• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi

2.1.1 Pengertian Belajar

Belajar merupakan tindakan dan perilaku peserta didik yang kompleks (Dimyati, 2002: 7). Menurut Gagne dan Berliner, sebagaimana dikutip oleh Anni (2009: 82), belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah perilakunya sebagai hasil dari pengalaman. Sementara itu, menurut Hudojo (2003: 83) yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku.

Perubahan perilaku tersebut merupakan hasil interaksi berbagai macam unsur-unsur dalam belajar. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat berbagai macam unsur,antara lain:

(1) pembelajar, yaitu peserta didik, warga belajar, atau peserta didik;

(2) rangsangan (stimulus) indera pembelajar, dapat berupa warna atau suara, dimana pembelajar harus fokus pada stimulus tertentu agar dapat belajar dengan optimal;

(3) memori pembelajar, yakni berisi berbagai kemampuan seperti pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori; (4) respon, yaitu tindakan dari aktualisasi memori (Anni, 2009: 84-85).

Belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Relevan dengan ini maka ada pengertian bahwa belajar adalah penambahan pengetahuan (Sardiman, 2006: 20-21).

Definisi belajar yang selanjutnya, belajar adalah berubah. Dalam hal ini belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, dan penyesuaian diri. Dengan demikian, dapat dikatakan belajar merupakan rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Sardiman, 2006: 21).

Berbagai teori yang mengkaji konsep belajar telah banyak dikembangkan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang mendukung penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

2.1.1.1Teori Belajar Piaget

Sugandi (2007: 35-36) mengemukakan tiga prinsip utama dalam pembelajaran menurut Piaget, yaitu:

(1) Belajar Aktif

Proses pembelajaran merupakan proses aktif, karena pengetahuan terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak, perlu

diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak melakukan percobaan, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan, menjawab dan membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya.

(2) Belajar melalui Interaksi Sosial

Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadi interaksi di antara subjek belajar. Piaget percaya bahwa belajar bersama akan membantu perkembangan kognitif anak. Dengan interaksi sosial, perkembangan kognitif anak akan mengarah ke banyak pandangan, artinya khasanah kognitif anak akan diperkaya dengan berbagai macam sudut pandang dan alternatif.

(3) Belajar melalui Pengalaman Sendiri

Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata daripada bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Jika hanya menggunakan bahasa tanpa pengalaman sendiri, perkembangan kognitif anak cenderung mengarah ke verbalisme. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban peserta didik, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.

Piaget juga menekankan pembelajaran melalui penemuan, pengalaman-pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat, bahan atau media belajar yang

lain. Penggunaan alat peraga sebagai media belajar sesuai dengan teori belajar Piaget. Dengan demikian, teori Piaget yang penting dalam penelitian ini adalah keaktifan peserta didik dalam berdiskusi kelompok dengan memanfaatkan media alat peraga dan pembelajaran dengan pengalaman sendiri akan membentuk pembelajaran yang bermakna.

2.1.1.2Teori Vygotsky

Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran (Trianto, 2007:27). Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2008: 124), Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial.

Satu lagi ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi

sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut (Nur & Wikandari dalam Trianto,2007: 27).

Pada penerapan model pembelajaran SAVI, siswa bekerja secara berkelompok dan saling melakukan interaksi sosial untuk memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstriktivisme yang dikemukan Vygotsky.

2.1.1.3Teori Belajar Ausubel

Teori ini terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima, selain itu juga untuk membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Makna dibangun ketika guru memberikan permasalahan yang relevan dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri. Pada belajar menghafal, peserta didik menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan yang lain sehingga belajarnya lebih dimengerti (Suherman, 2003: 32). Dengan belajar bermakna peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajar mudah dicapai.

Bagi Ausubel, menghafal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghafal pada hakikatnya mendapatkan informasi yang terisolasi, sedemikian sehingga peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh ke dalam struktur kognitifnya. Dengan demikian, pembelajaran model SAVI berbantuan alat peraga sesuai dengan teori Ausubel, karena pembelajaran SAVI berbantuan alat peraga

tidak menekankan pada menghafal tetapi menekankan pada aktivitas peserta didik sehingga ketika menyusun hasil temuan atau hasil diskusi kelompok, peserta didik selalu mengaitkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebelumnya sehingga dapat menyelesaikan masalah dalam pemecahan masalah secara berkelompok.

2.1.1.4Teori Bruner

Menurut Bruner, proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga) (Suherman, 2003: 43). Melalui alat peraga anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur dalam benda yang sedang diperhatikan. Dengan kata lain benda yang ditampilkan merupakan benda konkret.

Dalam belajar setiap anak melewati tahapan-tahapan dalam memahami materi. Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahap yakni sebagai berikut.

(1) Tahap Enaktif

Tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Misalnya peserta didik langsung dapat melihat sebuah jam yang berbentuk segitiga.

(2) Tahap Ikonik

Tahap ini kegiatan yang berlangsung, anak berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasi. Misalnya peserta didik mampu menggambarkan atap rumah yang berbentuk segitiga.

Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Peserta didik sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Misalnya peserta didik dapat menuliskan rumus keliling dan luas segitiga.

Teori Bruner digunakan dalam mempelajari struktur-struktur dari aspek kognitif agar anak dapat menemukan sendiri konsep yang dipelajari. Untuk dapat memahami suatu konsep maka dalam belajar anak harus dapat memahami dan menganalisis pengetahuan baru sehingga dapat dicari kebermaknaannya dan kebenarannya dengan bahasa mereka sendiri. Pembelajaran yang efektif dapat terjadi jika penyampaian materi pada anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak dan melalui tahapan-tahapan dalam proses belajar.

Dengan demikian keterkaitan penelitian ini dengan teori Bruner adalah penggunaan alat peraga dalam pembelajaran yang dapat membantu menyampaikan pengalaman kepada peserta didik serta memberikan gambaran mengenai objek yang mewakili suatu konsep..

Dokumen terkait