POLA PENDAMPINGAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN
HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN
ANAK DALAM PROSES PEMERIKSAAN DALAM TINGKAT
PENYIDIKAN
(Studi Di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
AYU ANANDA TARIGAN NIM : 090200023
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
POLA PENDAMPINGAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PINDANA YANG DILAKUKAN ANAK
DALAM PROSES PEMERIKSAAN DALAM TINGKAT PENYIDIKAN
(Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh : AYU ANANDA TARIGAN
NIM : 090200023
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H. NIP : 195703261986011001
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S. Nurmalawati, S.H.,M.Hum.
NIP : 196104081986011002 NIP : 196209071988112001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAKSI
Ayu Ananda Tarigan*
Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S**
Nurmalawaty, SH, M.Hum***
Bantuan hukum merupakan masalah yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, terutama dari segi memperoleh pemerataan keadilan. Bantuan hukum dipergunakan sebagai syarat untuk berjalannya fungsi maupun integritas peradilan yang baik bagi mereka yang termasuk golongan miskin menurut hukum yang berlaku, dengan berdasarkan jiwa kemanusian. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana hukum positif Indonesia dan bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di Polsek Padang Tualang.
Metode pendekatan yang dilakukan penelitian ini adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian sosiologis. Metode penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan berdasarkan studi kepustakaan serta analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Metode penelitian sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penerapan dalam praktek dilapangan.
Pengaturan Hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, menegenai pengaturan pemberian bantuan hukum ini diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu Pasal 56 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHAP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu Pasal 51 Ayat 1 tentang Pengadilan anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Pasal 3 poin C tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pola pemberian bantuan hukum terhadap Anak diKepolisian Sektor Padang Tulang Kabupaten Langkat ini, bahwa setiap seorang tersangka anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang, diberikan oleh Pihak Kepolisian Sektor Padang Tualang kepada seorang tersangka anak untuk memperoleh hak bantuan hukum seperti yang diatur didalam Perundang-Undangan, hal ini sesuai dengan Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan, kesabaran dan ketabahan sehingga skripsi ini dapat
selesai dikerjakan.
Dalam hal penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Pola
Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat
Penyidikan (Study Di Polsek Pdang Tualang Kabupaten Langkat)”. Adapun
maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dan
syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Departemen
Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak
terhingga kepada Ayahanda Robah Tarigan dan Ibunda Asrah Siregar serta
kakak-abang dan beserta keluarga lainnya yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan dan do’a-nya.
Dengan segala kerendahan hati penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan,
nasehat, kritik, serta saran sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr.
Runtung Sitepu, SH, M.Hum.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Bapak Syafruddin Hasibuan,
SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan II fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara; dan Bapak M. Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Hamdan, SH. M.H., selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu ,Liza Erwina, SH. M.Hum. Selaku Seketaris Departemen Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. MadiasaAblisar, SH. M.S dan Ibu Nurmalawaty SH.M.Hum
selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak memberikan sumbangan
baik bimbingan, waktu, keterangan, dan nasehat sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisannya.
6. Ibu Megarita, SH. C.N Selaku dosen Pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan nasehat serta bimbingannya dalam hal akademik selama
penulis menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan
8. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas
pelayanannya dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak AKP H. M. Kosim S, selaku Kepala Kepolisian Sektor Padang
Tualang Kabupaten Langkat beserta personil di Polsek Padang Tualang yang
telah membantu saya dalam penulisan skripsi.
10. Seluruh rekan dan sahabat ku, terutama Yulistia, Kania, Rabithah, Rami
Papha Pm, Oky Wiratama,Andini Pratiwi, Natalia Gracia, dan Cristina
Waruhu yang telah banyak memberikan doa, saran, semangat serta waktu
dan tenaganya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10.Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu
penulis ucapkan banyak terimakasih.
Semoga amal dan kebaikan saudara-saudara semua mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT.
Akhirnya, penulis menyadari penulisan skripsi yang sederhana ini terdapat
banyak kekurangan dan tidak sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis
dengan hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan
dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak
yang berkepentingan, Amin.
Medan, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
ABSTRAKSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12
D. Keaslian Penulisan ... 13
E. Tinjauan Kepustakaan ... 14
1. Pengertian Bantuan Hukum ... 14
2. Pengertian Anak ... 17
a. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 18
b. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 20
c. Menurut KUHPerdata ... 21
3. Pengertian Penyidikan ... 22
F. Metode Penelitian ... 24
G. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ... 29
B. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak ... 38
C. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak ... 47
D. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak... 52
BAB III : POLA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT
A. Proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang
Kabupaten Langkat ... 58
B. Pola Pemberian Bantuan Hukum terhadap anak di
bawah umur dalam proses penyidikan ... 66
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI
Ayu Ananda Tarigan*
Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S**
Nurmalawaty, SH, M.Hum***
Bantuan hukum merupakan masalah yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, terutama dari segi memperoleh pemerataan keadilan. Bantuan hukum dipergunakan sebagai syarat untuk berjalannya fungsi maupun integritas peradilan yang baik bagi mereka yang termasuk golongan miskin menurut hukum yang berlaku, dengan berdasarkan jiwa kemanusian. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana hukum positif Indonesia dan bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di Polsek Padang Tualang.
Metode pendekatan yang dilakukan penelitian ini adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian sosiologis. Metode penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan berdasarkan studi kepustakaan serta analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Metode penelitian sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penerapan dalam praktek dilapangan.
Pengaturan Hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, menegenai pengaturan pemberian bantuan hukum ini diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu Pasal 56 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHAP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu Pasal 51 Ayat 1 tentang Pengadilan anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Pasal 3 poin C tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pola pemberian bantuan hukum terhadap Anak diKepolisian Sektor Padang Tulang Kabupaten Langkat ini, bahwa setiap seorang tersangka anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang, diberikan oleh Pihak Kepolisian Sektor Padang Tualang kepada seorang tersangka anak untuk memperoleh hak bantuan hukum seperti yang diatur didalam Perundang-Undangan, hal ini sesuai dengan Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa
yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.
Secara hukum negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada
anak melalaui berbagai peraturan perundang-undangan di antaranya UU Nomor.3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan UU Nomor.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih
menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukannya
penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan,
penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada
dalam lembaga pemasyarakatan yang meninggalkan trauma dan implikasi negatif
terhadap anak.1
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun negarara. Pasal 20 Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan: “Negara, pemerintah,
1
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”2
Aspek hukum perlindungan anak perlu diperhatikan karena perlindungan
hukum terhadap anak dan peradilan pidana anak merupakan salah satu cara
melindungi anak dalam pertumbuhannya di masa depan. Perlindungan hukum,
dalam hal ini, mengandung pengertian perlindungan anak berdasarkan ketentuan
yang berlaku ( yang mengatur tentang Peradilan Pidana Anak ), baik sebagai
tersangka, terdakwa, terpidana/narapidana.
Secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak,
ditetapkan dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Dibentuknya undang-undang tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari
bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat
meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum
yang harus diterima sebagai fakta sosial.
perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan
terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan
perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah
dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga ditangani secara khusus. Anak
nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat
perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana
secara khusus, baik menyangkut hukum pidana materil, hukum idana formal,
maupun hukum pelaksanaan pidanya.
2
Mengenai perjalannya pengaturan masalah hukum pidana anak mengalami
perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
Khususnya menyangkut pengaturan masalah pemidanaan, secara subtansial
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tampak tidak terdapat perubahan yang
sangat mendasar.3
Mengenai Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 ditentukan Bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam
Hukum Acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain. Dengan demikian,
adanya undang-undang tentang Pengadilan Anak merupakan salah Satu
pengembangan atau pembaharuan dalam sistem pemidanaan.
