BAB I PENDAHULUAN
B. Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan
2. Pengertian dan Dasar Hukum Takharuj
Mengenai harta warisan di dalam hukum Islam sudah diatur sedemikian rupa, akan tetapi dari pihak yang bersangkutan ada yang menolak atau mengeluarkan diri dalam pembagian harta warisan tersebut, bagaimana pandangan Islam dalam hal penolakan harta warisan dan bagaimana akibat hukumnya tidak diatur secara jelas.
Dalam hukum Islam tidak mengenal penolakan harta warisan sebagaimana yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Hukum Islam mengenal asas Ijbari yang berarti peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain untuk menjadi ahli waris atau mengeluarkan orang yang berhak menjadi ahli waris.
Tetapi dalam hukum Islam bagi para ahli waris yang ingin memberikan harta warisannya pada ahli waris lainnya seperti yang terjadi dalam penolakan harta warisan menurut hukum Perdata Barat, dalam hukum Islam pada dasarnya seorang pemilik harta dapat menggunakan harta miliknya sekehendak si pemilik sepanjang
72Ibid,. hal.16
tidak dilarang oleh Syara’ (agama). Atas dasar itu orang yang memperoleh bagian harta warisan dapat merelakan harta yang diterima itu untuk diberikan kepada ahli waris lain, baik seluruh maupun sebagian dari hak warisannya tersebut.
Terkadang dalam pembagian warisan, ada sebagian diantara para ahli waris yang tidak mau mengambil bagian yang menjadi haknya, tetapi justru memberikannya kepada ahli waris yang lain karena alasan tertentu. Sebagai konsekuensi dari hal ini adalah bahwa ahli waris yang “mengundurkan diri” itu mendapat imbalan sebagai pengganti atas bagiannya yang seharusnya ia terima.
Kasus semacam ini mendapat pembahasan tersendiri dalam ilmu faraidh, dan disebut dengan istilah takharuj.
Takharuj dapat didefinisikan sebagai perjanjian diantara para ahli waris untuk mengeluarkan (mengundurkan) sebagian ahli waris dari menerima harta warisan dan meninggalkan bagiannya dalam harta warisan dengan diganti imbalan tertentu dari harta warisan atau diluar harta warisan, baik perjanjian itu diantara para seluruh ahli waris maupun sebagian dari mereka.73
Takharuj juga dapat diartikan suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta
73 Achmad Yani, Faraidh dam Mawaris (Bunga Rampai Hukum Waris Islam), (Jakarta:
Kencana), 2016, hal. 110
peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.74 Ahli waris yang mengeluarkan (mengundurkan) ahli waris lain dalam hal ini disebut al-mukharij, sementara ahli waris yang bersedia keluar (mengundurkan diri) disebut al-kharij atau al-mukharaj.75 Perjanjian takharuj dibolehkan secara syariat karena merupakan akad (kesepakatan) yang berdasarkan prinsip suka sama suka atau kesepakatan diantara para ahli waris yang melakukan takharuj.
Ash Shabuni menyebut cara penyelesaian dengan at takharaj min at tarikah, yaitu pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian secara syar’i (ketetapan hukum Allah) dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam diperbolehkan dan dibenarkan.76
Para ulama membolehkan adanya takharuj dengan dasar sebagai berikut:77 a. Sebuah atsar (segala sesuatu yang berasal dari sahabat yang juga disandarkan
kepada Nabi SAW) dari Ibnu Umar r.a., yaitu:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa beliau memperbolehkan takharuj diantara para ahli waris dengan jalan perjanjian seperti diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a, pada saat sakaratul maut menceraikan isterinya, Tumadhir binti al-Ashba’ al-Kalbiyah. Setelah beliau wafat dan isterinya dalam masa iddah, Usman r.a membagikan warisan kepada isterinya itu beserta tiga orang isterinya yang lain. Kemudian mereka (bertiga) atas bagiannya sebanyak 1/32 bagian (yaitu 1/4 dari 1/8 bagian) dengan pembagian
74Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’rif), 1975, hal 68
75Achmad Yani, Op.,Cit, hal. 110
76 Muhammad Ali Ash Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), 1995, hal. 141
77Achmad Yani, Op.,Cit, hal. 111
sebanyak 83.000 dirham.”
b. Sebuah analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik antara dua pihak, baik berupa perjanjian jual-beli, perjanjian tukar menukar, maupun perjanjian pembagian (warisan), yang ketiga jenis perjanjian ini dapat diterapkan juga pada perjanjian takharuj, selalu dibenarkan oleh syariat, sepanjang semua syarat dan ketentuan syariat itu dipenuhi dan perjanjian itu didasarkan atas prinsip suka sama suka.
Berdasarkan riwayat harta tersebut, at-takharuj adalah salah satu dari akad harta pengganti. Bentuknya tidak keluar dari akad pembagian (aqd al-qismah) atau akad jual (aqd al-bai’un). Jika terjadi kesepakatan bahwa al-kharij (orang yang keluar) itu mengambil harta waris, akad itu disebut sebagai akad pembagian. Apabila terjadi kesepakatan bahwa dia mengambil harta yang bukan harta waris yang diserahkan oleh salah satu ahli waris atau oleh semua ahli waris, akad itu disebut akad jual. Kedua hal tersebut pun telah disyariatkan dalam Islam.78
Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj, dalam Pasal terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang defenisi takharuj yang berbunyi:
“Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mewarisi dengan sesuatu yang sudah maklum. Apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain, maka baginya dihaki dan tempatnya dalam mewarisi harta peninggalan didudukinya. Dan apabila seorang ahli waris bertakharuj dengan ahli waris
78www.ksradamksr.files.wordpress.com/makalah-mawaris-at-takhoruj, diakses pada 15 maret 2017
ahli waris lainnya, jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan. Dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan di dalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.”79
Dalam hukum kewarisan Islam selain dikenal adanya ketentuan pembagian harta warisan takharuj, juga dikenal pembagian warisan dengan cara tashaluh.
