• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

1. Pengertian Asuransi

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi Syariah

Asuransi adalah serapan dari kata “assurantie” (Belanda), atau

assurance/insurance (Inggris). Paling tidak menurut sebagian ahli, kata istilah assurantie itu sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari bahasa latin yang kemudian diserap ke dalam bahasa Belanda yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”. Kata ini

kemudian dikenal dalam bahasa perancis sebagai asurance.1 Sementara menurut KH Ali Yafie, kata asuransi berasal dari bahasa Belanda “assurantie

yang dalam hukum Belanda disebut “Verzekering” yang artinya

pertanggungan. Dari istilah assurantie ini maka timbulah istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung.2

Asuransi syariah dalam pengertian muamalat mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atau risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi syariah berkaitan dengan unsur saling

1

M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Jakarta: Kholam Publishing, 2006, hal. 39

2

Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Syari’at Islam, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung:

menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.3

Sedangkan menurut Fatwa DSN-MUI Asuransi Syariah (Ta’min,

Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau

tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko

tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.4

Asuransi syariah merupakan salah satu jenis lembaga keuangan syariah non bank. Asuransi syariah juga memilki kesamaan fungsi dengan lembaga keuangan syariah non bank lainnya, yakni untuk memperoleh keuantungan dari hasil investasi dana yang dikumpulkan dari peserta asuransi. Cara pembagian keuntungan pengelolaan dana peserta asuransi dilakukan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Dalam hal ini perusahaan asuransi bertindak sebagai pihak pengelola dana (mudharib) yang menerima pembayaran dari peserta asuransi untuk dikelola dan diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah (bagi hasil). Sedangkan peserta asuransi bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang akan memperoleh manfaat jasa perlindungan, penjaminan dan bagi hasil dari perusahaan asuransi.5

3

Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandang dalam wawasan Islam dan Ekonomi,

(Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1997), hal. 234 4

Fatwa Dewan Syariah Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah

5

Hendi Suhendi, Deni K. Yusup, Asuransi Takaful dari Teoritis ke Praktis, (Bandung:

Dalam asuransi syariah, istilah tertanggung dan penanggung tidak relevan lagi jika dipandang sebagai pihak yang berbeda. Dalam kepesertaan asuransi syariah, baik tertanggung maupun penanggung adalah sesama peserta itu sendiri.6 Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah saling menanggung resiko (sharing of risk). Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian tidak terjadi transfer resiko dari peserta ke perusahaan, karena prakteknya kontribusi (premi) yang dibayarkan oleh peserta tidak terjadi yang disebut transfer of fund, status kepemilikan dana tersebut tetap melekat pada peserta sebagai shahibul mal, misalnya ayat 2 surat Al Ma‟idah yang memerintahkan untuk saling menolong dalam perbuatan yang positif.

Asuransi syariah jelas memiliki perbedaan dengan asuransi konvensional. Letak perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah pada bagaimana resiko itu dikelola dan ditanggung, dan bagaimana dana asuransi syariah dikelola. Perbedaan lebih jauh adalah pada hubungan antara operator (pada asuransi konvensional istilah yang digunakan penanggung) dengan peserta (pada asuransi konvensional istilah yang digunakan tertanggung).

Dalam pengelolaan dan penanggungan resiko, asuransi syariah tidak membolehkan adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maisir

6

Agus Edi Sumanto, dkk., Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah, (Bandung: PT.

(perjudian). Dalam investasi dan manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir dan riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi syariah, dan yang menjadi pembeda utama dengan asuransi konvensional.7

2. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Asuransi Syariah merupakan salah satu kegiatan muamalat yang dilakukan oleh manusia. Setiap kegiatan muamalat haruslah memiliki landasan secara syariahnya. Berikut ini adalah dalil-dalil yang melandasi kegiatan asuransi syariah: a. Al-Qur‟an  …                           ( دئا لا / 5 : 2 ) Artinya :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah/5 : 2)

b. As-Sunnah

اك م ؤ لل م ؤ لا ملس و يلع ها لص ها ل س ر ل اق ,ل اق س م با ع

)ملسم و ر اخ لا اور( اضعب ضعب دشي اي ل

8 7

Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,

2005), h.2

8Muhammad bin Ismail abu „abdallah al-bukhari al-ja‟fi, shahih bukhari, (Beirut: Daar ibn Katsir, 1987), juz V.1, h. 182

Artinya :

“Diriwayatkan dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

bersabda: “ Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah

bangunan di mana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR Bukhari

dan Muslim)

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No.2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah.

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termaksud dalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah.

Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu9:

9

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian di Indonesia,

a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuaransi syariah sebagai mana ketentuan dalam Pasal 3 yang

menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha

reasuransi berdasarkan prinsip syariah …” ketentuan yang berkaitan dengan

asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

c. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Berdasarkan peraturan ini,

jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri dari :

1) Deposito dan sertifikat deposito syariah 2) Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

3) Saham syariah yang tercatat di bursa efek 4) Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek

5) Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah 6) Unit penyertaan reksadana syariah

7) Penyertaan langsung syariah

8) Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi

9) Pembiayaan kepemilikan tanah dan/atau bangunan, kendaaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan)

10)Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil) 11)Pinjaman polis

3. Operasional Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah membuat pedoman mengenai asuransi syariah. Dimana pedoman tersebut, khususnya mengenai masalah teknis operasional, secara ringkas dijelaskan sebagai berikut10:

10

Desiana Puja Astuti, Analisis Komparasi Penerapan Prinsip Asuransi Syariah Tentang

Mekanisme Operasional Pada Asuransi Takaful Keluarga Dan Asuransi Syariah Allianz Life Indonesia, (Jakarta: Skripsi UIN Jakarta, 2010), h.37-40

a. Akad yang diperbolehkan dalam asuransi syariah adalah akad yang tidak mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

b. Akad dalam asuransi:

Akad yang dilakukan antara peserta asuransi dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, sedangkan akad tabarru’

adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan kebajikan. 1) Akad setidak-tidaknya ada beberapa hal yang harus dibedakan:

a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan b) Cara dan waktu pembayaran premi

c) Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang telah disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan d) Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’:

2) Dalam akad tijarah, perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis)

3) Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana.

4) Ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru’:

a) Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi akad tabarru‟ bila pihak

yang tertahan haknya, dengan sukarela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b) Jenis akad tabarru‟ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah

c. Masalah Premi :

1) Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad

tabarru‟

2) Untuk menentukan besarnya premi, perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan

3) Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi hasilkan kepada peserta

d. Masalah Klaim :

1) Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang telah disepakati pada awal perjanjian

2) Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang dibayarkan 3) Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan

merupakan kewajiban perusahaan memenuhinya

4) Klaim atas akad tabarru’, merupakan hak peserta dan hak perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad

e. Masalah Investasi :

1) Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul

2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah f. Masalah Pengelolaan Dana :

1) Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah

2) Perusahaan asuransi syariah memeperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah)

3) Urusan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ atau hibah.

Dokumen terkait