TESIS
Oleh
FADHIL YAZID 157011032/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FADHIL YAZID 157011032/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Program Studi : KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)
Tanggal lulus : 27 Juli 2017
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
Nim : 157011032
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PENOLAKAN SEBAGIAN AHLI WARIS MENDAPAT HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA BARAT
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : FADHIL YAZID Nim : 157011032
diberikan kepada ahli waris yang lain. Adapun sistem yang berlaku dalam hukum Perdata Barat adalah ahli waris diperbolehkan untuk menolak harta warisan yang menjadi bagiannya.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik Pengumpulan data diperoleh dengan cara telaah pustaka (Library Research) berupa studi dokumen serta penelitian lapangan (field research) berupa pedoman wawancara sebagai alat pendukung. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yakni analisis digambarkan dalam bentuk kalimat dengan penarikan kesimpulan menggunakan metode berpikir deduktif yaitu menggambarkan secara umum tentang penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan.
Dari hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa dalam sistem hukum kewarisan Islam terdapat pembagian harta warisan secara takharuj yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan, dan pembagian secara tashaluh yaitu perjanjian perdamaian (damai) yang dilakukan antara para ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris. Perbedaan keduanya adalah terhadap imbalan atau prestasi yang diberikan kepada ahli waris yang mengundurkan diri dalam menerima harta warisan. Sedangkan dalam hukum Perdata Barat diatur ketentuan penolakan harta warisan yang diatur dalam Pasal 1057 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “bahwa penolakan suatu harta warisan harus dilakukan secara tegas dan diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri dimana warisan itu terbuka”. Perbedaan sistem hukum kewarisan Islam dan hukum Perdata Barat perihal penolakan harta warisan adalah dalam hukum Islam perjanjian takharuj dan tashaluh dapat dilakukan berdasarkan perjanjian atau akad baik secara lisan ataupun tertulis, sedangkan penolakan harta warisan dalam hukum Perdata Barat harus dibuat suatu permohonan pada Pengadilan Negeri untuk dibuat suatu Penetapan. Kemudian ahli waris yang melakukan perjanjian takharuj maupun tashaluh kedudukannya tetap sebagai ahli waris, sedangkan ahli waris yang melakukan penolakan harta warisan dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah menjadi ahli waris. Adapun persamaannya yaitu Para ahli waris yang menolak harta warisan maupun ahli waris yang melakukan perjanjian (takharuj) dan tashaluh harus mengetahui dahulu bagian atau hak nya yang akan diterimanya sebelum menolak atau mengeluarkan diri dalam menerima harta warisan tersebut.
Kata Kunci: Penolakan, Ahli Waris, Harta Warisan, Hukum Islam, Hukum Perdata Barat
inheritance and will it to another heir. Meanwhile, in the prevailing Western Civil Law, an heir may refuse the inheritance entitled to him/her.
This is a normative juridical research with descriptive analysis. The data are collected through Library Research, namely, by document studies and field research by a guided interview as the supporting instrument. The data are analyzed qualitatively. The analysis is described in sentences and the conclusion is drawn by using the deductive method which generally describes about the refusals from some of the heirs entitled to some inheritance.
The result shows that there are two methods of inheritance distribution called takharruj and tashaluh in the Islamic Law. Takharruj is a contract made by the heirs to take one of them out of as the heir inheriting the inheritance by providing him/her with some compensation either from the part of inheritance of the heirs who take him/her out or the inheritance that will be distributed. Tashaluh is a peace agreement made among the heirs to refuse parts of their inheritance entitled to them.
The difference is on the compensation provided to the heirs who refuse the inheritance. However, the Western Civil Law stipulates the refusal of inheritance in the Article 1057 of the Civil Codes which says, “That a refusal to inheritance shall be made decisively and filed to the clerk of the State Court where it is made.” The difference between the Islamic Inheritance Law and Western Civil Law regarding a refusal to inheritance is that takharruj and tashaluh in the Islamic Law can be made in a contract or a peace agreement either in an oral or a written form whereas the refusal in Western Civil Law has to be made in an application to the State Court to issue a Ruling. Furthermore, the persons who agree to make takharruj or tashaluh maintain their positions as the heirs, while the heir who files a refusal to the inheritance is considered never have been existent or never have become an heir. The similarity is that the heirs who refuse the inheritance or who make the agreement of takharruj and tashaluh should be aware of the parts of the inheritance entitled to them before refusing or withdrawing themselves from receiving the inheritance.
