• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA LAKSANA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TATA LAKSANA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

TATA LAKSANA PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA

(Ordonansi No.158 tanggal 13 Juni 1969)

Revisi Terkhir: Ordonansi No. 350 Tanggal 1 Agustus 2003

BAB I. KETENTUAN UMUM (Pasal 1 – Pasal 2)

BAB II. PERENCANAAN KOTA

Bagian 1. Pokok-Pokok Perencanaan Kota (Pasal 3 – Pasal 8)

Bagian 2. Keputusan dan Hal Lain Mengenai Perencanaan Kota (Pasal 9 – Pasal 18)

BAB III. BATASAN-BATASAN, DSB DALAM PERENCANAAN KOTA

Bagian 1. Peraturan mengenai Pembangunan, dsb (Pasal 19 – Pasal 36)

Bagian 1-2. Peraturan mengenai Bangunan, dsb pada Daerah yang Ditetapkan untuk Proyek Pembangunan Perkotaan, dsb (Pasal 36-2 – Pasal 36-3)

Bagian 2. Peraturan mengenai Bangunan, dsb pada Daerah Fasilitas Perencanaan Kota, dsb (Pasal 37 – Pasal 38-3)

Bagian 3. Peraturan mengenai Bangunan, dsb pada Daerah Perencanaan Kawasan (Pasal 38-4 – Pasal 38-7)

Bagian 4. Undang-Undang Tata Guna Lahan, dsb pada Daerah Promosi Penggunaan Lahan Tak Terpakai(Pasal 38-8 – Pasal 38-10)

BAB IV. PROYEK-PROYEK PERENCANAAN KOTA (Pasal 39 – Pasal 40)

BAB V. KETENTUAN LAINNYA (Pasal 41 – Pasal 46)

(2)

BAB I. KETENTUAN UMUM

(Bangunan Khusus)

Pasal 1. Bangunan-bangunan yang dapat memperburuk kondisi lingkungan sekitarnya yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 4 Ayat 11 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Pabrik pembuat aspal (asphalt plant); (2) Pabrik pemecah batu (crusher plant); dan

(3) Bangunan-bangunan yang dipergunakan untuk menyimpan atau merawat barang-barang berbahaya (barang berbahaya yang tercantum dalam daftar barang pada Tabel yang ditunjukkan pada Pasal 116 Ayat 1 Tata Laksana Pelaksanaan Undang-Undang Standar Bangunan (Ordonansi No.338 Tahun 1950) (kecuali sarana operasional yang telah ditetapkan pada Pasal 5 Ayat 2 Butir 2 Undang-Undang Layanan Jaringan Perminyakan (Undang-Undang No.105 Tahun 1972); sarana penyimpanan dan sarana layanan perkapalan yang ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 5 Butir 8 dan Butir 8 (2) Undang-Undang Pelabuhan (Undang-Undang No.218 Tahun 1950); sarana perbekalan yang ditetapkan pada Pasal 3 Butir 2 Sub-Butir (e) Undang-Undang Tempat Pendaratan Ikan (Undang-Undang No.137 Tahun 1950); sarana pengisian bahan bakar pesawat yang dibangun di kawasan bandara yang ditujukan untuk layanan umum berdasarkan Undang-Undang Penerbangan (Undang-Undang No.231 Tahun 1952); bangunan-bangunan listrik seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 No.14 Undang-Undang Kelistrikan (Undang-Undang No.170 Tahun 1964) yang ditujukan bagi sarana kelistrikan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Butir 9 Undang-Undang yang sama; dan bangunan-bangunan gas sebagaimana telah ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 12 Undang-Undang Penggunaan Gas (Undang-Undang No.51 Tahun 1954) (tetapi terbatas pada bangunan-bangunan yang diperuntukkan bagi operasi gas umum sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 2 Ayat 1 dan operasi gas sederhana sebagaimana yang telah ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang yang sama).

2 Bangunan berskala besar yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 4 Ayat 11 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah bangunan berikut yang memiliki luas minimum 1 Ha:

(1) Lapangan bola, lapangan tenis, tempat olah raga atletik, taman hiburan, kebun binatang serta bangunan-bangunan yang diperuntukkan bagi olahraga lainnya dan sarana rekreasi (tidak termasuk bangunan-bangunan yang berhubungan dengan sekolah (kecuali universitas, sekolah kejuruan atas, dan berbagai jenis sekolah) sarana sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pendidikan Sekolah (Undang-Undang No.26 Tahun 1947); bangunan-bangunan yang terkait dengan sarana peningkatan pelabuhan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Butir 9-3 Undang-Undang Pelabuhan; bangunan-bangunan yang terkait dengan taman kota sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Taman Kota (Undang-Undang No.161 Tahun 1957); dan bangunan-bangunan yang terkait dengan bangunan taman seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 6 Undang-Undang Taman Nasional (Undang-Undang

(3)

Propinsi sebagaimana yang telah ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut);

(2) Kuburan/ Makam (Sarana Publik)

Pasal 1-2 Sarana-sarana yang diperuntukkan bagi layanan publik sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 4 Ayat 14 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sistem pembuangan, daerah hijau, alun-alun, sungai, saluran air dan sarana penyimpanan air yang diperuntukkan bagi pemadam kebakaran.

(Persyaratan Kotamadya Mengenai Daerah Perencanaan Kota)

Pasal 2 Persyaratan yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Perencanaan Kota (termasuk hal-hal yang berhubungan dengan Ayat 6 Pasal yang sama) adalah sebagai berikut:

(1) Jumlah penduduk kotamadya tersebut sekurang-kurangnya 10.000 orang dan jumlah orang yang bekerja di sektor perdagangan, industri dan sektor perkotaan lainnya sekurang-kurangnya 50% dari jumlah penduduk yang bekerja;

(2) Dengan memperkirakan tren perkembangan, pertumbuhan penduduk dan prospek industri pada kota tersebut di masa yang akan datang, dapat diperkiraan bahwa kota tersebut akan dapat memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas dalam waktu 10 Tahun;

(3) Jumlah penduduk pada kawasan-kawasan yang akan dijadikan kawasan pusat kota pada kotamadya tersebut sekurang-kurangnya adalah 3.000 orang;

(4) Adanya kepentingan tertentu untuk membangun lingkungan perkotaan yang nyaman dengan adanya sumber-sumber air panas atau sumber daya pariwisata lainnya akan menarik konsentrasi masyarakat yang tinggi; dan

(5) Jika sebagian besar dari bangunan yang ada di kawasan pusat kota tersebut musnah karena terbakar, gempa bumi atau karena bencana lainnya, perlu ditingkatkan rehabilitasi pada kawasan tersebut.

(4)

BAB II. PERENCANAAN KOTA Bagian 1. Pokok-Pokok Perencanaan Kota

(Daerah Perencanaan Kota mengenai Kota Besar)

Pasal 3 Daerah perencanaan kota mengenai kota-kota besar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah daerah perencanaan kota yang mencakup semua bagian daerah kota tujuan (kota yang dibentuk berdasarkan Ordonansi) sebagaimana yang telah ditetapkan pada Pasal 252 –19 Ayat 1 Undang-Undang Otonomi Daerah (Undang-Undang No.67 Tahun 1947).

(Hal-hal yang telah Ditetapkan dalam Rencana Kota tentang Kawasan dan Zona)

Pasal 4 Hal-hal yang telah ditetapkan dalam Ordonansi Pasal 8 Ayat 3 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah nama-nama untuk daerah dan blok-blok tertentu, kawasan estetis, kawasan yang memiliki kekayaan alam, zona pelabuhan, daerah konservasi tempat-tempat bersejarah, daerah konservasi tempat-tempat bersejarah kategori 1 dan 2, daerah konservasi zona hijau, kawasan untuk pusat distribusi fisik, dan kawasan untuk pelestarian klaster bangunan-bangunan tradisional.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Rencana Kota tentang Daerah Promosi Proyek)

Pasal 4-2 Hal-hal yang telah ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 10 Ayat 2 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah mengenai luas daerah.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan pada Pasal 10-3 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 4-3 Syarat-syarat yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 10-3 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah lahan yang terdapat di daerah terkait yang memenuhi salah satu syarat berikut dalam jangka waktu tertentu:

(1) Lahan tersebut tidak diperuntukkan bagi daerah pemukiman, sarana bisnis atau peruntukkan lainnya; atau

(2) Jika lahan tersebut diperuntukkan bagi daerah pemukiman, sarana bisnis atau peruntukan lainnya, dengan mempertimbangkan tingkat pengembangan lahan atau gedung atau bangunan lainnya yang terdapat diatasnya (selanjutnya disebut ‘bangunan’, dsb) kecuali untuk Bab 3 Bagian 1), tingkat pegunaan lahan tersebut jauh lebih rendah daripada tingkat penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi tata guna lahan yang sama atau serupa di daerah sekitarnya.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Rencana Kota Mengenai Daerah Promosi Penggunaan Lahan Tak Terpakai)

Pasal 4-4 Hal-hal yang telah ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan pada Pasal 10-3 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah mengenai luas wilayah.

