• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA

A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek

Asal mula pengemisan suatu hal fenomenal yang ada dalam hidup ini, memiliki akar yang menjadi mula terbentuknya suatu hal yang tampak. Demikian dengan pengemis, yang tidak terlahir semata-mata dengan sendirinya melainkan adanya asal muasal dan pengemisan sendiri memiliki akar sejarah yang unik.

Anak jalanan, umumnya berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di Propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalanan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.

Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang

menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemisan, potret sosial ini sering ditemukan dalam kehidupan.27

Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap anak jalanan dan gepeng.

Istilah “gepeng”merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemisan. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.28

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat-tempat umum.29

Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Gelandangan merupakan

27

Kaipang/ Fenomena pengemis dalam perspektif sociological imagination. http://kaipang-inc.blogspot.com/2010/09/fenomena-pengemis-dalam-perspektif.html/dikutip pada hari Minggu, 24 April 2011/pukul 17.50 wib

28

Departemen Sosial Republik Indonesia, 1992. 29

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf f

lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.30

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan alasanlainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.31

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.32

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemisan yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif.33

30

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta, hal 5

Pemberian stigma negatif justru menjauhkan

31

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf g

32

Satriawan35.blogspot.com/2012/12/peran-pemerintah-daerah-dalam.html (diakses tanggal 21 Mei 2015)

33

Hariadi, Sri Santuti & Suryanto, Bagong, Anak-Anak Yang Dilanggar Hanya. Potret

Sosial Anak Rawan Di Indonesia Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Surabaya, Lutfansah

orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Gelandangan dan Pengemisan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemisan karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemisan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.

Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out

of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi

generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa. Gelandangan dan pengemisan adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pengemisan dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemisan dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.

Pengemisan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Permasalahan pengemisan, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah.34

Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 Pasal 2, kebijakan dibidang penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden. Penertiban gelandangan dan pengemisan telah diatur dalam Kepres Nomor 40 tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan, dalam keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para

34

urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan pengemisan. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat populasi Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak jalanan, telantar, gelandangan, dan pengemisan (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3 juta jiwa.35

Wanita Tuna Susila (WTS) Pelacur berasal dari bahasa latin yaitu

Pro-stituere atau Pro-stauree, yang berarti memberikan diri berbuat zinah, malakukan

persundelan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundel.36

Apabila dilihat secara luas dengan memperhatikan aspek dasarnya dari prostitusi ialah menyangkut perbuatan yang tidak sesuai denga nilai-nilai social. Tuna susila atau tidak bersusila itu diartikan sebagai kurang beradab atau karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk memuaskan, dan mendapat imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga bisa diartikan sebagai: salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak baik berperilaku dan bisa mendatangkan celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada dirinya sendiri.

35

Ibid 36

Para ahli telah mendebatkan dan mendefinisikan tentang prostitusi diantaranya S. Ismail Asyari menyatakan prostitusi sama dengan zinah. Prostitusi ialah perempuan yang menyerahkan raganya kepada laki-laki untuk bersenang-senang, dengan menerima imbalan yang ditentukan. Prostitusi itu adalah perbuatan zina, karena perbuatan itu diluar perkawinan yang sah. Pernyataan kedua ahli tersebut lebih berdasarkan pada tinjauan agama. Secara umum prostitusi adalah hubungan laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan aitu pihak perempuan menerima bayaran baik ditentukan sebelumnya maupun tidak.37

B. Faktor yang mengakibatkan terjadinya Gelandangan dan Pengemisan

Dokumen terkait