Keywords: Refusal, Heir, Inheritance, Islamic Inheritance Law, Western Civil Law
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya jugalah akhirnya tesis yang berjudul
“Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata Barat” sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dapat selesai, penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, akan tetapi penulis telah berusaha untuk mencoba menyajikannya dalam bentuk penyajian yang singkat dan di format sesederhana mungkin dikarenakan keterbatasan yang ada.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini dengan memberikan berbagai referensi buku dan sumber pustaka lainnya yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada :
1. Keluarga Penulis tercinta, Ayahanda Abdul Khalik dan Ibunda Sri Wahyuni yang selalu memberikan doa, cinta, kasih sayang, semangat serta dukungan yang tidak henti-hentinya kepada penulis, Kakanda Hafiza Ulfani dan Adinda Fira Mawaddah, yang hari ini, esok dan seterusnya akan selalu menjadi bagian dari hidup penulis.
4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. M. Hasballah Thaib, M.A., Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.
6. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A, selaku Pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
7. Dr. Utary Maharany Barus, S.H.,M.Hum, selaku Pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
8. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku dosen Penguji.
9. Notaris Syafnil Gani, S.H, M.Hum, selaku dosen Penguji.
10. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan, dan seluruh staff/pegawai di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Prabowo. SH, Odi Yehezkiel. SH, Muhammad Afdhol. SH, Stella. SH, Fahmi Tanjung. SH, Rahmad Yusup Simamora. SH, serta teman-teman Stambuk 2015 yang telah memberikan motivasi kepada penulis baik berupa masukkan dan dukungan dalam penulisan tesis ini, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih baik.
Kemudian juga, terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan saran yang sangat membangun dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil, dan sampai sidang meja hijau (ujian tertutup), sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini jauh dari kata sempuran, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak. Amin Yaa Rabbal’alamin.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Medan, Juli 2017 Penulis,
(Fadhil Yazid)
Nama : Fadhil Yazid
Tempa/Tanggal Lahir : Medan, 16 Nopember 1993
Alamat : Jln. Eka Bakti, Gang. Pipa Air Bersih,
Nomor: 3, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 23 Tahum
Kewarganegaraan : Indonesia
Nama Ayah : H.Abdul Khalik,S.E
Nama Ibu : Hj.Sri Wahyuni,S.Pd
II. PENDIDIKAN
SD Al-Azhar Medan : Lulus Tahun 2005 SMP Al-Azhar Medan : Lulus Tahun 2008 SMA Negeri 5 Medan : Lulus Tahun 2011 S1 Fakultas Hukum Universitas : Lulus Tahun 2015 Islam Sumatera Utara
S2 Magister Kenotariatan : Lulus Tahun 2017 Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... . 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Konsepsi ... 16
G. Metode Penelitian ... 19
1. Jenis dan Sifat Penelitian... 19
2. Sumber Data... 20
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 21
4. Analisis Data ... 22
2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam ... 26
3. Rukun, Syarat dan Sebab Terjadinya Kewarisan... 29
4. Penghalang Penerima Warisan... 34
5. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam... 37
6. Jenis-Jenis Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam... 41
B. Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Islam ... 46
1. Faktor-Faktor Yang Mendorong Ahli Waris Menolak Mendapat Harta Warisan ... 46
2. Pengertian dan Dasar Hukum Takharuj... 58
3. Jenis dan Status Takharuj ... 66
4. Tata Cara Pelaksanaan Takharuj... 71
5. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Secara Damai Di Pengadilan Agama ... 79
BAB III PENOLAKAN SEBAGIAN AHLI WARIS MENDAPAT HARTA WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA BARAT . 86 A. Surat Keterangan Waris (SKW) Sebagai Alat Bukti Bagi Ahli Waris ... 86
B. Sistem Kewarisan Menurut Hukum Perdata Barat ... 90
1. Pengertian Kewarisan Hukum Perdata Barat... ... 90
2. Dasar Yuridis Kewarisan Hukum Perdata Barat... 93
3. Unsur-Unsur Terjadinya Kewarisan ... 95
Menurut Hukum Perdata Barat ... 101
1. Hak Berpikir ... 101
2. Menerima Warisan Tanpa Syarat (Secara Penuh atau Murni) ... 105
3. Menerima Warisan Dengan Syarat Atau Pencatatan (Beneficiaire Aanvaarding)... 108
4. Menolak Harta Warisan Atau Harta Peninggalan (Verwerping) ... 112
5. Pelaksanaan Penolakan Harta Warisan Oleh Ahli Waris Di Pengadilan Negeri ... 123
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENOLAKAN SEBAGIAN AHLI WARIS MENDAPAT HARTA WARISAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA BARAT ... 127
A. Peranan Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Baitul Mal Dalam Hal Kewarisan ... 127
1. Peranan Balai Harta Peninggalan (BHP) ... 127
2. Peranan Baitul Mal ... 129
B. Persamaan Dan Perbedaan Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Dalam Hukum Islam Dan Hukum Perdata Barat... ... 133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 151
A. Kesimpulan ... 151
B. Saran ... 153
DAFTAR PUSTAKA ... 154 LAMPIRAN
Atsar : Segala sesuatu yang berasal dari sahabat yang juga disandarkan kepada Nabi SAW.
