SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh : B
BEERRLLIIAANN SSIIPPAAHHUUTTAARR NIM. 100200397
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA
SUSILA BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh : B
BEERRLLIIAANN SSIIPPAAHHUUTTAARR NIM. 100200397
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
Suria Ningsih, SH, M.Hum NIP. 196002141987032002
Pembimbing I
NIP. 196002141987032002 Suria Ningsih, SH, M.Hum
Pembimbing II
NIP. 196705091993032001 Erna Herlinda, SH., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
ABSTRAK
KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA
BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)
*Berlian Sipahutar **Suria Ningsih ***Erna Herlinda
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 dan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah- tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalanan dan Gepeng. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Dalam kehidupan diperlukan adanya suatu peraturan yang berisikan perintah dan larangan yang mempunyai sanksi yang bersifat memaksa.
Kata Kunci : Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I / sekaligus Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas berkat dan kasih-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
dengan kemampuan yang ada menyelesaikan tugas menyusun skipsi ini. Sudah
merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi
untuk mencapai gelar kesarjanaan USU untuk menyusun skripsi dalam hal ini
penulis memilih judul Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan
Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan).
Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung
telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama penulis
menempuh perkuliahan, khususnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan atas kesempatan dan fasilitas untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendididkan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Suamtera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah
memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Ibu Erna Herlinda, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan
sabar membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.
7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
8. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik
penulis.
9. Kedua Orang Tua penulis yang tercinta, Ayahanda Apet Sipahutar dan Ibunda
Megawati Sinaga serta adinda Sugiarti Sipahutar, Herna Sipahutar, Boy
Sipahutar, Bangkit Sipahutar dan Joylin Sipahutar, yang selalu memberikan
semangat dan motivasi dalam mendidik dan membimbing anaknya untuk
menjadi orang yang berhasil, dan juga tiada hentinya mencari rezeki dari terbit
fajar hingga terbenam matahari untuk menafkahi keluarga dan membiayai
pendidikan penulis hingga saat ini, serta keluarga besar penulis yang telah
memberikan motivasi hingga saat ini, terima kasih atas do’a yang tiada henti.
10.Semua keluarga besar yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan
11.Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya
kepada Ferdinand Siboro, SH, Hartina Aziziah, Florence,
12.Terima kasih kepada teman-teman tersayang, seluruh anggota GPH, Amelia
Roulina Pakpahan, Tari Sebayang, Rachel Ignatia, Januar MO dan seluruh
anggota IMSS.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan
balasan kebaikan berlipat dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu hukum di negara Republik Indonesia.
Medan, Juli 2015 Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Keaslian Penulisan ... 11
E. Tinjauan Pustaka ... 12
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL DI KOTA MEDAN ... 25
A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila ... 25
B. Faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 30
C. Dampak Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila dalam Pembangunan Nasional ... 33
BAB III LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003 ... 36
Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan
Pengemisan serta Praktek Tuna Susila ... 36
B. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. ... 39
C. Instansi Pemerintah Daerah yang Berwenang dalam Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 40
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA ... 46
A. Upaya Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 46
B. Pengawasan dan Pembinaan terhadap Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 63
C. Kendala yang Dihadapi dalam penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA
BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)
*Berlian Sipahutar **Suria Ningsih ***Erna Herlinda
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 dan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah- tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalanan dan Gepeng. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Dalam kehidupan diperlukan adanya suatu peraturan yang berisikan perintah dan larangan yang mempunyai sanksi yang bersifat memaksa.
Kata Kunci : Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I / sekaligus Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup
juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan
sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang
tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan
munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.
Hampir di setiap daerah di Indonesia khususnya di Kota Medan, permasalahan
sosial ini ada dengan jenis yang beragam.1
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan
hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 dan
2).
Akhir-akhir ini, semakin sering dijumpai banyaknya gelandangan,
pengemis, maupun pekerja anak yang berada di tengah kota, fasilitas-fasilitas
umum, traffic light bahkan hingga masuk pada wilayah kampus dan pemukiman
1
warga. Sekelompok orang yang hidupnya di bawah batas ukuran cukup akan
melakukan hal yang disebut mengemis. Pengemis ini akan menggunakan gelas,
kotak kecil, topi ataupun benda lainnya yang dapat dimasuki oleh uang dan yang
sering pula ditemui sekarang ini adalah dengan menggunakan amplop yang
berisikan keluh kesah mereka, seperti masalah pendidikan, susu untuk anaknya,
atau permasalahan tempat tinggal.2
Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial
budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan
dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Kondisi semacam ini membawa
implikasi terhadap semakin kuatnya. Akan tetapi, anak jalanan bukanlah tipe
anak-anak yang gampang menyerah begitu saja. Mengetahui gelagat kurang baik,
mereka pun bersiasat laiknya prajurit di medan perang. Mereka tidak lagi atau
jarang menampakkan diri di tempat-tempat yang membuat mereka mudah
ditangkap.
