• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGERTIAN DAN SIFAT-SIFAT PELANGGARAN ADAT

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN CIPTAAN (Halaman 115-123)

PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6 HUKUM ADAT PELANGGARANHUKUM ADAT PELANGGARAN

1. PENGERTIAN DAN SIFAT-SIFAT PELANGGARAN ADAT

a. Pengertian Pelanggaran Adat

Dilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat biasa yang ada di kota-kota, bahwa masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran komunal dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting karena akan menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat hukum adat pelanggaran itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang komunal dan kosmis tersebut memandang segala-galanya sebagai satu kesatuan yang homogin dalam kehidupan mereka, dimana kedudukan manusia adalah pusatnya.

Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah dari dunia lahir maupun gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu kesatuan. Jadi semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi dan semuanya berada dalam keseimbangan, yang senantiasa harus dijaga dan jika suatu saat ada gangguan terhadap keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan kembali.58

Apa yang telah diungkapkan oleh Bushar Muhammad seperti tersebut diatas, kiranya mempunyai prinsip yang sama dengan yang berlaku di Indonesia, bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan haruslah terjaga keseimbangan hubungan yang di Bali dikenal dengan “Tri Hita Karana”.

58 Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.67.

Apabila antara ketiga hubungan tersebut terganggu seperti : hubungan antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, hubungan antara manusia dengan alam lingkungan maupun hubungan antara manusia dengan sesamanya, maka akan muncullah ketidak seimbangan magis yang lebih umum disebut ada “delik adat atau pelanggaran adat”. Jadi alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan masyarakat hukum adat, merupakan latar belakang timbulnya delik adat atau pelanggaran adat. Di dalam alam pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis itu, masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang dipentingkan dari pada orang-perorangan secara individual.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut Bushar Muhammad, yang dimaksud dengan delik adat adalah : Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat matriil atau immatriil, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar atau kecil dan lain-lain.59 Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan delik adalah perbuatan mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma keagamaan, kesusilaan dan sopan santun

59 Bushar Muhammad, Ibid, hal.67-68.

dalam masyarakat dilanggar.60

Istilah-istilah yang dipakai dalam penyebutan terhadap perbuatan melanggar ini oleh beberapa sarjana berbeda karena ada yang memakai istilah delik adat (Soepomo), hukum pelanggaran (Ter Haar), hukum pidana adat (Bushar Muhammad) demikian pula Surojo Wignyodipuro dengan hukum adat delik. Walaupun dengan istilah yang berbeda maksud dan tujuannya sama yaitu menunjukkan segala perbuatan yang melanggar norma-norma maupun yang menyebabkan ketidak seimbangan magis dalam kehidupan masyarakat, tanpa membatasi bidang-bidang tertentu, dan yang utama adalah untuk membedakannya dengan delik dalam hukum Barat, dimana dalam sistem hukum Barat memisahkan antara hukum pidana dengan hukum perdata.

Sedangkan dalam sistem hukum adat, pelanggaran bisa terjadi pada peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat, norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, sopan santun demikian pula hukum adat membedakan antara benda-benda matriil dan benda-benda-benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya adalah homogin. Dan selanjutnya dalam pembahasan lebih lanjut akan dipergunakan istilah “Hukum Pelanggaran Adat”.

b. Sifat-Sifat Hukum Pelanggaran Adat

Sistem hukum adat menyatakan bahwa segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan hukum adat sendiri mempunyai ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechtsherstel) jika hukum itu diperkosa.61

Sifat hukum pelanggaran adat yang dilandasi alam

60 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.286.

61 Soepomo.R, Op.Cit, hal.110.

pikiran tradisional masyarakat yang mempertautkan antara yang nyata dengan yang tidak nyata, antara alam fana dengan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib antara hukum manusia dengan hukum Tuhan, yang menempatkan manusia itu sebagai bagian dari alam menyebabkan kehidupan manusia itu bertaut dengan alam sehingga kegoncangan alam adalah akibat ketidak seimbangan kehidupan manusia dan sebaliknya kehidupan manusia merupakan ketidak seimbangan dengan kehidupan alam. Oleh karena itulah yang menyebabkan masyarakat hukum adat tidak banyak yang dapat berfikir rasionalistis, intelektualistis atau liberalistis sebagaimana halnya dengan cara berfikir orang Barat sehingga hukum adat bukan hasil ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal tetapi hasil ciptaan pikiran yang komunal, magis religius atau komunal kosmis.

Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang komunal dan kosmis tersebut membawa pengaruh pula terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat yaitu :

1. Menyeluruh dan menyatukan, artinya

Karena latar belakang untuk timbulnya suatu pelanggaran adat dilandasi oleh pikiran yang komunal dan kosmis yang berarti yang satu bertautan dengan yang lain maka yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Demikian pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah itu pelanggaran adat, agama, kesusilaan

atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran tersebut akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat dengan pertimbangan keputusannya yang bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum adat pelanggaran dapat dibedakan antara perbuatan yang bersifat kejahatan dengan perbuatan yang bersifat pelanggaran, tetapi hukum adat pelanggaran tidak membedakannya karena hukum adat pelanggaran tidak mementingkan pembagian kekuasaan.

2. Ketentuan yang terbuka, artinya

Oleh karena manusia itu tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka ketentuan dalam hukum adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang penting yang dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat.62 Hal ini disebabkan oleh sifat maupun corak dari hukum adat itu sendiri yaitu bersifat elastis, plastis dan tidak kaku bahkan akan mengikuti perubahan pola pikir dari masyarakat. Jadi tidak menolak perubahan dan juga tidak menghambat perubahan. Di Bali pun keadaan seperti ini diakui yaitu desa, kala, patra dan mengakui pula waktu (atita, nagata, wartamana).

Ketentuan yang sifatnya terbuka dalam hukum adat pelanggaran menyebabkan hukum adat pelanggaran

62 Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, hal.22.

tidak menganut sistem peraturan yang statis, artinya suatu pelanggaran adat tidak selamanya merupakan pelanggaran adat. Demikian pula dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat pelanggaran tidak ada ketentuan dibuat terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda halnya dalam hukum pidana Barat, peraturannya harus ada terlebih dahulu sebelum menyatakan suatu perbuatan itu melanggar hukum atau tidak (azas legalitas dalam pasal KUHP).

3. Membeda-bedakan permasalahan

Dalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat tidak hanya perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan pula apa yang menjadi latar belakang perbuatannya dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran yang demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu peristiwa menjadi berbeda-beda.63

Menurut hukum adat antara orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan penting. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pula terhadap subyek dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan pula hukum adat membeda-bedakan kedudukan orang dalam masyarakat adat. Karena perbedaan ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi di

63 Ibid, hal.23.

masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat, maka hukumannya akan lebih berat daripada orang yang melakukan perbuatan yang termasuk kedalam

“kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur dalam ketentuan yang berbeda.

4. Lahir dan lenyapnya hukum pelanggaran adat

Hukum adat tidak menganut sistem yang statis melainkan dinamis, slastis dan plastis. Dengan demikian setiap ketentuan dalam hukum adat dapat timbul, tumbuh, berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, yang lebih sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat pada saat itu. Demikian pulalah yang berlaku dalam hukum pelanggaran adat, bahwa pelanggaran terhadap hukum adat akan lahir, berkembang dan kemudian lenyap dikarenakan rasa keadilan dan kepatutan serta kesadaran hukum rakyat sudah berubah. Jadi lahirnya hukum adat pelanggaran adalah serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu akan berkembang juga dan kemudian akan lenyap pula dengan adanya perubahan perasaan keadilan yang akan menimbulkan perubahan peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya seperti jalannya ombak di pesisir samudra.64 Demikian pula halnya dengan lahir dan lenyapnya pelanggaran

64 Soepomo.R, Op.Cit, hal.111.

adat yang berarti perbuatan-perbuatan uang semula dianggap merupakan pelanggaran adat tetapi karena adanya perubahan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat menyebabkan hukum menjadi berubah akibatnya perbuatan yang tadinya pelanggaran adat menjadi tidak lagi dianggap pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan adanya perbedaan dengan sistem hukum pidana Barat. Menurut hukum pidana Barat, delik itu lahir dengan diundangkannya suatu peraturan tentang delik tersebut dalam Lembaran Negara. Sedangkan untuk menyatakan delik tersebut tidak berlaku lagi secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi apapun bentuknya yang nantinya menyatakan bahwa peraturan yang lama tidak berlaku lagi, walaupun secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam Lembaran Negara.

5. Peradilan dengan permintaan

Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara pelanggaran, sebagian besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan. Artinya petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum petugas hukum hanya akan bertindak apabila ada permintaan dari orang yang terkena pelanggaran tersebut. Ukuran yang dipakai untuk menentukan kapan saatnya petugas hukum bertindak atas inisiatif sendiri, hukum adat menentukannya yaitu apabila “kepentingan umum terganggu” yang dalam hal ini adalah kepentingan dari

masyarakat hukumnya langsung terkena pelanggaran tersebut. Kepentingan umum inipun maksudnya adalah tertuju pada terganggunya keseimbangan magis dalam masyarakat yang didasarkan pada aliran tradisional yang bersifat kosmis komunalistis.

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN CIPTAAN (Halaman 115-123)

Dokumen terkait