• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh : B

BEERRLLIIAANN SSIIPPAAHHUUTTAARR NIM. 100200397

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA

SUSILA BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh : B

BEERRLLIIAANN SSIIPPAAHHUUTTAARR NIM. 100200397

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

Suria Ningsih, SH, M.Hum NIP. 196002141987032002

Pembimbing I

NIP. 196002141987032002 Suria Ningsih, SH, M.Hum

Pembimbing II

NIP. 196705091993032001 Erna Herlinda, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA

BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)

*Berlian Sipahutar **Suria Ningsih ***Erna Herlinda

Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 dan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah- tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalanan dan Gepeng. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Dalam kehidupan diperlukan adanya suatu peraturan yang berisikan perintah dan larangan yang mempunyai sanksi yang bersifat memaksa.

Kata Kunci : Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I / sekaligus Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum USU

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena atas berkat dan kasih-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga

dengan kemampuan yang ada menyelesaikan tugas menyusun skipsi ini. Sudah

merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi

untuk mencapai gelar kesarjanaan USU untuk menyusun skripsi dalam hal ini

penulis memilih judul Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan

Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan).

Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran

yang konstruktif untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung

telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama penulis

menempuh perkuliahan, khususnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan atas kesempatan dan fasilitas untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendididkan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Suamtera Utara, Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

(5)

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Ibu Erna Herlinda, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan

sabar membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.

7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik

penulis.

9. Kedua Orang Tua penulis yang tercinta, Ayahanda Apet Sipahutar dan Ibunda

Megawati Sinaga serta adinda Sugiarti Sipahutar, Herna Sipahutar, Boy

Sipahutar, Bangkit Sipahutar dan Joylin Sipahutar, yang selalu memberikan

semangat dan motivasi dalam mendidik dan membimbing anaknya untuk

menjadi orang yang berhasil, dan juga tiada hentinya mencari rezeki dari terbit

fajar hingga terbenam matahari untuk menafkahi keluarga dan membiayai

pendidikan penulis hingga saat ini, serta keluarga besar penulis yang telah

memberikan motivasi hingga saat ini, terima kasih atas do’a yang tiada henti.

10.Semua keluarga besar yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan

(6)

11.Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya

kepada Ferdinand Siboro, SH, Hartina Aziziah, Florence,

12.Terima kasih kepada teman-teman tersayang, seluruh anggota GPH, Amelia

Roulina Pakpahan, Tari Sebayang, Rachel Ignatia, Januar MO dan seluruh

anggota IMSS.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik

dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan

balasan kebaikan berlipat dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi

perkembangan ilmu hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Juli 2015 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL DI KOTA MEDAN ... 25

A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila ... 25

B. Faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 30

C. Dampak Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila dalam Pembangunan Nasional ... 33

BAB III LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003 ... 36

(8)

Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan

Pengemisan serta Praktek Tuna Susila ... 36

B. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. ... 39

C. Instansi Pemerintah Daerah yang Berwenang dalam Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 40

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA ... 46

A. Upaya Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 46

B. Pengawasan dan Pembinaan terhadap Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 63

C. Kendala yang Dihadapi dalam penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG LARANGAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA

BERDASARKAN PERDA NO. 6 TAHUN 2003 (STUDI PEMKO MEDAN)

*Berlian Sipahutar **Suria Ningsih ***Erna Herlinda

Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 dan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah- tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalanan dan Gepeng. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila. Dalam kehidupan diperlukan adanya suatu peraturan yang berisikan perintah dan larangan yang mempunyai sanksi yang bersifat memaksa.

Kata Kunci : Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I / sekaligus Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum USU

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup

juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan

sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang

tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan

munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks.

Hampir di setiap daerah di Indonesia khususnya di Kota Medan, permasalahan

sosial ini ada dengan jenis yang beragam.1

Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan

hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan

dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,

pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi

rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial

(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 dan

2).

Akhir-akhir ini, semakin sering dijumpai banyaknya gelandangan,

pengemis, maupun pekerja anak yang berada di tengah kota, fasilitas-fasilitas

umum, traffic light bahkan hingga masuk pada wilayah kampus dan pemukiman

1

(11)

warga. Sekelompok orang yang hidupnya di bawah batas ukuran cukup akan

melakukan hal yang disebut mengemis. Pengemis ini akan menggunakan gelas,

kotak kecil, topi ataupun benda lainnya yang dapat dimasuki oleh uang dan yang

sering pula ditemui sekarang ini adalah dengan menggunakan amplop yang

berisikan keluh kesah mereka, seperti masalah pendidikan, susu untuk anaknya,

atau permasalahan tempat tinggal.2

Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial

budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan

dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Kondisi semacam ini membawa

implikasi terhadap semakin kuatnya. Akan tetapi, anak jalanan bukanlah tipe

anak-anak yang gampang menyerah begitu saja. Mengetahui gelagat kurang baik,

mereka pun bersiasat laiknya prajurit di medan perang. Mereka tidak lagi atau

jarang menampakkan diri di tempat-tempat yang membuat mereka mudah

ditangkap.

