PRAKTEK ITSBAT NIKAH PERNIKAHAN SIRRI
(Analisis Putusan Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan Nomor 10/Pdt.P/2007/PA.JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (SSy)
Oleh : Rifqy Yatunnisa
106043101316
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah iniNama : Rifqy Yatunnisa
NIM : 106043101316
Semester/Jur./Prodi : VIII/PMH/PMF
Fakultas : Syari’ah dan Hukum (FSH)
Telepon : 085224794155
Alamat : Jl. MTs Galaherang, No. 408 Rt. 04/10 Maleber, Kuningan Jawa Barat 45574
Dengan ini memohon penundaan pembayaran uang kuliah Semester VIII yang akan dibayarkan pada tanggal 3 Maret 2010 dengan segala dendanya.
Saya menyesali tindakan keterlambatan pembayaran ini. Saya berjanji untuk tidak terlambat membayar biaya kuliah di semester-semester yang akan datang. Jika saya mengulani hal yang sama, maka siap untuk di-drop out (DO).
Demikian, atas perhatian dan perkenan Bapak saya ucapkan terima kasih.
Mengetahui,
A.n. Dekan Jakarta, 3 Maret 2010
Pembantu Dekan Bidang Pemohon,
Administrasi Umum
Drs. Nuryamin Aini, MA Rifqy Yatunnisa NIP. 196303051991031002 NIM. 106043101316
Tembusan:
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah iniNama : Nunung Nurjannah
NIM : 104046101654
Semester/Jur./Prodi : X/Muamalat/PS
Fakultas : Syari’ah dan Hukum (FSH)
Telepon : 02191868665
Alamat : Jl.Pulo Cempaka Putih 3 No.37Jaksel 12210
Dengan ini memohon penundaan pembayaran uang kuliah Semester VIII yang akan dibayarkan pada tanggal 3 Maret 2010 dengan segala dendanya.
Saya menyesali tindakan keterlambatan pembayaran ini. Saya berjanji untuk tidak terlambat membayar biaya kuliah di semester-semester yang akan datang. Jika saya mengulani hal yang sama, maka siap untuk di-drop out (DO).
Demikian, atas perhatian dan perkenan Bapak saya ucapkan terima kasih.
Mengetahui,
A.n. Dekan Jakarta, 3 Maret 2010
Pembantu Dekan Bidang Pemohon,
Administrasi Umum
Drs. Nuryamin Aini, MA Nunung Nurjannah
NIP. 196303051991031002 NIM. 104046101654
Tembusan:
i
KATA PENGANTAR
Subhanallah. Sungguh hanya Allah, Dzat yang Maha Suci dan Maha Mengetahui, yang telah mengajarkan ilmu kepada umat manusia dan mengangkat derajat orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mencari ilmu-Nya. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Luapan puji serta syukur tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, atas ridho serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, tauladan dan panutan bagi umat manusia. Yang telah mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi muslim kaffah. Beserta seluruh sahabat dan umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman.
Skripsi ini dipersembahkan terkhusus untuk motivator terbesar sepanjang perjalanan penulis, Ayahanda Drs. Djazuli Rais dan Ibunda Muawanah S.Pd.I untuk segala dorongan, bimbingan, dan doa tulusnya. Semua kasih dan sayang yang diberikan takkan kunjung terbalas. Semoga Allah melimpahkan keduanya dengan rahmat dan barokah.
Tak lupa pula terima kasih penulis sampaikan kepada :
ii
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum dan Bapak Dr Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum.
3. Ibu Dr. Euis Nurlaelawati, MA atas bimbingan, arahan dan perhatiannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan berbagai bekal ilmu kepada penulis selama kuliah.
5. Pimpinan dan staf Peradilan Agama Jakarta Selatan yang telah membantu dan memberikan pasilitas kepada penulis untuk menganalisa suatu putusan perkara yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
6. Pimpinan serta staf perpustakaan FSH dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
7. Adeku tercinta Rifa dan Akbar, kalian harus lebih semangat dalam menuntut ilmu. khusus buat adeku rifa terima kasih atas canda tawanya dikala penulis sedang menyusun skripsi. Serta segenap keluarga besar di Galaherang untuk perhatian dan motivasinya.
iii
9. Seluruh Alumni HK 6_8 : Eva, Mardiyah, k een, k evi, k lela yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bagi orang nan jauh disana yang selalu mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis dalam segala hal
11. Segenap pribadi yang belum disebutkan di atas, terima kasih atas doa dan bantuannya, tanpa kalian penulis tidak akan mampuh melangkah hingga titik ini.
Hanya kepada Allah, penulis memanjatkan doa. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pembaca.
Jakarta, 31 Mei 2010
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………. i
Daftar Isi………. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 7
D. Re
view Studi Terdahulu……… 8
E. Metode Penelitian………. 11
v
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengert
ian dan Dasar Perkawinan……… 17
B. Perkawinan dalam Fiqih Klasik……… 23
C. Perkawinan dalam Hukum Positif……… 29
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH
A. Pengertian
Pernikahan Sirri………... 35
B. Dampak daripada Pernikahan Sirri……… 46
C. Lembaga Itsbat Nikah……… 47
BAB IV PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH : HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Peradilan Agama Jakarta Selatan…………. 51
B. Gam
baran Perkara Itsbat Nikah dalam Analisis………53
v i
D. Analisis terhadap Putusan………. 60
E. Status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah……… 67
BAB V PENUTUP
A. Kesi
mpulan………69
B. Saran………. 70
Daftar Pustaka………. 71
Lampiran
Lampiran 1: Putusan Nomor 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS. Dan Ptusan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih sayang dan kesetaraan.