Di sinilah letak kekhasan karakter anak jalanan di Medan. Meskipun
banyak juga di antara mereka yang turun ke jalan karena dikurung kemiskinan,
namun ada alasan lain yang mengakar kuat di kepala, yaitu alasan sosial-budaya.
“Tertanam di benak mereka untuk mendirikan “kerajaan” mereka sendiri. Karena
itulah mereka merantau,” ungkap Taufan. Seiring dengan “meroketnya”
kemunculan anak jalanan di Indonesia pada tahun 1970-an, banyak anak-anak
jalanan yang datang dari daerah-daerah di sekitar Medan. Perkembangan anak
jalanan di Medan tergolong cukup pesat, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan
Yogyakarta.3
Mengemis itu sendiri adalah kegiatan meminta-minta bantuan, derma,
sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan
penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan
kebutuhan apa adanya dan dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang
lain. Cara yang dimaksudkan yaitu dengan mengamen, atau bahkan dengan
mengatasnamakan suatu yayasan panti asuhan yang ilegal untuk mendapatkan
sejumlah uang dari masyarakat. Mengemis atau meminta-minta dapat dilakukan
dengan meminta-minta melalui cara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik,
termasuk juga dalam kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan
jalan menyanyi dengan menggunakan berbagai alat musik, misalnya adalah gitar,
angklung, seruling, botol aqua. Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai
penghasilan yang tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan
belas kasihan dari orang lain. Mengemis menjadi sebuah budaya saat ini, karena
banyak sekali orang yang sebenarnya masih dalam keadaan sehat memilih jalan
untuk mengemis/meminta-minta. Karena kondisi tersebutlah, maka praktek dalam
mengemis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai
yang berlaku dalam masyarakat.
Anak jalanan bukanlah komunitas yang seragam. Berbagai latar belakang
mendesak mereka tinggal dan bekerja selama 12 jam di jalan. Tak jarang, selama
3
24 jam mereka hidup di sana jumlahnya pun tak sedikit. Berdasarkan data yang
diperoleh beberapa tahun terakhir, koordinator Program Advokat Anak Jalanan
Yayasan Pusaka Indonesia, Haspin Yusuf Ritonga, menaksir jumlah anak jalanan
di Sumatra Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 di antaranya berada di Kota
Medan.4
Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia (PPAI) Sumatra Utara
menghimpun angka lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di seluruh
Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tinggal di kota Medan. Pada tahun
2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) mencatat, ada 4.525 anak
jalanan dan sekitar 2.000 berada di seputar Medan. Sedangkan, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-20,
Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), memperkirakan ada sekitar
5.000 anak jalanan di seluruh Sumatra Utara, pada tahun 2007.
5
Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2014 menunjukan jumlah
pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009
sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah
yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin
yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun.
Jumlah mereka terus bertambah bahkan semakin meroket pasca krisis
moneter, apalagi anak jalanan di Medan banyak yang berasal dari kota Medan
sendiri. Perekonomian yang terpuruk memaksa sebagian anak-anak menyimpan
4
tas sekolah mereka dan turut bertanggung jawab mempertahankan keuangan
keluarga, atau setidaknya mereka diharapkan mampu membiayai diri mereka
sendiri.
Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan.
Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan,
gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak
keindahan Kota Medan dan sebagainya.
Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kota Medan
cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai fenomena sosial yang
spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat pengaruh
globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi, Kota
Medan sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk
keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi
Pemerintah.6
Kritik dalam perjalanan Perda ini tak terbilang lagi, dari yang rasional
sampai yang ngawur. Ada yang mengkritik pasal kriminalisasi terhadap orang
yang bersedekah kepada Gepeng, ada juga yang protes pemidanaan bagi orang
yang melakukan penggelandangan dan pengemisan. Alasannya karena tidak ada
dasar yang kuat bagi pemidanaan itu, bahkan melanggar norma-norma agama dan
sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Namun ada juga kritik negatif ketika
5
Ibid. 6
satu kelompok masyarakat menolak Perda ini dengan alasan peraturan ini adalah
proyek legislasi Gubernur terdahulu.
Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak
masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur
fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi
di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan
penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran
sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat wanita-wanita yang
sering disebut Wanita Tuna Susila (selanjutnya disebut WTS) menjajakan dirinya.
Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa
depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak teridentifikasi
oleh pemerintah Kota Medan.
Hukum adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual
antar manusia, yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang
mengatur perilaku tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma.7
7
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal 24.
Teori hukum Menurut Hans Kelsen tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi
terhadap eksistensi dari kehidupan sosial yang tentu tidak bisa dilepaskan dari
norma-norma dan kaidah yang ada. Manusia sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika sosial yang terjadi. Tidak
jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada akhirnya dapat
penyakit sosial. Penyakit sosial pada prinsipnya merupakan suatu kondisi tingkah
laku individu dan masyarakat yang telah bergeser pada norma-norma atau kaidah
yang ada. Pada umumnya perilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh
segolongan minoritas masyarakat namun akibat dari penyakit sosial tersebut dapat
menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.
Keterkaitan masalah (interdepence) yang terjadi tentu tidak sepenuhnya
membuat sekelompok masyarakat mayoritas menjadi kacau (chaos). Dinamika
yang terjadi pada masyarakat pada prinsipnya telah membuat masyarakat itu
sendiri dapat mengantisipasi keadaan baik dengan meletakkan dasar-dasar
kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau bahkan menegakkan norma
hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah yang ada selalu bisa
mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku di masyarakat.
Sejatinya, tidak ada jumlah yang pasti mengenai mereka. Mereka bergerak
seperti udara. Sekali waktu mereka bermukim di jalanan, lain waktu mereka
mendapat pekerjaan tetap atau pindah ke luar kota. Definisi tentang anak jalanan
itu pun cair.
Ketua Yayasan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (selanjutnya
KKSP), Ahmad Taufan Damanik. Belakangan ini Satpol PP sedang
gencar-gencarnya melakukan razia. KKSP mengidentifikasi ada sejumlah titik tempat
mereka biasa bekerja, antara lain simpang Ramayana Jalan Brigjen Katamso,
simpang Buana Plaza Jalan Letda Sudjono, simpang Jalan AH Nasution kawasan
Amplas di Jalan Panglima Denai, warung kopi di seputaran lapangan di Jalan
Gajah Mada, Simpang Sei Sikambing di Jalan Kapten Muslim, simpang Jalan
Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah, Pusat Pasar, dan Pasar Brayan.8
Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak
masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur
fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi
di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan
penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran
sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat WTS menjajakan
dirinya. Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif
masa depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak
teridentifikasi oleh pemerintah Kota Medan.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai yuridiksi
penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain diselenggarakan
oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya kepada
pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di
daerah dapat memuat sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun
sanksi tersebut bersifat limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang
untuk membuat peraturan daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah
masing-masing. Namun apakah, secara yuridiksi baik kompetensi dan urgensi
8
peraturan daerah dapat mengatur secara penuh permasalahan penyakit sosial
masih menjadi suatu kontradiksi.
Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Kajian
Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan
Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2003 (Studi Pemko
Medan).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Bagaimanamkah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila
sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan?
2. Bagaimanakah Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna
Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003?
3. Bagaimanakah Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6
Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta
Praktek Tuna Susila?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai
a. Untuk mengetahui gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila
sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan.
b. Untuk mengetahui Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek
Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun
2003.
c. Untuk mengetahui Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6
Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta
Praktek Tuna Susila.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
Untuk menambah wawasan bagi masyarakat dan akademisi, maupun
praktisi hukum pada umumnya dan terutama hukum administrasi Negara
yang berkaitan dengan Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta
Praktek Tuna Susila.
b. Manfaat praktis
Menjadi bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara terutama pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan
kajian bagi para akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di
D. Keaslian Penulisan
Penelitian dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas
masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Kajian Hukum Administrasi
Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna
Susila Berdasarkan Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 (Studi Pemko
Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.
Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam
penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah
yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka
dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
E. Tinjauan Pustaka
Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waanis de
wilswrijheid van gezasdragers is beperkt door grenzeen van racht” (negara,
dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan
dengan cara, Enerzjids in een binding van de wetgever, 9
Hamid S Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa Negara
hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum (di satu sisi keterikatan
hakim dan pemerintah terhadap undang-undang dan disisi lain pembatasan
sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam
segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.10
Sebagai negara dengan bentuk kesatuan, Republik Indonesia telah
melakukan beberapa perubahan yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan
bentuk dan sistem tata pemerintahan. Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan
sistem pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem pemerintahan sentralisasi
namun pada akhirnya menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi (transfer of
authority), yaitu suatu pelimpahan kewenangan (atributif) penyelenggaraan
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (daerah otonom).
Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk
bertindak sebagai pembuat kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan
(executing making).
Pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di
daerah yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Unsur-unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan perangkat daerah.
Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan makalah ini
9
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, hal 18 10
A. Hamid S. Attamini, Teori Perundang-Undang Indonesia, Makalah pada Pidato
Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992,
adalah menenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu produk
hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.
Hukum administrasi negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan
hukum khusus yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers)
administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.11
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut dengan
Perda terdiri dari peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kota.
Mekanisme disahkannya suatu Peraturan Daerah adalah melalui penetapan kepala
daerah setelah sebelumnya disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah
dengan DPRD terkait. Sebagaimana sifat atributifnya, seperti undang-undang,
Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat ancaman denda,
pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman pidana tidak boleh lebih dari 6
(enam) bulan penjara.12
Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari
definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan
tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
11
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan; dan
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang
Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-Undangan.
Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan
pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah
khusus yang dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun
kabupaten atau kota untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
12
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah
khusus juga dimiliki oleh Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan
Perdasi yang khusus untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Namun apapun bentuknya, pada dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi
secara substansi tetap merupakan suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan
peraturan daerah.
Sekalipun peraturan daerah merupakan peraturan yang merupakan atribusi
(pelimpahan wewenang) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
peraturan daerah tetaplah suatu peraturan yang secara hierarki terikat dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat
legi inferiori) atau peraturan yang baru meniadakan peraturan yang lama (lex
posterior derogat legi priori). Sebagai bagian dari produk hukum dalam tataran
negara konstitusi, Peraturan Daerah tidak dapat dibuat melebihi kewenangannya
(over authority).
Peraturan daerah juga dapat dilakukan pengujian (judicial review)
terhadap peraturan diatasnya apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional
yang merugikan pihak-pihak tertentu. Peraturan daerah yang baik adalah
peraturan daerah yang dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan
masyarakat, dan mampu menjawab hambatan yang ditemui oleh masyarakat
secara ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, idealnya suatu peraturan daerah
harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga suatu peraturan
daerah dapat bertahan lama dan dapat menjadi salah satu regulasi sentral yang
akan benar-benar melekat dalam setiap individu di masyarakat.13
Prostitusi merupakan salah satu penyakit masyarakat dan merupakan
fenomena yang selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian
prostitusi dianggap sebagai satu profesi yang sudah sangat tua usianya walaupun
kerap menimbulkan problema-problema sosial. Lokasi prostitusi sebenarnya
hampir tidak jauh berbeda dengan pasar. Jika di pasar tradisional orang
melakukan transaksi jual beli dengan sistem penawaran, maka di lokasi prostitusi
hal serupa juga ditemukan.14
Prostitusi atau lebih sering disebut sebagai pelacuran memiliki dua jenis
yakni pelacuran yang terdaftar dimana pelakunya diawasi oleh bagian dari
kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan
Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu.
Penghuninya secara periodik harus memeriksa diri pada dokter atau petugas
kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan kesehatan
dan keamanan umum.
Pelacuran yang tidak terdaftar termasuk dalam kelompok ini adalah
mereka yang melakukan pelacuran secara gelap-gelapan dan liar, baik secara
13
Himawan Estu Bagijo, Pembentukan Peraturan Daerah” Staf Pengajar Universitas Airlangga yang berjudul, diakses tanggal 18 Mei 2015.
14
perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya
pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga
kesehatannya sangat dirugikan karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan
kesehatannya ke dokter.
Prostitusi sebagai sebuah penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang
panjang, dan tidak ada putus-putusnya yang terdapat di semua negara di dunia.
Norma-norma sosial jelas mengharamkan pelacuran, dunia kesehatan
“menunjukkan” dan “memperingatkan” bahaya penyakit kelamin yang
mengerikan akibat adanya pelacuran di tengah-tengah masyarakat, namun
masyarakat dari abad keabad tidak pernah berhasil melenyapkan gejala-gejala
ini.15
Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain ialah
tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, yang dilarang dan
diancam dengan hukuman ialah, praktek germo dan mucikari, adanya keinginan
dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar
ikatan perkawinan, komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun
germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks,
perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat
dan menyerap banyak buruh serta pagawai pria.
