• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Harta

Dalam dokumen Fiqh Muamalah Kontemporer (Halaman 53-57)

Harta dalam bahasa Arab disebut al-Mal (لالما), berasal dari kata “mala” yang secara etimologi berarti condong, cenderung, miring atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.

Dalam kamus Lisan al-Arab dijelaskan bahwa kata al-Mal adalah sesuatu yang sudah dipahami orang bahwa itu adalah harta, yaitu setiap yang kamu miliki dari segala sesuatu (Manzur, t.t:550). Sedangkan Muhammad Mustafa dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith menjelaskan bahwa yang disebut dengan (لالما) adalah: setiap yang dimiliki oleh individu atau jama’ah dari perhiasan, barang­barang, perabotan rumah, emas perak atau juga hewan (Mustafa, t.t: 892)

Harta merupakan suatu kebutuhan dan beredar dalam kehidupan yang juga sebagai media untuk kehidupan di akhirat. Di antara ayat Alqur’anyang menyatakan bahwa harta merupakan salah satu perhiasan dunia dapat kita pahami dalam surat al-Kahfi (QS.18:46) yang berbunyi sebagai berikut:

اًباَوَث َكِّبَر َدْنِع ٌ ْيرَخ ُتاَ ِلا َّصلا ُتاَيِقاَلاَو ۖ اَيْنُّلدا ِةاَيَْ لا ُةَنيِز َنوُنَْ لاَو ُلاَمْلاْ

لَمَأ ٌ ْيرَخَو

Secara terminologi terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama, di antaranya:

1. Ibnu Abidin (2000:8) mengemukakan bahwa harta itu adalah :

ِةَجاَلا ِتْقَوِل ُهُراَخِّدا ُنِكْمُيَو ُعْب َّطلا ِهْْ َلإ ُليِمَي اَم ِلاَمْلاِب ُداَرُمْلا

“Sesuatu yang disenangi naluri dan mungkin dapat disimpan untuk waktu yang diperlukan.“

Pengertian harta ini memberi batasan harta dengan kemung­ kinan dapat disimpan untuk mengecualikan manfaat, karena manfaat tidak termasuk harta.

2. Ibnu Nujaim al­Hanafi (1310: 242) memberikan penjelasan tentang harta, beliau mengatakan:

كلذ ِ ْيرَغَو ٍناَوَيَحَو ٍضوُرُعَو ٍدْقَن نم سالنا ُهُكَّلَمَتَي ام ُّ ُك ٍدَّمَ ُم نع َيِوُر امك

ُضوُرُعْلاَو ُدْقَّلنا ِلاَمْلا ِمْسا نم ُرَداَبَتَي اَنِفْرُع ف َّنَأ لإَّ

Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Muhammad bahwa harta adalah setiap yang dimiliki seseorang dari emas perak, mata benda, hewan dan lain-lain. Hanya saja menurut pandangan adat kebiasaan kami yang dinamakan harta adalah uang dan barang-barang.

Definisi Ibn Nujaim ini mempertegas bahwa harta menurut mazhab Hanafi hanya pada sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan, sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak disebut dengan harta

3. Muhammad ibn Ali al­Hiskafi (2000:8) mendefinisikan harta sebagai berikut:

،ِةَجاَلا ِتْقَوِل ُهُراَخِّدا ُنِكْمُيَو ُعْب َّطلا ِهْْ َلإ ُليِمَي اَم ِلاَمْلاِب ُداَرُمْلا

Yang dimaksud dengan harta adalah sesuatu yang manusia cenderung kepadanya dan mungkin disimpan untuk digunakan pada waktu yang dibutuhkan

4. Menurut Imam Syafi’i (2001:150­151), mendefinisikan harta sebagai berikut:

اَهَكَلْهَتْسا اَذإ ُنوُكَيَو اهب ُعَياَبَتُي ٌةَميِق ل ام ع لإ ٍقَّ َلَع َلَو ٍلاَم ُمْسا ُعَقَي َلَو

ِسْلَفْلا َلْثِم ْمِهِلاَوْمَأ نم سالنا ُهُحَرْطَي َل امو ْتَّلَق ْنِإَو اَهَتَميِق ىَّدَأ ٌكِلْهَتْسُم

ف امو ِراَّلدا ِءاَرِك ُلْثِم اَهُنَمَث َّلَحَو ْتَكِلُم ٍةَعَفْنَم ُّ ُك ِناَّلثاَو كلذ ُهِبْشُي امو

.ُهُتَرْجُأ ُّلِت اَّمِم اَهاَنْعَمَ

Tidak dinamakan dengan harta kecuali jika memiliki nilai yang bisa diperjualbelikan dan jika seseorang merusaknya maka ia mengganti nilai harta tersebut sekalipun sedikit, dan setiap yang tidak ditinggalkan oleh orang dari harta mereka seperti uang dan yang semisalnya. Kedua, setiap yang bermanfaat dimiliki dan halal harganya seperti rumah sewa dan yang semakna dengannya yang dihalalkan upahnya.