Tidak hanya kesamaan di depan hukum yang diperjuangkan, tetapi hukum Islam
memberikan hak virtual yang setara kepada setiap orang berdasarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat. Senada dengan gagasan ini adalah pernyataan Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, yaitu “asas dan pijakan syari’at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan kehidupan duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan dan hikmah kehidupan bermasyarakat; dan (syari’at Islam) sebaliknya menentang segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan.” Ini artinya, segala bentuk ketidak-adilan adalah musuh utama hukum Islam. Bahkan dalam banyak ketentuan, hukum Islam sangat berpihak kepada
kelompok yang lemah, tertindas.
Hukum perkawinan Islam bersumber dari al-qur’an dan hadits. Segala bentuk
hukum Islam seperti yang diyakini banyak orang, tetapi bertentangan dengan prinsip
dasar (seperti keadilan, dan kesetaraan) dari kedua sumber ajaran ini, harus dianulir,
minimal perlu dikaji-ulang.1
Perkawinan menurut hukum Islam sebagaimana di tegaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam sama artinya dengan perkawinan, yaitu aqad yang sangat kuat atau
1
NoryaminAini, Kompilasi Karya Ilmiah, 2008, h. 5-6.
mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya sebagai ibadah.2Perkawinan disyariatkan agar manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dibawah
naungan cinta kasih dan ridha Illahi. Tujuan perkawinan yang disyariatkan oleh
al-qur’an dan UU dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut
prosesnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama.3
Allah telah mengatur mengenai perkawinan bagi manusia, dengan adanya
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah maka manusia tidak boleh berbuat
semaunya seperti binatang yang perkawinannya tanpa sebuah aturan. Allah telah
memberikan batas dengan peraturanNYa yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam
kitab-Nya tentang hukum perkawinan. Untuk membangun negara yang kuat, adil dan
makmur serta dilandasi dengan ketentuan yang berlaku secara positif. Dan negara kita
telah membuktikan dengan mewujudkan ketentuan yang dimaksud yaitu dengan
dilahirkannya Kompilasi Hukum Islam tentang masalah pernikahan. 4
Secara logika adalah suatu kewajiban bila perkawinan yang berlaku pada
manusia harus ada aturannya. Sebab perkawinan merupakan bentuk sosial legal yang
melambangkan pertanggung jawaban sosial terkecil. Sebagai legitimasi penyaluran
hasrat manusia (nafsu), perkawinan mengandung makna kalau akibat dari penyaluran
2
Arso Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 29.
3
Amir Nurudin, Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004), h. 38.
4
Syaharani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung Alumni tth, 2004), h. 10.
tersebut harus jelas pertanggung jawabannya sebagai kelangsungan hidup manusia
dan peradaban dunia.5
Hakikat perkawinan yang digambarkan dalam Undang-undang No. I Tahun
1974 tentang perkawinan sejalan dengan hakikat perkawinan dalam Islam, karena
keduanya tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja, tapi sekaligus
ikatan pertautan kebathilan antara suami istri yang ditujukan untuk membina keluarga
yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, kedua
bentuk hukum tersebut berbeda-beda dengan hukum Barat-Amerika, yang
memandang perkawinan hanya merupakan bentuk persetujuan, dan kontrak
perkawinan menurut mereka.6
Pencatatan perkawinan ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih
khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami dan istri,
atau salah satunya tidak bertanggun jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet Ke-1, h. 107.
6
Huzaimah. T. Yanggo dah Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) , Cet Ke-1, h. 56.
akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.7
Persoalan muncul ketika perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak
dicatatkan sehingga tidak mendapatkan akta nikah. Di dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.8 Ayat 2 Pasal (2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
5 ayat (1) yaitu, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat”. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu, (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.9
Itsbat nikah adalah penetapan nikah yang tidak terdaftar di pengadilan agama
setempat. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena
adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka
untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada pengadilan
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) Cet Ke-1, h. 108.
8
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan PemerintahNomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2004), h. 14.
9
Ibid, h. 129.
agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan
perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut.
Ayat (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama
Ayat (3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 197410
Melihat penjelasan di atas, kita memahami bahwa Pengadilan Agama
mempunyai sebuah wewenang dalam menangani itsbat nikah pernikahan sirri.
Bagaimana Pengadilan Agama meelaksanakan wewenang tersebut? Apakah mereka
menangani dan memberikan penetapan sudah sesuai dengan prinsip dasar hukum
Islam yaitu keadilan dan kesetaraan.
10
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 27.
Atas latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
meneliti praktek pelaksanaan itsbat nikah dengan mengangkat tema ”Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis akan mengemukakan seputar masalah
pernikahan sirri (yang tidak tercatat) dan praktek pelaksanaan itsbat nikah seperti
diatur dalam peraturan perundang-undangan menurut konteks hukum Islam dan
hukum positif. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hal itu, maka penulis
membatasi pembahasan pada praktek itsbat nikah dari pernikahan sirri dengan
menganalisa putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 10
/ Pdt.P / 2007 / PA. JS.dengan putusan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJ tentang
pembahasan itsbat nikah.
a. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembahasan masalah di atas, perumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Apa alasan-alasan pengajuan penetapan itsbat nikah?
2. Bagaimana prosedur pengajuan itsbat nikah?
3. Apa pertimbangan hakim dalam memberikan putusan?
4. Bagaimana status nikah sirri setelah dilaksanakan itsbat nikah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
1. Alasan-alasan apa saja yang digunakan oleh orang yang melakukan
pengajuan itsbat nikah.
2. Pertimbangan apa saja yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam memberikan itsbat nikah, khususnya dalam
permasalahan tersebut.
3. Prosedur pengajuan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Status nikah setelah dilaksanakannya itsbat nikah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk memberikan kejelasan bagaimana hukum Nikah Sirri dalam
ketentuan hukum Islam / hukum perdata Nasional yang ada di Indonesia
2. Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja yang berkepentingan
dengan penanganan pernikahan sirri
3. Untuk dijadikan pedoman atau referensi dalam hal-hal yang berhubungan
dengan prosedur Itsbath Nikah dari pernikahan sirri
D. Review Study Pustaka
Dari hasil penelusuran terhadap karya ilmiyah yang penulis temukan, ada
beberapa tema penelitian tentang itsbat nikah, di antaranya skripsi berjudul “Itsbat Nikah Dan Proses Penyelesaiannnya Di Pengadilan Agama (Studi Analisis di Pengadilan Agama Jakarta Timur)” yang diajukan oleh Ulfa Fouziyah, Jurusan Peradilan Agama, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2008. Skripsi tersebut membahas tentang proses penyelesaian itsbat nikah dan
pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara tersebut. Dalam analisisnya penulis
mencermati hanya satu kasus saja tanpa membandingkan dengan kasus yang lain.
Dalam kasusnya pemohon yang bernama Hj. Tahwilah binti H. Darip telah menikah
dibawah tangan dengan H. Abd. Syukur bin H. Mahmud pada tahun 1993.
Berdasarkan permohonan pemohon tersebut perkawinan pemohon dengan H. Abd.
Syukur tersebut terdapat unsur perkawinan poligami dibawah tangan , karena tidak
memenuhi ketentuan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 Undang-undang Nomor. 1 Tahun
1974 jo. Pasal 40, 41, pasal 42, pasal 43 dan pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
Dalam kasus ini majelis hakim menolak itsbat nikah yang terdapat unsur
pelanggaran poligami. Selain itu majelis berpendapat bahwa karena adanya pihak
yang berkeberatan yaitu pihak dari istri pertama atas permohonan itsbat nikah yang
diajukan pemohon, dengan sendirinya perkara ini menjadi contentius bukan voluntair.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa
permohonan itsbat nikah yang diajukan pemohon bukan ditolak tetapi dinyatakan
tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard). Dalam hal ini baik dari observasi maupun secara teoritis, skripsi ini tidak menyinggung prosedur pengajuan itsbat
nikah, alasan-alasan dilakukannya pernikahan sirri dan status nikah sirri setelah
dilaksanakannya itsbat nikah.
Skripsi lain yang mengkaji tentang itsbat nikah adalah skripsi dengan judul
“Analisis Penetapan Hakim Nomor. 74/P.2/1990/PA.SBR Tentang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Yang Dilaksanakan Melalui Kawin Gantung Di Pengadilan Agama Sumber Cirebon” yang ditulis Imro’ah, jurusan Perbandingan Madzhab Dan Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2008.
Skripsi ini membahas proses pemeriksaan perkara No.74/P.2/1990/PA.Sbr
tentang pengesahan kawain gantung, Pertimbangan hakim dalam memberikan
penetapan peristiwa kawin gantung dan pandangan hukum Islam dan hukum positif
terhadap penetapan hakim dalam perkara tersebut. Dalam kasus ini majelis hakim
mengabulkan permohonan pemohon, karena perkawinan tersebut dilaksanakan
sebelum berlakunya Undang-undang no. 1 Tahun 1974. Penetapan hakim yang
mengabulkan permohonan pemohon dalam rangka melaksanakan tertibnya
perkawinan sebagaimana dijelaskan pasal 5 KHI agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, walaupun Islam tidak
mengatur adanya pencatatan namun pencatatan tersebut banyak menimbulkan
kemaslahatan dan manfaat bagi tegaknya rumah tangga yang teratur, karena
sesungguhnya agama tidak menghendaki adanya kesusahan bagi umatnya. Menururt
Soepomo kawin gantung adalah perkawinan antara dua anak yang belum dewasa dan
masih tinggal bersama orang tuanya dengan menunda saat hidup bersama. Adapun
perkara Nomor 74/P.2/1990/Pa.Sbr ini merupakan perkara Voluntair, yaitu perkara
yang sifat permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa.
Sedangkan pada skripsi ini penulis membedakan pembahasan penelitian dari
skripsi yang sudah ada di atas dengan titik singgung yang berbeda, yaitu terkait
dengan alasan-alasan dilakukannya pernikahan sirri dan status nikah sirri setelah
dilaksanakannya itsbat nikah, dengan alasan, bahwa alasan-alasan dilakukannya
nikah sirri dan status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah akan lebih
relevan sebagai pertimbangan atas aspek kemaslahatan sebagai maqasid al-syariah ditetapkannya suatu hukum. Untuk mengetahui secara komparatif perbedaan fokus 2
study penelitian tersebut dengan penelitian ini cermati tabel ini
NO NAMA JUDUL PERBEDAAN
1 Ulfah Fouziyah
PA/ Syariah dan
Hukum/ 2008
M
Itsbat Nikah dan Proses
Pelaksanaannya di
Pengadilan Agama
Jakarta Timur (Studi
analisis di Pengadilan
Skripsi ini hanya membahas
analisis Putusan hakim saja
tanpa membandingan dengan
kasus lain
Agama Jakarta Timur)
2 Imro’ah
PA/ Syariah dan
Hukum/ 2008
M
Analisis Penetapan
Hakim No. 74/P. 2/
1990/ PA Sumber
Cirebon tentang
pengesahan perkawinan
(Itsbat Nikah) yang
dilaksanakan melalui
kawin gantung di
Pengadilan Agama
Sumber Cirebon
• Skrips ini membahas
tentang Itsbat Nikah
dari pernikahan yang
dilaksanakan melalui
kawin gantung
• Skripsi ini membahas
analisi putusan hakim
saja tanpa
membandingkan
dengan kasus lain
E. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang hukum. Untuk itu penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala
bersangkutan. 11
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan penelitian Normatif dengan
menggunakan pendekatan perbandingan dengan metode deskriptif analisis. Metode
deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa
terhadap kenyataan di lapangan.12 Sedangkan yang dimaksud dengan menggunakan
pendekatan perbandingan adalah suatu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu
negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain.
Disamping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan
putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama.13 Penentuan instrumen
penelitian ini berupa penelitian sebagai instrumen penelitian utama dengan
menggunakan sumber tertulis dan wawancara. Wawancara diperlukan untuk
melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan.14
1. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka sumber
data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder
11
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 38.
12
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Posda Karya, 2004), h. 3.
13
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian hukum (Jakarta: Kencana Prnada Media Group, 2005), h. 133.
1. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asal, yang
dalam hal ini data primer penulis adalah putusan Nomor : 10 / Pdt.P / 2007 /
PA. JS dan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS. Disamping itu, juga melakukan
wawancara yang dilakukan dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, yang selanjutnya akan diedit kembali sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
2. Data sekunder adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai
sumber data primer, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya
dari kalangan hukum dan sebagainya yang ada kaitannya dengan topik yang
dibahas.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penyelesaian
penelitian studi kepustakaan, yakni menelususri bahan pustaka yang terkait dengan
masalah itsbat nikah pernikahan sirri, baik dari dokumen-dokumen, buku-buku,
majalah, jurnal-jurnal dan lain-lain yang ada relevansinya dengan tema penelitian.
Untuk mendapatkan penjelasan lebih jelas itsbat nikah pernikahan sirri (analisiss
putusan hakim Nomor : 10 /Pdt.P / 2007 / PA. JS dengan putusan Nomor
040/Pdt.P/2008/PAJS) maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara datang
kelokasi yang ada hubungannya dengan para pihak yang terkait dan mampu, dalam
hal ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Teknik Pengolahan Data
a) Seleksi data : Setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui
library research maupun field research, lalu data diperiksa kembali satu
persatu agar tidak terjadi kekeliruan
b) Klasifikasi data : Setelah data diperiksa lalu diklasipikasikan dalam
bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil suatu kesimpulan.
4. Analisis Data
Analisis ini (content analytis) atau analitis dokumen dilakukan setelah
bahan-bahan data dikumpulkan. Data akan dianalisa dengan cara membandingkan
penerapan yang diperoleh dalam pemeriksaan perkara permohonan itsbath nikah dari
pernikahan sirri di Peradilan Jakarta Selatan dengan teori mengenai Pencatatan
Pernikahan.
F.Pedoman Penulisan
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis merujuk kepada buku ”Pedoman
Penulisan Skripsi” Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
UIN Jakarta Press, 2007.
G. Sistematika Penulisan
Untuk Sistematika dalam penulisan ini, penulis membagi pembahasan
menjadi empat bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian
Adapun sistematika ini diuraikan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review study
terdahulu (kajian pustaka), metode penelitian, pedoman penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
Bab ini memaparkan beberapa hal terkait pernikahan menurut fiqih klasik,
pernikahan dalam hukum positif, mulai dari syarat dan rukun nikah,
pendaftaran nikah.
BAB III : Tinjauan Umum Tentang Pernikahan Sirri dan Itsbat Nikah
Pada bab ini penulis menjelaskan pengertian pernikahan sirri, dampak
daripada pernikahan sirri, pengertian itsbat nikah, lembaga itsbat nikah yang
meliputi pasal-pasal tentang itsbat nikah.
BAB IV : Itsbat Nikah dan Pelaksanaannya: Analisis Putusan
Bab ini merupakan bab yang akan menggambarkan Peradilan Agama
Jakarta Selatan, Gambaran perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS, Gambaran
perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS, isi putusan, analisis pertimbangan
Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan, Status nikah sirri setelah
dilasanakannya itsbat nikah.
BAB V : Penutup (kesimpulan)
Bab ini tentang kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini dan memaparkan
beberapa saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A.Pengertian dan Dasar Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin anatu bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata
nikah
حﺎﻜ
yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,
dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah “ sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi pernikahan,
diantaranya adalah :
و
ةأْﺮ ْﺎ
ﺮ ا
ع
ﺎ ْ ْ ا
ﻚ
ﺪْ ْ
عرﺎ ا
ﺿو
ﺪْ ﻮه
ﺎ ْﺮ
جاوﺰ ا
ﺮ اﺎ
ةأْﺮ ْا
عﺎ ْ ْ ا
.
