• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : Itsbat Nikah dan Pelaksanaannya: Analisis Putusan

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH A.Pengertian Pernikahan Sirri

A. Pengertian dan Dasar Pernikahan 1.Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin anatu bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah

حﺎﻜ

yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah “ sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi pernikahan, diantaranya adalah :

و ةأْﺮ ْﺎ ﺮ ا ع ﺎ ْ ْ ا ﻚ ﺪْ ْ عرﺎ ا ﺿو ﺪْ ﻮه ﺎ ْﺮ جاوﺰ ا

ﺮ اﺎ ةأْﺮ ْا عﺎ ْ ْ ا

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenagsenangnya perempuan dengan laki-laki.1

Para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini misalnya Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa pernikahan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita tesebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, ataupun sepersusuan.

Sama halnya menurut Hanafiah bahwa nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.

Begitupula menurut Hanabilah bahwa nikah adalah akad yang menggunakan

lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk

bersenang-senang.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar imam Taqiyuddin mendefinisikan nikah dengan seperti aqad yang mahsur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan aqad adalah al-wath’.

1

Dari definisi yang di atas, jelas para ulama fiqih mengartikan dari kata nikah dengan makna hubungan biologis atau dengan kata lain nikah diartikan dengan makna persetubuhan.2

Didalam fiqih klasik dijelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Golongan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi.

Silang pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mubah? Ayat tersebut adalah:

رو و ْ ءﺎ ا ْ ﻜ بﺎﻃﺎ اْﻮ ﻜْﺎ

)

ءﺎ ا

:

3

(

Artinya :

“….maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (Qs. an-Nisa : 3)

Dan hadis tersebut adalah :

ﺈ اْﻮ آ ﺎ

ﺄْا ﻜ ﺮ ﺎﻜ ْ

) .

ﺎ او ﺋﺎ ا ﺮﺧأ

(

2

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 38-40.

“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kawin, saya berlomba-lomba memperbanyak umat dengan umat lain.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)3

Fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi, didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran.4

2.

Dasar Pernikahan

Pernikahan dilakukan dengan berbagai dasar dalam fiqih klasik. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Unsur agama

Pernikahan dilihat pada agama adalah sebuah tuntutan yang pertama, walaupun pernikahan boleh pula didasarkan pada kecantikan, keturunan, atau kekayaan., akan tetapi agama adalah tuntutan yang utama yang harus diperhatikan oleh seseorang ketika akan melangsungkan pernikahan. Namun apabila keempatnya terdapat pada seseorang, hal itu sangat dianjurkan.

Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

3

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 394

4

ا ْ ﷲ ا ﺿر ةﺮْ ﺮهﻰ أ ْ

ﷲ ا

ْ

و

ل

:

ْﻜ

ْا

ْﺮ

أة

ْر

و ﺎ

و ﺎ

و ﺎ

ْ

ﺎ ﺎ

ْﻇ

ْﺮ

ت ا

ﺪ ا

ْ

ْ

كا

)

اور

و ير ﺎ ا

(

Artinya :

“ Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda “ Perempuan itu dinikahi karena empat macam, yaitu karena hartanya, pangkat atau keterunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka ambillah perempuan yang taat kepada agama, niscaya engkau akan beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

2. Unsur kesuburan pasangan: pihak istri

Ketika seorang laki-laki sudah berencana akan melangsungkan pernikahan, maka ketika memilih calon istri hendaknya yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, karena akan melahirkan generasi-generasi muda umat nabi Muhammad SAW yang akan meneruskan amanah dimuka bumi ini

sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan :

أ ْ

ر

ﺿ

ﷲ ا

ْ

ل

:

و ْ ﷲا ﻰ ﷲا لْﻮ ر نﺎآ

:

ةءﺎ ْاﺎ ﺎ ﺮ ْﺄ

و اﺪْﺪ ﺎ ْﻬ ا ﻰﻬْ و

لْﻮ

:

مْﻮ ﺄْا ﻜ ﺮ ﺎﻜ ﻰ ﺈ دْودﻮْا دْﻮ ﻮْا اْﻮ ًوﺰ

ﺔ ﺎ ْا

)

نﺎ او ﺪ أ اور

(

Artinya :

“Dari Anas r.a., Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami untuk menikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras, lantas beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang banyak keturunannya (subur) dan banyak kasih sayangnya karena sesungguhnya aku akan bermegah-megahhan dengan banyaknya umatku di hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Hibban)

3. Unsur kondisi perempuan

Perempuan yang hendak dinikahi hendaknya masih perawan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW, bersabda :

و ْ ﷲا ﻰ ﷲالْﻮ ر لﺎ جوﺰ أ ْ ﷲا ﺿر ﺮ ﺎ ْ

:

ﺮ ﺎ ﺎ

ْ ، ْ وﺰ

:

لﺎ ،ْ

:

ْ ؟ ﺎ ْمأ ﺮْﻜ

:

.

