MenKes/SK/VII/1994 untuk sediaan dalam bentuk rajangan adalah tidak lebih dari 107 CFU/g bahan.

A.Pengumpulan Bahan

Rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari salah satu pedagang pengumpul di Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Rimpang tersebut dipanen pada umur ± 10 bulan selama bulan September 2010. Rimpang temulawak yang didapatkan dari pedagang pengumpul dipilih bagian rimpang yang segar dan tidak bertunas, permukaan rimpang dalam keadaan yang kering, dan hanya sedikit kotoran-kotoran yang menempel. Rimpang-rimpang yang sudah dipilih tersebut kemudian disiapkan untuk masuk dalam tahap pengolahan.

B.Identifikasi Rimpang Temulawak (Curcumae Rhizoma)

Identifikasi rimpang temulawak dilakukan untuk dapat memastikan bahwa rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang dari tanaman Curcuma xanthorrhiza Roxb.. Identifikasi rimpang ini dilakukan dengan melihat ciri-ciri rimpang temulawak secara organoleptis dan makroskopis

dan kemudian dibandingkan dengan ciri-ciri rimpang temulawak yang terdapat dalam Materia Medika Indonesia (MMI) Jilid III (Depkes RI, 1979).

Secara organoleptis, rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bau khas aromatis temulawak, rasa agak pahit dan berwarna oranye. Ciri-ciri organoleptis ini sesuai dengan yang tertulis pada Depkes RI (1979).

Berdasarkan pengamatan secara makroskopis, diketahui bahwa rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk bundar lonjong, keras, dan ringan. Rimpang berdiameter ± 4-6 cm dengan tebal ± 2-5 mm. Kulit rimpang berwarna kuning kecoklatan sampai dengan coklat dengan permukaan yang melengkung dan tidak beraturan atau berkerut-kerut. Hasil pengamatan secara makroskopis ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan Depkes RI (1979). Keseluruhan hasil identifikasi ini menyatakan bahwa rimpang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Hasil identifikasi rimpang temulawak adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur Magelang Keterangan gambar : rimpang temulawak dengan permukaan luar yang berkerut,

A B

C

Gambar 2. Irisan rimpang temulawak

A = Irisan rimpang temulawak dengan bentuk kepingan dan warna rimpang temulawak, B = Irisan rimpang temulawak dengan tebal rimpang temulawak, C =

Irisan rimpang temulawak dengan diameter rimpang temulawak

C.Pengolahan Rimpang Temulawak

Terjaminnya kualitas, keamanan, dan khasiat yang dimiliki oleh rimpang temulawak ditentukan melalui proses pengolahan simplisia. Proses pengolahan simplisia dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang memenuhi persyaratan minimal rimpang tersebut (Depkes RI, 1985). Pengolahan simplisia yang berpengaruh terhadap kualitas, keamanan, dan juga khasiat rimpang temulawak antara lain adalah sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, dan penyimpanan. Masing-masing tahapan dalam pengolahan simplisia memegang peranan penting untuk menekan jumlah cemaran mikrobia yang terdapat dalam rimpang temulawak, khususnya bakteri.

Proses pengolahan simplisia tidak hanya dapat menekan pertumbuhan bakteri, namun juga dapat menyebabkan terjadinya reaksi enzimatis pada bahan pangan. Enzim yang terdapat dalam bahan pangan dapat memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan lebih cepat, dan juga dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan pangan. Salah satu reaksi enzimatis yang dapat terjadi pada bahan pangan adalah reaksi browning (pencoklatan). Menurut Winarno (cit. Aziya, 2001), browning dapat terjadi jika bahan pangan mengalami perlakuan mekanis, yang biasanya dapat mengakibatkan perubahan penampilan yang terkadang menyebabkan penurunan mutu.