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenagsenangnya perempuan dengan laki-laki.15
Para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan
biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini misalnya
Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa pernikahan adalah akad yang membolehkan
terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita tesebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, ataupun sepersusuan.
Sama halnya menurut Hanafiah bahwa nikah adalah akad yang memberi
faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki
untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.
Begitupula menurut Hanabilah bahwa nikah adalah akad yang menggunakan
lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar imam Taqiyuddin mendefinisikan nikah
dengan seperti aqad yang mahsur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang
dimaksud dengan aqad adalah al-wath’.
15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 7-8.
Dari definisi yang di atas, jelas para ulama fiqih mengartikan dari kata nikah
dengan makna hubungan biologis atau dengan kata lain nikah diartikan dengan
makna persetubuhan.16
Didalam fiqih klasik dijelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur,
berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Golongan zhahiri berpendapat bahwa
nikah itu wajib. Sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk
segolongan yang lain lagi.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat
dan hadits berikut ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mubah? Ayat tersebut
adalah:
ﺎ
اْﻮ ﻜْﺎ
ا
ْ ﻜ
بﺎﻃ
رو
و
ْ
ءﺎ
Artinya :
“….maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (Qs. an-Nisa : 3)
Dan hadis tersebut adalah :
ﺄْا
ﻜ
ﺮ
ﺎﻜ
ْ ﺈ
اْﻮ آ
ﺎ
) .
ﺋﺎ ا
ﺮﺧأ
ﺎ
او
(
16
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 38-40.
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kawin, saya berlomba-lomba memperbanyak umat dengan umat lain.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)17
Fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi, didasarkan atas
pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran.18
2.
Dasar Pernikahan
Pernikahan dilakukan dengan berbagai dasar dalam fiqih klasik. Dasar-dasar
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Unsur agama
Pernikahan dilihat pada agama adalah sebuah tuntutan yang pertama,
walaupun pernikahan boleh pula didasarkan pada kecantikan, keturunan, atau
kekayaan., akan tetapi agama adalah tuntutan yang utama yang harus diperhatikan
oleh seseorang ketika akan melangsungkan pernikahan. Namun apabila keempatnya
terdapat pada seseorang, hal itu sangat dianjurkan.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 394.
18
Ibnu Rusyd, ibid, h. 396.
ا
ْ
ﷲ
ا
ﺿر
ةﺮْ
ﺮه
ﻰ
أ
ْ
ﻰ
ﷲ
ا
ْ
و
ﺎ
ل
:
ْﻜ
ْا
ْﺮ
أة
ﺄ
ْر
ﺎ
ﻬ
و
ﺎ
ﻬ
و
ﺎ
ﺎ
ﻬ
و
ﺎ
ﺪ
ْ
ﻬ
ﺎ
ﺎ
ْﻇ
ْﺮ
ﺬ
ت
ا
ﺪ ا
ْ
ﺮ
ْ
ﺪ
كا
)
اور
و
ير
ﺎ ا
(
Artinya :“ Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda “ Perempuan itu dinikahi karena empat macam, yaitu karena hartanya, pangkat atau keterunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka ambillah perempuan yang taat kepada agama, niscaya engkau akan beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Unsur kesuburan pasangan: pihak istri
Ketika seorang laki-laki sudah berencana akan melangsungkan pernikahan, maka
ketika memilih calon istri hendaknya yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi,
karena akan melahirkan generasi-generasi muda umat nabi Muhammad SAW yang
akan meneruskan amanah dimuka bumi ini
sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan :
Artinya :
“Dari Anas r.a., Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami untuk menikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras, lantas beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang banyak keturunannya (subur) dan banyak kasih sayangnya karena sesungguhnya aku akan bermegah-megahhan dengan banyaknya umatku di hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Hibban)
3. Unsur kondisi perempuan
Perempuan yang hendak dinikahi hendaknya masih perawan.Dalam sebuah
hadits, Rasulullah SAW, bersabda :
و
ْ
ﷲا
ﻰ
ﷲا
لْﻮ ر
لﺎ
جوﺰ
أ
ْ
ﷲا
ﺿر
ﺮ
ﺎ
ْ
:
ﺮ ﺎ
ﺎ
ْ
، ْ وﺰ
:
لﺎ
،
ْ
:
ْ
؟
ﺎ
ْمأ
ﺮْﻜ
:
ﺎ
.
لﺎ
:
و
ﺎﻬ
اﺮْﻜ
ه
ﻚ
) .
و
ىر
ﺎ ا
اور
(
Artinya :“ Dari Jabir r.a., sesungguhnya ia pernah menikah lalu Rasulullah SAW, bertanya, “ Ya Jabir, apakah Engkau telah menikah? “ Aku menjawab “ Ya”. Beliau bertanya, “ Dengan perawankah atau sudah janda? “ Aku jawab, “ Sudah janda”. Beliau berkata, “ Alangkah baiknya bila Engkau menikah dengan yang masih perawan sebagai kawan Engkau dalam bersenda gurau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Kedua belah pihak hendaknya taat kepada Tuhan.
Firman Allah SWT :
ﺪْ
ْ ﻜ
ﺮْآأ
ن
ْ آﺎ ْأ
ﷲا
....
