• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

1. Pengertian Belajar

Menurut Abdul Hadis (2008:60) bahwa perubahan perilaku yang diperoleh peserta melalui aktivitas belajar sebagai hasil dari interaksi pesera didik dengan lingkungan pendidikan dan dengan guru disebut belajar. Pengertian belajar secara psikologis, juga dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Agus Suprijono (2010:39) bahwa kontruktivisme beraksentuasi belajar sebagai proses operatif, bukan figuratif. Belajar operatif adalah belajar memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Belajar figuratif adalah belajar memperoleh pengetahuan dan penambahan pengetahuan. Kontruktivisme menekankan pada belajar autentik bukan artifisial. Belajar autentik adalah proses interaksi seseorang dengan objek yang dipelajari secara nyata. Kontruktivisme juga memberikan kerangka pemikiran belajar sebagai proses sosial atau belajar kolaboratif dan kooperatif. Pembelajaran kontruktivisme menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar

commit to user

 

dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kolaboratif dan kooperatif akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual.

Menurut Depdiknas (2005:3) pada teori Piaget, Piaget menjelaskan bahwa manusia tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, dan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sebagian besar tergantung kepada seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu:

a. Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.

b. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.

c. Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme kemampuan untuk meng-organisasi proses-proses pisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang

commit to user

dihadapi dalam lingkungannya. Sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya.

Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori itu akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak-anak di kelas atau di sekolahnya. Guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi para siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga, dan sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing.

Menurut Agus Suprijono (2010:163) bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik penguatan (motivasi) yang dilandasi tujuan tertentu. Seseorang dikatakan belajar matematika jika pada diri orang tersebut terjadi perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika, misalnya dari tidak tahu matematika menjadi tahu tentang matematika dan mampu menerapkan dalam diri kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana dikemukakan oleh Pape (2004:52) bahwa: Mathematics educators have been called to teach mathematics through problem solving (National Council of Teachers of Mathematics [NCTM], 1989, 2000). As stated in Priciples and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000): “Solving problems is not only a goal of learning mathematics but also a major means of doing so ... By learning problem solving in mathematics, student should acquire ways of thinking, habits of persistence and curiosity, and confidence in unfamiliar situations ...”.

commit to user

 

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru matematika hendaknya menerapkan model pemecahan masalah, seperti yang telah ada dalam prinsip dan standar matematika di sekolah. Pemecahan masalah bukan hanya untuk metode dalam pembelajaran matematika tetapi juga sebagai cara dan tindakan sehingga dengan belajar pemecahan masalah pada matematika maka siswa dapat memperoleh cara berpikir, kebiasaan, ketekunan, rasa ingin tahu dan percaya diri dalam situasi yang baru.

Menurut Ngalim Purwanto (2010:84) bahwa adanya beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu:

a. Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman.

c. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang.

d. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan, menemukan struktur

commit to user

pemikiran secara umum dan interaksi dengan objek yang dipelajari secara nyata dengan menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar.

2. Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Depdiknas (2005:3) model merupakan suatu konsepsi untuk mengajar suatu materi dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam model mencakup strategi, pendekatan, metode maupun teknik.

Menurut Agus Suprijono (2010:46) model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Menurut Maull and Berry (2001:78) bahwa: Developing modelling skill should be an important part of an undergraduate degree programme but it often over looked as course concentrate on teaching mathematical knowledge and skill and introducing standar models. The modelling process is often characterised as a cyclic process in which one start with a”real problem set in words”

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan model bisa menjadi bagian penting pada program yang disetujui tetapi itu sering keliru seperti program di sekolah pada pengetahuan dan kemampuan pengajaran matematika. Proses model adalah sering dikhususkan seperti proses pada permasalahan nyata.

Menurut Depdiknas (2005:14) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama di antara siswa

commit to user

 

untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yaitu:

a. Meningkatkan hasil akademik yang mana siswa yang lebih mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang mampu.

b. Memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belajar, perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.

c. Mengembangkan keterampilan sosial siswa antara lain: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.

Model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri:

a. Bertujuan menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk mempelajari materi dan menyelesaikan masalah pada materi yang dibahas.

b. Kelompok dibentuk dari siswa-siswa dengan memperhatikan tingkat kemampuan yang dimiliki siswa yaitu kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

c. Jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula.

commit to user

d. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.