Boedel : Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva(harta) dan pasiva (hutang) yang menjadi milik bersama ahli waris.
Faraid : Pembagian harta warisan menurut hukum Islam untuk mengetahui siapa yang berhak mendapat harta warisan dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa bagian untuk masing-masing ahli waris.
Fiqih : Suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil pada Al-qur’an dan Sunnah.
Fuqaha : Seorang yang ahli dalam bidang ilmu fiqih
Furudul Muqaddarah : Bagian yang telah ditentukan dalam Al-qur’an dan sunnah.
Hadist : Sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan diangkat sebagai nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga hadist semakna dengan sunnah
Legitime Portie : Sesuatu bagian (hak mutlak) dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris, garis lurus menurut ketentuan Undang-Undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.
Mazhab : Hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash
Mu’amalat : Semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia, dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar menukar, pinjam meminjam dan sebagainya.
Sunnah : Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan Syara : Seperangkat peraturan Allah yang berupa ketentuan-
ketentuan dan aturan tentang tingkah laku manusia yang berlaku dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam.
Hukum syara biasa disebut juga dengan hukum Islam
Syariat : Hukum dan aturan (Islam) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam
Tirkah : Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal (pewaris) yang masuk kategori harta miliknya sera dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya, baik berupa harta maupun hak.
Yuridis : Segala hal yang memiliki arti hukum dan sudah disahkan oleh pemerintah. Baik secara tertulis maupun lisan.
Lampiran 3 : Akte Perdamaian dalam pembagian harta warisan di Pengadilan Agama
Lampiran 4 : Penetapan pembagian harta warisan secara damai di Pengadilan Agama
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan, ada hukum yang mengatur segala hal yang dilakukan setiap individu baik secara vertikal maupun horizontal. Dari realitas sosial dan budaya serta dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pengaruh Islam sangat dominan dalam peta dan perkembangan hukum masyarakat Islam itu sendiri.
Hal ini dapat ditemukan pada masalah kewarisan keluarga. Pada prinsipnya persoalan kewarisan adalah langkah-langkah perumusan harta peninggalan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi dalam realitanya, proses atau langkah-langkah pengalihan sering terbentur dengan adanya kendala, baik yang bersifat intern(dari dalam) ataupun ekstern(dari luar).
Hukum kewarisan merupakan salah satu dari hukum Perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.1
1 M. Idris Ramulyo: “Suatu Perbandingan Antara Ajaran Sjafi’I dan Wasiat Wajibah di Mesir,Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn XII Maret 1982, (Jakarta : FHUI), 1982, hal.154
Pengertian hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dikenal dengan istilah al-faraidh yaitu:2
“Suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan atau peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta warisnya.”
Adapun beberapa ahli hukum di Indonesia telah mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris (kewarisan) yang disusun dalam bentuk batasan (defenisi). Sebagai pedoman dalam upaya memahami pengertian hukum kewarisan secara utuh, beberapa defenisi diantaranya sebagai berikut:
R. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan:3
“Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.”
R.Santoso Pudjosubroto mengemukakan:4
“Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
2www. Satriaadvokat.wordpress.com, diakses pada 12 Februari 2017
3R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung), 1983, hal. 8
4 R.Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-Hari, (Yogyakarta: Hien Hoo Sing) , 1964, hal. 8
Soepomo mengemukakan:5
“Hukum waris merupakan peraturan-peraturan yang mengatur tentang proses meneruskan dan mengoperkan sesuatu yang berwujud dan yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.”
R.Subekti menyatakan, “seperti halnya dengan hukum perkawinan, begitu pula hukum waris di Indonesia masih beraneka ragam. Disamping hukum waris menurut hukum adat, berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)”.6
Di Indonesia masih terdapat beraneka sistem Hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu:7
1. Sistem hukum kewarisan Perdata Barat (Eropa), yang tertuang dalam Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW). Adapun BW tersebut berlaku bagi:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa b. Orang Timur Asing Tionghoa
c. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa
2. Sistem hukum kewarisan Adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat, yang diberlakukan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3. Sistem hukum kewarisan Islam yang bersumber dari wahyu Allah dalam Al- qur’an dan hadist Rasulullah yang wajib ditaati bagi yang beragama Islam.