Di sinilah letak kekhasan karakter anak jalanan di Medan. Meskipun

banyak juga di antara mereka yang turun ke jalan karena dikurung kemiskinan,

namun ada alasan lain yang mengakar kuat di kepala, yaitu alasan sosial-budaya.

“Tertanam di benak mereka untuk mendirikan “kerajaan” mereka sendiri. Karena

itulah mereka merantau,” ungkap Taufan. Seiring dengan “meroketnya”

kemunculan anak jalanan di Indonesia pada tahun 1970-an, banyak anak-anak

jalanan yang datang dari daerah-daerah di sekitar Medan. Perkembangan anak

(12)

jalanan di Medan tergolong cukup pesat, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan

Yogyakarta.3

Mengemis itu sendiri adalah kegiatan meminta-minta bantuan, derma,

sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan

penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan

kebutuhan apa adanya dan dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang

lain. Cara yang dimaksudkan yaitu dengan mengamen, atau bahkan dengan

mengatasnamakan suatu yayasan panti asuhan yang ilegal untuk mendapatkan

sejumlah uang dari masyarakat. Mengemis atau meminta-minta dapat dilakukan

dengan meminta-minta melalui cara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik,

termasuk juga dalam kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan

jalan menyanyi dengan menggunakan berbagai alat musik, misalnya adalah gitar,

angklung, seruling, botol aqua. Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai

penghasilan yang tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan

belas kasihan dari orang lain. Mengemis menjadi sebuah budaya saat ini, karena

banyak sekali orang yang sebenarnya masih dalam keadaan sehat memilih jalan

untuk mengemis/meminta-minta. Karena kondisi tersebutlah, maka praktek dalam

mengemis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai

yang berlaku dalam masyarakat.

Anak jalanan bukanlah komunitas yang seragam. Berbagai latar belakang

mendesak mereka tinggal dan bekerja selama 12 jam di jalan. Tak jarang, selama

3

(13)

24 jam mereka hidup di sana jumlahnya pun tak sedikit. Berdasarkan data yang

diperoleh beberapa tahun terakhir, koordinator Program Advokat Anak Jalanan

Yayasan Pusaka Indonesia, Haspin Yusuf Ritonga, menaksir jumlah anak jalanan

di Sumatra Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 di antaranya berada di Kota

Medan.4

Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia (PPAI) Sumatra Utara

menghimpun angka lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di seluruh

Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tinggal di kota Medan. Pada tahun

2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) mencatat, ada 4.525 anak

jalanan dan sekitar 2.000 berada di seputar Medan. Sedangkan, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-20,

Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), memperkirakan ada sekitar

5.000 anak jalanan di seluruh Sumatra Utara, pada tahun 2007.

5

Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2014 menunjukan jumlah

pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009

sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah

yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin

yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun.

Jumlah mereka terus bertambah bahkan semakin meroket pasca krisis

moneter, apalagi anak jalanan di Medan banyak yang berasal dari kota Medan

sendiri. Perekonomian yang terpuruk memaksa sebagian anak-anak menyimpan

4

(14)

tas sekolah mereka dan turut bertanggung jawab mempertahankan keuangan

keluarga, atau setidaknya mereka diharapkan mampu membiayai diri mereka

sendiri.

Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi

masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan.

Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan,

gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak

keindahan Kota Medan dan sebagainya.

Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kota Medan

cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai fenomena sosial yang

spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat pengaruh

globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi, Kota

Medan sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk

keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi

Pemerintah.6

Kritik dalam perjalanan Perda ini tak terbilang lagi, dari yang rasional

sampai yang ngawur. Ada yang mengkritik pasal kriminalisasi terhadap orang

yang bersedekah kepada Gepeng, ada juga yang protes pemidanaan bagi orang

yang melakukan penggelandangan dan pengemisan. Alasannya karena tidak ada

dasar yang kuat bagi pemidanaan itu, bahkan melanggar norma-norma agama dan

sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Namun ada juga kritik negatif ketika

5

Ibid. 6

(15)

satu kelompok masyarakat menolak Perda ini dengan alasan peraturan ini adalah

proyek legislasi Gubernur terdahulu.

Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak

masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur

fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi

di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan

penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran

sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat wanita-wanita yang

sering disebut Wanita Tuna Susila (selanjutnya disebut WTS) menjajakan dirinya.

Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa

depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak teridentifikasi

oleh pemerintah Kota Medan.