لﺎ

:

و ﺎﻬ اﺮْﻜ ه

) .

و ىر ﺎ ا اور

(

Artinya :

“ Dari Jabir r.a., sesungguhnya ia pernah menikah lalu Rasulullah SAW, bertanya, “ Ya Jabir, apakah Engkau telah menikah? “ Aku menjawab “ Ya”. Beliau bertanya, “ Dengan perawankah atau sudah janda? “ Aku jawab, “ Sudah janda”. Beliau berkata, “ Alangkah baiknya bila Engkau menikah dengan yang masih perawan sebagai kawan Engkau dalam bersenda gurau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Kedua belah pihak hendaknya taat kepada Tuhan. Firman Allah SWT :

ْ آﺎ ْأ ﷲا ﺪْ ْ ﻜ ﺮْآأ نإ

)....

تاﺮ

:

12

(

Artinya :

“ Sesungguhnya semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.”5

B. Pernikahan menurut Fiqih Klasik 1. Rukun dan Syarat Pernikahan

Menurut fiqih kalsik perkawinan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena setiap aktivitas ibadah yang ada dalam ajaran Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Adapun syarat adalah sesuatu yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.

Kaitannya dengan perkawinan, rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan. Seperti harus adanya pihak laki-laki dan perempuan, wali, saksi,

5

dan akad (ijab dan qabul). Semua rukun itu harus terpenuhi dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan itu. Dalam agama Islam banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam madzhab, akan tetapi penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang telah menjadi hukum tertulis. Semua ulama sependapat tentang sesuatu yang harus ada dalam perkawinan yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad nikah.

Adapun syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan keterangan mengenai syarat-syarat perkawinan yang dituangkan pada Bab II pasal 6 UU. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan dalam pasal 15-29. Menurut Ahmadafik dalam bukunya tentang Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan yang telah dsepakati oleh Jumhur Ulama adalah6:

a. Calon Suami, syarat-syaratnya:

1. Beragama Islam

2. Laki-laki;

3. Jelas orangnya;

6

4. Dapat memberikan persetujuan;

5. Tidak terdapat halangan perkawinan;

b. Calon Istri, syarat-syaratnya:

1. Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani;

2. Perempuan;

3. Jelas orangnya;

4. Dapat diminta persetujuannya;

5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Laki-laki;

2. Dewasa;

3. Mempunyai hak perwalian;

4. Tidak terdapat halangan perwalian.

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1. Minimal dua orang laki-laki

3. Dapat mengerti maksud aqad;

4. Islam;

5. Dewasa.

e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai;

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata

tersebut;

4. Antara ijab dan qabul bersambung;

5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah;

7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu; calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia; harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban keluarga dan sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Secara lebih detail tujuan perkawinan dapat dibagi menjadi lima poin yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

Agama Islam memberikan jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Al-qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:

ﺎ او أ ةﺮ ﺎ رذوﺎ وزأ ه ﺎ رنﻮ ﻮ ﺬ او

)

74

(

Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).”

2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih saying berdasarkan tanggung

Sudah menjadi kodrat iradat Allah SWT, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita sehingga Al-Qur’an melukiskan bahwa pria dan wanita itu bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaiman disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yaitu:

ﻬ سﺎ أو ﻜ سﺎ ه ﻜﺋﺎ ﻰ إ ﺮ امﺎ ﺼ اﺔ ﻜ أ

)

187

(

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itulah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”.

Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Sedangkan perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.

3. Memelihara diri dari kerusakan

Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan melalui perkawinan. Ornag-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun

orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:

ﺎ ﻷ انإ ﻰ ئﺮ أﺎ و

ررﻮ ﻏ ﻰ رنإﻰ ر رﺎ ﻻإءﻮ ﺎ ةر

)

53

(

Artinya: “Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan”.

Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.

C. Pernikahan Menurut Hukum Positif 1. Syarat-syarat Perkawinan

Di dalam hukum positif terdapat syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan.7 Persyaratan perkawinan berdasarkan UU perkawinan terdiri dari syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang

melangsungkan perkawinan, disebut juga sebagai “syarat subyektif”. Syarat formil adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga sebagai “syarat obyektif”.

a. Syarat Materil

UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:

1. Asas monogami relative (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan);

2. {ersetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan);

3. Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan);

4. Lewat masa idah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan);

Masa idah ini diatur perincian pada pasal 39 PP no. 9 Tahun 1975, yaitu:

- 130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;

- 90 hari atau 3 x khuru’, apabila perkawinan putus karena perceraian;

- Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan istri dalam keadaan hamil

Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua hal:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun

keatas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Syarat formil adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis atau lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Pasal 4).8

2. Pendaftaran Nikah

Ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan, maka hendaknya pernikahan tersebut didaftarkan terlebih dahulu. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan harus memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu yang mewilayahi tempat pelaksanaan aqad nikah.

Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan secara tertulis oleh calon mempelai atau oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari sebelum pelaksanaan aqad nikah.Pendaftaran atau pemberitahuan kehendak nikah ini adalah salah satu prosedur agar pernikahan itu dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sangat erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariat Islam

8

harus dilindungi.9 Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946.

Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan10 dengan membawa surat-surat yang diperlukan, surat-surat tersebut adalah:

a. Surat persetujuan calon mempelai

b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul. (akta kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokan dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan administrasi, yang bersangkutan menyerahkan salinan/fotokopinya).

c. Surat keterangan tentang orang tua.

d. Surat keterangan untuk niakah (Model N1).

e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota ABRI.

f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai jika calon mempelai seorang janda/duda.

9

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, h. 49.

10

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-1, h. 15.

g. Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri menurut contoh model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/istri.

h. Surat Izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) s/d dan pasal 7 ayat (2).

i. Surat dispensasi Camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman

j. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya bagi mereka yang tidak mampu.11

Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum. Jika belum cukup syarat yang diperlukan, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolaknya. Jika syarat-syarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku, maka Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang pemberitahuan yang sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum). Perkawinan baru dapat dilaksanakan

11

Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1993), h. 5.

setelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan. Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama dan undang-undang atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh peraturan perundangan yang berlaku.12

Setelah dilaksanakannya pendaftaran nikah, penghulu mempersilahkan kepada calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan nikah agar membayar biaya pencatatan nikah. Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara melalui bank/pos adalah Rp. 30.000. Bagi calon pengantin yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan dapat dibebaskan dari biaya.

12

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), Cet. Ke-2, h. 16.

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH A. Pengertian Pernikahan Sirri

a. Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik

Dari segi etimologis sirri berasal dari bahasa Arab Al-sirr yang berarti rahasia atau tidak terbuka. Dalam hukum Islam, hal ini bukan masalah yang baru, sebab dalam kitab al muwatha, Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu Khattab r.a.:

ا

ةأﺮْ او ر ﻻا ْ ْﺪﻬْ ْ حﺎﻜ ْ ﺮ ﺮ نا ،ﺮْ زْ اْ ﻚ ﺎ ﺎ ﺮ ْﺧ

ﺮ لﺎ

:

ْﻮ و ﺰْ ﻻو ﺮْ احﺎﻜ ﺬه

ْ ﺮ ْ ْ ﺪ ْآ

Bahwasannya Umar dihadapkan kepada seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata :Inilah nikah sirri, aku tidak membolehkannya, sekiranya aku datang pasti aku rajam” (H.R. Malik bin Anas).1

Pengertian nikah sirri dalam persepsi umar tersebut adalah apabila syarat jumlah saksi belum terpenuhi, maka nikah semacam ini menurut umar dapat

dipandang sebagai nikah sirri.2 Dilihat dari keterangan nikah sirri menurut umar dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai saksi diantara para Imam Madzhab (Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi’i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.3 Berdasarkan dalil:

ﺪْ ْ ﺧ ْ ﺎ ْ ْ ﷲاﺪْ ْ ﺮْﺮ ْ ﺪ وﺪ ﺎ ْ ْ ﺎ ﺮ ْ ا

وﺮْ

لﺎ سﺎ ْ ﺬهﺎ

:

ﺪْ ْﺪ وو لْﺪ ىﺪهﺎ رﻻاحﺎﻜ ﺎ

Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”.4

Nikah sirri merupakan nikah yang masih diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat dua golongan ulama yang berpendapat. Golongan pertama yaitu Jumhur Ulama. Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah

2

Mahful M. dan Herry Muhammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1, h. 31.

3

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study Perbandingan dalam kalangan Ahlus-sunnah danNegara-negara Islam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h. 153.

4

berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan tersebut tidak sah.

Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dan Aisyah:

ْ ْﻮ ﺮْﺿاوﺪ ﺎ ا ْﻮ ْ اوحﺎﻜ ااﺬهاْﻮ ا

فْﻮ ﺪ ﺎ

)

ىذﺮ ﺎهاور

(

Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta

ramaikanlah dengan memukul rebana”. (H.R at-Tirmidzi).5

Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh.6

Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai

5

Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19.

6

sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi.7

Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.8

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.9

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia ) tidak boleh. 10Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap nikah sirri atau bukan. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal

Dokumen terkait