Adapun Undang-Undang dalam hal ini ketentuan yang terdapat dalam hukum Perdata Barat mengenal 2 (dua) cara untuk mendapatkan suatu warisan, yaitu:
5Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Penerbitan Universitas), 1996, hal. 72
6R.Subekti, Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, kertas kerja, Simposium Hukum Waris Nasional (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman), 1989, hal.98
7M.Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.1
1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang)
2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat)
Dalam literatur hukum kewarisan Islam mengatur adanya kelompok atau golongan ahli waris menurut garis keturunannya, masing-masing yang dihubungkan kepada pewaris, seperti ahli waris ashabul furudh (ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-qur’an atau Sunnah Rasul), ashabah (ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris ashabul furudh sama sekali) dan juga termasuk ahli waris golongan dzawil arham (ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan mayit (pewaris), tetapi tidak termasuk golongan ahli waris ashabul furudh dan ‘ashabah).8
Menurut hukum Islam, pembagian harta warisan secara normatif antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1, sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Q.S An-Nisa’ (4):11, yang terjemahannya sebagai berikut:
“Allah mengisyaratkan bagimu tentang (pembagian warisan) untuk anak- anakmu, yaitu: bagian anak-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”.
Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, bahwasannya anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian dibandingkan dengan anak perempuan. Namun kondisi tersebut juga bisa saja dibagi rata setelah masing-masing ahli waris mengetahui bagiannya, berdasarkan asas keadilan.9
8H.R. Otje Salman S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: Refika Aditama), 2002, hal.51
9 Suhrawardi Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika), 1995, hal. 31
Hukum Islam mengatur ketentuan adanya ahli waris untuk mengundurkan diri dalam menerima harta warisannya yaitu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan, hal ini disebut dengan takharuj.10
Kemudian dikenal juga pembagian warisan dalam hukum Islam yang dikenal dengan tashaluh, yaitu berdamainya (perdamaian) salah seorang ahli waris untuk keluar (tidak mengambil) tirkah (harta peninggalan),11 dalam ketentuan tashaluh ini tidak diharuskan ahli waris yang tidak mendapat bagian dari harta warisan sebagaimana mestinya menerima suatu prestasi atas keluarnya ahli waris tersebut dalam menerima harta warisan seperti ketentuan yang terdapat dalam takharuj.
Pembagian waris dengan perdamaian sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama Fiqih bahwa masalah waris adalah hak individu dimana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan yang berlaku.12
Persyaratan paling utama yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh) maupun dalam pembagian secara takharuj (keluarnya
10 M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan: Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara), 2012, hal. 86
11Ibid
12 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia-Press) , 1988, hal. 217
para ahli waris dalam menerima warisan dengan menerima suatu prestasi) ini adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris. Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid (hukum kewarisan Islam).
Menurut hukum Islam, salah satu prinsip kewarisan adalah bersifat ijbari (memaksa). Menurut Mohammad Daud Ali maksud dari asas ijbari bahwa peralihan harta dari pewaris ke ahli waris berjalan dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT. Dalam pengertian lain menurut sistem kewarisan Islam (faraidh), seorang ahli waris “dipaksa” untuk menerima harta waris dari pewaris.13
Sedangkan dalam sistem kewarisan menurut hukum Perdata Barat, para ahli waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga kemungkinan, yaitu :
1. Menerima harta warisan secara penuh dan murni (Zuivere aanvaarding) 2. Menerima harta warisan dengan syarat (Beneficiare aanvaarding) 3. Menolak harta warisan (Verwerpen)
Dalam Pasal 1057 kitab Undang-Undang Hukum perdata (Burgelijk wetboek) yaitu “Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
13 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1998, hal 281
dalam daerah Hukumnya warisan itu terbuka”.14
Dari Pasal tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa para ahli waris dapat menentukan sikap untuk menolak bagian harta warisan dari si pewaris dalam bentuk suatu pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dimana warisan itu telah terbuka atau dimana tempat kedudukan harta warisan itu berada.
Konsekuensinya ahli waris yang menolak bagian harta warisan tersebut dinyatakan dalam Pasal 1058 KUH Perdata, yaitu “Ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris”. Adapun yang dimaksud dengan penolakan itu sendiri adalah melepaskan suatu hak sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hak lainnya. Mulai berlaku dengan menyatakan kehendaknya pada yang bersangkutan dalam hal ini ahli waris.15
Bagian dari harta warisan ahli waris yang menolak jatuh kepada ahli waris lain yang sedianya berhak atas bagian itu, dan dalam hal ini kedudukan ahli waris yang menolak tersebut tidak dapat digantikan oleh pergantian tempat yaitu digantikan kedudukannya oleh keturunan-keturunannya.16
Berkenaan dengan penolakan ahli waris mendapat harta warisan dalam hukum Perdata Barat tersebut diatas, bila dikolerasikan (dihubungkan) dengan penjabaran atau objek pembahasan hukum kewarisan Islam, yang terdapat ketentuan pembagian harta warisan secara takharuj dan tashaluh, terdapat titik-titik perbedaan
14R. Subekti dan R Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),(Jakarta: PT. Pradanya Paramita), 2001 hal. 273.
15A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan M.Isa Arief, (Jakarta: Intermasa), 1986, hal.41
16Efendi Perangin, Hukum Waris, cetakan kesatu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1997, hal.169
yang sangat essensial (yang mendasar) antara keduanya. Dalam hukum Kewarisan Islam yang diatur mengenai pembagian warisan dengan cara perdamaian (tashaluh) maupun pembagian secara takharuj yang bisa jadi didorong oleh pertimbangan perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih baik dibanding ahli waris yang lain sehingga diharapkan warisan tersebut bisa lebih membantu kondisi kehidupan mereka. Alasan lain boleh jadi adalah karena pertimbangan para ahli waris bahwa seorang atau lebih diantara mereka lebih banyak terlibat dalam pengurusan pewaris dan seterusnya. Dengan demikian menjadi logis bila mereka mendapat bagian yang lebih selama para pihak tersebut menyepakati prinsip tersebut dan telah mengetahui hak mereka masing-masing. Sedangkan dalam hukum perdata barat diatur mengenainya adanya penolakan ahli waris terhadap harta warisan, yang akibat dari penolakan harta warisan tersebut maka yang menolak harta warisan itu tidak dianggap sebagai ahli waris, yang berarti dalam hal ini juga menghilangkan hak dan kewajibannya sebagai ahli waris. Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam hukum Islam terhadap ahli waris yang melakukan perjanjian dalam pembagian harta warisan baik takharuj maupun tashaluh tetap dianggap sebagai ahli waris dengan tidak menghilangkan hak dan kewajibannya sebagai ahli waris.
Berdasarkan dari penjabaran mengenai ketentuan ahli waris yang menolak mendapat harta warisan tersebut diatas, baik yang diatur dalam hukum kewarisan Islam maupun dalam hukum Perdata Barat, maka perlu dilakukan penelitian guna mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan khususnya mengenai:
“Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Islam
dan Hukum Perdata Barat.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Ketentuan Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Islam ?
2. Bagaimana Ketentuan Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Perdata Barat?
3. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui ketentuan penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan menurut hukum Islam.
2. Untuk mengetahui ketentuan penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan menurut hukum Perdata Barat.
3. Untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan mengenai ketentuan penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan yang diatur dalam hukum Islam maupun hukum Perdata Barat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan hukum waris, yaitu mengenai penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan ditinjau dari hukum Islam dan hukum Perdata Barat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum di bidang hukum waris.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini untuk memberikan masukan kepada para penegak Hukum di bidang hukum waris, agar tercipta suatu unifikasi hukum didalam masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi sepanjang kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Penolakan Sebagian Ahli Waris Mendapat Harta Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat”. Sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas Sumatera utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Unversitas Sumatera Utara menunujukkan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik ini, antara lain:
1. Judul tesis “Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) Menurut Hukum Islam” yang ditulis Riva Yulia Pratiwi Ersa BR. Perangin-angin, NIM : 107011131
Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Islam
b. Bagaimanakah kekuatan hukum hasil pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut hukum Islam tersebut
c. Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) di Pengadilan Agama
2. Judul tesis “Kedudukan Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (B.W) (Kajian Tentang Penerapannya di Pengadilan Agama Medan)” yang ditulis oleh Amran Suadi, NIM : 092105001.
Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimana konsep ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.
b. Bagaimana ketentuan ahli waris pengganti dalam KHI dan hukum Perdata.
c. Bagaimana Penerapan KHI dalam kasus ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Medan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ilmiah, kerangka teori menjadi landasan yang sangat penting serta teori mengacu sebagai pemberi sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang akan dibicarakan menjadi lebih baik.
