• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA DAN

B. Pidana

3. Pengertian Hukum Pidana Perspektif Hukum Positif

Hukum Pidana menurut perspektif Hukum Positif merupakan suatu pemaparan mengenai hal-hal yang terkait dengan Hukum Pidana yang ada di Indonesia atau yang biasa disebut dengan Hukum Pidana Positif.

Berbicara mengenai pengertian Hukum Pidana secara umum, tentu banyak perbedaan pendapat dari para ahli Hukum Pidana di dunia yang akhirnya

39 Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang: Rafah Press, 2020), h. 62-63.

40 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.

188.

21

tidak bisa didefinisikan dengan satu arti saja. Hukum Pidana terdapat 2 kata, yakni Hukum dan Pidana. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.41 Di dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa terlepas dari yang namanya hukum atau aturan, yang mana hukum ini menjadi suatu hal baik untuk kita jadikan sebagai patokan dalam kehidupan bermasyarakat, agar nantinya dapat mengimplementasikan kehidupan yang sejahtera, aman, nyaman, damai dan tentram.

Menurut sejarah, istilah pidana secara resmi dipergunakan oleh rumusan pasal VI Undang-undang No. 1 Tahun 1946 untuk peresmian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).42 Undang-ndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut terbit dengan pertimbangan bahwa saat itu negara belum dapat membentuk sebuah Undang-Undang Pidana yang baru sehingga menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman penjajahan dengan disesuaikan dengan keadaan. Sedangkan menurut Soedarto, pidana adalah penderitaan yang dengan sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.43 Syarat-syarat tertentu tersebut diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Undang-undang pidana khusus. Dengan adanya KUHP dan Undang-undang pidana khusus tersebut, kita tidak bisa menghakimi seseorang ataupun lembaga yang telah melakukan kejahatan dalam bentuk apapun, yang artinya ini menjadi tugas dari aparat penegak hukum untuk menindak lanjuti perkara pidana tersebut, agar nantinya dapat diproses sesuai dengan prosedur yang ada di Indonesia.

Tentu ini merupakan upaya agar terciptanya suatu negara yang aman, tertib, adil, dan adanya kepastian hukum.

41 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 28.

42 Marlina, Hukum Panitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 13.

43 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:

Alumni, 2005), h. 2.

Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.44 Untuk bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Hakim kepada pelaku mengacu pada KUHP. Akan tetapi, untuk bentuk pidana khusus ada penambahan bentuk pidana diluar dari pada KUHP, yang diatur dalam undang-undang pidana khusus. Hukum Pidana di Indonesia terbagi menjadi 2, yaitu Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal yang mana keduanya memiliki simbiosis mutualisme. Menurut Satochid Kartanegara Hukum Pidana Materiil berisikan peraturan-peraturan yang memuat sebagai berikut:45

a. Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Strafbare Feiten), misalnya :

1) Mengambil barang milik orang lain.

2) Dengan sengaja merampas nyawa orang.

b. Siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain mengatur pertanggungan jawab terhadap Hukum Pidana.

c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.

Sedangkan menurut Moeljatno, beliau mengemukakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:46

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancam.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

44 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 6.

45 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, t,t. ), h. 1.

46 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 1.

23

Pada bagian di atas huruf c menandakan bahwa hal tersebut merupakan pengertian Hukum Pidana Formal. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal tentu memiliki perbedaan, Hukum Pidana Materiil diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), sedangkan Hukum Pidana Formal diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa tidak semua Hukum Pidana diatur dalam KUHP dan KUHAP, ada beberapa Hukum Pidana yang diatur secara khusus atau yang biasa disebut dengan perundang-undangan pidana khusus.

Pembagian Hukum Pidana dilakukan untuk mempelajari dan mengamati hakikat, syarat, dan tujuan dari hukum itu sendiri serta mengedepankan kemaslahatan terhadap masyarakat. Negara harus memberikan perlindungan dan rasa nyaman terhadap masyarakatnya, dengan cara memberikan seputar ilmu pengetahuan hukum pidana agar berjalan secara sistematis. Selanjutmya pembagian Hukum Pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut, yakni:47

a. Berdasarkan wilayah berlakunya:

1) Pidana umum, yang mana berupa pemberlakuan untuk seluruh wilayah Indonesia, baik itu KUHP maupun undang-undang yang tersebar di luar KUHP.