Kebanyakan bakteri hidup dalam tanah, sehingga apabila tanah tersebut masih menempel pada simplisia yang telah dipanen dan tidak dilakukan pengolahan dengan baik maka keberadaannya akan mempengaruhi kualitas dan keamanan simplisia. Oleh karena itu, teknik pengolahan simplisia yang baik diperlukan untuk mendapatkan rimpang temulawak yang bermutu, baik pada kualitas, keamanan, maupun khasiatnya. Simplisia dengan mutu yang baik akan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Apabila rimpang temulawak berada pada batas keamanan yang ditetapkan, maka rimpang dapat dikatakan terjamin dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena keberadaan bakteri dalam rimpang temulawak sudah berada pada batas yang diharapkan.

1. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, seperti tanah, kerikil, daun, dan akar yang telah rusak. Tanah yang mengandung bermacam-macam mikrobia dalam jumlah yang

tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikrobia awal (Depkes RI, 1985). Dalam tahap ini, rimpang temulawak yang masih mengandung kotoran ataupun bahan-bahan asing seperti akar, pasir, debu, dan binatang dipisahkan dari bagian rimpang agar tidak terikut pada tahap pencucian. Kotoran-kotoran yang masih ada dalam rimpang dapat memiliki cemaran mikrobia, salah satunya bakteri. Oleh karena itu, keberadaan kotoran-kotoran tersebut harus diminimalkan agar tidak mempengaruhi nilai Angka Lempeng Total (ALT) pada saat pengujian.

2. Pencucian

Proses pencucian dilakukan setelah proses sortasi basah, di mana pencucian rimpang temulawak dilakukan dengan dialirkan di bawah air yang mengalir sambil disikat. Menurut Depkes RI (1985), pencucian dapat dilakukan dengan menggunakan air bersih, misalnya dari mata air, air sumur, atau air PAM. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi cemaran mikrobia yang melekat pada bahan (Sembiring, 2007). Proses pencucian dapat meninggalkan 42% jumlah mikrobia dari jumlah awal (Depkes RI, 1985).

3. Perajangan

Tahap perajangan dilakukan setelah rimpang mengalami proses pencucian. Salah satu tujuan dilakukannya perajangan adalah untuk memperbesar luas permukaan pada rimpang agar proses penguapan lebih mudah terjadi. Menurut Voigt (1995), agar proses pengeringan dapat berlangsung dengan optimal maka bahan yang dikeringkan harus memiliki

permukaan yang luas, sehingga bahan-bahan tersebut harus disebarkan dalam lapisan-lapisan yang lebih tipis. Apabila lapisan rimpang temulawak yang akan dikeringkan tidak sesuai dengan tebal rimpang yang ditentukan maka kelembaban yang terdapat dalam rimpang dapat mempengaruhi lamanya waktu pengeringan. Tingkat kelembaban yang tinggi akan menyebabkan rimpang temulawak mengalami penyerapan air, sehingga nilai aw akan meningkat (Fardiaz, 1992). Menigkatnya nilai aw memberikan kesempatan pada bakteri untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena bakteri lebih mudah untuk melakukan pertumbuhan pada nilai aw yang mendekati 1,00 (Tarigan, 1988).

Perajangan yang terlalu tipis dapat mengurangi kandungan zat aktif yang terkandung dalam rimpang, sedangkan apabila terlalu tebal pengurangan kadar air dalam rimpang akan cukup sulit sehingga membutuhkan waktu pengeringan yang lama dan kemungkinan besar bahan akan mudah untuk ditumbuhi oleh cemaran. Ketebalan perajangan untuk rimpang temulawak adalah sebesar 7-8 mm (Sembiring, 2007). Proses perajangan yang dilakukan pada umumnya tidak menambah jumlah cemaran mikrobia yang terdapat dalam rimpang, karena proses perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan dan mempercepat waktu pengeringan (Depkes RI, 1985). 4. Pengeringan

Pengeringan dilakukan setelah rimpang melalui tahap perajangan. Metode pengeringan yang umumnya digunakan oleh masyarakat dan juga digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menjemur rimpang di bawah

sinar matahari. Pengeringan rimpang ditujukan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat dalam rimpang sehingga dapat mencegah pertumbuhan cemaran mikrobia seperti bakteri dan kapang/khamir. Kandungan air yang tinggi dalam rimpang akan memberikan kesempatan pada mikrobia untuk tumbuh dan berkembang.