(5)

Pemulihan Bencana Alam)

Pasal 4-5 Hal-hal yang telah ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan pada Pasal 10-4 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah mengenai luas wilayah.

(Sarana-sarana yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Butir 11 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 5 Sarana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Butir 11 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sarana yang diperuntukkan bagi telekomunikasi atau sarana yang diperuntukkan bagi proteksi terhadap angin, pengendalian kebakaran, pencegahan banjir, proteksi terhadap salju, kontrol sedimen atau pertahanan terhadap pasang surut.

(Hal-hal yang Ditetapkan pada Perencanaan Kota Mengenai Sarana Perkotaan)

Pasal 6 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi sesuai Pasal 11 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah seperti disebutkan di bawah ini untuk sarana-sarana yang disebutkan berikut ini:

(1) Jalan: tipe, jumlah jalur kenderaan (kecuali jalan yang tidak memiliki jalur untuk mobil), dan struktur lainnya

(2) Tempat parkir: luas daerah dan bangunanya (3) Terminal kenderaan dan taman: tipe dan luasnya

(4) Jalur Kereta Api Cepat (Urban Rapid-transit Railways) dan sarana kota seperti yang tercantum pada Pasal 11 Ayat 1 Butir 4 Undang-Undang Perencanaan Kota: struktur bangunan

(5) Bandar udara, kawasan hijau, alun-alun, lapangan olah raga, kuburan/ makam, sarana pengelolaan limbah, sarana pembakaran sampah, dan sarana pekotaan yang tercantum Pasal 11 Ayat 1 Butir 5 sampai 7 Undang-Undang Perencanaan Kota: luas wilayah

(6) Saluran pembuangan: saluran pembuangan kawasan

(7) Sarana perumahan yang sifatnya kolektif: luas, batasan koefisien dasar bangunan (KDB), batasan koefisien luas lantai bangunan (KLB), jumlah bangunan yang direncanakan berdasarkan ketinggian bangunan, dan kebijakan mengenai tata ruang fasilitas umum serta pemukiman dan fasilitas untuk kepentingan umum.

(8) Sarana perkantoran bersama milik umum dan pemerintah: luas, batasan KDB dan KLB, dan kebijakan mengenai tataruang sarana publik serta bangunan dan sarana untuk kepentingan umum.

2 Keterangan mengenai tipe dan struktur bangunan yang disebutkan pada Ayat sebelumnya ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi. (Sarana Kota yang mana Batasan Berbagai Tingkatan dapat Ditetapkan dalam Perencanaan Kota)

Pasal 6-2 Sarana kota yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 11 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(6)

(1) Jalan, jalan kereta api cepat (Urban Rapid-transit Railways), tempat parkir, terminal dan sarana transportasi lainnya

(2) Bangunan air, sarana penyedia listrik, sarana penyedia gas, sistem pembuangan, sarana pengelolaan limbah, sarana pembakaran sampah, dan sarana penyedia dan pengelolaan lainnya

(3) Sungai, kanal dan saluran air lainnya

(4) Sarana yang dipergunakan untuk sarana telekomunikasi (5) Sarana pencegahan kebakaran dan banjir

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Perencanaan Kota mengenai Proyek-Proyek Pengembangan Kota)

Pasal 7 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan pada Pasal 12 Ayat 2 Undang-Undang Kota adalah luas daerah pelaksanaan.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Perencanaan Kota mengenai Daerah yang Diperuntukkan bagi Proyek-Proyek Pengembangan Kota, dsb)

Pasal 7-2 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan pada Pasal 12-2 Ayat 2 Undang-Undang Kota adalah luas daerah peruntukan tersebut.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Perencanaan Kota mengenai Penataan Kawasan, dsb)

Pasal 7-3 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan pada Pasal 12-4 Ayat 2 Undang-Undang Kota adalah luas daerah peruntukannya.

(Sarana Kawasan)

Pasal 7-4 Sarana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 2 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah jalan atau taman, kawasan hijau, alun-alun dan lahan tidur lainnya yang bukan sarana perencanaan kota.

(Fasilitas yang Ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 4 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 7-5 Sarana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 4 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah jalan, taman, kawasan hijau, alun-alun dan lahan tak terpakai milik publik lainnya.

(Hal-hal mengenai Bangunan, dsb yang Ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 6 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 7-6 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 6 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah tentang larangan mengenai bentuk dan desain bangunan, dsb dan larangan tentang strukturpembatas atau pagar.

(7)

(Hal-hal mengenai Tata Guna Lahan yang Ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 6 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 7-7 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 12-5 Ayat 6 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah hal-hal mengenai konservasi hutan, padang rumput and hal-hal lainnya yang diperlukan untuk pelestarian lingkungan hidup yang baik.

(Kriteria dalam Perumusan Perencanaan Kawasan)

Pasal 7-8 Kriteria yang ditetapkan dalam Ordonansi yang dibutuhkan untuk menentukan perencanaan kawasan dalam rangka perencanaan kota adalah sebagai berikut:

(1) Tata ruang dan skala sarana kawasan dan sarana-sarana lain yang ditetapkan pada Pasal 12-5 Ayat 4 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota harus ditata dengan tepat sehingga lingkungan kota tersebut memiliki sarana-sarana umum dengan tata ruang dan skala yang efektif, yang dibangun dan berkesinambungan dengan perencanaan kota lain yang telah ditetapkan untuk daerah tersebut dan daerah-daerah sekitarnya.

(2) Hal-hal mengenai bangunan, dsb (kecuali dalam pengembangan kembali, dsb kawasan promosi) akan ditentukan sehingga bangunan, dsb secara keseluruhan sesuai dengan karakteristik daerah tersebut.

(3) Hal-hal mengenai bangunan, dsb dalam pembangunan kembali, dsb untuk kawasan promosi, dengan pertimbangan penggunaan lahan tak terpakai di wilayah kota secara efektif, melestarikan lingkungan pemukiman yang nyaman, dan peningkatan kenyamanan dalam melakukan aktivitas komersil dan aktivitas lainnya, dsb, akan ditentukan sehingga bangunan, dsb memberikan kontribusi tata guna lahan yang rasional dan yang sesuai dengan kegunaannya, rasio luas lantai, tinggi dan tataruang yang sesuai untuk masing-masing daerah.

(4) Daerah-daerah dalam rencana pembangunan kawasan dalam rangka pengembangan kembali kawasan promosi, dsb akan ditentukan sehingga sesuai bagi pengembangan bangunan, lokasi dan sarana publik yang terpadu.

(Standar Perencanaan Kota)

Pasal 8 Standar teknis yang diperlukan mengenai pembagian wilayah perencanaan kota menjadi area peningkatan fungsi perkotaan (Urbanization Promotion Areas/UPA) dan area pengendali fungsi perkotaan (Urbanization Control Areas/UCA) adalah sebagai berikut.

(1) Lahan yang ditetapkan pada area peningkatan fungsi perkotaan (UPA) yang telah disiapkan untuk lahan perkotaan adalah daerah yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi sebagai lahan perkotaan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, lahan lainnya yang sudah ada dan akan dijadikan perkotaan, dan juga dekat dengan lahan yang sedang dalam proses perubahan menjadi kota.

(8)

(2) Lahan yang ditetapkan sebagai area peningkatan fungsi perkotaan (UPA) yang diprioritaskan dan direncanakan untuk dapat dijadikan kota dalam waktu 10 Tahun, sesuai aturan, adalah terkecuali lahan-lahan berikut ini:

a. Lahan-lahan yang tidak sesuai untuk urbanisasi dengan pertimbangan tren dan prospek urbanisasi untuk pembangunan sarana jalan kereta api, jalan, sungai dan air minum dan saluran pembuangan dalam perencanaan kota daerah terkait;

b. Lahan-lahan yang beresiko terkena bencana yang disebabkan oleh genangan, banjir, gelombang, dsb;

c. Lahan pertanian intensif yang berkualitas dan lahan yang harus dilindungi dalam jangka panjang sebagai lahan pertanian; dan

d. Lahan yang harus dilindungi untuk menjaga kekayaan alam, melestarikan lingkungan perkotaan, sumber daya alam dan mencegah limpasan sedimen, dsb.

(3) Batas antara lahan area pengendali fungsi perkotaan (UPA) dan area peningkatan fungsi perkotaan (UCA) sesuai dengan aturan adalah yang ditetapkan dengan menggunakan sarana jalan kereta api dan fasilitas lainnya, sungai, pantai, batu karang dan tanah lapang lainnya dan lahan-lahan yang cocok sebagai lahan untuk batas pemisah; dan jika hal ini sulit, akan dipergunakan batas-batas kota dan batas-batas tertulis, dsb

2 Tata guna kawasan sesuai aturan tidak termasuk lahan-lahan berikut:

(1) Kawasan pertanian seperti yang ditetapkan Pasal 8 Ayat 2 Butir 1 Undang-Undang mengenai Pengembangan Kawasan Peningkatan Pertanian (Undang-Undang No.58 Tahun 1969), dan lahan pertanian atau lapangan rumput dan padang rumput sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 5 Ayat 2 Butir 1 Undang-Undang Lahan Pertanian (Undang-Undang No.229 Tahun 1942); dan

(2) Kawasan-kawasan khusus seperti yang ditetapkan dalam Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang Taman Nasional, daerah konservasi hutan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 25 atau Pasal 25-2 Undang-Undang Hutan (Undang-Undang No.249 Tahun 1951), dan daerah-daerah yang kategorinya mirip dengan hal tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi.

Bagian 2. Keputusan, dsb dalam Perencanaan Kota (Pasal 9 – Pasal 18)

(Perencanaan Kota yang Ditetapkan oleh Propinsi)

Pasal 9 Kawasan dan zona yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan luas wilayah seperti yang digambarkan dalam Pasal 15 Ayat 1 Butir 5 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Kawasan dan zona sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 8 Ayat 1 Butir 1 atau Butir 2-3 Undang-Undang Perencanaan Kota dalam wilayah perencanaan kota yang termasuk semua bagian dari lahan berikut:

a. Daerah terbangun yang ada sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Ibukota Nasional (Undang-Undang No.83 Tahun 1956), dan pembangunan daerah pinggiran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

(9)

Undang-Undang Pembangunan Daerah Kinki (Undang-Undang No.129 Tahun 1963), dan pembangunan daerah pinggiran kota sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

c. Daerah pembangunan kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Chubu (Undang-Undang No.102 Tahun1966); dan

d. Daerah untuk kota-kota yang telah ditetapkan berdasarkan Ordonansi;

(2) Kawasan-kawasan yang memiliki kekayaan alam dengan luas 10 Ha atau lebih; dan (3) Daerah konservasi zona hijau (tidak termasuk wilayah konservasi khusus zona hijau di

pinggiran kota sebagaimana ditetapkan pada Pasal 4 Ayat 2 Butir 3 Undang-Undang mengenai Konservasi Zona Hijau di Daerah Pinggiran Kota pada Daerah Ibukota Nasional (Undang-Undang No.101 Tahun 1966), dan daerah konservasi khusus zona hijau di pinggiran kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang mengenai Konservasi Cagar Alam di Daerah Kinki (Undang-Undang No.103 Tahun 1967) disebut sebagai ‘kawasan konservasi khusus zona hijau di pinggiran kota’ pada Pasal 14 Ayat 2)) dengan luas 10 Ha atau lebih.

2 Sarana kota dan sarana pokok perkotaan yang ditetapkan dalam Ordonansi dan tetap berdasarkan luas daerahnya yang dijelaskan dalam Pasal 15 Ayat 1 Butir 5 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Jalan-jalan berikut:

a. Jalan nasional dan jalan propinsi berdasarkan Pasal 3-1 Undang-Undang Jalan Raya (Undang-Undang No.180 Tahun 1952); dan

b. Jalan lainnya yang memiliki empat jalur atau lebih; (2) Jalan raya untuk lalu lintas kenderaan cepat;

(3) Terminal kendaraan umum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang mengenai Terminal Kendaraan (Undang-Undang No.136 Tahun 1959);

(4) Bandara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang mengenai Bandara (Undang-Undang No.80 Tahun 1956);

(5) Taman, daerah hijau, alun-alun dan kuburan dengan luas 10 Ha atau lebih;

(6) Bangunan-bangunan air yang diperuntukkan bagi penyediaan air minum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 4 Undang-Undang mengenai Bangunan Air (Undang-Undang No.77 Tahun 1957);

(7) Sistem pembuangan publik yang daerah tangkapannya terentang diantara 2 (dua) kota atau lebih sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Bangunan Pembuang (Undang-Undang No.79 Tahun 1958), dan sistem pembuangan Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

(10)

(9) Sungai-sungai golongan 1 sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Persungaian (Undang-Undang No.167 Tahun 1954), dan sungai-sungai dan kanal golongan 2 sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang tersebut;

(10) Universitas atau Institut Teknologi;

(11) Perumahan yang terdiri dari 2.000 rumah tangga atau lebih; (12) Sarana-sarana perkantoran kolektif milik umum dan pemerintah; (13) Perkebunan distribusi fisik; dan

(14) Sarana-sarana pertahanan terhadap pasang.

(Proyek-Proyek Penyesuaian Kembali Lahan Berskala Kecil, dsb yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 15 Ayat 1 Butir 6 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 10 Proyek penyesuaian kembali lahan yang berskala kecil, proyek pengembangan kembali kota, dan proyek pembangunan blok pemukiman yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 15 Ayat 1 Butir 6 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut: (1) Proyek penyesuaian kembali lahan berdasarkan Undang-Undang Penyesuaian Kembali

Lahan (Undang-Undang No.119 Tahun 1954) adalah untuk lahan yang luasnya tidak lebih dari 50 Ha;

(2) Proyek pengembangan kembali kota berdasarkan Undang-Undang Pembaharuan Kota (Undang-Undang No.38 Tahun 1969) adalah untuk lahan yang luasnya tidak lebih dari 3 Ha; dan

(3) Proyek pembangunan blok pemukiman berdasarkan Undang-Undang Khusus untuk Memfasilitasi Suplai Lahan Pemukiman, dsb di Daerah Utama Kota Metropolitan (Undang-Undang No.67 Tahun 1975).

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 10-2 Hal-hal yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah mengenai metode dalam menyajikan isi dari rencana kawasan dan metode dalam menyampaikan pendapat.

(Pihak-pihak yang Diminta Pendapatnya dalam Merumuskan Perencanaan Kawasan, dsb)

Pasal 10-3 Pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah para pemegang hak milik atau hak sewa tanah yang memenuhi persyaratan, hak dan kewajiban yang tercatat, hak untuk menjanjikan atau menggadaikan akte mengenai lahan yang menjadi target dalam rencana kawasan, dan orang-orang yang namanya tercatat dalam daftar sementara atas tanah dan hak-haknya, daftar sita mengenai hak-hak tersebut dan daftar kontrak khusus untuk penebusan tanah tersebut.

(11)

(Orang-Orang yang Ijinnya Diperlukan dalam Perencanaan Kota Terkait dengan Blok-Blok Tertentu)

Pasal 11 Pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 17 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota (kecuali hal-hal yang diatur dalam 21 Ayat 2 Undang-Undang tersebut) adalah para pemegang hak kepemilikan, hak milik atau hak sewa yang memenuhi syarat-syarat kepemilikan bangunan, hak dan kewajiban yang tercatat, hak untuk menjanjikan atau menggadaikan akte mengenai lahan pada blok khusus terkait, dan orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar sementara atas tanah dan hak-haknya, daftar sita atas hak-hak tersebut, dan daftar kontrak khusus untuk penebusan tanah tersebut.

(Hak-Hak Orang yang Pendapatnya Diperlukan dalam Perencanaan Kota untuk Daerah Peningkatan Penggunaan Lahan Tak Terpakai)

Pasal 11-2 Hak-hak yang diperuntukkan bagi penggunaan dan keuntungan sebagaimana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 17 Ayat 4 Undang-Undang Perencanaan Kota (kecuali hal-hal yang diatur dalam Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang tersebut) adalah hak-hak atas tanah atau hak sewa yang memenuhi persyaratan mengenai lahan yang berada daerah promosi penggunaan lahan tak terpakai terkait .

(Daerah Perencanaan Kota yang Membutuhkan Ijin dari Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi dalam Perencanaan Kota)

Pasal 12 Daerah perencanaan kota sebagaimana ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota (termasuk hal-hal yang diatur dalam Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang tersebut; hal yang sama berlaku terhadap Pasal 14 berikut) adalah sebagai berikut:

(1) Daerah perencanaan kota yang termasuk keseluruhan atau sebagian dari daerah-daerah di bawah ini:

a. Daerah terbangun yang ada sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Ibukota Nasional, dan pembangunan daerah pinggiran kota sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

b. Daerah kota yang sudah ada sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Kinki, dan pembangunan daerah pinggiran kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

c. Daerah pembangunan kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Chubu;

(2) Daerah perencanaan kota yang termasuk keseluruhan atau sebagian dari lahan-lahan berikut (untuk Butir d. tidak termasuk hal-hal yang diatur pada Butir-Butir sebelumnya) dan telah ditetapkan oleh Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi:

(12)

a. Daerah pengembangan kota sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang Pembangunan Daerah Ibukota Nasional;

b. Daerah pengembangan kota sebagaimana yang ditetapkan dalam in Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang Pembangunan Daerah Kinki;

c. Daerah pengembangan kota sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang Pembangunan Daerah Chubu; dan

d. Daerah kota yang berpenduduk 300.000 orang atau lebih;

(3) Daerah perencanaan perkotaan yang sangat erat hubungannya dengan tata guna lahan bagi pengembangan dan pembangunan kota secara teratur dalam daerah perencanaan kota yang tercantum dalam Ayat (2) di atas, dan ditetapkan oleh Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi.

(Perencanaan Kota yang tidak Membutuhkan Ijin dari Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi)

Pasal 13 Perencanaan kota yang berskala kecil yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah perencanaan kota yang terkait dengan hal-hal berikut ini:

(1) Kawasan yang ditetapkan dalam Pasal 8 Ayat 1 Butir 16 Undang-Undang Perencanaan Kota;

(2) Sarana-sarana kota berikut ini:

a. Jalan propinsi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Jalan Raya (kecuali jalan yang memiliki empat jalur atau lebih);

b. Bangunan air yang diperuntukkan bagi sarana air bersih sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 4 Undang-Undang Bangunan Air;

c. Sistem pembuangan publik yang daerah tangkapannya terletak diantara dua kota atau lebih sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang mengenai Bangunan Pembuang;

d. Fasilitas-fasillitas pengelolaan limbah industri;

e. Sungai golongan 1 sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang mengenai Sungai, dan sungai dan kanal golongan 2 yang ditetapkan dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang tersebut; dan

f. Universitas dan institut teknologi;

(Perencanaan Kota yang Terutama Terkait dengan Kepentingan Nasional)

Pasal 14 Perencanaan kota yang ditetapkan dalam Ordonansi yang terutama terkait dengan kepentingan nasional berdasarkan Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah perencanaan kota yang berkaitan dengan hal-hal berikut:

(1) Kebijakan tentang pembangunan, pengembangan dan konservasi daerah-daerah perencanaan kota (terbatas pada kebijakan dalam menentukan rencana perencanaan kota mengenai hal-hal pada Pasal 6-2 Ayat 2 Butir 2 Undang-Undang tersebut dan Sub Butir 3-5 pada Butir 3 Ayat yang sama);

(13)

(2) Pembagian daerah UPA dan UCA;

(3) Kawasan dan zona yang dinyatakan pada Pasal 8 Ayat 1 Butir 9 sampai 12 Undang-Undang Perencanaan Kota (terbatas pada: kawasan yang dinyatakan pada Butir 9 Ayat yang sama, hal-hal mengenai pelabuhan-pelabuhan penting tertentu berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Pelabuhan dan, pada kawasan dinyatakan pada Pasal 8 Ayat 1 Butir 12 Undang-Undang Perencanaan Kota, daerah konservasi zona hijau khusus di pinggiran kota);

(4) Fasilitas-fasilitas kota berikut ini;

a. Jalan-jalan raya untuk kenderaan cepat dan jalan-jalan raya umum nasional berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Jalan Raya;

b. Jalur kereta api cepat;

c. Bandara-bandara Kategori 1 yang ditetapkan pada Pasal 2 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Pengembangan Bandara;

d. Taman dan kawasan hijau yang disediakan oleh Negara; dan

e. Sungai-sungai golongan 1 sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang mengenai Sungai

f. Sarana perkantoran kolektif milik pemerintah dan umum

(5) Daerah yang direncanakan yang dinyatakan pada Pasal 12-2 Ayat 1 Butir 5 Undang-Undang Perencanaan Kota.

(Hal-hal yang Ditetapkan dalam Perencanaan kota yang Membutuhkan Ijin dari Gubernur Propinsi)

Pasal 14-2 Hal-hal yang Ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 19 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota (termasuk hal-hal yang diatur dalam Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang tersebut) adalah yang dinyatakan dalam Tabel berdasarkan jenis rencana tata kawasan yang berbeda-beda, dsb.

Rencana Kawasan, dsb Perihal

Rencana Kawasan (kecuali rencana yang sudah ditetapkan untuk UCA)

1. Lokasi dan luas rencana kawasan

2. Selain fasilitas-fasilitas kawasan, tataruang dan skala jalan (kecuali jalan buntu), lebarnya 8 m atau lebih

3. Hal-hal berikut yang terkait dengan pembangunan kembali, dsb mengenai kawasan peningkatan/ promosi:

a. Kebijakan pokok mengenai tata guna lahan

b. Tataruang dan skala fasilitas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12-5 Ayat 4 Butir 2 Undang-Undang Perencanaan Kota

4. Hal-hal berikut (kecuali kasus-kasus dalam pengembangan kembali, dsb mengenai kawasan promosi) berkaitan dengan bangunan, dsb (terbatas pada hal-hal dimana hal tersebut sudah tetap di daerah atau kawasan yang ditetapkan oleh propinsi dan daerah-daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi)

a. Larangan-larangan tata guna bangunan, dsb b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum

(14)

Rencana Kawasan, dsb Perihal

5. Hal-hal berikut yang terkait dengan bangunan, dsb dalam pengembangan kembali, dsb pada kawasan promosi (mengenai c., terbatas pada kasus-kasus yang terjadi akibat kelebihan rasio cakupan bangunan sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana perencanaan kota mengenai tata guna kawasan):

a. Larangan-larangan tata guna bangunan, dsb b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum c. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum

6. Selain daerah untuk jalan, yang merupakan fasilitas perencanaan kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12-11 Undang-Undang Perencanaan Kota, pada daerah-daerah yang seharusnya digunakan secara bersama sebagai tempat didirikannya bangunan, dsb terbatas pada arsitektur atau konstruksi bangunan, dsb ditetapkan pada Ayat yang sama.

Rencana Distrik yang sudah tetap untuk UCA

1. Lokasi dan luas rencana tata kawasan 2. Target rencana tata kawasan terkait

3. Kebijakan perbaikan, pengembangan dan konservasi daerah-daerah terkait 4. Tataruang dan skala sarana kawasan

5. Hal-hal berikut yang terkait dengan bangunan, dsb terlepas dari larangan-larangan mengenai bentuk dan desain bangunan, dsb dan larangan mengenai struktur pembatas atau pagar

6. Selain daerah untuk jalan, yang merupakan sarana perencanaan kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12-11 Undang-Undang Perencanaan Kota, pada daerah-daerah yang seharusnya digunakan secara bersama sebagai tempat didirikannya bangunan, dsb terbatas pada arsitektur atau konstruksi bangunan, dsb ditetapkan pada Ayat yang sama.

Rencana Kawasan dalam Pembangunan Blok Pencegah Bencana

1. Lokasi dan luas blok pencegah bencana dalam rencana pembangunan kawasan

2. Tataruang, skala dan luas daerah untuk jalan (kecuali jalan buntu) lebarnya 8 m atau lebih

3. Hal-hal berikut yang terkait dengan bangunan, dsb (terbatas pada hal-hal yang telah ditetapkan pada daerah dan kawasan yang telah ditentukan oleh propinsi dan daerah-daerah yang ditentukan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi)

a. Larangan mengenai tata guna bangunan, dsb b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum Rencana Kawasan

Pinggiran Jalan

1. Lokasi dan luas wilayah dalam rencana kawasan pinggiran jalan 2. Kebijakan mengenai pengembangan pinggiran jalan

3. Tataruang dan skala fasilitas-fasilitas kawasan pinggiran jalan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 9 Ayat 2 Butir 2 Undang-Undang yang Terkait dengan Pengembangan Pinggiran Jalan Arteri (Undang-Undang No. 34 Tahun 1980):

a. Kawasan hijau dan lahan tak terpakai penyangga lainnya b. Jalan (kecuali jalan buntu) lebarnya 8 m atau lebih

4. Hal-hal berikut yang terkait dengan pembangunan kembali pinggiran jalan, dsb pada kawasan promosi:

a. Kebijakan pokok mengenai tata guna lahan

b. Tataruang dan skala dari sarana-sarana yang ditetapkan Pasal 9 Ayat 4 Butir 2 Undang-Undang yang Terkait dengan Pengembangan Pinggiran Jalan-Jalan Arteri

(15)

Rencana Kawasan, dsb Perihal

5. Hal-hal berikut (kecuali yang ada dalam pembangunan kembali pinggiran jalan, dsb pada kawasan promosi) terkait dengan bangunan, dsb (mengenai d. dan e., terbatas pada hal-hal yang sudah ditetapkan pada daerah-daerah dan kawasan yang telah ditentukan oleh propinsi dan daerah-daerah yang ditentukan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi)

a. Batasan jarak minimum bangunan terdepan pada jalan-jalan yang daerah pinggiran jalannya sedang dikembangkan (mengacu pada ketentuan mengenai bagian terdepan bangunan pada jalan yang daerah pinggirannya sedang dikembangkan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 Ayat 6 Butir 2 Undang-Undang yang Terkait dengan Pengembangan Pinggiran Jalan Arteri; selanjutnya disebutkan sama) b. Pembatasan struktur bangunan yang diperlukan untuk pencegahan

kebisingan dan isolasi kebisingan c. Tinggi minimum bangunan, dsb d. Koefisien lantai bangunan maksimum e. Larangan mengenai tataguna bangunan, dsb

6. Hal-hal berikut yang terkait dengan bangunan, dsb pada pembangunan kembali daerah pinggiran jalan, dsb pada kawasan promosi (mengenai e., terbatas pada hal-hal yang terjadi akibat kelebihan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sebagaimana ditetapkan dalam perencanaan kota mengenai tataguna kawasan):

a. Batasan jarak minimum bangunan terdepan pada jalan-jalan yang daerah pinggiran jalannya sedang dikembangkan

b. Batasan struktur bangunan yang dibutuhkan untuk pencegahan kebisingan dan isolasi kebisingan

c. Tinggi minimum bangunan, dsb d. KLB maksimum bangunan e. KDB maksimum bangunan

f. Larangan-larangan mengenai tataguna bangunan, dsb Rencana Kawasan Dusun

Kecil di Pedalaman

1. Lokasi dan luas daerah kawasan bagi dusun-dusun kecil di pedesaan 2. Target tata ruang dusun-dusun kecil di pedesaan terkait, dan kebijakan

peningkatan tata tuang kawasan dusun kecil pedesaan terkait, dan kebijakan peningkatan dan konservasi daerah terkait

3. Tataruang dan skala fasilitas-fasilitas kawasan dusun kecil sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Ayat 3 Undang-Undang Pengembangan Daerah Dusun Kecil di Pedalaman (Undang-Undang No.63 Tahun 1987)

4. Hal-hal mengenai bangunan, dsb selain larangan-larangan mengenai bentuk dan disain bangunan, dsb dan larangan mengenai struktur pembatas atau pagar

(Perubahan Singkat yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 15 Perubahan singkat yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 21 Ayat 2 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut kecuali tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut:

(16)

(1) Ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18 Ayat 2 dan Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota: perubahan nama

(2) Ketentuan dalam Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota: hal-hal berikut (mengenai b., e. dan f., terbatas pada hal-hal yang Ditetapkan dalam peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi):

a. Perubahan nama;

b. Perubahan lokasi, daerah, luas dan/atau struktur;

c. Perubahan KDB bangunan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 53 Ayat 1 Butir 1 sampai 3 dan Butir 5 Undang-Undang Standar Bangunan (Undang-Undang No.201 Tahun 1950), luas minimum bangunan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 53-2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang yang sama, jarak minimum yang diperlukan dari dinding terluar dengan garis sempadan lokasi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang yang sama, dan batasan tinggi bangunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 Ayat 1 Undang-Undang yang sama (termasuk hal-hal yang baru ditetapkan mengenai jarak minimum yang dibutuhkan dari dinding luar bangunan ke garis sempadan lahan dan luas minimum lahan), dalam perencanaan kota mengenai luas daerah berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 bagian 1 Undang-Undang Perencanaan Kota;

d. Perubahan KDB maksimum bangunan atau minimum luas lahan bangunan (termasuk hal-hal yang baru ditetapkan) dalam rencana perencanaan kota mengenai kawasan berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 Butir 2 Sub Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota; e. Perubahan kebijakan mengenai jumlah unit bangunan tempat tinggal yang bertingkat

rendah, sedang dan tinggi atau tataruang sarana publik, sarana dan rumah yang memberi keuntungan kepada masyarakat dalam rencana perencanaan kota mengenai sarana perumahan kolektif; dan

f. Perubahan kebijakan mengenai tata ruang sarana publik, sarana dan rumah yang memberi keuntungan kepada masyarakat dalam perencanaan kota mengenai sarana perkantoran kolektif milik umum dan pemerintah

(3) Hal-hal yang muncul dalam ketentuan Pasal 9 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota dan Butir a. dan b. di atas (mengenai b. dan e., hanya hal-hal yang ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi)

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 21-2 Ayat 1 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 15-2 Skala yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 21-2 Ayat 1 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 0,5 Ha. Namun, jika terdapat kebutuhan khusus dengan pertimbangan kondisi terakhir atau prospek di masa yang akan datang, dsb untuk peningkatan, pengembangan atau pelestarian proyek-proyek yang dilaksanakan sebagai pelaksanaan terpadu dalam wilayah perencanaan kota atau daerah kuasi rencana perencanaan kota, propinsi atau kotamadya dapat membuat peraturan untuk membatasi jenis perencanaan kota yang terkait dengan daerah-daerah tersebut atau proposal rencana dan secara terpisah menentukan skala proposal rencana untuk daerah yang luasnya lebih dari 0,1 Ha dan kurang dari 0,5 Ha.

(17)

(Undang-Undang Peralihan yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 22 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 16 Jika rencana perencanaan kota diperluas hingga ke dua propinsi atau lebih yang dijadikan satu propinsi atau jika wilayah perencanaan kota pada satu propinsi menjadi wilayah yang diperluas menjadi dua propinsi atau lebih, maka perencanaan kota yang ditetapkan oleh Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi dan propinsi akan disebut sebagai perencanaan kota yang ditetapkan oleh Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi dan Pemerintah Propinsi.

(Pihak-pihak yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 23 Ayat 6 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 17 Pihak-pihak yang ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 23 Ayat 6 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah para pimpinan Kementrian Transportasi Daerah jika perencanaan kota tersebut berupa sarana perumahan kolektif untuk 2.000 rumah tangga atau lebih atau perencanaan kota tersebut berupa daerah yang direncanakan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 12-2 Ayat 1 Butir 4 Undang-Undang Perencanaan Kota (kecuali jika Menteri Pertanahan, Prasarana dan Transportasi menentukan sendiri perencanaan kotanya).

(Permohonan Putusan dari Komite Pengambil-alihan)

Pasal 18 Pihak-pihak yang bermaksud meminta keputusan berdasarkan ketentuan Pasal 94 Ayat 2 Undang-Undang Pengambil-alihan Lahan (Undang-Undang No.219 Tahun 1951) berdasarkan ketentuan Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Perencanaan Kota (termasuk jika berlaku sesuai Pasal 52 Ayat 4 Butir 2 (dan jika berlaku sesuai Pasal 57-5) Undang-Undang tersebut, Pasal 52 Ayat 5 Butir 3 (dan jika berlaku sesuai Pasal 57-6 Ayat 2 dan Pasal 60-3 Ayat 2) Undang-Undang yang dimaksud, dan Pasal 68 Ayat 3 Undang-Undang tersebut) harus memberikan permohonan tertulis kepada Komite Pengambil-alihan dan mengisi formulir berdasarkan format berikut yang ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi :

(1) Nama dan alamat pemohon; (2) Nama dan alamat pihak lainnya;

(3) Jenis rencana perencanaan kota (masing-masing jenis jika rencana perencanaan kota jika rencana perencanaan kota tersebut berupa sistem pembagian wilayah/ zonasi, sarana-sarana kota, proyek-proyek pembangunan kota dan daerah-daerah yang direncanakan untuk proyek pembangunan kota, dsb) (jenis proyek perencanaan kota dalam hal permintaan pembelian tanah berdasarkan Pasal 68 Ayat 1 Undang-Undang Perencanaan Kota);

(4) Fakta kerugian dan estimasi kompensasi dengan laporan kerugian yang terperinci (estimasi dan rincian harga tanah yang akan dibeli untuk permintaan pembelian tanah); dan

(18)

BAB III. BATASAN-BATASAN, DSB DALAM PERENCANAAN KOTA Bagian 1. Peraturan mengenai Pembangunan dll. (Pasal 19 – Pasal 36)

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 19 Skala yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah skala yang disajikan dalam kolom kedua pada Tabel berikut untuk masing-masing daerah yang disebutkan pada kolom pertama. Namun, untuk hal-hal yang disebutkan pada kolom ketiga, Gubernur Propinsi (Walikota untuk menentukan kota-kota; hal yang sama berlaku selanjutnya) dapat memberi batasan mengenai luas dan secara terpisah menetapkan skala dengan jangkauan seperti yang terlihat pada kolom keempat dengan menggunakan aturan-aturan propinsi (atau aturan penentuan kota bagi kota-kota yang ditunjuk; selanjutnya berlaku sama).

Kolom Pertama Kolom

Kedua Kolom Ketiga

Kolom Keempat Area Peningkatan Fungsi Perkotaan

(UPA) 1000 m

2

Untuk hal-hal yang membutuhkan pertimbangan khusus untuk pencegahan urbanisasi yang tidak terkontrol terhadap status urbanisasi saat ini

300-999 m2

Daerah perencanaan kota atau daerah kuasi perencanaan kota yang pembagian UPA dan UCA nya belum ditentukan

3000 m2

Untuk hal-hal yang membutuhkan pertimbangan khusus dari urbanisasi dari status urbanisasi saat ini

300-2999 m2

2 Mengenai permohonan untuk ketentuan UPA seperti disajikan pada Tabel di atas yang termasuk semua atau sebahagian wilayah di atas (terbatas pada wilayah yang memiliki kawasan-kawasan khusus) pada kota atau kotamadya, ‘1000 m2’ pada Tabel akan menjadi (500 m2).

(1) Daerah terbangun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pengembangan Wilayah Ibukota Nasional, dan jalur pengembangan daerah pinggiran kota sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut;

(2) Daerah kota yang ada sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Kinki, dan pengembangan daerah pinggiran kota seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang tersebut; dan

(3) Daerah pembangunan kota seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pembangunan Daerah Chubu.

(19)

(Bangunan-bangunan yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 2 dan Ayat 2 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 20 Bangunan-bangunan yang ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 2 dan Ayat 2 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Gudang-gudang ternak, tempat pemeliharaan ulat sutera, rumah hijau, fasilitas perbenihan, fasilitas fertilisasi buatan untuk ternak, fasilitas penetasan dan pengembang biakan benih, fasilitas pemerahan susu, fasilitas pengumpulan susu, dan bangunan-bangunan lainnya yang digunakan untuk memproduksi dan mengumpulkan produk-produk pertanian, kehutanan dan perikanan yang sejenis;

(2) Gudang-gudang pupuk kompos, tempat penyimpannan makanan ternak, fasilitas penyimpanan benih, alat-alat pertanian, dsb fasilitas penyimpanan, dan bangunan-bangunan lainnya yang dipergunakan untuk tempat penyimpanan barang-barang produksi pertanian, kehutanan dan perikanan yang sejenis ;

(3) Bangunan-bangunan yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan ternak;

(4) Sistem air bersih dan pembuangan, fasilitas pengambilan air, dan bangunan-bangunan lain yang dipergunakan untuk pengelolaan fasilitas-fasiltas yang diperlukan untuk pelestarian dan penggunaan lahan pertanian dan bangunan-bangunan yang dipergunakan untuk jalur kabel; dan

(5) Sebagai tambahan untuk hal-hal yang disebutkan di atas, bangunan-bangunan dengan luas 90 m2 atau kurang.

(Bangunan-bangunan yang Dibutuhkan bagi Kepentingan Publik sebagaimana yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota) Pasal 21 Bangunan-bangunan yang dibutuhkan bagi kepentingan umum sebagaimana yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Bangunan-bangunan yang terdiri dari jalan-jalan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Jalan Raya dan jalan-jalan raya umum atau jalan-jalan yang khusus untuk kendaraan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 8 Undang-Undang Transportasi Jalan (Undang-Undang No.183 Tahun 1951) (terbatas pada jalan-jalan yang dipergunakan untuk transportasi mobil penumpang umum seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang tersebut dan transportasi kenderaan angkutan umum seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Transportasi Kendaraan Angkutan (Undang-Undang No.83 Tahun 1988);

(2) Bangunan-bangunan yang terdiri atas sungai-sungai yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Persungaian;

(3) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas pertamanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Taman Kota;

(4) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk jalur kabel untuk kepentingan umum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang

(20)

Layanan Jalan Kereta Api (Undang-Undang No.92 Tahun 1986), dan bangunan-bangunan yang merupakan sarana yang dipergunakan sebagai rel sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Rel Kereta Api (Undang-Undang No.76 Tahun 1922) atau fasilitas-fasilitas yang dipergunakan untuk trem tanpa rel yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut;

(5) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas-fasilitas layanan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 5 Ayat 2 Butir 2 Undang-Undang Layanan Jaringan Perminyakan;

(6) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas-fasilitas yang dipergunakan untuk transportasi kenderaan angkutan penumpang umum seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 1 Butir a. Undang-Undang Transportasi Jalan atau Transportasi Angkutan Barang seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Layanan Transportasi Kenderaan Angkutan Barang (terbatas pada muatan khusus seperti yang ditetapkan dalam Ayat 6 Undang-Undang yang sama), atau bangunan-bangunan terminal umum seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang Terminal Kendaraan.

(7) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas pelabuhan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 5 Undang-Undang Pelabuhan, dan bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas pendaratan ikan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Tempat Pendaratan Ikan;

(8) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas konservasi daerah pesisir sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Daerah Pesisir (Undang-Undang No.101 Tahun 1956);

(9) Bangunan-bangunan yang dibangun pada wilayah lapangan terbang umum berdasarkan Undang-Undang Penerbangan dan diperlukan untuk pengamanan fungsi lapangan terbang tersebut atau untuk menjamin kenyamanan pengguna lapangan terbang, atau bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas keselamatan penerbangan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang yang sama dan dipergunakan untuk kepentingan umum;

(10) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk observasi atau mengumumkan fenomena meteorologi, fenomena laut, fenomena bumi, banjir dan fenomena-fenomena sejenis lainnya;

(11) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk layanan pos; (12) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk operator

telekomunikasi kategori 1 untuk layanan-layanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang Telekomunikasi (Undang-Undang No.86 Tahun 1984); (13) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk layanan penyiaran

sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Penyiaran (Undang-Undang No.132 Tahun 1950);

(14) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas untuk instalasi bangunan listrik seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Butir 14 Undang-Undang Kelistrikan untuk layanan listrik (kecuali layanan listrik skala tertentu seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Butir 7 Undang-Undang yang sama) sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Butir 9 Undang-Undang yang sama; dan bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas untuk pemasangan bangunan gas seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 12 Undang-Undang

(21)

yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang yang sama dan layanan gas sederhana seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang yang sama); (15) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas pembangkit tenaga listrik atau transmisi

tenaga listrik yang dibangun atau diperbaiki oleh perusahaan-perusahaan pengembangan suplai tenaga listrik;

(16) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas bangunan air sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 8 Undang-Undang Bangunan Air yang dipergunakan untuk layanan bangunan air seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang yang sama dan layanan bangunan untuk suplai air bersih seperti yang ditetapkan dalam Pasal 4 Ayat 4 Undang-Undang yang sama; bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas suplai air bersih untuk industri seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 6 Undang-Undang Suplai Air Bersih untuk Industri (Undang-Undang No.84 Tahun 1958); dan bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk saluran pembuangan publik, sistem buangan DAS sungai dan buangan kota seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Butir 3 sampai Butir 5 Undang-Undang Bangunan Pembuang;

(17) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang disediakan oleh badan pencegah kerusakan yang disebabkan air untuk pencegahan banjir;

(18) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang digunakan untuk perpustakaan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Perpustakaan (Undang-Undang No.118 Tahun 1950), atau yang dipergunakan untuk museum seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Museum (Undang-Undang No.285 Tahun 1951); (19) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas pengembangan keahlian kejuruan umum

yang dibangun oleh Negara, Propinsi, Kotamadya dan Organisasi Pengembangan Kapasitas Kerja seperti yang ditetapkan dalam Pasal 15-6 Ayat 3 Undang-Undang Promosi Keahlian Kejuruan, dan Universitas Pengembangan Keahlian Kejuruan yang dibangun oleh Negara dan Organisasi Pengembangan Kapasitas Kerja seperti yang ditetapkan dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang yang sama;

(20) Bangunan-bangunan yang merupakan krematorium seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 7 Undang-Undang mengenai Makam dan Pemakaman, dsb (Undang-Undang No.48 Tahun 1948);

(21) Bangunan-bangunan yang merupakan rumah potong hewan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Rumah Potong Hewan (Undang-Undang No.114 Tahun 1953), dan bangunan-bangunan yang merupakan pabrik pengolahan hewan-hewan yang sudah mati seperti yang ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang mengenai Pabrik Pengolahan Hewan-hewan yang Sudah Mati, dsb (Undang-Undang No.140 Tahun 1948) atau tempat penanganan hewan-hewan yang sudah mati seperti yang ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang yang sama;

(22) Bangunan-bangunan yang merupakan WC umum, fasilitas pengelolaan tinja atau fasilitas pengelolaan limbah, sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai Pengelolaan dan Pembersihan Limbah Padat (Undang-Undang No.137 Tahun 1970), dan bangunan-bangunan yang merupakan septic tank seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang mengenai Septic Tank (Undang-Undang No.43 Tahun 1983);

(22)

(23) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk pasar induk sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pasar Induk (Undang-Undang No.35 Tahun 1971), bangunan yang merupakan fasiltas yang digunakan untuk pasar induk daerah seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang yang sama, dan yang digunakan untuk pasar yang dibangun oleh kotamadya (termasuk kawasan khusus kota kecuali kota yang ditentukan dan kotamadya yang memproses pekerjaan administrasi seperti yang ditetapkan dalam Pasal 29 Ayat 1 Butir 4 Undang-Undang Perencanaan Kota; hal yang sama untuk Butir berikutnya pada Pasal ini); (24) Bangunan-bangunan yang dibangun pada proyek-proyek pertamanan sebagaimana yang

ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 6 Undang-Undang Pertamanan, atau proyek-proyek taman alami milik propinsi atau yang ekivalen seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang yang sama.

(25) Bangunan-bangunan yang dibangun pada proyek-proyek peningkatan kawasan pemukiman sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pengembangan Kawasan Pemukiman (Undang-Undang No.84 Tahun 1960);

(26) Bangunan-bangunan yang dibangun oleh kotamadya, asosiasi pekerja administrasi daerah parsial atau konfederasi daerah yang lebih luas yang diikuti oleh pemerintah kotamadya, atau badan-badan pembangunan wilayah yang dibentuk oleh pemerintah kotamadya untuk dipergunakan sebagai kantor-kantor pemerintah, lembaga penelitian dan untuk pekerjaan administrasi atau pekerjaan proyek;

(27) Bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas yang dipergunakan untuk penelitian oleh Lembaga Penelitian Energi Atom Jepang;

(28) Bangunan-bangunan yang merupakan sarana yang digunakan Lembaga Pengembangan Siklus Bahan Bakar Nuklir dalam pekerjaannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 24 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Lembaga Pengembangan Siklus Bahan Bakar Nuklir (Undang-Undang No.73 Tahun 1967);

(29) Bangunan-bangunan yang merupakan sarana yang dibangun oleh Perusahaan Umum Pengembangan Sumber Daya Air berdasarkan Pasal 18 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perusahaan Umum Pengembangan Sumber Daya Air (Undang-Undang No.218 Tahun 1961);

(30) Bangunan-bangunan yang merupakan sarana yang digunakan oleh Badan Pengembangan Ruang Angkasa Nasional Jepang sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22 Ayat 1 Butir 1 atau Butir 2 Undang-Undang oleh Badan Pengembangan Ruang Angkasa Nasional Jepang (Undang-Undang No.50 Tahun 1969); dan

(31) Bangunan-bangunan yang merupakan sarana yang digunakan oleh Organisasi Pengembang Tehnologi Industri dan Energi Baru dalam pekerjaannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 39 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang mengenai Promosi Pengembangan dan Pengenalan Energi Pengganti Minyak Bumi (Undang-Undang No.71 Tahun 1980), Pasal 4 Butir 1 Undang-Undang mengenai penggantian Aturan Penelitian dan Pengembangan, dsb bagi Tehnologi Industri (Undang-Undang No.33 Tahun 1988), atau Pasal 21-2 Butir 1 Undang-Undang mengenai Penggunaan Energi yang Rasional (Undang-Undang No.49 Tahun 1979).

(23)

(Aktivitas Pengembangan yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 11 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 22 Aktivitas pembangunan yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Butir 11 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah sebagai berikut:

(1) Aktivitas pengembangan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk membangun bangunan sementara atau membangun bangunan khusus kategori 1 untuk digunakan sementara waktu dalam pekerjaan teknik sipil atau pekerjaan lainnya;

(2) Aktivitas pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk bangunan garasi, ruang penyimpanan dan bangunan pembantu serupa lainnya;

(3) Aktivitas pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk menambah bangunan atau memperluas bangunan tertentu yang luas lantai penambahan atau perluasannya adalah 10 m2 atau kurang;

(4) Aktivitas pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk membangun kembali tanpa merubah tujuan penggunaan bangunan selain yang ditetapkan dalam Pasal 29 Ayat 1 Butir 2 atau Butir 3 Undang-Undang Perencanaan Kota, atau membangun kembali bangunan tertentu;

(5) Aktivitas pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk membangun kembali bangunan-bangunan yang berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah disebutkan di atas dimana total luas lantai gabungan bangunan yang akan dibangun kembali adalah 10 m2 atau kurang; dan

(6) Aktivitas pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk bangunan yang baru dibangun untuk dipergunakan sebagai toko, pendirian usaha dan aktivitas lainnya dalam melaksanakan komoditi penjualan, pengelolaan dan perbaikan, dsb yang terutama dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari bagi penduduk yang tinggal di darah pengendali urbanisasi disekitar kawasan yang dikembangkan tersebut, dimana total luas lantai bangunan (total luas lantai gabungan jika dua bangunan atau lebih dibangun pada lokasi yang sama; hal yang sama berlaku pada Pasal berikut dan Pasal 35) adalah 50 m2 atau kurang (terbatas pada kasus dimana total luas bagian yang dipergunakan untuk aktivitas di atas adalah 50% atau lebih), dimana penduduk di daerah pengendali urbanisasi di sekitar kawasan tersebut melaksanakan sendiri aktivitas tersebut, dan dengan skala luas aktivitas sebesar 100 m2 atau kurang.

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 22-2 Skala yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 1 Ha.

(24)

(Permohonan Skala Kebutuhan untuk Perijinan Aktivitas pengembangan Ketika Pengembangan Kawasan Meliputi Dua Daerah atau Lebih)

Pasal 22-3 Pada kasus yang pengembangan kawasan kawasannya meliputi dua UPA atau lebih, daerah perencanaan kota yang belum membagi daerahnya menjadi UPA dan UCA, daerah kuasi perencanaan kotanya atau daerah diluar wilayah perencanaan kota dan daerah kuasi perencanaan kota, ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 29 Ayat 1 Butir 1 Undang-Undang Perencanaan Kota harus diberlakukan terhadap aktivitas pengembangan yang tidak memenuhi salah satu dari persyaratan berikut:

(1) Luas daerah pengembangan kawasan tersebut kurang dari 1 Ha;

(2) Luas daerah pengembangan kawasan pada dua UPA atau lebih, daerah perencanaan kota yang pembagian UPA dan UCA nya belum ditetapkan dan daerah kuasi perencanaan kotanya kurang dari luas maksimum yang ditetapkan, tidak memerlukan ijin untuk aktivitas pengembangan di tiap daerah tersebut berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Perencanaan Kota;

(3) Luas kawasan yang dikembangkan pada UPA yang kurang dari 1.000 m2 (500 m2 jika berlaku ketentuan Pasal 19 Ayat 2). Namun, jika luasnya ditetapkan secara terpisah berdasarkan peratutran propinsi yang dinyatakan pada ketentuan Pasal yang sama, luas arealnya kurang dari ketentuan ini).

(4) Luas kawasan yang dikembangkan pada daerah perencanaan kota yang yang pembagian UPA dan UCA nya belum ditetapkan adalah kurang dari 3.000 m2 (jika luasnya ditetapkan secara terpisah berdasarkan peraturan propinsi seperti yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 19 Ayat 1, luasnya kurang dari skala ini); dan

(5) Luas kawasan yang dikembangkan pada kuasi daerah perencanaan kota adalah kurang dari 3.000 m2 (jika luasnya ditetapkan secara terpisah berdasarkan peraturan propinsi seperti yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 19 Ayat 1, luasnya kurang dari skala ini).

2 Jika kawasan yang dikembangkan terletak pada UPA, daerah perencanaan kota yang pembagian UPA dan UCA-nya belum ditetapkan, kuasi daerah perencanaan kota, atau daerah-daerah di luar daerah perencanaan kota, ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota akan berlaku terhadap aktivitas pengembangan dengan total luas kawasan yang dikembangkan adalah 1 Ha atau lebih.

(Pihak-pihak yang Diikutsertakan dalam Konsultasi Melaksanakan Aktivitas Pengembangan) Pasal 23 Pihak yang memohon ijin pengembangan untuk aktivitas pengembangan sebesar 20 Ha atau lebih harus berkonsultasi dengan pihak-pihak berikut terlebih dahulu (kecuali pihak-pihak yang ditetapkan dalam Butir 3 dan 4 jika aktivitas pengembangan meliputi area seluas 40 Ha atau kurang):

(1) Pihak-pihak yang berkewajiban untuk membangun fasilitas pendidikan wajib berkonsultasi dengan orang yang akan tinggal di kawasan yang dikembangkan tersebut;

(2) Operator bangunan air yang ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 5 Undang-Undang Bangunan Air dimana kawasan yang dikembangkan termasuk daerah suplai;

(25)

Undang-Undang Kelistrikan dan operator layanan gas yang ditetapkan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang PenggunaanGas, dimana kawasan yang dikembangkan termasuk dalam daerah suplai ini; dan

(4) Operator jalan kereta api berdasarkan Undang-Undang Jalan Kereta Api dan pemilik jalur rel berdasarkan Undang-Undang Rel Kereta Api terkait dengan aktivitas pengembangan sementara.

(Daerah yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 8 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 23-2 Dearah yang ditetapkan dalam Ordonansi sebagai daerah yang tidak sesuai untuk aktivitas pengembangan berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 8 adalah daerah yang beresiko longsor sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Pencegahan Bencana Longsor (Undang-Undang No.57 Tahun 1969).