2) Pidana lokal, hanya diberlakukan pada daerah-daerah tertentu, seperti Peraturan Daerah.

b. Berdasarkan bentuknya :

1) Hukum Pidana tertulis, terdapat 2 bagian:

a) Hukum Pidana yang dikodifikasikan, yakni KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

b) Hukum Pidana yang tidak dikodifikasikan, yakni tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang tersendiri

47 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), h.

4-5.

seperti, UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya.

2) Hukum Pidana tidak tertulis (Hukum Pidana Adat) adalah hukum yang berlaku hanya untuk masyarakat-masyarakat tertentu. Dasar hukum keberlakuannya pada zaman Hindia Belanda yang terdapat di dalam pasal 131 IS (Indische Staatregeling) atau AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving).

Pasal 131 IS yang merupakan “Pedoman Politik Hukum”

pemerintah Belanda yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain:48

a) Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, harus diletakkan dalam Kitab Undang-undang (ayat 1).

b) Terhadap golongan Eropa, harus diberlakukan perundang-undangan yang ada di negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang (ayat 2 sub. a).

c) Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diberlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya (ayat 2 sub. b).

d) Orang Indonesia asli dan Timur Asing diperbolehkan menundukkan dirinya kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun seluruhnya (ayat 4).

e) Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing tetap berlaku sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang (ayat 6).

48 Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), h.

26-27.

25

4. Jenis Hukum Pidana Dalam Hukum Positif

Adapun jenis-jenis Hukum Pidana terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a. Hukum Pidana Umum merupakan Hukum Pidana yang berlaku untuk setiap orang. Sumbernya terdapat di dalam KUHP, yang terdiri dari tiga buku :

1) Buku I tentang Ketentuan Umum, dari pasal 1-pasal 103.

2) Buku II tentang Kejahatan, dari pasal 104-pasal 448.

3) Dan buku III tentang Pelanggaran, dari pasal 449-pasal 569.

b. Hukum Pidana Khusus yaitu aturan-aturan Hukum Pidana yang menyimpang dari Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ini terkait dengan ketentuan yang hanya berlaku untuk subyek hukum tertentu atau mengatur tentang perbuatan-perbuatan tertentu di dalam Undang-undang khusus seperti Hukum Pidana Tentara, Hukum Pidana Fiskal, Hukum Pidana Ekonomi, dan Hukum Pidana Politik.49 Sudarto juga mengemukakan istilah Undang-undang Pidana Khusus yang diklarifikasikan dalam tiga pembagian, yaitu:

1) Undang-undang yang tidak dikodifikasikan (Ongecodificeerd Strafrecht). Contohnya: Undang-undang Lalu lintas Jalan Raya, Undang-undang Narkotika, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lain sebagainya.

2) Peraturan-peraturan hukum administratif yang mengandung sanksi pidana. Contohnya: Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perburuhan, Undang-undang Konservasi Sumber Daya Hayati, dan lain sebagainya.

3) Undang-undang yang mengandung Hukum Pidana Khusus yang mengatur tentang tindak pidana-tindak pidana untuk golongan tertentu atau perbuatan-perbuatan tertentu. Contohnya: KUHP

49 Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Tinta Mas, 1994), h. 67-75.

Militer, undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Pajak, dan lain sebagainya.

C. Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan Perspektif Hukum Islam

Kata pemidanaan dalam hukum Islam dikenal dengan kata uqubah atau hukuman. Uqubah ini meliputi kriminal maupun hal-hal yang merugikan. Uqubah secara bahasa berasal dari kata ‘aqoba, memiliki sinonim dengan kata akhodzahu bidzanbihi, yang berarti menghukum atas kesalahannya.50 Secara istilah, Abdul Qodir Audah mendefinisikan pengertian hukuman adalah:51

عراشلا رما نايصع ىلع ةعاملجا ةحلصلم ررقلما ءازلجا يه ةبوقعلا Artinya:

“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syarak.”

Dalam ungkapan lain juga ada yang berpendapat, hukuman adalah penimpaan derita dan kesengsaraan dari pelaku kejahatan sebagai balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syarak.52 Dapat kita pahami dari pengertian di atas bahwa hukuman merupakan suatu siksaan yang diberikan oleh ulil amri atau lembaga yang berwenang kepada pelaku atas perbuatan yang melanggar ketentuan hukum syarak. Dasar hukum dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku, salah satunya terdapat di dalam Al-Qur.an surah An-Nisa ayat 135:

ٰىالاع حوالاو َِِّللَّ اءااداهُش ِطحسِقحلِبِ ايِْماَّوا ق اوُنوُك اوُنامآ انيِذَّلا ااهُّ ياأ ايَ

ٰالَحواأ َُّللَّااف اًيرِقاف حواأ اًّيِناغ حن ُكاي حنِإ ۖ ايِْبارح قا حلْااو ِنحيادِلااوحلا ِواأ حمُكِسُفح ناأ

50 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Cet-Ke IVX, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 952.