Penyebab timbulnya prostitusi ini pada point dari terakhir menunjukkan
benar bahwa Kota Medan memang cukup pesat dan perkembangnya sangat cepat
15
pula. Faktor pendukungnya tak lain dari pada berdiri megahnya hotel, penginapan,
club malam serta penginapan seperti bungalow, motel dan tempat hiburan lainnya.
Tetapi yang pastinya adalah prostitusi di Kota Medan sudah menjamur dan sudah
memasuki pada tahap kritis dimana banyak isu yang mengatakan bahwa anak
ABG yang masih duduk di bangku SMP dan SMA terjebak dalam praktek
tersebut.16
Jika pemerintah Kota Medan tetap membiarkan praktek prostitusi
gelap-gelapan maka tidak akan mengherankan jika pada beberapa tahun kedepan Kota
Medan akan menjadi kota tertinggi penularan penyakit HIV/AIDS. Diakibatkan
oleh kelalaian pemerintah mengingat perhatian pemerintah khususnya kepada para
pelaku seks terkhusus penjaja seks sangat minim. Akibatnya tidak diketahuinya
penyakit apa yang akan diderita pelaku dan pelanggan sehingga akan tertular ke
istri atau calon istri dari si pelanggan.17
Salah satu solusinya adalah Pemerintah Kota Medan segera menertibkan
daerah-daerah yang sudah menjadi tempat prostitusi dan membuat tempat yang
khusus bagi para WTS tersebut dan membuat peraturan dan jaminan yang baik
bagi kelangsungan hidup serta memeriksa secara rutin oleh pihak yang
berkaitan.18
16
Ibid. 17
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu
pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.19
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian
yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan
hukum.20
Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum.21 Dengan
menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini
dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Statute Approach).22
2. Sumber data
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
yang diteliti, antara lain; buku-buku literatur, laporan penelitian, tulisan para ahli,
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam
18
Ibid 19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2013, hal 3.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, hal 87.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Op. Cit., hal 10. 22
penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, sebagai bahan dasar
penelitiannya, menggunakan data sekunder, yakni bahan-bahan yang diperoleh
dari bahan pustaka lazimnya. Data sekunder yang digunakan sebagai bahan dasar
penelitian ini terdiri atas:23
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum
yang terdapat pada peraturan perundang-undangan atau berbagai perangkat
hukum, seperti Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kota
Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta
Praktek Susila dalam penelitian semacam ini, hukum ditempatkan sebagai terikat
dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai
variabel bebas dan peraturan lainnya.24
b. Bahan hukum sekunder
Selain itu, hasil wawancara yang
didapatkan melalui studi lapangan menjadi bahan hukum primer yang membantu
dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal, karya ilmiah, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian, dan
bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut
atas bahan hukum primer.
23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Op. Cit., hal 13. 24
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tersier memberikan petunjuk/penjelasan bermakna terhadap
bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lainnya.25
3. Pengumpulan data
Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai bahan dasar
penelitian dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumen (documents study)
atau studi kepustakaan (library research) sebagai alat pengumpul data.26
4. Analisis data
Studi
dokumen tersebut merupakan penelitian bahan hukum primer, yaitu peraturan
peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum.
Pengumpulan data dilakukan wawancara dengan Dinas Sosial Kota Medan yaitu
Ka. Humas Dinas Sosial Kota Medan dan Satpol PP Kota Medan dan para gepeng
yang ada di Kota Medan.
Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian
pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap data primer yang didapat dari
lapangan terlebih dahulu diteliti kelengkapannya dan kejelasannya untuk
diklarifikasi serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk
memudahkan melakukan analisis. Data primer inipun terlebih dahulu diedit untuk
menyeleksi data yang paling relevan dengan perumusan permasalahan yang ada
dalam penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta
25
Ibid. 26
dihimpun secara sistematis sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan
analisis. Dari hasil data penelitian baik pustaka maupun lapangan ini dilakukan
pembahasan secara deskriptif analisis.
Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh
suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai
fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini.
Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis secara
cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu
membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan
permasalahan yang ada pada latar belakang penulisan skripsi. Tahap selanjutnya
adalah pengolahan data yaitu analisis dilakukan dengan metode kualitatif
komparatif yaitu penguraian dengan membandingkan hasil penelitian pustaka
(data sekunder) dengan hasil penelitian lapangan (data primer).
G.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang
menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan
membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA
SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL DI KOTA
MEDAN.
Bab ini berisikan mengenai pengertian gelandangan dan pengemisan
serta praktek tuna susila dan faktor yang mengakibatkan terjadinya
gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila di kota medan
serta dampak gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila
dalam pembangunan nasional.
