BAB II LANDASAN TEORI
B. Pengertian Asuransi Syariah
Secara etimologi, asuransi syariah atau takaful berasal dari bahasa Arab. Takaful berasal dari akar kata kafala atau tafaa’ala yang berarti saling mengandung.3 sementara ada yang mengartikan dengan makna saling
menjamin. Dalam bidang muamalah, Muhammad mengatakan bahwa asuransi syariah (takaful) adalah: “saling memikul resiko diantara sesama orang’’, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas
resiko yang lainnya. Saling pikul resiko itu dilakukan atas dasar saling tolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing, seperti mengeluarkan dana ibadah (tabarru) yang ditunjukkan untuk menanggung resiko tersebut.4
Dalam asuransi syariah tidak hanya melibatkan dua pihak yang bertakaful, yakni orang-orang yang saling mengikatkan dirinya untuk saling menjamin resiko yang diderita masing-masing, melainkan diperlukan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud ini adalah lembaga atau badan hukum atau perusahaan yang menjamin kegiatan kerja sama atau asuransi dapat berjalan dengan baik dan tidak termasuk kegiatan yang dilarang oleh syariah, seperti: al- gharar, al-maisir, dan al-riba. Berkaitan dengan ini, menurut Praja ada unsur-unsur penting yang mesti ada demi terlaksananya asuransi syariah, yaitu:
1) Pihak yang berasuransi
2) Pengelola asuransi (perusahaan asuransi). Dalam hal ini, perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai fasilitator, saling menanggung di antara
3
Muhammad, Kebijakan Fiskal & Moneter Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), h. 105-106
4
20
para peserta asuransi.5
Asuransi ini merupakan transaksi antara PT. Asuransi dengan tertanggung (insured). Di mana pihak tertanggung meminta kepada perusahaan agar memberikan janji untuk ganti rugi (pertanggungan) kepada yang bersangkutan. Sebagai ganti rugi barang yang hilang atau berupa harganya, apabila terkait dengan barang atau hak milik, atau dapat berupa uang.6 Jadi asuransi syariah dalam pengertian muamalah adalah saling
memikul resiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ (dana kebajikan/derma) yang
ditunjukkan untuk menanggung resiko tersebut.7
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa,8 asuransi syariah adalah cara atau
metode untuk memelihara manusia dalm menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Sedangkan menurut Husain Hamid Hisan9 mengatakan bahwa asuransi syariah adalah sikap
ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. jika
5
Gamala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Pranada Media, 2004), h. 15
6
Nabhani, Taqyuddin An, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, (Surabaya, tp, 1996), h. 190
7
Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cef ke-1, h. 99
8
Musthofa Ahmad Zarqa, Al-Ightishodi Al-Islamiyah –Nidzomutta’min …, Bairut, Dar Al- Fikr, 1968
9
Husain Hamid Hisan, Hukmu asy-Syarii’ah al- Islamiyah Fii’ Uquudi at-Ta’miin, Daru al-I’tisham, Kairo, h. 2
sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian, asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.
Para Ulama mengatakan bahwa sistem asuransi adalah sistem ata’wun dan tadhammun yang bertujuan untuk menutupi kerugian, peristiwa-peristiwa atau musibah. Tugas ini dibagikan kepada kelompok tertanggung dengan cara memberikan santunan kepada orang yang tertimpa musibah. Santunan tersebut diambil dari kumpulan dan kebajikan. Asuransi bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan asas saling tolong menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dengan demikian asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah. Demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan menghilangkan atau meringankan kerugian yang tertimpa sebagian mereka. Dimana, jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian (derma) dari masing-masing individu.
22
Dewan Syariah Nasional MUI dalam Fatwa DSN No. 21/ DSN-MUI/III/ 2002 tentang pedoman umum asuransi syariah mendefinisikan usaha saling tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.10
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah adalah saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan “ta’awun”. Yaitu, prinsip hidup saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah islamiah antara sesama anggota peserta asuransi dalam menghadapi malapetaka (resiko).
Akad yang sesuai dengan syariah adalah akad yang tidak mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Dalam asuransi ada 2 jenis akad, yakni: akad tijaroh (semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial dan akad tabarru’ (semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebijakan dan tolong menolong, bukan semata-mata untuk tujuan komersial).
Dengan akad tijarah perusahaan bertindak sebagai mudharib atau pengelola dan peserta bertindak sebagai shahibul mal atau pemegang polis. Sedangkan dalam akad tabarru’ peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, dan perusahaan bertindak sebagai pengelola dan hibah. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’, bila pihak yang bertindak haknya dengan
10
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, Dewan Syariah Nasional MUI, 2001
rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. Sedangkan jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi akad tijarah.
1. Landasan Hukum Asuransi Syariah
Sedangkan Undang-undang yang harus diatasi oleh ummat Islam selama tidak bertentangan dengan AL-Quran dan Hadist Nabi, diantarannya:
a) Peraturan perasuransian telah di atur dalam pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Asuransi digambarkan secara umum dalam suatu persetujuan untung-untungan yaitu suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya baik untuk semua pihak maupun beberapa pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.11
b) UU No. 2 tahun 1992, tentang usaha perasuransian, dijelaskan bahwa.
“asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
11
R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Kapitalis, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1992), cet. 25, h. 380
24
c) Peraturan pemerintah RI No. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.
2. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Takaful atau asuransi syariah dalam menjalankan usahanya bertujuan memberikan perlindungan kepada peserta yang bermaksud menyediakan sejumlah dana bagi ahli warisnya dan atau penerima hibah, wasiat, bila peserta tersebut meninggal dunia. Selain itu takaful/asuransi syariah berfungsi pada sebagai penyedia dana yang dapat digunakan untuk berjaga-jaga apabila kesulitan di saat mendatang, akibat sakit, kecelakaan maupun karena sebab lainnya. Takaful atau asuransi memiliki tiga konsep dasar, yaitu.12
a) Saling bertanggung jawab, dimana sesama peserta mampu merasakan banwa antara satu dengan yang lainnya adalah bersaudara.
b) Saling bekerja sama dan saling membantu, artinya sesama peserta harus semakin meningkatkan kepeduliannya dalam upaya meringankan beban saudara yang lain. Jadi dengan bertakaful, diharapkan azaz kebersamaan akan tercipta dengan sendirinya, sehingga komitmen saling membantu benar-benar tercipta.
c) Saling melindungi, dimana komitmen membela dan saling mensejahterakan sangat diharapkan tercipta melalui kepesertaannya di takaful atau asuransi syariah.
12
3. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional
Hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah konsep keduanya. Asuransi konvensional memiliki konsep transfer of risk di mana nasabah memindahkan resiko yang dimilikinya kepada perusahaan asuransi. Bila nanti nasabah mengalami kerugian, maka perusahaan dengan dana yang dimilikinya akan mengganti kerugian yang dialami nasabah. Sementara, asuransi syariah memiliki konsep sharing of risk di mana para nasabah berakad untuk saling tolong menolong dan saling melindungi atas resiko yang mungkin akan dihadapi. Dana yang dikeluarkan apabila ada nasabah yang mengalami kerugian berasal dari dana tabarru, yaitu dana kumpulan peserta, bukan dana perusahaan.
Perbedaan lain antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah juga terletak pada sumber penghasilan yang diperoleh masing-masing perusahaan. pada asuransi konvensional, sumber penghasilan lebih didasarkan pada sistem bunga yang sangat mungkin mengandung unsur spekulatif dan riba, sedangkan pada asuransi syariah, penghasilan perusahaan lebih bersumberkan pada sistem upah dan bagi hasil.13
Dalam operasional asuransi syariah perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai pemegang kepercayaan (amanah), sedangkan yang seharusnya saling tolong menolong, saling melindungi, membantu, dan saling bertanggung jawab adalah para peserta sendiri. Sebagai pemegang kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi serta
13
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, (Ciputat: Kholam Publishing, 2006), h. 42
26
mengembangkannya dengan jalan yang halal.14 4. Asuransi Dalam Perspektif Islam
Ada beberapa kalangan Islam yang meragukan kebenaran konsep asuransi dilihat dari kacamata Islam. Menurut kalangan tersebut, asuransi dianggap merupakan bentuk usaha yang menentang takdir (qadla dan qadar), karena pada dasarnya Islam mengakui bahwa musibah, kecelakaan dan kematian merupakan takdir Allah. Memang alasan tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi Islam juga selalu melihat segala sesuatu secara universal. Berbagai interprestasi mengenai makna ayat-ayat Al-quran dan Hadits yang bersifat konstan-absolut dapat digunakan menjadi modal utama dalam menjawab tantangan dan perkembangan jaman yang bersifat positif relatif, termasuk menanggapi masalah asuransi ini.
Jadi sistem proteksi atau asuransi dibenarkan sejauh telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam konsep muamalat secara Islami, setidaknya ada beberapa hal yang jelas diharamkan, yaitu adanya unsur gharar (ketidakjelasan dana), unsur maisir (judi/gambling), riba, zhulum (penganiayaan) risywah (suap), barang haram dan pembuatan maksiat.
Sementara itu, hukum bilangan besar yang menjadi teori dasar dari cara kerja asuransi dalam memperkirakan masa depan, merupakan aplikasi dari kaidah fiqhiyyah, al-„adah muhakkamah. Di mana kaidah tersebut
menjelaskan bahwa dijadikan landasan hukum bagi peristiwa berikutnya.
14
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 176
Interaksi ini mengharuskan adanya persesuain dengan nilai dasar yang ada dalam syariah Islam.15
5. Peluang Asuransi Syariah
Seiring dengan kemajuan dunia perbankan syariah, asuransi syariah juga berkembang pesat, seperti pembentukan Syarikat Takaful Indonesia pada tahun 1994, sedangkan asuransi konvensional yang ditandai dengan pembentukan asuransi jiwa bersama Bumi Putra, didirikan tahun 1912. Walaupun asuransi syariah lebih muda dari asuransi konvensional. Faktanya menunjukkan bahwa asuransi konvensional sejak tahun 1912 hingga tahun 2005 rata-rata hanya mencapai 1,69 perusahaan (1%) untuk setiap tahunnya, sedangkan asuransi syariah ternyata bisa mencapai pertumbuhan rata-rata 2,45 perusahaan (8%) dalam satu tahun.16
Puncak kenaikannya asuransi syariah secara kuantitatif terjadi pada awal-awal hingga pertengahan tahun 2002-an, tepatnya pada tahun 2002 sampai tahun 2006, bila diakhir tahun 1990an, di Indonesia baru terdapat dua perusahaan asuransi syariah (Syarikat Takaful dan Mubarakah), maka pada tahun pertama tahun 2000-an justru meningkat menjadi 29 perusahaan. Terhitung sejak tahun 1994 hingga tahun 2007 bahkan meningkat mencapai 130 perusahaan asuransi syariah pertahun di Indonesia (17%).17
15
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam suatu tinjauan analisis historis, teoritis, dan praktisis, (Jakarta: permada media, 2004). h. 26
16
M. Amin Suma, Menggali Akar, Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (Tangerang: Kholam Publishing, 2008), h. 408-409
17
28