Tashaluh perjanjian perdamaian (damai) yang dilakukan antara para ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris. Jadi dalam perjanjian tashaluh (damai) ini, sebagian ahli waris melakukan perjanjian damai dengan para ahli waris yang lain untuk tidak menerima atau mengambil hak bagiaannya dari harta warisan.
Adapun perbedaan ketentuan yang terdapat dalam takharuj maupun tashaluh adalah bahwa dalam perjanjian tashaluh ahli waris yang tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan tidak mendapat imbalan atau prestasi atas bagian harta warisan yang seharusnya ia terima. Berbeda dengan perjanjian takharuj yang terdapat ketentuan adanya imbalan atau prestasi baik berupa benda maupun uang yang telah diperjanjikan sebelumnya atas pengganti terhadap hak yang seharusnya ia terima dikarenakan ia mengeluarkan diri dalam menerima harta warisan. Jadi dalam hal perjanjian tashaluh (damai) ini ahli waris yang melepaskan bagiannya atau tidak menerima bagiannya harus benar-benar didasari atas kerelaan ahli waris tersebut.
79Fatchur Rahman, Op.,Cit, hal. 160
Pembagian warisan secara tashaluh ini sejalan dengan teori shulhu (perdamaian), yang kaitannya dengan pembagian harta warisan, bilamana setiap ahli waris secara rela membaginya dengan cara kekeluargaan atau perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan kepada ahi waris yang lain.
Menurut Ahmad Rofiq, tashaluh adalah merupakan cara perdamaian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Umar Bin Khattab ra menasehatkan kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai. Umar ra berkata “Boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali mengadakan perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Lebih tegas lagi Umar memerintahkan “kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian Pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak”.80
Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, dengan cara perdamaian (sulhu) tersebut, memungkinkan ditempuh upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi antara keluarga dapat memicu timbulnya konflik di antara mereka.81
80Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media), 2000, hal.15
81Ibid., hal 142
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengatur adanya ketentuan sistem pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) di dalam Pasal 183 yang menyatakan:
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warian setelah masing-masing menyadari bagiannya.”82
KHI berdasarkan ketentuan tersebut diatas, menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini para ahli waris mengerti hak-hak dan bagian yang diterima, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an tentang furud al-muqaddarah (pembagian waris yang telah ditentukan jumlahnya), setelah itu masing-masing pihak berdamai. Apabila ada di antara ahli waris yang ada secara ekonomi kekurangan dan mendapat bagian yang sedikit, kemudian ahli waris yang menerima bagian yang banyak dengan ikhlas memberikan kepada yang lain adalah tindakan yang sangat positif dan terpuji, atau semuanya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris untuk menentukan bagian mereka masing-masing.83
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum, kedudukan KHI di indonesia yang dasar pemberlakuannya hanya berdasarkan instruksi presiden (inpres) belum sempurna secara menyeluruh dalam kepastian hukumnya untuk masyarakat luas khususnya bagi yang beragama Islam. Meskipun KHI adalah rangkuman dari berbagai kitab yang ditulis atau dirumuskan oleh ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama, tetapi jika mengacu pada Undang-Undang
82 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademika Pressindo), 2002, hal. 86
83Ahmad Rofiq, Op.,Cit, hal. 200
(UU) nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan Inpres dalam hal ini tidak tercantum dalam Undang-Undang tersebut.
Sehingga masih terdapat kelemahan kedudukan KHI dalam hukum positif di Indonesia. Maka dari itu, sebaiknya pemberlakuan KHI yang hanya berdasarkan Inpres dikuatkan lagi menjadi suatu Undang-Undang yang baku.
Dalam hukum Islam pembagian warisan dengan cara perdamaian (tashaluh) maupun takharuj tidak diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis, namun cukup dilaksanakan secara lisan dimana disaksikan oleh 2 (dua) atau lebih orang saksi.84
Meskipun demikian, praktek pembagian harta warisan berdasarkan tashaluh (sulhu/damai) ini harus pula memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan. Hal ini disebabkan karena dalam pembagian warisan berdasarkan sulhu (damai) memungkinkan adanya sebagian pihak yang mengorbankan atau menggugurkan haknya baik secara keseluruhan mapun sebagiannya. Masalah pengguguran hak milik, karena berkaitan dengan praktik menghilangkan hak milik seseorang, berhubungan erat dengan masalah kecakapan untuk bertindak secara hukum, artinya pengguguran suatu hak milik baru dianggap sah, apabila dilakukan oleh seseorang secara sukarela dan sedang mempunyai kecakapan bertindak.
2. Pembagian waris berdasarkan berdasarkan sulhu (damai) dilakukan bukan karena tidak puas terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada berdasarkan
84Ibid
hukum kewarisan Islam, misalnya seorang anak perempuan yang merasa tidak puas karena hanya mendapatkan setengah dari bagian anak laki-laki, maka ia mengusulkan pembagian waris berdasarkan perdamaian (sulhu). Musyawarah yang seperti ini justru mencerminkan ketidakikhlasan berhukum kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, musyawarah yang seperti ini mencerminkan jiwa yang tidak taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang akan berakibat menurunkan nilai keimanan dan mencerminkan kerendahan akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya