• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI SUBJEK DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A. Kajian Umum tentang Kolaborasi Antar Negara menurut Perspektif Hukum Internasional

A.2. Pengertian dan Batasan Deklarasi

Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969 tidak memuat ketentuan tentang “deklarasi” terhadap suatu perjanjian internasional multilateral, dan karenanya tidak pula memuat secara khusus pengertian istilah tersebut.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 1 angka 6 yang menetapkan definisi istilah “pernyataan”

(declaration) sebagai “pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional”. Artinya deklarasi merupakan pernyataan suatu negara mengenai kesepahamannya atau pemahamannya mengenai suatu ketentuan atau ketetapan dalam suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yang bertujuan memperjelas maksud dan tujuan ketentuan tersebut namun tidak bersifat

mengikat atau mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.

Suatu pernyataan, yang meskipun menggunakan nama „deklarasi‟, apabila pernyataan itu menunjukkan kehendak suatu negara untuk meniadakan atau memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu, perjanjian internasional tersebut pada waktu negara yang bersangkutan menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi perjanjian internasional yang bersangkutan, maka pernyataan demikian, walaupun dinamakan “deklarasi”, pada hakikatnya adalah suatu

“reservasi”132 sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969. Sepanjang suatu pernyataan dengan nama „deklarasi‟ tidak menunjukkan kehendak suatu negara sebagaimana tersebut di depan maka pernyataan demikian, yang diberi judul „deklarasi‟, merupakan deklarasi dalam arti umum, bukan deklarasi sebagai istilah hukum perjanjian internasional menurut Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969.

Perkembangan perjanjian internasional terutama dalam bidang lingkungan hidup terkait sumber hukum internasional saat ini mengenal ada 2 jenis, yakni model soft law dan hard law. Pembagian atas model ini pertama kali dikenalkan oleh kalangan ahli hukum ekonomi internasional seperti Seidl-Hohenveldem melalui pidatonya di Akademi Hukum Internasional, Den Haag 1969, kemudian dikembangkan oleh ahli hukum internasional lainnya.

132 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menggunakan istilah „pensyaratan‟ sebagai padanan bahasa Indonesia istilah bahasa Inggris

„reservation‟ mendefinisikan istilah itu sebagai „pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral; Pasal 2 ayat (1) huruf (d) Vienna Convention tentang Hukum Perjanjian tahun 1969

Model pendekatan hard law meliputi hukum yang memiliki daya-mengikat secara pasti (legally binding),133 contohnya perjanjian internasional dengan berbagai macam jenisnya. Contohnya: United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 (UNFCCC), United Nations Law of The Sea 1982 (UNCLOS), di mana perjanjian ini sudah berlaku penuh (enterd into force) dan memiliki keterikatan komitmen internasional yang sangat kuat. Itulah sebabnya hard law memenuhi syarat untuk dapat dijadikan sebagai produk hukum dan juga sebagai sumber hukum internasional.

Berbeda dengan soft law yang oleh beberapa ahli disebut sebagai para-droit atau norma sauvages, merupakan pendekatan yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Subjek hukum internasional seperti negara hanya ingin mengikat secara hukum (legally binding) terhadap soft law jika ada kesukarelaan (voluntary) dari negara atau subjek hukum internasional yang terkait. Contoh soft law adalah Deklarasi Stockholm 1972, Agenda 21, dan Deklarasi Rio 1992.

Banyak deklarasi yang merupakan salah satu bentuk dari soft law di samping Agenda, Guidelines, Principles, Charter, Strategy, Action Plan; yang sudah ditandatangani oleh beberapa negara dan badan atau organisasi internasional namun tidak dikategorikan sebagai suatu perjanjian internasional dalam arti sesungguhnya Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan tersebut tidak bersifat mengikat secara hukum bagi anggota penandatangannya. Namun belakangan ini telah terjadi signifikansi terhadap dokumen-dokumen internasional di bidang lingkungan hidup

133 Andreas Pramudianto., hlm.50, seperti yang dikutip dari Munadjat Danusaputro dalam buku “Hukum Lingkungan : Buku IV : Global”, 1982

yang bersifat tidak mengikat secara hukum (non legally binding), akan tetapi seolah-olah mengikat secara hukum (quasi-legally binding).134

Dokumen-dokumen internasional seperti yang dimaksud di atas memiliki karakteristik yang dihasilkan dari bermacam-macam pertemuan internasional utama seperti negara hingga entitas bukan negara seperti organisasi internasional di bawah rezim PBB, organisasi internasional regional, NGO, kalangan akademisi dan organisasi-organisasi lainnya.135 Contohnya adalah Bali Action Plan yang dihasilkan Conference of the Parties (COP) ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Bali Indonesia yang dijadikan dasar perundingan di pertemuan COP berikutnya, padahal dokumen tersebut bukan merupakan produk hukum internasional yang mengikat namum memiliki pengaruh kuat dalam hubungan internasional.

Hal ini menunjukkan bahwa soft law baik sebagai model pendekatan, dokumen maupun bentuk hukum, di masa yang akan datang dapat meningkat menjadi hard law, apalagi jika soft law tersebut memiliki jus cogen136 dan menimbulkan kewajiban erga omnes137. Dokumen soft law telah banyak mempengaruhi pekembangan hukum perjanjian internasional. Terlebih ada banyak subjek hukum internasional menganut pendekatan tacit consent atau persetujuan diam-diam para pihak terhadap soft law.138 Kecenderungan dalam doktrin hukum internasional untuk menyetujui pendapat

134 Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional “Implementasi Hukum Perjanjian Lingkungan Hidup Internasional di Indonesia”, Malang: Setara Press, 2014., hlm.49

135 Ibid,.

136 Pasal 53 Konvensi wina 1969, peremptory norm atau jus cogens merupakan norma status tertinggi dalam hukum internasional, bersifat non-derogable rights (tidak dapat dicabut) yang diterima dan diakui masyarakat internasional, contoh: right to life, right to humane treatment, prohibiton of aggressions, right to self determination, prohibition of war crimes, dan lain-lain.

137 merupakan kewajiban yang dapat dicabut kembali, mempunyai otoritas lebih besar dibanding costumary international legals norm. Contohnya : larangan the unilateral use of force, genocide and the prohibition of slavery and racial discrimination.

138 Ibid,.

bahwa “diam berarti setuju” (silence gives consent) atau barang siapa yang tidak protes berarti setuju, maka sepanjang subjek hukum internasional tidak melakukan protes terhadap suatu dokumen soft law maka dianggap tunduk secara diam-diam (tacit consent). Karna itulah soft law berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari sumber hukum internasional.139 Demikian juga halnya deklarasi yang juga merupakan suatu bentuk soft law. Deklarasi pun mempunyai suatu potensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum internasional.

B. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate