Peran DSB dalam Penyelesaian Sengketa Anti-dumping Korea
Selatan terhadap Produk Kertas Indonesia
Latar Belakang
Kertas merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia ke Korea Selatan. Pada tahun 2002, asosiasi perusahaan kertas di Korea Selatan mengajukan keberatan kepada Korean Trading Commission atas tuduhan dumping yang dilakukan Indonesia terhadap produk kertas. Hal tersebut dilakukan karena produk kertas Indonesia lebih murah dibandingkan dengan produk kertas Korea sehingga menyebabkan produk kertas Indonesia menjadi lebih dipilih. Oleh karena itu, Korea Trading Commission mengenakan bea masuk anti-dumping kepada produk kertas Indonesia agar harga kertas dapat bersaing kembali.
Indonesia merasa tidak terima dengan pembebanan bea masuk antidumping ini dan mengajukan persengketaan ini ke WTO. Secara garis besar, prosedur penyelesaian sengketa dalam WTO ada tiga yaitu konsultasi bilateral, pembentukan panel, dan banding Langkah pertama yang ditempuh adalah melakukan perundingan bilateral. Perundingan tersebut belum mampu membawa masalah ini ke titik penyelesaian. Indonesia menilai Korea mencederai beberapa kewajiban WTO, terutama yang berkaitan dengan pemberian informasi dan alasan pengenaan bea anti-dumping. Indonesia menyadari bahwa Korea tidak konsisten dengan apa yang telah disetujuinya di WTO berupa article VI dari GATT 1994, inter alia, article VI:1, VI:2 and VI:6; articles 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1(i), 5.2, 5.3, 5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8. 6.10, 9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3, Annex I, dan paragraf 3, 6, and 7 dari Annex II mengenai Perjanjian Anti-Dumping1.
Gagalnya perundingan tersebut membuat Indonesia meminta WTO untuk membentuk panel. Pada tanggal 27 September 2004, WTO membentuk panel yang terdiri dari pihak ketiga sebagai jawaban atas permintaan Indonesia yang terdiri dari Kanada, Cina, komunitas Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang2. Pihak ketiga disini berfungsi untuk melakukan penyelidikan terhadap tuduhan yang dilayangkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia sekaligus menanggapi gugatan Indonesia ke WTO. Diakhir kerjanya, panel mengumumkan hasil
1 World Trade Organization, Korea – Antidumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia (online), 22 Oktober 2007, http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm diakses pada 27 April 2011
temuannya yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Korea mengenai anti-dumping produk kertas Indonesia tidak sesuai dengan perjanjian GATT dalam WTO. Tetapi, dalam pelaksanaan temuan panel tersebut, pemerintah Korea tidak dapat langsung mengubah kebijakan anti-dumping nya terhadap produk kertas Indonesia. Baru pada akhir tahun 2010, tepat nya bulan November lalu, keputusan panel dilaksanakan oleh pemerintah Korea dengan menghilangkan bea masuk antidumping terhadap kertas Indonesia3. Hal tersebut dikarenakan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kurang, sehingga banyak pengusaha Korea yang tidak mengetahui hal tersebut, dengan kata lain pengusaha Korea belum merespon secara aktif4.
Proses Penyelesaian Sengketa
Tahapan pertama yang dilakukan untuk menyelesaikan persengketaan perdagangan antar negara adalah melalui konsultasi bilateral antar negara-negara yang bersengketa. Demikian halnya yang terjadi dengan persengketaan antara Indonesia dengan Korea Selatan menyangkut kebijakan Korea Selatan terhadap produk kertas Indonesia. Korsel menerapkan bea masuk anti dumping terhadap produk kertas Indonesia menyusul petisi yang diajukan oleh industri-industri kertas Korsel.
Indonesia meminta dilakukannya konsultasi bilateral antara kedua negara (Indonesia-Korsel) pada tanggal 4 Juni 2004. Usulan Indonesia pun kemudian ditindak lanjuti dengan diadakannya konsultasi antara kedua negara yang dimulai pada tanggal 7 Juni 2004. Dalam konsultasi bilateral ini, pihak Indonesia meminta Korea Selatan dalam hal ini Korean Trade Commission (KTC) untuk untuk mencabut adanya bea masuk anti dumping yang diterapkan pada produk kertas Indonesia.
Karena pada tahap konsultasi bilateral ini tidak didapatkan kesepakatan antara kedua pihak yang bersengketa, maka tahap konsultasi ini pun gagal untuk menyelesaikan masalah ini. Untuk itulah Indonesia meminta WTO membentuk Panel untuk meneliti kasus anti dumping tersebut.
3 Tribunnews, Korea Bebaskan Bea Masuk Ekspor Kertas Indonesia, 9 November 2010,
http://www.tribunnews.com/2010/11/09/korea-bebaskan-bea-masuk-ekspor-kertas-indonesia diakses pada 26 April 2011 pada pukul 20.10 WIB
4 TEMPO Interaktif, “Penghentian Kasus Dumping Kertas Belum Direspon Pengusaha Korea”, 25 Oktober 2010,
Diskusi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan tidak membuahkan hasil yang memuaskan pihak Indonesia. Maka ditempuh lah tahap kedua yaitu pembentukan panel melalui Dispute Settlement Body atau DSB yang merupakan sebuah lembaga yang mewakili Dewan Umum dalam WTO dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian konflik. DSB jugalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding.
Oleh karena itu, pada tanggal 16 Agustus 2004 Indonesia meminta dibentuknya Panel, DSB menangguhkan permintaan Indonesia untuk membentuk Panel pada tanggal 31 Agustus 2004, dan DSB membentuk Panel pada tanggal 27 September 20045. Anggota Panel terdiri dari Kanada, Cina, Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Dalam menelaah persengketaan ini, Panel melaksanakan dua kali sidang, yaitu pada tanggal 1-2 Februari 2005 dan 30 Maret 2005.