Artinya :
“ Sesungguhnya semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.”(QS. Al Hujarat: 12)19
B. Pernikahan menurut Fiqih Klasik
1. Rukun dan Syarat Pernikahan
Menurut fiqih kalsik perkawinan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi
rukun dan syarat nikah. Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena setiap aktivitas ibadah yang ada
dalam ajaran Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat. Rukun yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah).
Adapun syarat adalah sesuatu yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Kaitannya dengan perkawinan, rukun perkawinan merupakan sebagian dari
hakikat perkawinan. Seperti harus adanya pihak laki-laki dan perempuan, wali, saksi,
19
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 253-255.
dan akad (ijab dan qabul). Semua rukun itu harus terpenuhi dan tidak dapat terjadi
suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan itu. Dalam agama
Islam banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam madzhab, akan tetapi
penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang telah
menjadi hukum tertulis. Semua ulama sependapat tentang sesuatu yang harus ada
dalam perkawinan yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali
dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad nikah.
Adapun syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan memberikan keterangan mengenai syarat-syarat perkawinan yang
dituangkan pada Bab II pasal 6 UU. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan dalam pasal 15-29.
Menurut Ahmadafik dalam bukunya tentang Hukum Islam di Indonesia menyatakan
bahwa syarat-syarat perkawinan yang telah dsepakati oleh Jumhur Ulama adalah20:
a. Calon Suami, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam
2. Laki-laki;
3. Jelas orangnya;
20
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:Rajawali Pers, 1998), h. 71.
4. Dapat memberikan persetujuan;
5. Tidak terdapat halangan perkawinan;
b. Calon Istri, syarat-syaratnya:
1. Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani;
2. Perempuan;
3. Jelas orangnya;
4. Dapat diminta persetujuannya;
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1. Laki-laki;
2. Dewasa;
3. Mempunyai hak perwalian;
4. Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul;
3. Dapat mengerti maksud aqad;
4. Islam;
5. Dewasa.
e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai;
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata
tersebut;
4. Antara ijab dan qabul bersambung;
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;
6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah;
7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimumempat orang yaitu;
calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita, dan dua
orang saksi.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia;
harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban keluarga dan sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota
keluarga. Secara lebih detail tujuan perkawinan dapat dibagi menjadi lima poin yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Agama Islam memberikan jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia
dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada
Tuhan. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran
anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Al-qur’an juga
menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putra yang menjadi
mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:
ﺎ
او
أ
ةﺮ
ﺎ رذو
ﺎ وزأ
ه
ﺎ ر
نﻮ ﻮ
ﺬ او
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).”(Al-Furqan: 74)
2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih saying berdasarkan tanggung
jawab
Sudah menjadi kodrat iradat Allah SWT, manusia diciptakan
berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan
antara pria dan wanita sehingga Al-Qur’an melukiskan bahwa pria dan wanita itu
bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaiman disebutkan
dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yaitu:
ﻜﺋﺎ
ﻰ إ
ﺮ ا
مﺎ ﺼ ا
ﺔ
ﻜ
أ
ﻬ
سﺎ
أو
ﻜ
سﺎ
ه
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itulah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk
menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan
bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan
menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab, karena didasarkan atas kebebasan
yang tidak terikat oleh satu norma. Sedangkan perkawinan mengikat adanya
kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung
jawab melaksanakan kewajiban.
3. Memelihara diri dari kerusakan
Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan
melalui perkawinan. Ornag-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan
perkawinan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun
orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu
itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
ﻻإ
ءﻮ ﺎ
ةرﺎ ﻷ
ا
نإ
ﻰ
ئﺮ أﺎ و
ﻰ ر
نإ
ﻰ ر
رﺎ
ر
رﻮ ﻏ
Artinya: “Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan.” (QS. Yusuf: 53)
Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah
menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi
dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
C. Pernikahan Menurut Hukum Positif
1. Syarat-syarat Perkawinan
Di dalam hukum positif terdapat syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan
ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan
perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan.21 Persyaratan perkawinan
berdasarkan UU perkawinan terdiri dari syarat materil dan syarat formil. Syarat
materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan, disebut juga sebagai “syarat subyektif”. Syarat formil
21
Ibid., h. 67.
adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan
undang-undang, disebut juga sebagai “syarat obyektif”.
a. Syarat Materil
UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat
perkawinan sebagai berikut:
1. Asas monogami relative (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan);
2. {ersetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan);
3. Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7
ayat (1) UU Perkawinan);
4. Lewat masa idah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan);
Masa idah ini diatur perincian pada pasal 39 PP no. 9 Tahun 1975, yaitu:
- 130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;
- 90 hari atau 3 x khuru’, apabila perkawinan putus karena perceraian;
- Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian
dan istri dalam keadaan hamil
5. Tida k terhalang oleh larangan perkawinan.
Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua
hal:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak
tiri;
d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
b. Syarat Formil
Syarat formil adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak baik
sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Pasal 3 dan 4 PP
No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis atau
lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Pasal 4).22
2. Pendaftaran Nikah
Ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan, maka hendaknya
pernikahan tersebut didaftarkan terlebih dahulu. Dalam Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 477 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan
melaksanakan pernikahan harus memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu
atau Pembantu Penghulu yang mewilayahi tempat pelaksanaan aqad nikah.
Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan secara tertulis oleh calon
mempelai atau oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari sebelum pelaksanaan
aqad nikah.Pendaftaran atau pemberitahuan kehendak nikah ini adalah salah satu
prosedur agar pernikahan itu dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat.
Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sangat
erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariat Islam
22
Kamarusdiana , Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2001), h. 8-9.
harus dilindungi.23 Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946.
Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan24 dengan membawa surat-surat
yang diperlukan, surat-surat tersebut adalah:
a. Surat persetujuan calon mempelai
b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul. (akta
kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokan
dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan administrasi, yang bersangkutan
menyerahkan salinan/fotokopinya).
c. Surat keterangan tentang orang tua.
d. Surat keterangan untuk niakah (Model N1).
e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota ABRI.
f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai
jika calon mempelai seorang janda/duda.
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, h. 49.
24
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-1, h. 15.
g. Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala Desa yang
mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri menurut contoh
model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian
suami/istri.
h. Surat Izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) s/d
dan pasal 7 ayat (2).
i. Surat dispensasi Camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari
10 hari kerja sejak pengumuman
j. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya bagi mereka yang tidak
mampu.25
Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera
meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada
halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang
dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum. Jika belum cukup
syarat yang diperlukan, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolaknya. Jika
syarat-syarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku,
maka Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang pemberitahuan yang
sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum). Perkawinan baru dapat dilaksanakan
25
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1993), h. 5.
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan. Ketentuan ini
dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya
perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama
dan undang-undang atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh
peraturan perundangan yang berlaku.26
Setelah dilaksanakannya pendaftaran nikah, penghulu mempersilahkan kepada
calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan nikah agar membayar biaya
pencatatan nikah. Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara
melalui bank/pos adalah Rp. 30.000. Bagi calon pengantin yang tidak mampu
membayar biaya pencatatan nikah dengan membawa surat keterangan tidak mampu
dari Kepala Desa/Kelurahan dapat dibebaskan dari biaya.
26
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), Cet. Ke-2, h. 16.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH
A. Pengertian Pernikahan Sirri
a. Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik
Dari segi etimologis sirri berasal dari bahasa Arab Al-sirr yang berarti rahasia
atau tidak terbuka. Dalam hukum Islam, hal ini bukan masalah yang baru, sebab
dalam kitab al muwatha, Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu Khattab r.a.:
ا
ةأﺮْ او
ر
ﻻا
ْ
ْﺪﻬْ
ْ
حﺎﻜ
ْ
ﺮ
ﺮ
نا
،ﺮْ ز
ْ ا
ْ
ﻚ
ﺎ
ﺎ ﺮ ْﺧ
ﺮ
لﺎ
:
ﺬه
ْ ﺮ
ْ
ْ ﺪ
ْآ
ْﻮ و
ﺰْ
ﻻو
ﺮْ ا
حﺎﻜ
“Bahwasannya Umar dihadapkan kepada seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata :Inilah nikah sirri, aku tidak membolehkannya, sekiranya aku datang pasti aku rajam” (H.R. Malik bin Anas).
Pengertian nikah sirri dalam persepsi umar tersebut adalah apabila syarat
jumlah saksi belum terpenuhi, maka nikah semacam ini menurut umar dapat
dipandang sebagai nikah sirri.27 Dilihat dari keterangan nikah sirri menurut umar
dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan
kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.
Mengenai saksi diantara para Imam Madzhab (Abu Hanifah, Syafi’i dan
Malik) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi’i
berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.28 Berdasarkan dalil:
ﷲاﺪْ
ْ
ﺮْﺮ
ْ
ﺪ و
ﺪ ﺎ
ْ
ْ
ﺎ ﺮ ْ ا
ﺪْ
ْ
ﺧ
ْ
ﺎ ْ
ْ
لﺎ
سﺎ
ْ
ﺬه
ﺎ و
ﺮْ
:
ﺪْ ْﺪ
وو
لْﺪ
ىﺪه
ﺎ ر
ﻻا
حﺎﻜ ﺎ
Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”.29
Nikah sirri merupakan nikah yang masih diperdebatkan sah atau tidaknya
oleh para ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat dua golongan ulama yang
berpendapat. Golongan pertama yaitu Jumhur Ulama. Mereka menyatakan bahwa jika
para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar
merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak
27
Mahful M. dan Herry Muhammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1, h. 31.
28
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study Perbandingan dalam kalangan Ahlus-sunnah danNegara-negara Islam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h. 153.
29
Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, al-umm, juz 5, h. 19.
ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu
diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah
berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan
tersebut tidak sah.
Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah,
Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan
kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi
makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda
Nabi SAW dan Aisyah:
ا
فْﻮ ﺪ ﺎ
ْ
ْﻮ ﺮْﺿاوﺪ
ﺎ ا
ْﻮ ْ او
حﺎﻜ ااﺬه
اْﻮ
)
ىذ
ﺮ ﺎهاور
(
Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta
ramaikanlah dengan memukul rebana”. (H.R at-Tirmidzi).30
Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah
dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua
mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh.31
Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa
saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi
persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai
30
Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19.
31
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 187.
sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah
dihadiri oleh para saksi.32
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai
ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam
al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang
piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni
saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang
tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.33
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang
mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi
dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan
dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya
yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.34
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia ) tidak
boleh. 35Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan
keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap
nikah sirri atau bukan?. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal
32
Ahmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarata: Raja Grafindo Persada, 1995). Cet. Ke-1, h. 48.
33
Ahmad Kuzari Op. Cit., h. 48.
34
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187.