Proses Peradilan Pidana Anak mulai dari Penyidikan, Penuntutan,
Pengadilan, dan dalam menjalankan putusan Pengadilan, di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus
atau setidaknya mengetahui tentang masalah Anak Nakal. Perlakuan selama
proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan
anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan
terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusian anak menjadi
rendah.4
Sesuai Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak, setiap Anak
sejak sitangkap atau ditahan, berhak mendapat bantuan hukum dari dari seorang
3
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Cet pertama, Penerbit PT Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 82-83
4
atau lebih Penasehat Hukum. Bantuan hukum itu diberikan selama dalam waktu
dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang telah ditentukan. Menurut
ketentuan Pasal 51 undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa setiap
anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari
seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan kemudian pejabat tersebut wajib memberitahukan kepada tersangka
atau orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan
hukum dan berhubungan dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa didengar
oleh pejabat yang berwenang.
Ketentuan ini senada dengan Pasal 56 KUHAP yang hanya mewajibkan
seorang tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum, apabila diancam
dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih. Sebaliknya Undang-Undang
Pengadilan Anak tidak mengatur adanya kewajiban terhadap tersangka/terdakwa
anak didampingi Penasehat Hukum pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan.
Padahal ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak, tadinya dimaksudkan
agar pada setiap tingkat pemeriksaan anak “wajib” didampingi Penasehat Hukum,
tetapi kemudian ketentuan wajib itu diubah menjadi “berhak” ketika
Undang-Undang Pengadilan Anak diterbitkan.5
Pengadilan anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merupakan pengkhususan dari sebuah badan peradilan, yaitu peradilan umum
untuk menyelenggarakan pengadilan anak. Akibatnya dalam pengadilan tidak
mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili
5 Nasriana,
Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Cetakan kedua, Penerbit
perkara pidana anak. Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta
rehabilitasi anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan
restoratif dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Anak
dipersonifikasikan sebagai orang dewasa dalam tubuh kecil sehingga
kecenderungannya jenis sanksi yang dijatuhkan pada perkara anak masih
didominasi sanksi pidana dari pada sanksi tindakan. Konsekuensi logisnya,
jumlah anak yang harus menjalani hukum di lembaga pemasyarakatan semakin
meningkat.
Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice
system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al
sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end” artinya
bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek
lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan
tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus
bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration).6
Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa
selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang
disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum
melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
66
http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “, Diakses Kamis, 29 Agustus 2012
Proses menangani perkara anak nakal maka tingkat penyidikan dilakukan
oleh penyidik anak. Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (1) undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 penyidik anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.
Suatu pelaksanaan kewajiban penyidikan anak tersebut, maka penanganan
proses penyidikan perkara anak nakal penyidik wajib merahasiakannya, kemudian
memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta wajib meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama,
atau petugas kemasyarakatan lainnya (pasal 42 ayat (1), (2),(3) UU 3/1997
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak).
Pelaksanaan kewajiban tersebut penyidik anak dapat melakukan
penangkapan dan penahan. Penangkapan dilakukan penyidik guna kepentingan
pemeriksaan paling lama 1 (satu) hari dan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 43 ayat
(2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 17 UU 8/1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak
pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat
kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus,
dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap
anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep
hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta
perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan
hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang
Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan
membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan
masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,
keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan
anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional
yang memuaskan.7
Pada dasarnya, hukum acara pengadilan anak untuk tahap penyidikan
terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetepkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisan RI dan diangkat dengan syarat telah berpengalaman sebagai penyidik
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat,
perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta penyidik wajib memeriksa
tersangka dalam suasana kekeluargaan serta meminta pertimbangan atau sarana
dari pembimbing kamasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari
pembimbing kemasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari
7
pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan
atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya serta proses penyidikan terhadap anak nakal wajib di
rahasian (pasal 41 ayat (1), (2) , pasal 42 ayat (1), (2) UU 3/1997 tentang
Pengadilan Anak ) dan dalam rangka penyidikan penyidik berhak melakukan
penangkapan dan penahanan ( pasal 41, 42, 43-45 UU 3/1997 tentang Pengadilan
Anak).