51 Abdul Qodir Audah, At-Tasyri’ Jina’iy Islamy, Juz 1, (Beirut: Dar Kitab

Al-‘Araby, tt), h. 609.

52 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 59.

27

َّنِإاف اوُضِرحعُ ت حواأ اوُوحلا ت حنِإاو ۖ اوُلِدحعا ت حناأ ٰىاواحلْا اوُعِبَّتا ت الَاف ۖ اامِِبِ

اًيرِباخ انوُلامحعا ت ااِبِ انااك اَّللَّا

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa keadilan harus ditegakkan, siapa pun, apapun dan bagaimana pun itu, hukum tidak memandang suku, ras, agama bahkan jabatan, semua manusia sama saja dimata hukum. Pada hakikatnya, adanya hukuman ini tentu memiliki dasar tujuan dari pada hukuman itu sendiri. Dalam Islam, tujuan hukuman terbagi menjadi lima macam, yang biasa disebut dengan al-maqasid al-khamsah artinya lima tujuan, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Al-Maqasid Al-Syari’ah, yaitu sebagai berikut:53

a. Memelihara kemaslahatan agama.

b. Memelihara jiwa.

c. Memelihara akal.

d. Memelihara keturunan dan kehormatan.

e. Memelihara harta benda.

Pada dasarnya seseorang dalam melakukan kejahatan tentunya dilakukan secara sengaja, sadar dan mengetahui bahwa tindakannya salah.

Perbuatannya tersebut terdapat tanggungjawab serta konsekuensi yang harus diikuti sesuai dengan hukum syarak. Penyebab terjadinya kejahatan tentu didasari oleh lemahnya keimanan seseorang. Oleh sebab itu, Islam

53 Mardani, Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 21.

mengajarkan bahwa manusia diwajibkan selalu mengingat Allah SWT dimanapun berada, agar senantiasa keimanan seseorang kuat dan tidak terkena tipu daya setan. Selanjutnya menurut Mahmood Zuhdi Abdul Majid, yang dikutip dari Octoberriansyah, para ahli Hukum Pidana Islam merumuskan sejumlah tujuan pemidanaan, yakni:54

a. Pembalasan (al-Jaza’)

Pembalasan disini bukan membalas perbuatan yang telah dilakukan pelaku terhadap korban melainkan bertujuan untuk membawa kemaslahatan bersama.

b. Pencegahan atau preventif (az-Zajr)

Pencegahan merupakan upaya pertama agar si pelaku tidak mengulangi kejahatannya lagi, yang mana tujuannya ini ditunjukkan kepada masyarakat agar menjauhi segala perbuatan yang dilarang.

c. Pemulihan atau perbaikan (al-Islah).

Pemulihan disini sangat bermanfaat bagi si pelaku agar dapat memperbaiki kehidupan selanjutnya serta bertaubat dan tidak mengulangi perbuatan kejahatannya. Adanya tujuan ini juga untuk mendidik kepada pelaku.

d. Restorasi.

Restorasi atau yang biasa dikenal dengan sebutan restorative justice merupakan sebuah konsep guna mengembalikan situasi dan kondisi seperti semula, dan bertujuan untuk menegakkan keadilan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum syarak.

e. Penebusan dosa.

Tujuan yang terakhir ini muncul yang sumbernya berasal dari Allah SWT dan menurut para fuqaha, penjatuhan hukuman di dunia ini berfungsi untuk menggugurkan dosa-dosa yang telah dilakukannya.

54 Ocktoberrinsyah, Disertasi: “Hukuman Mati dalam Islam dan Relevansinya dengan Hukum Pidana Indonesia”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 38.