Hukum adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual

antar manusia, yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang

mengatur perilaku tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma.7

7

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal 24.

Teori hukum Menurut Hans Kelsen tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi

terhadap eksistensi dari kehidupan sosial yang tentu tidak bisa dilepaskan dari

norma-norma dan kaidah yang ada. Manusia sebagai bagian dari kehidupan

masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika sosial yang terjadi. Tidak

jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada akhirnya dapat

(16)

penyakit sosial. Penyakit sosial pada prinsipnya merupakan suatu kondisi tingkah

laku individu dan masyarakat yang telah bergeser pada norma-norma atau kaidah

yang ada. Pada umumnya perilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh

segolongan minoritas masyarakat namun akibat dari penyakit sosial tersebut dapat

menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.

Keterkaitan masalah (interdepence) yang terjadi tentu tidak sepenuhnya

membuat sekelompok masyarakat mayoritas menjadi kacau (chaos). Dinamika

yang terjadi pada masyarakat pada prinsipnya telah membuat masyarakat itu

sendiri dapat mengantisipasi keadaan baik dengan meletakkan dasar-dasar

kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau bahkan menegakkan norma

hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah yang ada selalu bisa

mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku di masyarakat.

Sejatinya, tidak ada jumlah yang pasti mengenai mereka. Mereka bergerak

seperti udara. Sekali waktu mereka bermukim di jalanan, lain waktu mereka

mendapat pekerjaan tetap atau pindah ke luar kota. Definisi tentang anak jalanan

itu pun cair.

Ketua Yayasan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (selanjutnya

KKSP), Ahmad Taufan Damanik. Belakangan ini Satpol PP sedang

gencar-gencarnya melakukan razia. KKSP mengidentifikasi ada sejumlah titik tempat

mereka biasa bekerja, antara lain simpang Ramayana Jalan Brigjen Katamso,

simpang Buana Plaza Jalan Letda Sudjono, simpang Jalan AH Nasution kawasan

(17)

Amplas di Jalan Panglima Denai, warung kopi di seputaran lapangan di Jalan

Gajah Mada, Simpang Sei Sikambing di Jalan Kapten Muslim, simpang Jalan

Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah, Pusat Pasar, dan Pasar Brayan.8

Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak

masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur

fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi

di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan

penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran

sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat WTS menjajakan

dirinya. Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif

masa depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak

teridentifikasi oleh pemerintah Kota Medan.

Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai yuridiksi

penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain diselenggarakan

oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya kepada

pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan yang

dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di

daerah dapat memuat sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun

sanksi tersebut bersifat limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang

untuk membuat peraturan daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah

masing-masing. Namun apakah, secara yuridiksi baik kompetensi dan urgensi

8

(18)

peraturan daerah dapat mengatur secara penuh permasalahan penyakit sosial

masih menjadi suatu kontradiksi.

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Kajian

Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan

Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2003 (Studi Pemko

Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Bagaimanamkah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan?

2. Bagaimanakah Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna

Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003?

3. Bagaimanakah Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6

Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta

Praktek Tuna Susila?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai

(19)

a. Untuk mengetahui gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan.

b. Untuk mengetahui Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek

Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun

2003.

c. Untuk mengetahui Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6

Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta

Praktek Tuna Susila.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Untuk menambah wawasan bagi masyarakat dan akademisi, maupun

praktisi hukum pada umumnya dan terutama hukum administrasi Negara

yang berkaitan dengan Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta

Praktek Tuna Susila.

b. Manfaat praktis

Menjadi bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara terutama pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan

kajian bagi para akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di

(20)

D. Keaslian Penulisan

Penelitian dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas

masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Kajian Hukum Administrasi

Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna

Susila Berdasarkan Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 (Studi Pemko

Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam

penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah

yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka

dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waanis de

wilswrijheid van gezasdragers is beperkt door grenzeen van racht” (negara,

dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan

dengan cara, Enerzjids in een binding van de wetgever, 9

Hamid S Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa Negara

hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum (di satu sisi keterikatan

hakim dan pemerintah terhadap undang-undang dan disisi lain pembatasan

(21)

sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.10

Sebagai negara dengan bentuk kesatuan, Republik Indonesia telah

melakukan beberapa perubahan yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan

bentuk dan sistem tata pemerintahan. Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan

sistem pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem pemerintahan sentralisasi

namun pada akhirnya menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi (transfer of

authority), yaitu suatu pelimpahan kewenangan (atributif) penyelenggaraan

pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (daerah otonom).

Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk

bertindak sebagai pembuat kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan

(executing making).

Pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di

daerah yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Unsur-unsur penyelenggaraan

pemerintahan daerah terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan perangkat daerah.

Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan makalah ini

9

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, hal 18 10

A. Hamid S. Attamini, Teori Perundang-Undang Indonesia, Makalah pada Pidato

Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992,

(22)

adalah menenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu produk

hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.