BAB III LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA
PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN
DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003
Bab ini berisikan tentang latar belakang lahirnya Peraturan Daerah
Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan
Dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila, larangan gelandangan
dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Medan dan Instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan serta
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN
NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN
GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK
TUNA SUSILA
Bab ini berisikan upaya Pemerintah Kota Medan dalam penanganan
gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan
dan pengawasan dan pembinaan terhadap gelandangan dan
pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan serta kendala
yang dihadapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan
serta praktek tuna susila di Kota Medan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran yang memuat uraian tentang kesimpulan dan
saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan
BAB II
GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL
DI KOTA MEDAN
A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila
Asal mula pengemisan suatu hal fenomenal yang ada dalam hidup ini,
memiliki akar yang menjadi mula terbentuknya suatu hal yang tampak. Demikian
dengan pengemis, yang tidak terlahir semata-mata dengan sendirinya melainkan
adanya asal muasal dan pengemisan sendiri memiliki akar sejarah yang unik.
Anak jalanan, umumnya berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat
dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar
kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya
kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di
Propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan
tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak
jalanan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi
masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal
bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.
Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari
menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemisan, potret sosial ini
sering ditemukan dalam kehidupan.27
Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah
kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang
pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka.
Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan
juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan
baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap
anak jalanan dan gepeng.
Istilah “gepeng”merupakan singkatan dari kata gelandangan dan
pengemisan. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak
sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat
serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu
dan hidup mengembara di tempat umum.28
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup
mengembara ditempat-tempat umum.29
Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang
berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Gelandangan merupakan
27
Kaipang/ Fenomena pengemis dalam perspektif sociological imagination. http://kaipang-inc.blogspot.com/2010/09/fenomena-pengemis-dalam-perspektif.html/dikutip pada hari Minggu, 24 April 2011/pukul 17.50 wib
28
Departemen Sosial Republik Indonesia, 1992. 29
lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat
kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang
tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak,
berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.30
Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan
alasanlainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.31
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup
mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis
adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di
muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan
dari orang lain.32
Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap
belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemisan yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif.33
30
Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta, hal 5
Pemberian stigma negatif justru menjauhkan
31
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf g
32
Satriawan35.blogspot.com/2012/12/peran-pemerintah-daerah-dalam.html (diakses tanggal 21 Mei 2015)
33
Hariadi, Sri Santuti & Suryanto, Bagong, Anak-Anak Yang Dilanggar Hanya. Potret
Sosial Anak Rawan Di Indonesia Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Surabaya, Lutfansah
orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Gelandangan dan Pengemisan
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori
menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang
menggelandang dan mengemisan karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan
pengemisan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu
dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan
tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.
Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari
pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out
of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi
generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai
generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.
Gelandangan dan pengemisan adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari
pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan
masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di
perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari
berbagai stigma yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini
mendeskripsikan gelandangan dan pengemisan dengan citra yang negatif.
Gelandangan dan pengemisan dipersepsikan sebagai orang yang merusak
pemandangan dan ketertiban umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma,
tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis,
Pengemisan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan adalah
orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari
orang lain. Permasalahan pengemisan, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya
hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan
belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah
berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah.34
Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 Pasal 2, kebijakan dibidang
penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah, dalam
menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi
yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.
Penertiban gelandangan dan pengemisan telah diatur dalam Kepres Nomor 40
tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan,
dalam keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan dan Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang
penyelenggaraan Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang
masalah kesejahteraan sosial.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap
meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga
terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para
34
urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya
pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari
nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan
pengemisan. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat
populasi Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih
mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di
Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak jalanan,
telantar, gelandangan, dan pengemisan (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3 juta
jiwa.35
Wanita Tuna Susila (WTS) Pelacur berasal dari bahasa latin yaitu
Pro-stituere atau Pro-stauree, yang berarti memberikan diri berbuat zinah, malakukan
persundelan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundel.36
Apabila dilihat secara luas dengan memperhatikan aspek dasarnya dari
prostitusi ialah menyangkut perbuatan yang tidak sesuai denga nilai-nilai social. Tuna
susila atau tidak bersusila itu diartikan sebagai kurang beradab atau karena
keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki
untuk memuaskan, dan mendapat imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna
susila itu juga bisa diartikan sebagai: salah tingkah, tidak susila atau gagal
menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita
yang tidak baik berperilaku dan bisa mendatangkan celaka dan penyakit, baik
kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada dirinya sendiri.