Sedangkan dalam proses penuntutan oleh pihak kejaksaan dimana
Penuntutan Umum anak tersebut mempunyai hak dan kewajiban sesuai ketentuan
pasal 46, 53, 54, UU 3/1997 tentang pengadilan anak, pasal 137-146 UU 8/1981
kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan kemudian pada hukum acara di
depan sidang pengadilan berlandaskan kepada ketentuan pasal 47, pasal 55-59 UU
3/1997 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat
penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Perlindungan dalam proses
penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah
sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan
anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar
anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat
menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak
Proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti
serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang
kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan
terhadap tersangka. Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada
umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam
KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini
penyidik Polri.
Sejalan akan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan
terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa
”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak
semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal.
Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak,
yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri
dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat –
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah :
1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan
dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama
proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang
berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak
terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam
ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda
sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai
”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di
Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan
penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi
Ketentuan ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila
penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada
sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan
anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya. Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh
penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan
penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik
mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti
kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.
Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan, tindakan penyidik
berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari
tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.
Berdasarkan penyidikan yang dilakukan terhadap anak maka harus diperhatikan
hak – hak serta kewajiban anak walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka
sekalipun. Salah satu hak yang harus didapatkan terhadap anak nakal ialah hak
untuk di dampingi oleh penasehat hukum baik dari penyidikan bahkan sampai
kepersidangan.
Keadaan persidangan berbeda dengan terdakwa yang sudah dewasa, untuk
perkara anak selama persidangan digelar. Pengadilan anak menghendaki terdakwa
didampingi oleh penasehat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuh, dan
penasehat hukum/advokat mempunyai kedudukan yang berbeda dengan orang
tua, wali atau pembimbing kemasyarakatan. Penasehat hukum atau advokat
mempunyai fungsi membela kepentingan hukum terdakwa/anak nakal
dipersidangan juga berperan aktif dalam rangka mengungkapkan kebenaran
materiil terhadap perkara yang dihadapi oleh terdakwa/anak nakal.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah “ Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan
Dalam Tingkat Penyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten
Langkat)”.
B. PERMASALAHAN
Bertitik Tolak dari uraian latar belakang tersebut diatas ada beberapa
masalah yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak
pidana menurut Hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses
Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang dipilih di atas tujuan yang ingin dicapai
adalah :
a) Mengetahui Pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak
b) Mengetahui pola pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum dalam
proses penyidikan di Polsek padang tualang kabupaten langkat.
2. Manfaat Penulisan
Penelitian yang dilakukan ini di harapkan hasilnya dapat bermanfaat baik
secara teoritis maupun praktis.
a) manfaat teoritis dimaksudkan hasil dari penelitian ini di harapkan dapat
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum pidana, khususnya dalam
hukum pidana mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan
hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.
b) manfaat praktis dimaksudkan hasilkan dari penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada
dalam hukum pidana yang menyangkut tentang pendampingan dalam
memberikan bantuan terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam
proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.
D. Keaslian Penulisan
Topik permasalan di atas sengaja dipilih dan di tulis, oleh karena
sepengetahuan penulis, pokok pembahasan ini adalah sebagai salah satu subsistem
dari sistem peradilan pidana yang sering yang sering di persoalkan mengengenai
pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap tindak pidana yang
dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,karena
pendampingan dalam memberikan bantuan hukum mempunyai kedudukan yang
Walaupun ada, pengamatan penulis berbeda dalam subtansi pembahasan,
pendekatan dan penulisannya dalam skripsi ini, permasalahan terhadap Pola
Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Terhadap Tindak Pidana Yang
Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan
khususnya Studi Di Polsek Padang Tualang Kabupaten langkat ini, bahwa dalam
permasalahan ini adalah murni hasil pemikiran yang dikaitkan dengan teori-teori
hukum melalui referensi buku-buku dan bantuan dari berbagai pihak dalam
rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan baik
melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan disamping itu juga
diadakan penelitian.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Bantuan Hukum
Pengertian Bantuan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum terdapat didalam Bab 1 Pasal 1 ayat 1 yang
berbunyi : “Bantuan Hukum adalah jasa Hukum yang diberikan oleh Pemberi
Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.”
Ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dimana
seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Karena pentingnya maka diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 Butir
9 dijelaskan bahwa “bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.
Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa
bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum,
hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa
fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan tanggung jawab Negara.
Prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk
dibela Advokat(acces to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu
dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari
kemiskinan.8
Menurut pendapat K. Smith dan DJ. K. Santoso Poedjosoebroto
menyatakan bantuan hukum legal aid adalah :9 “Bantuan hukum (baik yang
berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari
pada seseorang, yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu
ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada
seorang pembela atau pengacara’.
Selain itu juga bantuan hukum merupakan bantuan yang diberikan para
ahli kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya
serta memperoleh perlindungan hukum.
8
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Cetakan Pertama, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hal. 1
9
Jenis-jenis bantuan hukum secara umum dapat dibedakan atas beberapa bagian
antara lain :10
1. Bantuan hukum preventif (prevetive rechsthulp) yang merupakan
penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas.
2. Bantuan Hukum diagnotie (diagnotie rechshulp) yaitu pemberian nasihat
hukum yang lazim disebut pemberian hukum konsultasi hukum.
3. Bantuan hukum pengendalian konflik (conflik regulerense rechtshulp)
yang merupakan bantuan hukum yang bertujuan untuk masalah-masalah
hukum konkrit secara aktif. Bantuan hukum semacam ini yang disebut
bantuan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu secara sosial
ekonomi.
4. Bantuan hukum pembentukan hukum (rechtsvormende rehtshulp) yang
intinya adalah untuk memancing yurisprudiensi yang lebih tepat, jelas dan
benar.
Bantuan hukum pembaharuan hukum (rechtsverniewende rechtshulp)
yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui
hakim atau pembentukan undang-undang (dalam arti materi).11
10
Ibid.hal. 27
2. Pengertian Anak
Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas.
Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara
benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masing-masing
bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara
substansial, fungsi, makna, dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam
pengertian anak sanagt berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan
bidang disiplin ilmu hukum hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam.
Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau
person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij). Maka dengan bertitik tolak
kepada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur
adanya unifikasi hukum yang baku dengan berlaku universal untuk menentukan
kretia batasan umur bagi seorang anak.12
Pada tingkat Internasional tidak terdapat keseragaman dalam perumusan
batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara
satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh
negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun,
ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris
12
Romli Atmasasnnita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico,Bandung,1983, hal.18
ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian
menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas
umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas
umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan
Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.13
Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa
batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang
anak, yaitu :
1. Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang
dimaksud dengan anak yang belum dewasa terdapat didalam pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Pengadilan Anak. Yang menyebutkan anak adalah orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan ) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang
dimaksudkan Anak Nakal sebagai berikut:
a. anak yang melakukan tindak pidana;
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Anak dalam pengertian pidana pidana, lebih diutamakan pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki
13
substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek
hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana
layaknya seorang subjek hukum yang normal. Anak dalam status hukum pidana
akan menjadi mekanisme sentral untuk membangun pengertian Advokasi dan
Hukum Perlindungan Anak (HPA), secara sistematis dengan keterikatan pada
aspek-aspek hukum baik yang menyangkut hak-hak keperdataan, hak-hak
ketatanegaraan atau hak-hak secara adat pada umumnya.
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana
meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini:14
a. ketidak mampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.
b. pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang
timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk
mensejahterakan anak;
c. rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spritual
akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri;
d. hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;
e. hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana;
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak
dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia
dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara
14
mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang
dilakukan oleh anak itu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan
bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan
perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun
wali. Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan
diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal
tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak
apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat
dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah
umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak
tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.
2. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan
batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah
konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi
ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan
perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak,
hal ini dilatar belakangi berbagai fakrtor yang merupakan prinsip dasar yang
perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan
anak.15
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )
Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata, dibangun dari
beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum
yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut:
(a) status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum;
(b) hak-hak anak di dalam hukum perdata.
Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
4. Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana
Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan
dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam
arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh
anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada
dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak
khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum
yang berlaku. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan dalam
peraturan perundang-undangan dengan menggunakan beberapa pengertian
sebagai berikut.