Hukum administrasi negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan

hukum khusus yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers)

administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.11

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut dengan

Perda terdiri dari peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kota.

Mekanisme disahkannya suatu Peraturan Daerah adalah melalui penetapan kepala

daerah setelah sebelumnya disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah

dengan DPRD terkait. Sebagaimana sifat atributifnya, seperti undang-undang,

Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat ancaman denda,

pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling banyak Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman pidana tidak boleh lebih dari 6

(enam) bulan penjara.12

Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari

definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan

tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;

11

(23)

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan; dan

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang

Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan

Perundang-Undangan.

Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan

pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa

pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah

khusus yang dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun

kabupaten atau kota untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

12

(24)

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah

khusus juga dimiliki oleh Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan

Perdasi yang khusus untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu pada

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Namun apapun bentuknya, pada dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi

secara substansi tetap merupakan suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan

peraturan daerah.

Sekalipun peraturan daerah merupakan peraturan yang merupakan atribusi

(pelimpahan wewenang) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,

peraturan daerah tetaplah suatu peraturan yang secara hierarki terikat dengan asas

pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat

legi inferiori) atau peraturan yang baru meniadakan peraturan yang lama (lex

posterior derogat legi priori). Sebagai bagian dari produk hukum dalam tataran

negara konstitusi, Peraturan Daerah tidak dapat dibuat melebihi kewenangannya

(over authority).

Peraturan daerah juga dapat dilakukan pengujian (judicial review)

terhadap peraturan diatasnya apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional

yang merugikan pihak-pihak tertentu. Peraturan daerah yang baik adalah

peraturan daerah yang dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan

masyarakat, dan mampu menjawab hambatan yang ditemui oleh masyarakat

(25)

secara ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, idealnya suatu peraturan daerah

harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga suatu peraturan

daerah dapat bertahan lama dan dapat menjadi salah satu regulasi sentral yang

akan benar-benar melekat dalam setiap individu di masyarakat.13

Prostitusi merupakan salah satu penyakit masyarakat dan merupakan

fenomena yang selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian

prostitusi dianggap sebagai satu profesi yang sudah sangat tua usianya walaupun

kerap menimbulkan problema-problema sosial. Lokasi prostitusi sebenarnya

hampir tidak jauh berbeda dengan pasar. Jika di pasar tradisional orang

melakukan transaksi jual beli dengan sistem penawaran, maka di lokasi prostitusi

hal serupa juga ditemukan.14

Prostitusi atau lebih sering disebut sebagai pelacuran memiliki dua jenis

yakni pelacuran yang terdaftar dimana pelakunya diawasi oleh bagian dari

kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan

Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu.

Penghuninya secara periodik harus memeriksa diri pada dokter atau petugas

kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan kesehatan

dan keamanan umum.

Pelacuran yang tidak terdaftar termasuk dalam kelompok ini adalah

mereka yang melakukan pelacuran secara gelap-gelapan dan liar, baik secara

13

Himawan Estu Bagijo, Pembentukan Peraturan Daerah” Staf Pengajar Universitas Airlangga yang berjudul, diakses tanggal 18 Mei 2015.

14

(26)

perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya

pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga

kesehatannya sangat dirugikan karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan

kesehatannya ke dokter.

Prostitusi sebagai sebuah penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang

panjang, dan tidak ada putus-putusnya yang terdapat di semua negara di dunia.

Norma-norma sosial jelas mengharamkan pelacuran, dunia kesehatan

“menunjukkan” dan “memperingatkan” bahaya penyakit kelamin yang

mengerikan akibat adanya pelacuran di tengah-tengah masyarakat, namun

masyarakat dari abad keabad tidak pernah berhasil melenyapkan gejala-gejala

ini.15

Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain ialah

tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, yang dilarang dan

diancam dengan hukuman ialah, praktek germo dan mucikari, adanya keinginan

dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar

ikatan perkawinan, komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun

germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks,

perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat

dan menyerap banyak buruh serta pagawai pria.

Penyebab timbulnya prostitusi ini pada point dari terakhir menunjukkan

benar bahwa Kota Medan memang cukup pesat dan perkembangnya sangat cepat

15

(27)

pula. Faktor pendukungnya tak lain dari pada berdiri megahnya hotel, penginapan,

club malam serta penginapan seperti bungalow, motel dan tempat hiburan lainnya.