35
Ibid 36
Para ahli telah mendebatkan dan mendefinisikan tentang prostitusi diantaranya S.
Ismail Asyari menyatakan prostitusi sama dengan zinah. Prostitusi ialah
perempuan yang menyerahkan raganya kepada laki-laki untuk bersenang-senang,
dengan menerima imbalan yang ditentukan. Prostitusi itu adalah perbuatan zina,
karena perbuatan itu diluar perkawinan yang sah. Pernyataan kedua ahli tersebut
lebih berdasarkan pada tinjauan agama. Secara umum prostitusi adalah hubungan
laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan aitu pihak
perempuan menerima bayaran baik ditentukan sebelumnya maupun tidak.37
B. Faktor yang mengakibatkan terjadinya Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan
Pekerja tuna susila adalah seseorang yang menjual jasanya untuk
melakukan hubungan seksual demi uang. Di Indonesia Wanita Malam (pekerja
seks komersial) sebagai pelaku wanita pemikat lelaki hidung belang untuk
memuaskan nafsu birahinya. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan pekerja
seks komersial itu sangat begitu buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat.
Mereka kerap dihina, dicaci maki, bahkan jadi cemohan bagi semua orang yang
benci terhadap mereka. Bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga
digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka direhabilitasi
dan diberikan penyuluhan. Pekerjaan seks komersial sudah dikenal di masyarakat
sejak berabad lampau, ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar
mereka dari masa kemasa.
37
Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan
mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai
sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu
yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity).
Fenomena pengemisan yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan
tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangi seseorang tersebut
mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang
menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi factor utama mengemis, namun
sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemisan memiliki tujuannya
masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.
Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang
disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental
seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi
penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :
1. Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali. Mengemis
dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak
berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut
usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi
bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
2. Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, mulanya
mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa
tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan
mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk
tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan.
Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
3. Mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul
fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah
mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan
terjadinya perubahan status dari pengemisan temporer menjadi pengemis
permanen.
4. Mengemis karena miskin mental, mereka ini tidak tergolong miskin
sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika
mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka
artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas
kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas
bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan
profesinya.
5. Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, sudah semacam organisasi
tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong,
setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya
kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis
dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan
Hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu :
a. Faktor Intern
1. Sifat Malas
2. Faktor Fisik
3. Faktor Psikis atau Kejiwaan
4. Mental yang tidak kuat
b. Faktor Eksternal
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Geografi
3. Faktor Sosial
4. Faktor Pendidikan
5. Faktor Psikologis
6. Faktor Kultural
7. Faktor Keluarga dan Mental, dan
8. Kurangya dasar-dasar agama
C. Dampak Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila dalam Pembangunan Nasional
Bertitik tolak kepada pengertian dan ciri-ciri serta tingkah pola, cara
hidupnya, serta perbuatannya memang bukan mustahil kalau adanya gelandangan
dan pengemis ini akan membawa ekses. Secara sepintas saja sudah dapat dilihat
yaitu: menganggu keindahan lingkungan belum lagi ditinjau dari segi
38
kesehatan.Secara keseluruhan dapat pula mempengaruhi lajunya pembangunan
bangsa. Ekses-ekses yang timbul karena gelandangan dan pengemis, ialah :
1. Mempengaruhi lajunya pembangunan.
2. Menganggu keindahan lingkungan hidup.
3. Menimbulkan gambaran buruk terhadap bangsa.
4. Gangguan keamanan dan ketertiban.
5. Mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya.
6. Mewarisi kehidupan bodoh.
7. Menganggu kelancaran pendataan penduduk.
8. Berkembang menjadi tuna susila.
9. Kemungkinan pembawa sumber penyakit, dan
10.Hilangnya percaya diri.
Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun
keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang
mendukung seseorang tersebut melakukan hal tersebut.
Akibat yang timbul dari aktivitas praktek tuna susila dapat bersifat negatif
maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya.
Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan
bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat
hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS). 39
28 Mei 2015.
39
Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran
termasuk demoralisasi (tidak bermoral), yang bergaul imtim dengan mereka juga
demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.
Praktek tuna susila juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan
bahan narkotika, karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat
berkumpulnya para penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang
sedang ber-masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.
Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga
mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya
wanita-wanita pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari
pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus
diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari
akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus
ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan
sangat sulit memberantas dan menanggulangi masalah pelacuran, karena ternyata
BAB III
LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN
DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003
A. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila
Dalam rangka menjamin penyelenggaraan tertib pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan adanya hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diletakkan dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal itu, maka pelaksanaan
otonomi daerah diarahkan pada otonomi yang nyata dan bertanggung jawab agar
dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah
setempat dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, maka berbagai kewenangan serta pembiayaan kini
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mulai saat itu pemerintah daerah
melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Melalui pemberian otonomi, banyak daerah-daerah yang berkembang
sangat pesat terutama pada daerah perkotaan, tetapi juga tidak sedikit daerah yang
mengalami banyak kesulitan dan tantangan pembangunan. Bagi daerah-daerah
yang mengalami perkembangan pesat, ternyata juga menghadapi masalah dan
tantangan, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, sementara
ketersediaan lahan pemukiman terbatas. Begitu juga pada daerah yang maju pesat,
menjadi daya tarik bagi warga di daerah-daerah sekitarnya, sementara
keterampilan mereka untuk mencari penghidupan di kota sangat terbatas. Kondisi
inilah yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya masalah-masalah perkotaan,
antara lain kriminalitas, pengangguran, dan tumbuhnya anak jalanan, gelandangan
dan pengemis.
Persoalan-persoalan kota sebagaimana yang tergambarkan di atas, juga
terjadi di Kota Medan sejumlah warga Kota Medan menyayangkan pemerintah
setempat belum melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2003
Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila.
Keberadaan mereka sangat mengganggu dan mengkhawatirkan. Sehingga tidak
jarang masyarakat yang mengungkapkan kegelisahannyapada aparat pemerintah
yang seharusnya melaksanakan perda tersebut," Juga tertuang, setiap orang atau
sekelompok orang tidak dibenarkan memberi uang dan atau barang kepada anak
jalanan, gelandangan dan pengemisan yang mengatasnamakan lembaga sosial atau
umum dan jalanan. Sedangkan sanksi dalam perda tersebut yakni, pelaku akan
dikenakan sanksi berupa pembinaan dengan cara interogasi, identifikasi serta
membuat perjanjian yang mengikat agar mereka tidak melakukan kegiatan
mengemis di tempat umum dan atau jalanan yang disaksikan oleh aparat dan atau
petugas yang berwenang dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan sebagai alat
bukti di pengadilan.
Dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat terungkap,
bahwa sejak dahulu tidak ada norma-norma sosial yang mengatur dan
mengharuskan masyarakat di Simpang Pemda untuk berperilaku gepeng. Hal ini
merupakan sesuatu yang spesifik dari fenomena perilaku gepeng dari desa ini, bila
dibandingkan dengan sejarah gepeng desa lainnya yang ada di Medan. Jika
norma-norma sosial itu dapat dianggap sebagai suatu konsep yang menyangkut
semua keteraturan sosial yang berhubungan denan evaluasi dari semua obyek,
individu, tindakan, gagasan, maka gepeng bukanlah wujud keteraturan sosial yang
diidamkan oleh masyarakat Kota Medan.40
Jika norma-norma sosial itu dapat dianggap sebagai suatu konsep yang
menyangkut semua keteraturan sosial yang berhubungan denan evaluasi dari
semua obyek, individu, tindakan, gagasan, maka gepeng bukanlah wujud
keteraturan sosial yang diidamkan oleh masyarakat Kota Medan. Menjadi
pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun keberadaannya
bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang mendukung
seseorang tersebut melakukan hal tersebut.
40
B. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan
Meskipun ada panti-panti sosial yang katanya berfungsi untuk
memberikan ketrampilan kepada para prostitut, faktanya peran pemberdayaan itu
justru tidak terlihat. Akhirnya, para prostitut yang telah keluar dari panti, akan
kembali lagi menjadi prostitut. Bagai lingkaran setan yang tak putus-putus.
Para prostitut yang terkena razia, biasanya harus tinggal dipanti selama 3-7
bulan, tergantung apakah dia sudah pernah terkena razia atau belum. Panti ini
seharusnya menjadi tempat pemberdayaan bagi para prostitut, mereka di ajari
bagaimana membuat kue, menjahit atau ketrampilan salon. Jika ada dari mereka
yang kemudian menjalani hidup dipanti, sekeluarnya mereka dari sana, mereka
kembali lagi beraktivitas sebagai prostitut. Banyak hal yang membuat mereka
kembali seperti itu. Diantaranya adalah tidak adanya tindak lanjut dari program
panti, misalnya menyalurkan mereka ke tempat-tempat dimana mereka bisa
mempraktekkan ketrampilan mere