BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Landasan Teori Asuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut dengan Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assuratie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung.1 Definisi asuransi sebetulnya bisa diberikan dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, dan aspek matematika.2 Tidak ada satu definisi yang bisa memenuhi masing-masing sudut pandang tersebut.
Pengertian asuransi (konvensional) secara istilah telah banyak diungkap oleh para tokoh, antara lain Mark R. Greene, mendefinisikan asuransi sebagai institusi ekonomi yang mengurangi risiko dengan menggabungkan dibawah satu manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi, sehingga kerugian besar yang terjadi yang diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat diprediksikan dalam lingkup yang lebih kecil.3
1
KH Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Syariat Islam, (Mizan:Bandung,1994), h.205-206
2
Herman Darmadi, Manajemen Asuransi, (Bumi Aksara: Jakarta, 2000), h.2-3
3 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2004), h. 26-27
Selanjutnya, Drs. H Abbas Salim, M.A, berpendapat bahwa asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian-kerugian besar yang belum pasti.4
Selain beberapa definisi di atas, pemerintah juga membuat peraturan mengenai hal tersebut dalam UU no.2 tahun 1992, mendefinisikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dengan tertangung.
Dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5
Dari definisi tersebut ada 3 (tiga) unsur terkait asuransi konvensional, antara lain:6
Unsur 1: Pihak tertanggung berjanji membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus/berangsur-angsur.
4
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.1
5
Undang-Undang No.9 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian.
6 Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, Keberadaan dan Kelebihannya Ditengah Asuransi Konvensional,(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), h.7
Unsur 2: Pihak penanggung berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung sekaligus atau berangsur-berangsur, apabila terlaksana unsur ketiga.
Unsur 3: Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.
Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan non-bank merupakan bentuk adanya pengembangan pada praktik muamalat. Dalam kajian fiqh muamalat, terdapat sebuah kaidah fiqh:
Artinya: “Hukum asal transaksi dan muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”7
Kaidah fiqh diatas secara tersirat menjelaskan bahwa dalam kegiatan muamalah yang termasuk dalam ranah keduniaan, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya.8
Dalam bahasa Arab, kata asuransi disebut at-tamin, takaful, dan at-tadhamun yang bermakna saling melindungi, saling tolong menolong dan saling menanggung. DSN-MUI memfatwakan bahwa Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melaui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola
7 Jalal al-Din, al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair, (Beitur: Dar al-Fikr), h.64
8
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.9
Dengan begitu, dalam menanggung kemungkinan terjadinya risiko, para peserta asuransi bersama-sama mendermakan hartanya dalam bentuk dana
tabarru’ dan menggunakannya untuk membantu salah satu peserta yang tertimpa musibah atau risiko. Dengan demikian, letak perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah, pada bagaimana risiko itu dikelola dan ditanggungkan serta bagaiman dana asuransi syariah dikelola. Perbedaan lain terletak pada hubungan antara operator (penanggung) dengan peserta (tertanggung), dimana asuransi syariah pengaturan pengelolaan risikonya memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.10
Dalam upaya membedakan keduanya, Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS membedakan gambaran sebagai berikut:
Tabel.1
9 Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
10
Perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah11 No Prinsip Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
1 Aspek Syar’i Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba, yang merupakan suatu hal yang diharamkam dalam muamalat
Bersih dari adanya praktik Gharar, Maisir dan Riba
2 Akad Akad jual beli (akad
mu’awadah, akad
idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim)
Akad tabarru’ dan
akad tijarah
(mudharabah, mudharabah
mustarakah, wakalah bil ujrah)
3 Management of Risk Transfer of Risk, di mana terjadi transfer risiko dari tertanggung kepada penanggung
Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dangan peserta
11
lainnya (ta’awun)
4 Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Tidak ada, Dewan Pengawas Syariah, sehingga dalam banyak praktiknya bertentangan dengan kaidah syar’i
Mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah
Berdasarkan tabel 1 di atas, perbedaan antar keduanya semakin kentara. Pertama, pada Asuransi Syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling tolong menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisikan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (Transfer of Risk) dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (Sharing of Risk) dengan sistem para peserta saling menanggung.
Kedua, akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah harus selaras dengan hukum Islam, artinya adalah akad yang dilakukan harus terhindar dari Riba, Gharar (ketidakjelasan dana), dan Maisir (judi), serta investasi dana harus pada objek yang halal thoyyibah.