Tetapi yang pastinya adalah prostitusi di Kota Medan sudah menjamur dan sudah

memasuki pada tahap kritis dimana banyak isu yang mengatakan bahwa anak

ABG yang masih duduk di bangku SMP dan SMA terjebak dalam praktek

tersebut.16

Jika pemerintah Kota Medan tetap membiarkan praktek prostitusi

gelap-gelapan maka tidak akan mengherankan jika pada beberapa tahun kedepan Kota

Medan akan menjadi kota tertinggi penularan penyakit HIV/AIDS. Diakibatkan

oleh kelalaian pemerintah mengingat perhatian pemerintah khususnya kepada para

pelaku seks terkhusus penjaja seks sangat minim. Akibatnya tidak diketahuinya

penyakit apa yang akan diderita pelaku dan pelanggan sehingga akan tertular ke

istri atau calon istri dari si pelanggan.17

Salah satu solusinya adalah Pemerintah Kota Medan segera menertibkan

daerah-daerah yang sudah menjadi tempat prostitusi dan membuat tempat yang

khusus bagi para WTS tersebut dan membuat peraturan dan jaminan yang baik

bagi kelangsungan hidup serta memeriksa secara rutin oleh pihak yang

berkaitan.18

16

Ibid. 17

(28)

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.19

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian

yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan

hukum.20

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum.21 Dengan

menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini

dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini.

Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Statute Approach).22

2. Sumber data

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek

yang diteliti, antara lain; buku-buku literatur, laporan penelitian, tulisan para ahli,

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam

18

Ibid 19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2013, hal 3.

20

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, hal 87.

21

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Op. Cit., hal 10. 22

(29)

penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, sebagai bahan dasar

penelitiannya, menggunakan data sekunder, yakni bahan-bahan yang diperoleh

dari bahan pustaka lazimnya. Data sekunder yang digunakan sebagai bahan dasar

penelitian ini terdiri atas:23

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum

yang terdapat pada peraturan perundang-undangan atau berbagai perangkat

hukum, seperti Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kota

Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta

Praktek Susila dalam penelitian semacam ini, hukum ditempatkan sebagai terikat

dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai

variabel bebas dan peraturan lainnya.24

b. Bahan hukum sekunder

Selain itu, hasil wawancara yang

didapatkan melalui studi lapangan menjadi bahan hukum primer yang membantu

dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, jurnal-jurnal, karya ilmiah, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian, dan

bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut

atas bahan hukum primer.

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Op. Cit., hal 13. 24

(30)

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tersier memberikan petunjuk/penjelasan bermakna terhadap

bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan

lainnya.25

3. Pengumpulan data

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai bahan dasar

penelitian dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumen (documents study)

atau studi kepustakaan (library research) sebagai alat pengumpul data.26

4. Analisis data

Studi

dokumen tersebut merupakan penelitian bahan hukum primer, yaitu peraturan

peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum.

Pengumpulan data dilakukan wawancara dengan Dinas Sosial Kota Medan yaitu

Ka. Humas Dinas Sosial Kota Medan dan Satpol PP Kota Medan dan para gepeng

yang ada di Kota Medan.

Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian

pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap data primer yang didapat dari

lapangan terlebih dahulu diteliti kelengkapannya dan kejelasannya untuk

diklarifikasi serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk

memudahkan melakukan analisis. Data primer inipun terlebih dahulu diedit untuk

menyeleksi data yang paling relevan dengan perumusan permasalahan yang ada

dalam penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta

25

Ibid. 26

(31)

dihimpun secara sistematis sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan

analisis. Dari hasil data penelitian baik pustaka maupun lapangan ini dilakukan

pembahasan secara deskriptif analisis.

Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh

suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai

fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini.

Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis secara

cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu

membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan

permasalahan yang ada pada latar belakang penulisan skripsi. Tahap selanjutnya

adalah pengolahan data yaitu analisis dilakukan dengan metode kualitatif

komparatif yaitu penguraian dengan membandingkan hasil penelitian pustaka

(data sekunder) dengan hasil penelitian lapangan (data primer).

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang

menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang

saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan

membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun

(32)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA

SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL DI KOTA

MEDAN.

Bab ini berisikan mengenai pengertian gelandangan dan pengemisan

serta praktek tuna susila dan faktor yang mengakibatkan terjadinya

gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila di kota medan

serta dampak gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

dalam pembangunan nasional.

BAB III LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA

PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN

DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003

Bab ini berisikan tentang latar belakang lahirnya Peraturan Daerah

Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan

Dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila, larangan gelandangan

dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan Berdasarkan

Peraturan Daerah Kota Medan dan Instansi Pemerintah Daerah yang

berwenang dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan serta

(33)

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN

NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK

TUNA SUSILA

Bab ini berisikan upaya Pemerintah Kota Medan dalam penanganan

gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan

dan pengawasan dan pembinaan terhadap gelandangan dan

pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan serta kendala

yang dihadapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan

serta praktek tuna susila di Kota Medan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran yang memuat uraian tentang kesimpulan dan

saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan

(34)

BAB II

GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL

DI KOTA MEDAN

A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila

Asal mula pengemisan suatu hal fenomenal yang ada dalam hidup ini,

memiliki akar yang menjadi mula terbentuknya suatu hal yang tampak. Demikian

dengan pengemis, yang tidak terlahir semata-mata dengan sendirinya melainkan

adanya asal muasal dan pengemisan sendiri memiliki akar sejarah yang unik.

Anak jalanan, umumnya berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat

dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar

kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya

kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.

Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di

Propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan

tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak

jalanan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi

masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal

bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.

Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari

(35)

menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemisan, potret sosial ini

sering ditemukan dalam kehidupan.27

Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah

kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang

pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka.

Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan

juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan

baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap

anak jalanan dan gepeng.

Istilah “gepeng”merupakan singkatan dari kata gelandangan dan

pengemisan. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak

sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat

serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu

dan hidup mengembara di tempat umum.28

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara ditempat-tempat umum.29

Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang

berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Gelandangan merupakan

27

Kaipang/ Fenomena pengemis dalam perspektif sociological imagination. http://kaipang-inc.blogspot.com/2010/09/fenomena-pengemis-dalam-perspektif.html/dikutip pada hari Minggu, 24 April 2011/pukul 17.50 wib

28

Departemen Sosial Republik Indonesia, 1992. 29

(36)

lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat

kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang

tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak,

berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.30

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan

alasanlainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.31

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis

adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di

muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan

dari orang lain.32

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap

belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemisan yang masuk dalam

kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan

pemberian stigma yang negatif.33

30

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta, hal 5

Pemberian stigma negatif justru menjauhkan

31

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf g

32

Satriawan35.blogspot.com/2012/12/peran-pemerintah-daerah-dalam.html (diakses tanggal 21 Mei 2015)

33

Hariadi, Sri Santuti & Suryanto, Bagong, Anak-Anak Yang Dilanggar Hanya. Potret

Sosial Anak Rawan Di Indonesia Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Surabaya, Lutfansah

(37)

orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Gelandangan dan Pengemisan

pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori

menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang

menggelandang dan mengemisan karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan

pengemisan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu

dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan

tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.

Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari

pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out

of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi

generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai

generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.

Gelandangan dan pengemisan adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari

pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan

masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di

perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari

berbagai stigma yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini

mendeskripsikan gelandangan dan pengemisan dengan citra yang negatif.

Gelandangan dan pengemisan dipersepsikan sebagai orang yang merusak

pemandangan dan ketertiban umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma,

tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis,

(38)

Pengemisan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan adalah

orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka

umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari

orang lain. Permasalahan pengemisan, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya

hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan

belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah

berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah.34

Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 Pasal 2, kebijakan dibidang

penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri

berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah, dalam

menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi

yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.

Penertiban gelandangan dan pengemisan telah diatur dalam Kepres Nomor 40

tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan,

dalam keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah

Hutan dan Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang

penyelenggaraan Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang

masalah kesejahteraan sosial.

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap

meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga

terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para

34

(39)

urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya

pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari

nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan

pengemisan. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat

populasi Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih

mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di

Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan sosial

(PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak jalanan,

telantar, gelandangan, dan pengemisan (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3 juta

jiwa.35

Wanita Tuna Susila (WTS) Pelacur berasal dari bahasa latin yaitu

Pro-stituere atau Pro-stauree, yang berarti memberikan diri berbuat zinah, malakukan

persundelan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundel.36

Apabila dilihat secara luas dengan memperhatikan aspek dasarnya dari

prostitusi ialah menyangkut perbuatan yang tidak sesuai denga nilai-nilai social. Tuna

susila atau tidak bersusila itu diartikan sebagai kurang beradab atau karena

keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki

untuk memuaskan, dan mendapat imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna

susila itu juga bisa diartikan sebagai: salah tingkah, tidak susila atau gagal

menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita

yang tidak baik berperilaku dan bisa mendatangkan celaka dan penyakit, baik

kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada dirinya sendiri.

35

Ibid 36

(40)

Para ahli telah mendebatkan dan mendefinisikan tentang prostitusi diantaranya S.

Ismail Asyari menyatakan prostitusi sama dengan zinah. Prostitusi ialah

perempuan yang menyerahkan raganya kepada laki-laki untuk bersenang-senang,

dengan menerima imbalan yang ditentukan. Prostitusi itu adalah perbuatan zina,

karena perbuatan itu diluar perkawinan yang sah. Pernyataan kedua ahli tersebut

lebih berdasarkan pada tinjauan agama. Secara umum prostitusi adalah hubungan

laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan aitu pihak

perempuan menerima bayaran baik ditentukan sebelumnya maupun tidak.37

B. Faktor yang mengakibatkan terjadinya Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan

Pekerja tuna susila adalah seseorang yang menjual jasanya untuk

melakukan hubungan seksual demi uang. Di Indonesia Wanita Malam (pekerja

seks komersial) sebagai pelaku wanita pemikat lelaki hidung belang untuk

memuaskan nafsu birahinya. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan pekerja

seks komersial itu sangat begitu buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat.

Mereka kerap dihina, dicaci maki, bahkan jadi cemohan bagi semua orang yang

benci terhadap mereka. Bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga

digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka direhabilitasi

dan diberikan penyuluhan. Pekerjaan seks komersial sudah dikenal di masyarakat

sejak berabad lampau, ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar

mereka dari masa kemasa.

37

(41)

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan

mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai

sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu

yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity).

Fenomena pengemisan yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan

tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangi seseorang tersebut

mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang

menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi factor utama mengemis, namun

sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemisan memiliki tujuannya

masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.

Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang

disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental

seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi

penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :

1. Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali. Mengemis

dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak

berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut

usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi

bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.

2. Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, mulanya

mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa

tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan

(42)

mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk

tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan.

Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.

3. Mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul

fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah

mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan

terjadinya perubahan status dari pengemisan temporer menjadi pengemis

permanen.

4. Mengemis karena miskin mental, mereka ini tidak tergolong miskin

sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika

mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka

artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas

kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas

bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan

profesinya.

5. Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, sudah semacam organisasi

tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong,

setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya

kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis

dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan

(43)

Hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu :

a. Faktor Intern

1. Sifat Malas

2. Faktor Fisik

3. Faktor Psikis atau Kejiwaan

4. Mental yang tidak kuat

b. Faktor Eksternal

1. Faktor Ekonomi

2. Faktor Geografi

3. Faktor Sosial

4. Faktor Pendidikan

5. Faktor Psikologis

6. Faktor Kultural

7. Faktor Keluarga dan Mental, dan

8. Kurangya dasar-dasar agama

C. Dampak Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila dalam Pembangunan Nasional

Bertitik tolak kepada pengertian dan ciri-ciri serta tingkah pola, cara

hidupnya, serta perbuatannya memang bukan mustahil kalau adanya gelandangan

dan pengemis ini akan membawa ekses. Secara sepintas saja sudah dapat dilihat

yaitu: menganggu keindahan lingkungan belum lagi ditinjau dari segi

38

(44)

kesehatan.Secara keseluruhan dapat pula mempengaruhi lajunya pembangunan

bangsa. Ekses-ekses yang timbul karena gelandangan dan pengemis, ialah :

1. Mempengaruhi lajunya pembangunan.

2. Menganggu keindahan lingkungan hidup.

3. Menimbulkan gambaran buruk terhadap bangsa.

4. Gangguan keamanan dan ketertiban.

5. Mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya.

6. Mewarisi kehidupan bodoh.

7. Menganggu kelancaran pendataan penduduk.

8. Berkembang menjadi tuna susila.

9. Kemungkinan pembawa sumber penyakit, dan

10.Hilangnya percaya diri.

Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun

keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang

mendukung seseorang tersebut melakukan hal tersebut.

Akibat yang timbul dari aktivitas praktek tuna susila dapat bersifat negatif

maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya.

Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan

bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat

hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS). 39

28 Mei 2015.

39

(45)

Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran

termasuk demoralisasi (tidak bermoral), yang bergaul imtim dengan mereka juga

demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.

Praktek tuna susila juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan

bahan narkotika, karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat

berkumpulnya para penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang

sedang ber-masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.

Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga

mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya

wanita-wanita pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari

pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus

diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari

akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus

ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan

sangat sulit memberantas dan menanggulangi masalah pelacuran, karena ternyata

(46)

BAB III

LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN

DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003

A. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila

Dalam rangka menjamin penyelenggaraan tertib pemerintahan dan

pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan adanya hubungan yang serasi antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diletakkan dalam kerangka

pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal itu, maka pelaksanaan

otonomi daerah diarahkan pada otonomi yang nyata dan bertanggung jawab agar

dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.

Pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang

bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah

setempat dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, maka berbagai kewenangan serta pembiayaan kini

dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mulai saat itu pemerintah daerah

(47)

melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan yang

sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Melalui pemberian otonomi, banyak daerah-daerah yang berkembang

sangat pesat terutama pada daerah perkotaan, tetapi juga tidak sedikit daerah yang

mengalami banyak kesulitan dan tantangan pembangunan. Bagi daerah-daerah

yang mengalami perkembangan pesat, ternyata juga menghadapi masalah dan

tantangan, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, sementara

ketersediaan lahan pemukiman terbatas. Begitu juga pada daerah yang maju pesat,

menjadi daya tarik bagi warga di daerah-daerah sekitarnya, sementara

keterampilan mereka untuk mencari penghidupan di kota sangat terbatas. Kondisi

inilah yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya masalah-masalah perkotaan,

antara lain kriminalitas, pengangguran, dan tumbuhnya anak jalanan, gelandangan

dan pengemis.

Persoalan-persoalan kota sebagaimana yang tergambarkan di atas, juga

terjadi di Kota Medan sejumlah warga Kota Medan menyayangkan pemerintah

setempat belum melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2003

Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila.

Keberadaan mereka sangat mengganggu dan mengkhawatirkan. Sehingga tidak

jarang masyarakat yang mengungkapkan kegelisahannyapada aparat pemerintah

yang seharusnya melaksanakan perda tersebut," Juga tertuang, setiap orang atau

sekelompok orang tidak dibenarkan memberi uang dan atau barang kepada anak

jalanan, gelandangan dan pengemisan yang mengatasnamakan lembaga sosial atau

(48)

umum dan jalanan. Sedangkan sanksi dalam perda tersebut yakni, pelaku akan

dikenakan sanksi berupa pembinaan dengan cara interogasi, identifikasi serta

membuat perjanjian yang mengikat agar mereka tidak melakukan kegiatan

mengemis di tempat umum dan atau jalanan yang disaksikan oleh aparat dan atau

petugas yang berwenang dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan sebagai alat

bukti di pengadilan.

Dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat terungkap,

bahwa sejak dahulu tidak ada norma-norma sosial yang mengatur dan

mengharuskan masyarakat di Simpang Pemda untuk berperilaku gepeng. Hal ini

merupakan sesuatu yang spesifik dari fenomena perilaku gepeng dari desa ini, bila

dibandingkan dengan sejarah gepeng desa lainnya yang ada di Medan. Jika

norma-norma sosial itu dapat dianggap sebagai suatu konsep yang menyangkut

semua keteraturan sosial yang berhubungan denan evaluasi dari semua obyek,

individu, tindakan, gagasan, maka gepeng bukanlah wujud keteraturan sosial yang

diidamkan oleh masyarakat Kota Medan.40

Jika norma-norma sosial itu dapat dianggap sebagai suatu konsep yang

menyangkut semua keteraturan sosial yang berhubungan denan evaluasi dari

semua obyek, individu, tindakan, gagasan, maka gepeng bukanlah wujud

keteraturan sosial yang diidamkan oleh masyarakat Kota Medan. Menjadi

pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun keberadaannya

bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang mendukung

seseorang tersebut melakukan hal tersebut.

40

(49)

B. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan

Meskipun ada panti-panti sosial yang katanya berfungsi untuk

memberikan ketrampilan kepada para prostitut, faktanya peran pemberdayaan itu

justru tidak terlihat. Akhirnya, para prostitut yang telah keluar dari panti, akan

kembali lagi menjadi prostitut. Bagai lingkaran setan yang tak putus-putus.

Para prostitut yang terkena razia, biasanya harus tinggal dipanti selama 3-7

bulan, tergantung apakah dia sudah pernah terkena razia atau belum. Panti ini

seharusnya menjadi tempat pemberdayaan bagi para prostitut, mereka di ajari

bagaimana membuat kue, menjahit atau ketrampilan salon. Jika ada dari mereka

yang kemudian menjalani hidup dipanti, sekeluarnya mereka dari sana, mereka

kembali lagi beraktivitas sebagai prostitut. Banyak hal yang membuat mereka

kembali seperti itu. Diantaranya adalah tidak adanya tindak lanjut dari program

panti, misalnya menyalurkan mereka ke tempat-tempat dimana mereka bisa

mempraktekkan ketrampilan mere

Referensi

Dokumen terkait

KEY WORDS: Dense Point Cloud, Image Based Point Cloud, Laser Scanning, Photogrammetry, Integration, Three-Dimensional

Hasil dar i evaluasi administr asi, teknis dan har ga Penyedia Bar ang dinyatakan lulus, kar ena dapat memenuhi semua per syar atan yang ditetapkan dalam Dokumen

This state and our previous experience with the creation of the ideal 3D reconstructions (Alusik et al. – and an architect – D.S.) to look at this problem from the

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

1. Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah guna menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD, kecenderungan media atau sumber-

RENCANA MARKETING UNTUK LOKASI USAHA……….. BENTUK

Reigeluth (1987), dan model pengembangan media oleh Arief S. Criswell & Luther. Target yang dihasilkan adalah terciptanya media Kit sebagai suplementasi pesan-pesan pembelajaran

[r]