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 9 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 23-3 Skala yang ditetapkan dalam Ordonansi berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 9 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 1 Ha. Namun, jika terdapat kebutuhan khusus untuk melestarikan lingkungan pada daerah yang dikembangkan dan sekitarnya, Gubernur Propinsi dapat membatasi luas area dan secara terpisah menetapkan besarannya berkisar antara 0.3 sampai 1 Ha dengan menggunakan peraturan propinsi.

(Skala yang Ditetapkan dalam Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 10 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 23-4 Skala yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 10 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 1 Ha.

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 11 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 24 Skala yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 11 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 40 Ha.

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 12 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 24-2 Skala yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 12 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 1 Ha.

(Skala yang Ditetapkan oleh Ordonansi Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 13 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 24-3 Skala yang ditetapkan oleh Ordonansi berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 Butir 13 tentang Undang-Undang Perencanaan Kota adalah 1 Ha.

(26)

(Keterangan Teknis yang Dibutuhkan untuk Memberlakukan Hal-Hal yang Ditetapkan dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Perencanaan Kota)

Pasal 25 Keterangan-keterangan teknis yang ditetapkan dalam Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota, adalah yang terkait dengan Pasal 33 Ayat 1 Butir 2 Undang-Undang yang sama adalah sebagai berikut:

(1) Jika diperlukan untuk menghubungkan jalan dengan jalan-jalan di luar daerah yang dikembangkan tanpa mengganggu fungsi jalan yang sudah ditetapkan dalam rencana perencanaan kota dan jalan-jalan di luar daerah yang dikembangkan, jalan tersebut akan didesain agar berfungsi secara efektif sewaktu dihubungkan dengan jalan-jalan tersebut. (2) Jalan yang lebih lebar daripada lebar yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kementrian

Pertanahan, Prasarana dan Transportasi (4 m jika tidak ada rintangan untuk melintas di bagian yang kecil) dalam kisaran 6 m hingga 12 m tergantung pada tujuan penggunaan bangunan yang direncanakan, dsb dan luas bangunan yang direncanakan, dsb, akan diatur untuk berbatasan dengan bangunan terkait yang sudah direncanakan, dsb. Namun, hal ini tidak berlaku jika permohonan dianggap sangat sulit dalam hal luas dan bentuk daerah pengembangan, bentuk lahan dan mode penggunaan daerah sekitarnya, dan jalan-jalan dianggap memiliki luas dan struktur yang tidak menyebabkan rintangan dalam hal konservasi lingkungan, pencegahan bencana, jalan lintasan dan aktivitas bisnis yang aman sudah diberlakukan berdasarkan Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi.

3) Jika aktivitas pengembangan (kecuali aktivitas pengembangan untuk tujuan pembangunan bangunan khusus kategori 2; hal yang sama berlaku pada bagian 6 dan 7) meliputi luas 20 ha atau lebih pada daerah UPA, ukuran lebar jalan yang harus dibangun adalah 12 m atau lebih sepanjang 250 m pada lokasi bangunan yang telah direncanakan, dsb

(4) Jalan-jalan utama dalam daerah pengembangan harus dihubungkan ke jalan dengan lebar 9 m atau lebih (6,5 m jika aktivitas pengembangan terutama diperuntukkan membangun perumahan) di luar daerah pengembangan (atau jalan-jalan yang tidak merintangi lalu lintas kendaraan jika dianggap tidak dapat dihindari karena kondisi jalan di sekitar daerah pengembangan)

(5) Jalan-jalan dengan lebar 9 m atau lebih di dalam wilayah daerah pengembangan harus memiliki tempat pejalan kaki yang terpisah dengan jalan.

(6) Jika aktivitas pengembangan meliputi luas 0.3 – 4.9 Ha, maka luas taman, kawasan hijau, dan alun-alun harus 3% atau lebih dari total luas daerah yang dikembangkan. Namun, jika taman, kawasan hijau dan alun-alun yang agak luas terdapat di sekitar daerah tersebut, hal ini tidak berlaku jika bangunan yang akan dibangun, dsb diperuntukkan bukan untuk perumahan, hanya satu lokasi, dan dianggap tidak ada persyaratan khusus bagi daerah sekitarnya, tataguna peruntukan bangunan, dsb dan denah lokasi.

(7) Jika aktivitas pengembangan meliputi area seluas 5 ha atau lebih, maka taman (taman, kawasan hijau dan alun-alun untuk daerah bangunan yang diperuntukkan bagi selain untuk perumahan) harus disediakan dengan luas 300 m atau lebih dan sekitar 3% dari total daerah pengembangan atau lebih.

(27)

sebagai fasilitas air untuk pemadam kebakaran dan fasilitas air lainnya tidak memenuhi standar mengenai rekomendasi yang ditetapkan berdasarkan Pasal 20 Ayat 1 Undang-Undang Layanan Kebakaran (Undang-Undang No.186 Tahun 1948).

Pasal 26 Keterangan teknis yang ditetapkan dalam Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota, yang terkait dengan Pasal 33 Ayat 1 Butir 3 Undang-Undang yang sama adalah sebagai berikut:

(1) Mengenai fasilitas saluran pembuang dalam daerah pengembangan, berdasarkan Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan Transportasi , kemiringan dan ukuran saluran akan ditetapkan sehingga dapat mengalirkan kotoran dan air hujan yang sudah diperhitungkan berdasarkan ukuran luas daerah pengembangan, topografi, tataguna peruntukan bangunan, dsb endapan, dsb.

(2) Fasilitas saluran pembuangan di dalam wilayah daerah pengembangan harus dihubungkan dengan sistem pembuangan, saluran pembuangan atau fasilitas pembuangan lainnya, sungai, atau badan air lainnya atau laut, dengan pertimbangan kapasitas pembuang dari tempat pembuang akhir, syarat tataguna air dan syarat lainnya, untuk menjamin agar kotoran di dalam daerah pengembangan dapat dibuang dengan lancar.

(3) Sebagai aturan, ditetapkan bahwa kotoran selain air hujan (termasuk kotoran yang telah diolah dan kotoran dengan tingkat kebersihan yang ekivalen) dapat dibuang melalui saluran yang tertutup.

Pasal 27 Jika aktivitas pengembangan terutama diperuntukkan untuk membangun perumahan yang meliputi area seluas 20 Ha atau lebih, tergantung pada skala aktivitas pengembangan terkait, fasilitas pendidikan, fasilitas layanan kesehatan, fasilitas lalu lintas, fasilitas perbelanjaan dan fasilitas umum lainnya harus diatur dengan posisi dan skala tertentu sehingga penggunaannya dapat efektif bagi penghuni berdasarkan fungsinya. Namun, hal ini tidak diberlakukan apabila dianggap tidak perlu berdasarkan kondisi sekitarnya.

Pasal 28 Keterangan teknis yang ditetapkan dalam Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Perencanaan Kota, yang terkait dengan Pasal 33 Ayat 1 bagian 7 Undang-Undang yang sama adalah sebagai berikut:

(1) Jika tanah di daerah pengembangan lembek, pergantian tanah, pengeringan atau tindakan lainnya harus dilakukan untuk menjamin agar tidak terjadi turunnya atau pergerakan tanah diluar daerah pengembangan.

(2) Jika aktivitas pengembangan menyebabkan terjadinya pergeseran tanah, permukaan tanah yang berhubungan dengan puncak tebing akan terbawa air hujan dan aliran air pemukaan lainnya dari tebing jika tidak ada keadaan khusus.

(3) Ketika melakukan penggalian, jika penggalian tanah telah menghilangkan lapisan tanah, penumpukan kembali, penggantian tanah dan tindakan lainnya harus dilakukan untuk menjamin tidak terjadinya pergeseran tanah.

(4) Ketika melakukan penimbunan, pemadatan dan tindakan lainnya harusdilakukan untuk menjamin agar perkolasi air hujan dan air permukaan lainnya tidak menyebabkan terjadinya hilangnya, turunnya atau runtuhnya tanah yang ditimbun.

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan konstruksi merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu lama, tenaga dan juga material yang menyebabkan sering terjadi permasalahan di proyek

Data primer, yaitu data-data yang dapat menjawab masalah yang dikemukakan, tentang pelaksanaan pengajian tasawuf dan aliran yang terdapat dalam pengajian tersebut,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk trichokompos jerami padi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kangkung terutama

Parameter X2 (penambahan perekat tapioka) sebaliknya memiliki pengaruh negatif terhadap nilai kalor pembakaran biobriket dengan tingkat desirability yang juga tinggi yaitu 94,00

dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.. Dalam bagian akhir

Pada bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal dasar diangkatnya suatu masalah yang nantinya dapat digunakan sebgai acuan

Banyak yang masih belum menyadari sebaik-baiknya mengenai pengertian dan penghayatan akan keselamatan kerja meskipun sebagian besar telah dilakukan. Haruslah dipahami

Dalam konsultasi bilateral ini, pihak Indonesia meminta Korea Selatan dalam hal ini Korean Trade Commission (KTC) untuk untuk mencabut adanya bea masuk anti dumping yang diterapkan