29

2. Jenis Pemidanaan Dalam Hukum Islam

Jenis pemidanaan atau di dalam Islam dikenal dengan uqubah yang diartikan sebagai hukuman, dibagi menjadi beberapa jenis tindak pidananya yaitu sebagai berikut:55

a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nasnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, dibagi menjadi dua:

1) Hukuman yang ada nasnya, yaitu Hudud, Qisas, Diyat, dan Kafarat. Contohnya: hukuman bagi pencuri, pezina, pembunuh, perampok, minum-minuman keras, dan murtad.

2) Hukuman yang tidak ada nasnya, yaitu hanya hukuman takzir.

Seperti: membuat kerusakan, melanggar lalu lintas, memberikan kesaksian palsu, dan tidak menjalankan amanah.

b. Hukuman ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman lainnya, yang mana hal ini terdapat empat kategori hukuman, yaitu:56

1) Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), merupakan hukuman yang ditetapkan untuk jarimah atau tindak pidana yang bersangkutan dengan hukuman asli atau hukuman yang sudah diatur di dalam nas. Seperti hukuman qisas untuk jarimah pembunuhan, hukuman hudud untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.

2) Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok, dalam hal ini apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan, maka hukuman pengganti sah dilaksanakan. Seperti hukuman diyat atau denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban.

3) Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara

55 H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 28.

56 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 67.

tersendiri. Seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap yang akan diwarisinya.

4) Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), merupakan hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan catatan harus ada keputusan dari hakim sendiri dan syarat ini yang menjadi pembeda dengan hukuman tambahan. Seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.

c. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menetapkan berat atau ringannya hukuman, maka hukuman ini dibagi menjadi dua, yaitu:57

1) Hukuman yang mempunyai satu batas, yang berarti hukuman tersebut tidak ada batas terendah atau tertinggi, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas hukuman tersebut.

Seperti hukuman had.

2) Hukuman yang mempunyai dua batas, yang berarti terdapat batas tertinggi atau terendah, dimana hakim diberi kewenangan dan kebebasan dalam menetapkan hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut. Seperti hukuman takzir.

d. Hukuman ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, terbagi menjadi empat, yaitu:58

1) Hukuman badan (‘Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang dikenakan atas badan si pelaku. Seperti hukuman jilid, dan hukuman mati.

2) Hukuman jiwa (‘Uqubah Nafsiyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku. Seperti hukuman teguran, dan peringatan.

3) Hukuman harta (‘Uqubah Maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta si pelaku. Seperti denda, dan perampasan.

57 H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29.

58 H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 30.

31

4) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia.

Seperti hukuman penjara atau pengasingan.

3. Pengertian Pemidanaan Perspektif Hukum Positif

Kata pemidanaan tidak jauh berbeda dengan kata pidana, dan keduanya memiliki arti yang berbeda juga. Pada dasarnya “pidana”

diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan merupakan suatu tahapan pemberian sanksi dan tahap penetapan sanksi dalam Hukum Pidana. Dalam hal ini, para ahli Hukum Pidana berbeda pendapat mengenai definisi pemidanaan itu sendiri, akan tetapi memiliki makna yang sama:

a. Menurut Sudarto kata pemidanaan adalah sebuah sinonim dengan kata penghukuman. Penghukuman ini awal mula katanya berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai memutuskan hukum atau menetapkan tentang hukumnya (berechten).

Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya dipergunakan dalam bentuk Hukum Pidana saja, melainkan dapat dipergunakan dalam betuk Hukum Perdata saja. Dalam Hukum Pidana, kerap kali penghukuman itu disebut dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.59

b. Menurut Andi Hamzah bahwa pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman.

Dalam bahasa Belanda disebut strafoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing.60

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan adalah suatu tindakan kepada para pelaku kejahatan. Perlu ditekankan

59 P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), h. 36.

60 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Panitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 21.

bahwa pemidanaan ini dijatuhkan bukan maksud sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan, serta sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan yang sama dan agar pelaku menyadari bahwa perbuatannya itu salah terdapat konsekuensinya. Dengan adanya pemidanaan ini juga untuk menakut-nakuti seseorang agar tidak melakukan kejahatan dan untuk kemaslahatan bersama. Adapun tujuan adanya pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:61

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (Generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventif), atau.