Pada tanggal 28 Oktober 2005, Panel mengemukakan hasil temuannya dalam persengketaan ini. Panel menemukan (a) bahwa KTC bertindak tidak konsisten dengan kewajibannya berdasarkan Art 6,8 dan 7 Annex II dalam perhitungan beban bunga untuk perusahaan Indonesia. Ditemukan bahwa KTC gagal dalam menerapkan kehati-hatian khusus dalam Surat Penentuan apakah penggunaan beban bunga bagi perusahaan perdagangan merupakan tindakan yang tepat dan dalam menguatkan beban bunga tersebut dengan beban bunga dari perusahaan lain dan (b) Panel menemukan bahwa KTC bertindak tidak konsisten dengan kewajiban yang ditetapkan dalam Art 6.2 dengan gagal untuk memungkinkan eksportir Indonesia untuk mengomentari kembali cedera ketentuan KTC6 . DSB mengadopsi dan menerima temuan Panel ini pada tanggal 28 November 2005.
Indonesia dan Korea Selatan memberitahukan prosedur pemahaman keputusan DSB tersebut dan Indonesia menerima keputusan Panel dengan terlebih dahulu berkonsultasi terhadap Pasal 21.5 dari keputusan DSB tersebut. Dan pada tanggal 28 September 2007, Panel pengedarkan laporan tentang Pasal 21.5 tersebut. Korea Selatan disarankan oleh Panel merevisi aturanya dan menghitung kembali bea masuk anti-dumping yang dikenakan kepada perusahaan
5 Korea - Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia, from
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm, diakses pada 26 April 2011 pada pukul 19:15 WIB.
6Korea=Certainpaper,fromhttp://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/1pagesum_e/ds312sum_e.pdf&rurl
kertas asal Indonesia. Tetapi, dalam pelaksanaannya Korea telah melewati tenggat waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam kasus yang seperti ini, Indonesia diperbolehkan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap Korea tetapi harus dipertimbangkan dengan matang oleh pihak Indonesia. Pada akhirnya Korea Selatan melaksanakan keputusan DSB ini baru pada akhir 2010 lalu tepatnya pada bulan November.
Implikasi Sengketa Kertas Indonesia-Korea Selatan
Permasalahan pembebanan biaya anti-dumping produk kertas Indonesia di Korea Selatan yang akhirnya di bawa ke WTO dan dibahas dalam Dispute Settlement Body memberikan beberapa implikasi terhadap hubungan antara Indonesia dan Korea Selatan, terutama dari sektor industri kertas. Meski Komisi Perdagangan Korea Selatan atau Korean Trade Commission
(KTC) telah memutuskan untuk menghentikan kasus tuduhan dumping terhadap kertas asal Indonesia, namun para pengusaha Korea belum merespons secara aktif. Hal tersebut terjadi dikarenakan penghentian kasus dumping ini belum diumumkan secara luas kepada para pemegang industri di Korea. Pengusaha yang dituduh menjual kertas lebih murah di luar negeri ketimbang di Indonesia itu pun gerah akan sikap Korea. Mereka mendesak pemerintah Indonesia melakukan retaliasi atau tindakan balasan kepada Korea. Pemerintah tak serta merta menuruti permintaan pengusaha. Pemerintah menyatakan akan menunggu keputusan inisiasi yang rencananya akan diumumkan pada akhir Oktober 2010. Singkat kata, tuduhan dumping Korea terhadap produk kertas Indonesia telah membuat para pemegang industri geram dan kecewa terhadap pemerintah Korea, yang membuat mereka menuntut pemerintah RI untuk melakukan tindakan balasan.
menyentuh angka tertinggi hingga US$ 150 juta sementara saat ini sudah turun drastis hingga US$ 50 juta.7 Singkatnya, tuduhan dumping dan pembebanan biaya anti dumping ini telah membuat pengusaha kertas Indonesia “gerah”. Meskipun kasus ini telah dibawa ke dalam agenda DSB, namun ternyata tetap mengakibatkan merosotnya nilai ekspor kertas Indonesia ke Korea. Hal ini tentunya berimplikasi kepada industri kertas dalam negeri masing-masing negara.
Kesimpulan
Prosedur penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism yang diterapkan oleh WTO untuk menyelesaikan sengketa dagang antarnegara bisa dikatakan cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa dagang antarnegara. Dalam kasus ini, Indonesia memanfaatkan prosedur yang diterapkan oleh WTO dan memperoleh manfaat dari pemanfaatan prosedur tersebut.
Dinilai cukup efektif karena DSM ini memang terbukti mampu untuk menyelesaikan sengketa dagang antarnegara akan tetapi waktu yang dibutuhkan termasuk lama. Dari kasus Indonesia ini diawali pada tahun 2002 dan baru benar-benar selesai serta dimenangkan Indonesia dengan dicabutnya bea masuk antidumping pada tahun 2010. Delapan tahun waktu yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk bisa benar-benar memenangkan sengketa nya dengan Korea Selatan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Dispute Settlement Mechanism yang diterapkan oleh WTO untuk menyelesaikan sengketa dagang antarnegara terbukti cukup efektif. Walaupun waktu yang dibutuhkan termasuk lama untuk bisa benar-benar mendapatkan keputusan akhir , tetapi mampu untuk menyelesaikann sengketa dagang antarnegara anggota WTO.
KELOMPOK 2
Boni Andika 23830
Dika Yulianawati 24330
Melisa Ratna Kusuma 24192
Reza Ananta putra 24188
Wahyu hadi Pradana 24008