Menurut Agus Suprijono (2010:54) pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Kelompok di sini merupakan kelompok siswa yang ada interaksi. Setiap anggota kelompok berinteraksi berdasarkan peran-perannya sebagaimana norma yang mengatur perilaku anggota kelompok. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif yang benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan:

a. ”Memudahkan siswa belajar” sesuatu yang “bermanfaat” seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama. b. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten

menilai.

Menurut Slavin (2010:103) pembelajaran kooperatif adalah solusi ideal terhadap masalah menyediakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif dan tidak dangkal kepada para siswa dari latar belakang ras atau etnik yang berbeda. Model-model pembelajaran kooperatif secara khusus bertujuan menggunakan kekuatan dari sekolah yang menghapuskan perbedaan kehadiran para siswa dari latar belakang ras atau etnik yang berbeda untuk meningkatkan hubungan antar kelompok. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil yang memperhatikan

commit to user

 

keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang lain. Jadi Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Effandi Zakaria dan Zanaton Iksan (2007:36) bahwa: Cooperative learning is grounded in the belief that learning is most effective when student are actively involved in sharing ideas and work cooperatively to complete academic tasks. Cooperative learning has been used as both and instructional method and as a learning tool at various levels of education and in various subject areas.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran adalah paling efektif yang mana siswa aktif dalam mengemukakan pendapat dan bekerja sama untuk menyelesaikan tugas belajar. Pembelajaran kooperatif telah digunakan sebagai model pembelajaran pada berbagai jenis tingkat pendidikan dan berbagai jenis  mata pelajaran.

Dalam pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan bersama. siswa yakin bahwa tujuan mereka akan tercapai jika dan hanya jika siswa lainnya juga mencapai tujuan tersebut. Setiap anggota dalam satu kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama

commit to user

dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif sebagai berikut:

a. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu didalam kelompoknya.

b. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota didalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.

c. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.

d. Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.

e. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Menurut Pahyono (2004:2) bahwa model pembelajaran Cooperative Learning (CL) dengan berbagai tipe dikembangkan berlandaskan teori belajar Constructivism (Konstruktivisme). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan konsep dalam pembelajaran. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperoleh melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak datang sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, melainkan manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Fakta adalah suatu

commit to user

 

konvensi yang merupakan suatu cara khas untuk menyajikan ide-ide matematika dalam bentuk kata atau simbol. Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi atau penggolongan. Model CL juga dapat memberikan pengalaman belajar dan kecakapan hidup (life skill), karena terbukti mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa secara individu dan membangun kerjasama antar anggota dalam kelompok. 

Table 2.1 Fase pembelajaran kooperatif

Fase Keterangan Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa

1 Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa Memperhatikan penjelasan guru 2 Menyampaikan informasi

Guru menyajikan informasi melalui penjelasan,

demonstrasi atau buku bacaan

Memperhatikan informasi yang disampaikan guru, melalui demonstrasi atau menyimak buku

3

Mengorgisasikan siswa dalam kelompok belajar

Guru membentuk kelompok secara heterogen

Membentuk kelompok sesuai dengan model yang diterapkan 4 Membimbing kelompok dalam bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok belajar sesuai tugas dengan tugas siswa

Bekerja secara kelompok

5

Evaluasi Guru meminta siswa dalam

kelompok maupun klasikal untuk mempresentasikan hasil diskusi belajarnya

Mempresentasikan hasil diskusi di kelompok maupun secara

6

Memberikan penghargaan

Pemberian penghargaan bagi individu maupun kelompok

Mendapatkan penguatan materi pelajaran dan menerima penghargaan bagi individu maupun kelompok

commit to user

Berdasarkan pembahasan di atas disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif yaitu model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran.

3. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

Pada model pembelajaran kooperatif Jigsaw siswa dikelompokkan ke dalam kelompok belajar yang heterogen. Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu yang berbeda dengan anggota lainnya dari kelompok itu mengenali latihan yang diberikan itu. Para siswa bertemu dengan anggota–anggota dari kelompok lain yang mempelajari topik yang sama untuk saling bertukar pendapat dan informasi. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya semula untuk mempresentasikan yang ia telah pelajari dan didiskusikan pada teman–teman kelompoknya. Setelah itu seluruh siswa diberi kuis secara individual tentang materi belajar yang sudah dipelajari. Skor pemerolehan dari kuis tersebut digunakan untuk menentukan skor kelompoknya disamping sebagai skor individu.

Menurut Slavin (2010:103) bahwa model pembelajaran kooperatif Jigsaw siswa bekerja dalam anggota kelompok yang sama dengan latar belakang yang berbeda. Tiap anggota kelompok ditugaskan secara acak untuk menjadi “ahli” dalam aspek tertentu. Setelah mempelajari materi tertentu, para ahli dari kelompok yang berbeda bertemu untuk mendiskusikan topik yang sedang mereka bahas, lalu mereka kembali

commit to user

 

kepada kelompok untuk mengajarkan topik mereka itu kepada teman satu kelompok. Akhirnya, akan ada kuis atau bentuk penilaian lainnya untuk semua topik, skor yang diperoleh merupakan skor individu dan kemudian dijumlahkan dengan skor anggota lainnya dalam satu kelompok sehingga menjadi skor kelompok.

Menurut Agus Suprijono (2010:89) bahwa pembelajaran dengan penerapan model Jigsaw diawali dengan pengenalan topik yang dibahas oleh guru. Selanjutnya kelas dibagi menjadi kelompok kecil sebagai kelompok asal. Guru membagikan materi kepada tiap-tiap anggota kelompok siswa. Setiap anggota dalam kelompok itu bertanggung jawab atas materi yang berbeda. Berikutnya membentuk expert teams (kelompok ahli) untuk diskusi tentang topik yang sama dan kemudian mereka kembali ke kelompok asal untuk mepresentasikan hasil diskusinya di expert teams (kelompok ahli). Kegiatan ini merupakan refleksi terhadap pengetahuan yang telah mereka dapatkan dari hasil berdiskusi di kelompok ahli.

Menurut Pahyono (2004:6) bahwa pembagian kelompok berdasarkan kriteria prestasi individu, gender, etnik dan ras. Kelompok Expert, jumlahnya disesuaikan dengan pokok bahasan materi yang dipelajari. Jika suatu topik/ pokok materi terdiri 4 sub pokok materi, maka terdapat 4 kelompok expert. Masing-masing kelompok expert beranggotakan wakil dari sejumlah kelompok belajar siswa. Contoh: Suatu kelas terdiri dari 40 siswa, maka dapat dibentuk menjadi 10 kelompok asal (Kelompok 1, 2, 3,…, 10). Tiap kelompok asal terdiri dari 4 orang siswa, dengan menerima soal dengan topik yang berbeda

commit to user

satu dengan yang lainnya. Kelompok expert beranggotakan 10 orang siswa dengan satu topik yang sama. Langkah-langkah tipe Jigsaw terdiri 5 fase yaitu:

Fase 1: Reading

Guru mengingatkan materi sebelumnya, menyampaikan tujuan pembelajaran, pemberian motivasi, penjelasan pokok materi berikut contoh menyelesaikan masalah sesuai materi tersebut. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kriteria kemampuan awal siswa dari ulangan harian sebelumnya, jenis kelamin (gender), etnik dan ras. Setelah kelompok belajar terbentuk sebagai kelompok asal, tiap siswa diberi Lembar Kegiatan Siswa (LKS) untuk dipelajari dan didiskusikan bersama dalam kelompok. Langkah selanjutnya siswa diberi lembar ahli untuk didiskusikan di kelompok ahli atau expert. Masing-masing siswa membentuk expert sesuai topik di lembar ahli.

Fase 2: Expert Group Discussions

Di dalam kelompok expert, siswa berdiskusi membahas dan memecahkan masalah atau soal yang terdapat dalamlembar ahli. Setelah diskusi kelompok expert selesai, semua anggota kelompok expert kembali ke kelompok belajar semula.