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Pada dasarnya tujuan pemidanaan ini memiliki teori-teori, yang mana teori tersebut salah satunya dikemukakan oleh Mulyadi. Beliau mengemukakan teori tentang tujuan pemidanaan terbagi menjadi 3, yaitu:62

a. Teori Absolut, teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan suatu pembalasan atas kesalahan yang telah diperbuat sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Makna adanya teori ini yaitu memprioritaskan sanksi dalam Hukum Pidana dapat dijatuhkan disebabkan ulah manusia yang melakukan kejahatan yang mana hal tersebut mutlak, serta sebagai suatu pembalasan atas kejahatannya guna menjunjung tinggi keadilan yang seadil-adilnya.

b. Teori Teologis, teori ini memandang bahwa dengan adanya pemidanaan ini bukan upaya sebagai balas dendam melainkan untuk mencapai tujuan yang terarah sehingga dapat bermanfaat untuk melindungi masyarakat dan dapat mengimplementasikan masyarakat yang sejahtera. Tujuan teori sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan terhadap pelaku dan pencegahan terhadap masyarakat.

c. Teori Retributif Teleologis, teori ini muncul dengan gagasan bahwa pemidanaan bersifat plural, karena menyatukan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini melihat pemidanaan sebagai suatu kritik moral dalam menjawab

61 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 16.

62 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Penerbit Alumni, 2002), h. 49-51.

33

perbuatan yang dianggap salah. Sedangkan teori teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral ini merupakan suatu upaya reformasi kepada pelaku agar bisa lebih baik lagi untuk kehidupannya.

Sistem pemidanaan adalah sebagai bagian dari mekanisme penegak hukum (pidana), maka pemidanaan diartikan sebagai “pemberian pidana”

tidak lain merupakan suatu “proses kebijakan” oleh aparat penegak hukum yang dengan sengaja direncanakan. Artinya pemberian pidana itu dapat diwujudkan melalui beberapa tahap, sebagai berikut:63

a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat hukum Undang-undang.

b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang.

c. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

4. Jenis Pemidanaan Dalam Hukum Positif

Di Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau biasa kita sebut KUHP, menetapkan jenis-jenis pidana yang tertuangkan di dalam pasal 10 KUHP. Berikut pembagian pidana tersebut sebagai berikut:

a. Pidana Pokok, terbagi menjadi : 1) Pidana Mati

Pidana mati adalah pidana terberat dari berbagai jenis pidana yang lainnya, diatur dalam BAB 2 pasal 10 KUHP. Penerapan pidana mati sering menimbulkan perbedaan pendapat antara yang pro dan kontra baik dari kalangan ahli hukum maupun masyarakat.

Sebagian pendapat yang pro mengemukakan bahwa pidana mati ini dapat dieksekusi apabila pelaku tersebut sangat membahayakan negara terutama masyarakat. Dengan adanya pidana mati dapat menghentikan kejahatannya yang sangat brutal. Akan tetapi, pidana mati ini tampak jelas bahwa tujuan dari pada pidana yaitu untuk memusnahkan.

63 Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana: Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan Delik-Delik Khusus Dalam Masyarakat Modern, (Bandung:

Alumni, 1992), h. 91.

Berbeda halnya dengan pendapat yang kontra, pendapat ini mengatakan bahwa pidana mati tidak perlu dilakukan, karena jika pidana ini dieksekusi, maka tidak ada harapan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya dan menimbulkan kontrakdiksi dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri, yaitu upaya untuk mendidik serta memberi efek jera agar pelaku dapat merevolusi kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pidana mati ini tidak boleh dijatuhkan terhadap anak nakal.

2) Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang mengakibatkan hilangnya kemerdekaan pelaku dan untuk menanggulangi kejahatan. Ketentuan pidana penjara diatur dalam pasal 12 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisi bahwa pidana penjara terdiri dari pidana penjara seumur hidup atau sementara sesingkat-singkatnya satu hari dan selamanya-lamanya lima belas tahun atau bahkan selama-selamanya-lamanya dua puluh tahun berturut-turut sebagai pengganti pidana mati di dalam lembaga pemasyarakatan. Pada abad ke-18, penggunaan pidana penjara ini diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang mengakibatkan hilangnya kemerdekaan pelaku dan untuk menanggulangi kejahatan. Ketentuan pidana penjara diatur dalam pasal 12 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisi bahwa pidana penjara terdiri dari pidana penjara seumur hidup atau sementara sesingkat-singkatnya satu hari dan selamanya-lamanya lima belas tahun atau bahkan selama-selamanya-lamanya dua puluh tahun berturut-turut sebagai pengganti pidana mati di dalam lembaga pemasyarakatan. Pada abad ke-18, penggunaan pidana penjara ini diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana

Dokumen terkait