• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Pengertian Anak

Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masing-masing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial, fungsi, makna, dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sanagt berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam.

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau

person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur

(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di

bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dengan berlaku universal untuk menentukan kretia batasan umur bagi seorang anak.12

Pada tingkat Internasional tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris

      

  12

Romli Atmasasnnita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico,Bandung,1983, hal.18

     

ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.13

Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang anak, yaitu :

1. Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa terdapat didalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak. Yang menyebutkan anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksudkan Anak Nakal sebagai berikut:

a. anak yang melakukan tindak pidana;

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Anak dalam pengertian pidana pidana, lebih diutamakan pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki

      

13

substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang normal. Anak dalam status hukum pidana akan menjadi mekanisme sentral untuk membangun pengertian Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak (HPA), secara sistematis dengan keterikatan pada aspek-aspek hukum baik yang menyangkut hak-hak keperdataan, hak-hak ketatanegaraan atau hak-hak secara adat pada umumnya.

Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini:14

a. ketidak mampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.

b. pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

c. rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri;

d. hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan; e. hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana;

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara

      

  14

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Cetakan Pertama, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 21-22

mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali. Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.

2. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatar belakangi berbagai fakrtor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.15

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )

Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut:

(a) status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum; (b) hak-hak anak di dalam hukum perdata.

Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

4. Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana

Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dengan menggunakan beberapa pengertian sebagai berikut.

      

  15

Menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Undang-undang ini mengkalasifikasikan anak kedalam pengertian berikut ini.16

a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di LAPAS Anak Paling lama sampai berumur 18 Tahun.

c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling

lama sampai berumur 18 tahun.

3. Pengertian Penyidikan

Istilah penyidik ini bisa kita lihat didalam kitab undang-undang hukum acara pidana yang ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan’’.

Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa yang menjadi penyidik dalam hal ini adalah :

a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dan ini dapat berupa :

      

  16

1. Pejabat bea cukai 2. Pejabat imigrasi 3. Pejabat kehutanan

Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.

Menurut Pasal 2 No. 27 Tahun 1983 : 1. Penyidik adalah :

a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.

2. Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua polisi, karena jabatannya penyidik. 17

Penyidik pembantu merupakan penyidik yang terdiri dari pejabat kepolisian negara republik Indonesia, baik yang menjabat pangkat polisi maupun yang termasuk pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian negara yang

      

  17

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 79 

diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pangkat tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyidik dan penyidik pembantu ini di atur dalam pasal 6-pasal 13 Bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis . Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau setudi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan literatur-literatur buku yang ada diperpustakaan.

Penelitian hukum sosiologis mempunyai istilah lain yaitu: penelitian hukum empiris dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Kepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.

Penelitian Lapangan ini berupa data primer (data dasar) yaitu data yang didapat langsung dari pihak responden yaitu pihak penyidik dengan melalui lapangan. Perolehan data perimer dari penelitian lapangan dapat dilakukan melalui wawancara.

2. Bahan Hukum

Data yang digunakan adalah data sekunder dan didukung data primer. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer adalah bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan Bahan Hukum Primer yang berupa literatur-literatur yang terkait dengan bantuan hukum sehingga menunjang penelitian yang dilakukan.

c. Bahan Hukum Tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermaknaterhadap bahan hukum primer dan sekunder sperti kamus dan ensiklopedia yang relevan dengan skripsi ini.

3. Pengumpulan Data

a. Library Research

Materi dalam penelitian ini diambil dari data Primer dan data Sekunder. Jenis data yang meliputi data sekunder yaitu Library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur, dan juga berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan “Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan ”.

b. Field Research

Data primer diperoleh dengn cara Field Research (penelitian lapangan), yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan dalam hal ini studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.

Penelitian atau studi lapangan dilakukan melalui wawancara (indepht

interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guid)kepada

informan, yaitu Penyidik diKepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.

4. Analisis Data

Setelah data mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan anak Dalam proses pemeriksaan dalam tingkatpenyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat) ini

terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu analisis yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi kepustakaan kemudian diuraiakan yang logis dan sistematis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menyusun skripsi ini, penulis membagi dalam IV (empat) Bab yang terbagi pula atas beberapa sub-sub, maksudnya adalah untuk mempermudah penulis di dalam menguraikan pengertian Masalah sampai kepada kesimpulan dan saran-saran berhubungan dengan materi pembahasan.

Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan danmanfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan, kemudian penjelasan tinjauan kepustakaan seputar pengertian Bantuan Hukum, Pengertian Anak, Pengertian Penyidikan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDINESIA

Pada bab ini berisikan pembahasan mengenai masalah bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Positif di Indonesia, Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, yang terdiri dari beberapa sub-sub yaitu menurut undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab-Kitab Hukum Acara

Pidana, perlindungan hukum terhadap anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002. Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB III : POLA PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG.

Dalam bab ini membahas mengenai pola Pelaksanaan Pemberian perlindungan Hukum terhadap anak Dalam Proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat, penyidik yang berwenang untuk melakukan penyidikan, proses penyidikan terhadap anak di polsek padang tualang, dan pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di polsek kabupaten langkat.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan bagian penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini, berisikan Kesimpulan dan Saran sebagai jawaban hasil pemecahan masalah yang diidentifikasikan.

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESI A. Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut hukum positif indonesia, masalah anak dibawah umur yang mengenai apabila mereka melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, tidak begitu tegas diatur; apa yang seharusnya diperlakukan bagi mereka, dan bagaimana sistem penahanan dan sistem penyidikan yang diberikan kepada mereka juga belum ada diatur dalam hukum.18

Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.

      

  18

Farid Wajdi, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, Penerbit P.T. Sofmedia, Medan, 2012, hal.6

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.

Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.19

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.

      

  19

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika Jakarta, 2006, hal.118.

Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;

1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;

2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.

Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :

1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana; 2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak

tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban.Hal ini merupakan penyimpangan, karena

perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana.Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak.Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )

Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hukum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum.Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala

Dokumen terkait