Fase 3: Team reports

Siswa yang ditunjuk sebagai wakil kelompok belajar di kelompok expert menjelaskan kepada teman-temannya sekelompok. Demikian juga teman

commit to user

 

dari expert yang lain menjelaskan kepada teman-teman sekelompok tentang apa yang dibahas dan dikerjakan selama di dalam kelompok expert. Pada saat diskusi expert inilah, guru dapat memberikan bimbingan, validasi materi dan jawaban siswa dari masing-masing expert.

Fase 4: Assessment

Guru mengadakan kuis yang harus dikerjakan oleh siswa secara individual. Hasilnya berupa nilai individu dan masing-masing nilai prestasi belajar matematika yang diperolehnya kemudian sebagai dasar nilai kelompok.

Fase 5: Team recognition

Guru bersama siswa menghitung perubahan nilai awal (base score) siswa dengan nilai hasil kuis secara individual. Kemudian nilai semua siswa anggota masing-masing kelompok dijumlahkan dan dirata-rata sebagai nilai kelompok.

4. Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT)

Team Games Tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards, ini merupakan model pembelajaran pertama dari Jhons Hopkins. Model ini menggunakan turnamen untuk menggantikan kuis, di mana siswa memainkan game di meja turnamen dengan anggota tim yang lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Bagi

commit to user

siswa yang berprestasi tinggi bermain dengan siswa yang berprestasi tinggi dan yang berprestasi rendah bermain dengan siswa yang prestasi rendah juga. keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses dan menentukan skor bagi kelompoknya. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) menambahkan dimensi kegembiraan bagi siswa yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game, temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual.

Menurut Slavin (2010:166) bahwa game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaannya kerja Tim. Game tersebut dimainkan di atas meja turnamen dengan tiga siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda. Seorang siswa mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban masing-masing.

Menurut Slavin (2010:166) turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Pada turnamen pertama, guru menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen, tiga siswa yang berprestasi tinggi sebelumnya untuk di tempatkan pada meja turnamen 1, tiga siswa berikutnya pada meja turnamen 2,

commit to user

 

dan seterusnya. Setelah turnamen pertama selesai, para siswa akan bertukar meja tergantung pada kinerja mereka pada turnamen terakhir. Pemenang pada tiap meja turnamen akan naik tingkat ke meja turnamen berikutnya yang lebih tinggi. Siswa dengan skor tertinggi kedua tetap tinggal di meja yang sama dan yang memperoleh skor terendah diturunkan tingkatnya ke meja turnamen yang lebih rendah, untuk seterusnya mereka akan terus dinaikkan atau diturunkan sampai mereka mencapai tingkat kinerja mereka yang sesungguhnya. Ilustrasi hubungan antara tim heterogen dan meja turnamen homogen dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan antara tim heterogen dan meja turnamen homogen

Menurut Pahyono (2004:6) bahwa model pembelajaran kooperatif melalui suatu turnamen, lebih banyak dipilih karena memberikan tantangan

TIM A

TIM B TIM C

A-1 A-2 A-3 A-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah 

Meja Turnamen  1  Meja Turnamen 2 Meja Turnamen 4 Meja Turnamen 3

A-1 A-2 A-3 A-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah

A‐1   A‐2    A‐3          A‐4  Tinggi  Sedang   Sedang     Rendah 

commit to user

yang menarik bagi siswa dalam bentuk permainan dan cara melakukannya relatif lebih mudah dibanding Jigsaw. Setiap siswa berperan sesuai dengan kemampuannya dan menentukan peringkat kelompoknya. Langkah-langkah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe (TGT), sebagai berikut:

Fase 1: Penjelasan guru (Teacher presentation).

Penyampaian tujuan pembelajaran, pemberian motivasi, penjelasan materi dan pembagikan LKS ke setiap siswa. Pembagian kelas menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kriteria kemampuan (prestasi) siswa dari ulangan harian sebelumnya, jenis kelamin (gender), etnik dan ras. Tiap kelompok beranggotakan 4–5 orang, tiap siswa diberi nomor dada dari 1, 2, 3, 4, 5.

Fase 2: Menempatkan para siswa ke dalam Tim.

Penyediaan lembar penempatan meja turnamen berdasarkan peringkat pada ulangan sebelumnya. Jika jumlah siswa habis dibagi 3, semua meja turnamen akan mempunyai 3 peserta. Jika ada siswa yang tersisa setelah

Dokumen terkait