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.17
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,18 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis , mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.19
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan
17H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama) 2004, hal. 21
18 JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta: FE-UI), 1996, hal.203
19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju), 1994, hal.80
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.20
Hukum pada hakikatnya adalah suatu yang abstrak (tidak berwujud), tetapi dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit (nyata). Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.21
Adapun Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, pengembangan ilmu hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper begitu saja ilmu- ilmu hukum yang berasal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.22
Pengggunaan teori dalam penelitian hukum tersebut sudah pasti menggunakan teori hukum. Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang menganalisis secara kritis dalam perspektif interdisipliner, dari berbagai aspek perwujudan (fenomena) hukum secara tersendiri atau menyeluruh, baik dalam konsepsi teoritis maupun dalam pelaksanaan praktis dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang lebih baik dan uraian yang lebih jelas tentang bahan-bahan yuridis ini.23 Kerangka teori yang
20W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1996, hal.2
21 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 1993, hal.79
22 Lili Rasjidi dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum : Madzhab dan Refleksinya, (Bandung: Rosdakarya), 1994, hal.111
23Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka), 2012, hal.87
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Kepastian hukum dan teori Perdamaian (sulhu).
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.24
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah “fiat justitia et pereat mundus” yang diterjemahkan secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.
Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perUndang-Undangan yang
24 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group), 2008, hal 158
dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.25
Dalam kaitannya dengan penolakan ahli waris mendapat harta warisan, bahwasannya ahli waris harus memberikan kepastian hukum apakah ahli waris tersebut akan menerima warisan atau menolak warisan. Didalam Pasal 1023 sampai dengan Pasal 1029 KUH Perdata (BW), mengatur tentang hak berpikir ahli waris apakah ia akan menerima atau menolak warisan. Sehingga didapat kepastian hukum dan haruslah memenuhi rasa keadilan bagi ahli waris lainnya maupun pihak-pihak yang terkait.
Selain menggunakan teori kepastian hukum dalam menganalisis tesis ini, juga menggunakan teori perdamaian (shulhu). Kata al-shulhu atau perdamaian merupakan bentuk masdar dari sholaha, yashlihu, sholhan, yang mempunyai arti “qath’ al- munadza’ah” atau “memutuskan suatu persengketaan atau perselisihan”. Sedangkan arti shulhu (perdamaian) menurut syara’ adalah suatu bentuk akad yang dapat menyelesaikan adanya pertentangan atau perselisihan.26
Dalam Al-Qur’an terdapat aturan atau ajaran yang pada hakikatnya menekankan prinsip penyelesaian sengketa atau konflik melalui upaya perdamaian seperti antara lain tercantum dalam Q.S Al Hujarat ayat 10 yang terjemahannya :
25Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberti) , 2003, hal.68
26M. Ali Ja’Far Shidiq, Kedudukan Al-shulhu Dalam Kewarisan Menurut Fiqih Dan Hukum Islam Di Indonsesia, (Jakarta: Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah), 2009, hal. 52
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Dalam hubungannya dengan pembagian harta warisan, bilamana setiap ahli waris secara rela membaginya dengan cara kekeluargaan atau perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan kepada ahi waris yang lain.
Pembagian warisan dengan shulhu dapat dilakukan dalam keadaan tertentu.
Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih besar, secara ekonomi telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit, masih dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shulhu atau bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut.
Dengan cara ini, memungkinkan ditempuh upaya-upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris.
2. Konsepsi
Kerangka Konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi
dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasa dinamakan fakta. Sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.27
Adapun konsepsi adalah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.28
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan.
Hans Kelsen mengemukakan :
“Suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Biasanya, yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggung jawab hukum dan subjek dari kewajiban hukum tertentu.”29
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dari suatu istilah yang
27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers), 2013, hal.7
28Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), 1998 hal.3
29 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, dengan judul Buku Asli General Theory of Law and State, (Jakarta : Alih Bahasa Somardi, Rimdipres), 1995, hal.65
dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini dirumuskan kerangka Konsepsi sebagai berikut :
1. Penolakan adalah melepaskan suatu hak yang menjadi miliknya atau bagiannya atau tidak bersedia menerima sesuatu yang seharusnya menjadi hak atau bagiannya.
2. Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup
3. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’).30
4. Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.31
5. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Hukum Islam merupakan bagian dan bersumber dari Agama Islam, mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam, yang merupakan wahyu Allah Subhanahu wata’ala (SWT) dan Sunnah Nabi, yang berkaitan erat dengan Ibadah manusia
30M. Ali Ja’Far Shidiq, Op.,Cit, hal. 14
31Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, (Yogyakarta: Ekonisia), 2002, hal. 20
kepada Allah SWT dan perbuatan sesama manusia.32
6. Hukum Perdata Barat adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat yang pemberlakuannya di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing Tionghoa, orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa, yang berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.33
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip), kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perUndang-Undangan.
Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).34
32Mohammad Daud Ali, Op.,Cit, hal 58
33Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: ANDI) 2000, hal.4
34Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti) 2004, hal. 82
Adapun Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan yang ditinjau dari hukum Islam maupun hukum Perdata Barat.35 Penelitian ini adalah untuk menganalisa peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan penolakan ahli waris untuk mendapat harta warisan, berdasarkan Al-qur’an, Hadist, Kitab-Kitab Fiqih, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan juga Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya di Indonesia didasarkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, serta peraturan-peraturan perundangan lainnya, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan tersebut.
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, berupa peraturan
35Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia) 2006, hal. 14.
perUndang-Undangan dan putusan atau penetapan Pengadilan.36 Yaitu Al- Qur’an, Hadist, Kitab-Kitab Fiqih, KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam, serta Peraturan-peraturan perundangan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu buku ilmu hukum, skripsi, tesis, disertasi, jurnal hukum, laporan hukum, makalah, dan media cetak atau elektronik.
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah yang merupakan publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi, seperti hasil seminar atau pertemuan ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, kamus hukum, majalah-majalah, dan internet.37 serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca,
36Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana), 2006, hal. 141.
37Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia), 2005, hal. 340.
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yakni peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang hukum waris pada umumnya, data sekunder maupun tersier yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun metode lain yang digunakan selain library research yaitu penelitian lapangan (field research) dimana alat pengumpulan data yang digunakan berupa pedoman wawancara. Hal ini berarti mencari dan mempelajari data melalui wawancara dari seorang (informan) yang memang mengetahui gejala yang diteliti maupun dengan observasi di lapangan tempat gejala yang diteliti berada. Informan yang dimaksud dalam tesis adalah notaris yang memiliki pengetahuan tentang kewarisan, sehingga informasi yang didapat kemudian akan digunakan sebagai data pendukung dari data sekunder dalam penulisan tesis ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.38
Didalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis,39 Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara
38 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, hal. 106
39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), 1986, hal. 25
kualitatif yang artinya menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan berupa penarikan kesimpulan deduktif. Penalaran deduktif atau deduksi adalah merupakan suatu proses berpikir yang bertolak dari sesuatu proposisi (penuh atau utuh) yang sudah ada, menuju kepada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan. Penelitian ini akan digunakan untuk mengetahui penolakan sebagian ahli waris mendapat harta warisan ditinjau dari hukum Islam dan hukum Perdata Barat.
BAB II
PENOLAKAN SEBAGIAN AHLI WARIS MENDAPAT HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Sistem Kewarisan Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fiqih biasa disebut faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara beragama Islam, tidak berlaku secara nasional. Namun di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia.40
Para fuqaha(ahli hukum fiqih) mengemukakan hukum kewarisan Islam sebagai berikut:41
1. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah :
“Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fiqih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya”.
2. Ahmad Zahari, hukum kewarisan Islam yaitu :
40Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana), 2004, hal. 35
41www.eprints.undip.ac.id, /PASNELYZA_KARANI.pdf/, diakses pada 17 Januari 2017
“Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad para ahli”.
Dari pengertian diatas, diketahui bahwa hukum kewarisan Islam itu adalah ketentuan yang mengatur mengenai orang yang berhak menjadi ahli waris, besarnya bagian yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membagikan harta warisan kepada ahli waris yang dalam hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti : faraid, Fiqih Mawaris, dan lain-lain.
Maka dari itu teranglah, bahwa hukum kewarisan itu (dalam perspektif hukum Islam) adalah hukum yang mengatur proses pemindahan kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah) milik pewaris kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing berdasarkan hukum Allah. Hal-hal yang diatur di dalam hukum kewarisan tersebut meliputi:42
a. Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan, baik berupa rukun maupun syarat-syarat kewarisan, termasuk di dalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.
b. Penentuan siapa-siapa di antara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris dari pewarisnya, yang berasal dari sekian jumlah ahli waris yang ada atau hidup,
42 Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Ctk.Pertama, (Bandung : Mandar Maju), 2009, hal. 2
tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut hukum syara’ (hukum Islam) mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris.
c. Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara’ sesuai dengan kedudukan ahli waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.
d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang berhak, dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan “perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Syariat Islam telah menetapkan ketentuan mengenai kewarisan yang sangat baik, bijaksana dan adil. Peraturan yang berkaitan dengan pemindahan harta benda milik seseorang yang ditinggalkan setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya baik ahli waris perempuan maupun ahli waris laki-laki.