Menurut defenisi Imam Syafi’i tersebut harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai, dapat diperjualbelikan dan memiliki konsekuansi bagi orang yang merusaknya, yaitu dengan mengganti atau menanggung seharga harta yang dirusaknya. Dari definisi di atas, terdapat perbedaan esensi harta yang dikemukakan jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, harta itu tidak saja bersifat materi, melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dimaksud dengan harta itu hanyalah yang bersifat materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian milik.

Implikasi dari perbedaan pendapat tersebut akan bisa terlihat pada contoh berikut ini: apabila seseorang merampas (al-ghasbu) atau mempergunakan kendaraan orang lain tanpa izin. Menurut jumhur, orang yang tersebut dapat ditunutut ganti rugi, karena manfaat kendaraan itu mempunyai nilai harta. Hal ini mereka berpendirian bahwa manfaat suatu benda merupakan unsur terpenting dalam harta, karena nilai harta diukur pada kualitas dan kuantitas manfaat benda.

Akan tetapi, ulama Hanafiyah mengatakan bahwa penggunaan kendaraan orang lain tanpa izin, tidak dituntut ganti rugi, karena orang itu bukan mengambil harta, melainkan hanya sekedar memanfaatkan kendaraan, sementara kendaraannya tetap utuh. Walaupun demikian, ulama Hanafiyah tetap tidak membenarkan pemanfaatan milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

Dalam implikasi lain terhadap perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama yang muncul dari perbedaan pengertian terhadap harta ini adalah perbedaan dalam bentuk kasus sewa menyewa

(ijarah). Apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain

dan kesepakatan sewa menyewa telah disetujui oleh kedua belah pihak, kemudian pemilik rumah meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, kontrak sewa menyewa rumah tersebut batal, karena pemilik rumah telah meninggal dan rumah harus diserahkan kepada ahli warisnya, karena manfaat ruamah yang disewanya itu tidak termasuk harta, oleh sebab itu tidak dapat diwarisi.

Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa kontrak sewa menyewa tetap berlangsung sampai habis masa kontrak yang telah disepakati, sekalipun pemilik rumah telah meninggal dunia, karena manfaat adalah harta yang boleh diwariskan kepada ahli waris. Berakhirnya akad sewa menyewa apabila sudah jatuh tempo yang sudah disepakti di awal akad, bukan karena wafatnya si pemilik rumah.

Ulama Hanafiyah mutaakhkhirin (generasi berikutnya/belakangan) berpendapat bahwa definisi al-mal yang dikemukakan oleh para pendahulunya dianggap tidak komprehensif dan kurang akomodatif, hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam surah al­Baqarah (QS. 2:29) Allah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan­Nya di atas bumi ini adalah untuk dimanfaatkan oleh umat manusia. Di antara ulama Hanafiyah

mutaakhkhirin itu adalah Mustafa Ahmad az­Zarqa’, seorang pakar fiqh

yang berasal dari Syria dan bermukim di ‘Amman, Yordania, selain dia ada seorang guru besar fiqh Islam di Fakultas Syari’ah Universitas. Mustafa Ahmad az­Zarqa’memberikan definisi al-mal sebagai berikut:

سالنا ينب ةيدام ةميق تاذ ينع ك وه لالما

Artinya: “Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi

di kalangan masyarakat“.

Mereka lebih cenderung menggunakan definisi al-mal sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas, karena permasalahan

al-mal terkait dengan persoalan kebiasaan, adat istiadat, situasi dan kondisi

suatu masyarakat. Menurut mereka, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman, terkadang manfaat suatu harta lebih banyak menghasilkan penambahan harta dibanding wujud harta itu sendiri, seperti perbandingan haga antara menyewakan rumah selama beberapa tahun dengan menjualnya secara tunai.

Dalam dokumen Fiqh Muamalah Kontemporer (Halaman 53-57)