15
Menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Undang-undang
ini mengkalasifikasikan anak kedalam pengertian berikut ini.16
a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada
negara untuk dididik dan di tempatkan di LAPAS Anak Paling lama sampai
berumur 18 Tahun.
c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 tahun.
3. Pengertian Penyidikan
Istilah penyidik ini bisa kita lihat didalam kitab undang-undang hukum
acara pidana yang ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Penyidik
adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Negeri Sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan’’.
Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa yang menjadi penyidik dalam hal
ini adalah :
a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dan ini dapat berupa :
16
1. Pejabat bea cukai
2. Pejabat imigrasi
3. Pejabat kehutanan
Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa syarat kepangkatan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, akan diatur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.
Menurut Pasal 2 No. 27 Tahun 1983 :
1. Penyidik adalah :
a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
2. Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka komandan sektor
kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua polisi,
karena jabatannya penyidik. 17
Penyidik pembantu merupakan penyidik yang terdiri dari pejabat
kepolisian negara republik Indonesia, baik yang menjabat pangkat polisi maupun
yang termasuk pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian negara yang
17
diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pangkat
tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Penyidik dan penyidik pembantu ini di atur dalam pasal 6-pasal 13 Bagian
kesatu dan kedua BAB IV KUHAP
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah
dengan menetapkan :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian antara penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum sosiologis . Penelitian hukum normatif disebut
juga sebagai penelitian kepustakaan atau setudi dokumen. Penelitian hukum
normatif disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga
disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan
penelitian ini lebih banyak dilakukan literatur-literatur buku yang ada
diperpustakaan.
Penelitian hukum sosiologis mempunyai istilah lain yaitu: penelitian
hukum empiris dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan. Penelitian
Penelitian Lapangan ini berupa data primer (data dasar) yaitu data yang didapat
langsung dari pihak responden yaitu pihak penyidik dengan melalui lapangan.
Perolehan data perimer dari penelitian lapangan dapat dilakukan melalui
wawancara.
2. Bahan Hukum
Data yang digunakan adalah data sekunder dan didukung data primer. Data
sekunder diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan yang telah ada dan yang berhubungan
dengan skripsi terdiri dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan
perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh untuk mendukung
dan berkaitan dengan Bahan Hukum Primer yang berupa literatur-literatur
yang terkait dengan bantuan hukum sehingga menunjang penelitian yang
dilakukan.
c. Bahan Hukum Tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermaknaterhadap bahan hukum primer dan sekunder sperti
3. Pengumpulan Data
a. Library Research
Materi dalam penelitian ini diambil dari data Primer dan data Sekunder.
Jenis data yang meliputi data sekunder yaitu Library research (penelitian
kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan, buku-buku, berbagai literatur, dan juga berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan “Pola Pendampingan Dalam Memberikan
Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses
Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan ”.
b. Field Research
Data primer diperoleh dengn cara Field Research (penelitian lapangan),
yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai Pola Pendampingan Dalam
Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang dilakukan Anak
Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan dalam hal ini studi di
Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.
Penelitian atau studi lapangan dilakukan melalui wawancara (indepht
interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guid)kepada
informan, yaitu Penyidik diKepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten
Langkat.
4. Analisis Data
Setelah data mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum
terhadap Tindak Pidana yang dilakukan anak Dalam proses pemeriksaan dalam
terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu
suatu analisis yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi
kepustakaan kemudian diuraiakan yang logis dan sistematis.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyusun skripsi ini, penulis membagi dalam IV (empat) Bab yang
terbagi pula atas beberapa sub-sub, maksudnya adalah untuk mempermudah
penulis di dalam menguraikan pengertian Masalah sampai kepada kesimpulan dan
saran-saran berhubungan dengan materi pembahasan.
Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat
umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan,
tujuan danmanfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, sistematika penulisan, kemudian penjelasan tinjauan kepustakaan
seputar pengertian Bantuan Hukum, Pengertian Anak, Pengertian Penyidikan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDINESIA
Pada bab ini berisikan pembahasan mengenai masalah bagaimana
Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menurut
Hukum Positif di Indonesia, Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia, yang terdiri dari beberapa sub-sub yaitu
Pidana, perlindungan hukum terhadap anak menurut undang-undang nomor 23
tahun 2002. Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
BAB III : POLA PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG.
Dalam bab ini membahas mengenai pola Pelaksanaan Pemberian
perlindungan Hukum terhadap anak Dalam Proses Penyidikan di Polsek Padang
Tualang Kabupaten Langkat, penyidik yang berwenang untuk melakukan
penyidikan, proses penyidikan terhadap anak di polsek padang tualang, dan pola
pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di polsek
kabupaten langkat.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini merupakan bagian penutup dari rangkaian penulisan skripsi
ini, berisikan Kesimpulan dan Saran sebagai jawaban hasil pemecahan masalah
BAB II
PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESI
A. Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Menurut hukum positif indonesia, masalah anak dibawah umur yang
mengenai apabila mereka melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, tidak
begitu tegas diatur; apa yang seharusnya diperlakukan bagi mereka, dan
bagaimana sistem penahanan dan sistem penyidikan yang diberikan kepada
mereka juga belum ada diatur dalam hukum.18
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi
pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai
saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan
peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan,
penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang
diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak
merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh
anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses
peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak
Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.
18
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan
semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses
peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku
dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait
dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.
Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan
khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus
tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari
penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik
dan sosialnya.
Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam
operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka
tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap
penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau
tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana
tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di
pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa
melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan
selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan
di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam
ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda
sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai
”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di
Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan
penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan lain di luar KUHAP.19
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan,
mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan,
pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang
diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi
seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.
19
Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya
(Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan
ada dua yaitu ;
1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya
ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan
masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan
penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke
pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan
penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik
bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;
2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika
perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada
tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95
KUHAP.
Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :
1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan
pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak
tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak
akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara
perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana.Seyogyanya penghentian
penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada
perdamaian atau tidak.Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk
dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib
melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian
berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan
penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut
umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )
Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan
dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau
apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum
tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas
perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan
sendirinya menurut hukum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna,
beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan
tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik
kepada penuntut umum.Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara,
tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala
barang bukti atau benda yang disita.Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan
terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum.
Hukum acara Pidana terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan
tugas yang meliputi :`
a) Penangkapan
Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai 19 KUHAP.
Menurut Pasal 16 untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Sesuai
dengan Pasal 18 KUHAP perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup
dengan menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali tertangkap tangan.
Perlindungan hak-hak anak tersangka pelaku tindak pidana di atur juga dalam
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, Polisi memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan tindakan
perlindungan terhadap anak, seperti:20
1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah.
2. Perlakuan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti
terhadap pelaku tindak pidana dewasa.
3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua dan
walinya.
4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau walinya.
20
5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab, Polisi atau masyarakat berdasarkan pada asas kewajiban.
6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan karena
tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap pertama pertemuan antara
anak dengan Polisi.
Pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara
RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat–
surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan
alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan,serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18
KUHAP).
Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses
penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum
yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum
terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan
tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum.
Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna
kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.Wewenang
penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula
memperhatikan asas hukum pidana yaitu :Presumsion Of Innocence ( Asas
Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak
anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54
KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak.Hal ini
tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur
secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa
yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan
upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak
dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga
dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :
1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih
dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan
2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat
atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan
cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus
mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat
hukum anak tersebut)
4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan
proses pemeriksaan
5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.21
b) Penahanan
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan.
Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka
atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum
memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.
Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak
dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP,
menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah
“dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga
dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan
penahanan anak.Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah
21
karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan
barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana.Menurut hukum acara pidana,
menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk
mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang
itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta
mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak
akan membuat masyarakat aman dan tentram.22
B. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan
hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta
memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati
dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna
bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, dalam
pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak
yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu,
Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam
masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus
kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
22
http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan, Diakses Selasa, 8 Oktober 2013