35
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Cet. Ke-1, h. 383.
itu bukan nikah sirri. Tatpi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah
nikah sirri dan dibatalkan.36 Perbedaan pendapat ini disebabkan apakah kedudukan
saksi dalam perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu
dimaksudkan unuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran?
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka
mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan.
Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk
menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat
kelengkapan.37
b. Nikah Sirri Persepektif Hukum Positif
Sejalan dengan berkembangnya zaman dengan dinamika yang terus berubah
maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral)
kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat
sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa
hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan
dan kesilapan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bentuk akta.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah
36
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187.
37
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 79.
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan
yang harus dipenuhi.38
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan
semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun
secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan
dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku,
khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2
ayat 2.
Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan
ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan
perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan
akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah,
talak, dan rujuk. 39
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam
hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah:
ل
ْﺪ ْﺎ
ﺎآ
ْ ﻜ ْ
ﻜ ْو
ْﻮ ْآﺎ
ﻰً
أ
ﻰ إ
ْﺪ
اﺬ اذإ
اْﻮ ا
ْﺬ ا
ﺎﻬ ﺄ
ْنأ
ﺎآ
بْﺄ ﻻو
ْ
ىﺬ ا
ْ ْو
ْ ْﻜ ْ
ﷲا
ﺎ آ
ْﻜ
ر
ﷲا
ْو
ْا
38
Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia(Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No1 1974 sampai KHI), ( Jakarta: Kncana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-3, h. 121-122.
39
Arso sastroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.
Artinya: “Hai orang-rang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakannya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282).
Para pemikir Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan
dalam perkawinan mengenai pencatatan, sehingga mereka menganggap hal itu tidak
penting. Namun bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan
perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih:
د
ﺎ اءر
ﺎﺼ ا
ﻰ
مﺪ
ﺪ
“Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”.40
Pemerintah Indonesia melihat bahwa pencatatan dan pembuktian perkawinan
dengan akta nikah merupakan tuntuatan dari perkembangan hukum dan mewujudkan
kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.41
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
40
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet. Ke-1, h. 148.
41
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Garfika, 2006), Cet. Ke-1, h. 29-30.
undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi
bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan
yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat
salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan diantara mereka, atau salah
satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Di dalam UU No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan daripada perkawinan
adalah membentuk keluarga yang kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.42 Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadddah dan rahmah.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
maka perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
43
Tentang Pencatatan Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjeaskan dalam pasal
(5) yaitu:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
42
Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta : Redaksi Sinar Grafika, 2000), Cet. Ke-4, h. 24.
43
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, /1999), h. 14.
2. Pencatatn perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan nikah sebagiman diatur dalam undang-undang Nomor 22 tahun
1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954. 44
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan
diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila telah memenuhi dua syarat
berikut:
1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UUP No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaitu pernikahan telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama
masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari’at
Islam.
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UUP
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut
telah dicatatkan oleh Pegawi Pencatat nikah (PPN) yang berwenang dan telah
memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam
dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari PPN
sehingga tidak tercatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan sirri hanya
44
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di indonesia, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.
baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya syarat materiilnya saja
yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi sehingga selamanya
dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan. Atau dengan kata lain
pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan legalitas dari Negara.
Dilihat dari teori hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum adalah
tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga
dapat menimbulkan akibat hukum.45 Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak
menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun
tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat
yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan
hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku
secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara pernikahan yang
dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan dengan tata cara demikianlah yang
mempunyai akibat hukum yakni yang adanya hak mendapat pengakuan dan
perlindungan hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan demikian esistensi
pernikahan secara yuridis formil diakui.
45
Soedjono Dirojsworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja grafindo Persada. 1994), Cet. Ke-4, h. 126.
Namun demikian aturan tentang pencatatan tidak sepenuhnya dilakukan oleh
masyarakat Indonesia. Beberapa keluarga misalnya tidak melakukan pencatatan
terhadap perkawinan mereka. Dan ini dipicu oleh beberapa kondisi lahir. Adapun
faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri)
tersebut antara lain:
1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa
masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada
campur tangan pemerintah/Negara;
2. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Peradilan Agama bagi orang yang
bermaksud kawin lebih dari satu orang;
3. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul
rapat dengan calon istri/suami, sehinga dikhawatirkan terjadi hal-hal
negativ yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan
tidak dicatat di Kantor Urusan Agama;
4. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya,
karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat
jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka
perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Sehubungan dengan faktor-faktor di atas, diharapkan kepada masyarakat agar di
dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi
perlu juga dipikirkan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Perlu diingat
bahwa pencatatan ini merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat
demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Kalau perkawinan sudah dicatat, maka
Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan kutipan akta nikah yang merupakan
bukti jaminan hukum apabila salah seorang dari mereka menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.46
B. Dampak Daripada Pernikahan Sirri
Pernikahan sirri merupakan pernikahana yang tidak memenuhi syarat
administrasi yang telah diatur oleh Negara, karena pernikahan sirri adalah pernikahan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga dari pernikahan sirri ini
menimbulkan dampak negative. Dampak daripada pernikahan sirri secara hukum
kenegaraan adalah tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh
pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap istri sah dan tidak berhak atas nafkah
dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas
harta gono gini jika terjadi perpisahan/perceraian. Begitu pula tidak adanya
pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami istri
yang menikah dibawah tangan, status anak yang dilahirkan dari hasi