Pengeringan dilakukan dengan meletakkan rimpang temulawak di atas tikar, disebarkan secara merata dan tidak ada yang saling menumpuk satu sama lain. Tujuannya adalah agar proses penguapan rimpang dapat berjalan dengan baik. Selama masa pengeringan berlangsung, digunakan kain hitam untuk menutupi seluruh bagian rimpang. Tujuan penggunaan kain hitam ini adalah untuk memudahkan penyerapan aliran panas dan membiarkan aliran panas tersebar merata di seluruh permukaan rimpang. Penutupan dengan kain hitam juga ditujukan untuk menghindari benda-benda asing yang berasal dari udara bebas yang dapat menempel pada rimpang oleh karena kondisi tempat pengeringan rimpang temulawak. Apabila kotoran-kotoran tersebut menempel pada rimpang akan mempengaruhi nilai ALT yang didapatkan pada saat pengujian.

Lama waktu pengeringan tergantung pada besar dan tebalnya rimpang temulawak yang akan dikeringkan, namun besar dan tebal rimpang yang optimal dan biasa digunakan dalam proses pengeringan rimpang adalah dengan diameter 6 cm dan tebal 7-8 mm (Sembiring, 2007). Menurut Pursglove (cit. Nurdjanah, 1987), pengeringan rimpang dilakukan selama 10-15 hari untuk mencapai kadar air 8-10%. Oleh karena itu, lama pengeringan yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah 10 hari (waktu pengeringan minimal), di mana selama masa pengeringan tersebut diharapkan kadar air yang terdapat dalam rimpang sudah mencapai ± 8-10%. Salah satu tanda yang dapat menyatakan bahwa kadar air dalam rimpang sudah mencapai ± 8-10% dan pengeringan dapat dihentikan adalah apabila rimpang dapat dipatahkan dengan mudah (Sembiring, 2007).

Lama waktu pengeringan akan mempengaruhi aktivitas enzim yang terdapat dalam rimpang temulawak, di mana aktivitas enzim ini akan mempengaruhi besarnya jumlah pertumbuhan bakteri yang terdapat dalam media pertumbuhan. Menurut Tarigan (1988), air berperan sebagai bahan pelarut pada reaksi-reaksi metabolisme dan juga untuk kebutuhan kelangsungan hidupnya, sehingga dengan melakukan pengeringan, aktivitas enzim pada sel bakteri dapat dihentikan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bakteri juga dapat ditekan.

Penekanan pertumbuhan bakteri ini memberikan dampak terhadap kualitas dan keamanan rimpang temulawak sebagai bahan baku obat tradisional. Keamanan rimpang temulawak dapat dilihat dari tidak adanya pertumbuhan bakteri yang terdapat dalam media pertumbuhan, atau jika terdapat pertumbuhan bakteri maka jumlahnya harus berada pada batas keamanan yang sudah ditetapkan.

Apabila selama pengeringan 10 hari rimpang belum dapat dipatahkan maka pengeringan dapat dilanjutkan sampai rimpang temulawak dapat dipatahkan dengan mudah. Variabel hari pengeringan selama 10 hari

dimaksudkan untuk melihat pada hari pengeringan yang ke berapa nilai ALT akan memberikan perbedaan bermakna terhadap hari pengeringan yang lain, karena diharapkan selama 10 hari pengeringan tersebut nilai ALT yang didapatkan bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh KepMenKes RI No. 661/MenKes/SK/VII/1994 yaitu tidak lebih dari 107 CFU/g bahan.

Proses pengeringan di bawah sinar matahari akan sangat bergantung pada faktor suhu, cuaca pengeringan, dan kelembaban udara lingkungan tempat dilakukannya proses pengeringan. Pada dasarnya faktor-faktor ini tidak dapat dikendalikan secara langsung dan menjadi salah satu kelemahan dari pengeringan di bawah sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari juga dipengaruhi oleh faktor kelembaban udara, karena harus

Dokumen terkait