Ketentuan mengenai kewarisan yang terdapat dalam Al-qur'an telah menjelaskan semua ketentuan hukum kewarisan dengan keterangan yang luas dan menyeluruh, sehingga tidak seorang pun dari ahli waris yang tidak memperoleh
bagian dalam pembagian warisan. Al-qur'an menegaskan secara terperinci ketentuan ahli waris yang disebut furudul-muqaddarah(bagian yang ditentukan), atau bagian ashabah(yang memperoleh harta warisan sisanya) serta orang-orang yang tidak termasuk ahli waris. Hukum-hukum waris tersebut bersumber pada:43
1. Al-qur'an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan faraid tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum pada :
a. Qur’an Surah An-Nisa (4):7
Terjemahan ayat-nya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
b. Qur’an Surah An-Nisa (4):11
Terjemahan ayat-nya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
c. Qur’an Surah An-Nisa (4):12
43H. R.Otje Salman S, & Mustofa Haffas, Op.Cit, hal. 3
Terjemahan ayat-nya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
d. Qur’an Surah An-Nisa (4):33
Terjemahan ayat-nya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
2. Al-hadist, hadist nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur kewarisan antara lain adalah :44
a. Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian- bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat”.
b. Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya”. Nabi menjawab : “Kamu mendapat seperenam”.
44www.m.hidayatullah.com, diakses pada 22 Februari 2017
3. Ijma’
Ijma yaitu kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam Al-qur'an dan Hadist, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid (orang yang memahami dan mengerti akan agama dan dapat mengeluarkan fatwa) tentang suatu ketentuan hukum syara' mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.45
4. Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-qur’an maupun hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.46
3. Rukun, Syarat dan Sebab Terjadinya Kewarisan a. Rukun Waris
Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu tidak dikatakan shalat jika
45Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UUI Press), 2001, hal. 4
46Ibid
tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.
Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta warisan dimana harta warisan tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Menurut hukum kewarisan Islam rukun kewarisan ada tiga, yaitu:47
1) Pewaris
Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
2) Ahli waris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
3) Harta Warisan
Yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
47A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam, Ctk.Pertama, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1999, hal. 9
dan pemberian untuk kerabat.
Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarispun tidak dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta waris, maka waris mewarispun tidak dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun- rukun waris.
b. Syarat-Syarat Mewarisi
Kewarisan merupakan suatu peristiwa hukum berupa proses pemindahan hak kepemilikan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya. Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :48
1) Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia disini ialah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris.
2) Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup. ketika pewaris meninggal dunia, ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan
48Ibid, hal. 10
kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.
3) Mengetahui status perkawinan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung sebapak maupun seibu.
c. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan
Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i(pembuat hukum) di jadikan indikasi adanya suatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaannya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya api merupakan sebab terjadinya kebakaran. Menurut hukum kewarisan Islam, ada 4 (empat) sebab mewarisi yaitu :49
1) Hubungan kekeluargaan/kekerabatan
Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran. Hubungan kekerabatan dalam garis lurus kebawah (anak, cucu dan seterusnya), garis lurus keatas (ayah, kakek dan seterusnya), maupun garis kesamping (saudara- saudara) dan mereka saling mewaris satu sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah dalam Al-Qur’an, baik dari garis laki-laki/ayah maupun dari garis perempuan/ibu.
49Ibid, hal. 8
2) Karena perkawinan
Perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia, maka istrinya atau jandanya mewarisi harta suaminya.
Demikian juga jika seorang istri meninggal dunia, maka suaminya mewarisi harta istrinya.
3) Karena wala’
Wala’ adalah hubungan hukmiah, yaitu suatu hubungan yang yang ditetapkan oleh hukum Islam, karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya.
Tegasnya jika seorang tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang disebut wala’ul ‘itqi. Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan tidak mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan.
4) Baitul Mal
Baitul Mal adalah perbendaharaan negara tempat menampung harta benda kepentingan umum yang akan dibelanjakan untuk kepentingan umum pula.
Harta yang ditampung baitul mal berasal dari berbagai macam sumber, seperti hasil pemungutan pajak, zakat, rampasan perang, harta hilang yang tidak diketahui pemiliknya, harta warisan yang tidak ada ahli warisnya dan sebagainya. Yang memasukkan baitul mal sebagai salah satu sebab warisan adalah ulama mazhab Syafiiyah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa ulama