• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik

2.7. Informed Consent

2.7.2. Pengertian Informed Consent

Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran dalam informed consent, dan intisari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnosis maupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan (Hendrik, 2013).

Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medis,para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau keterangan kepada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent.

Kata consent berasal dari bahasa latin, consentio, yang artinya persetujuan izin, menyetujui, atau pengertian yang lebih luas adalah memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent, dengan demikian berarti

suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya dari tenaga kesehatan/dokter tentang penyakitnya (Hendrik, 2013).

Pengertian lain yaitu informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (orangtua/wali/suami/istri/orang yang berhak yang mewakilinya) kepada tenaga kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan/dokter telah memberikan informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.

Informed consent berarti pernyataan kesediaan atau pernyataan penolakan setelah mendapat informasi secukupnya. Dengan demikian, yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya sebelum ia mengambil keputusan.

Penjelasan yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan pembiayaan (Hendrik, 2013).

Menurut Hanafiah dan Amir (2012), yang dimaksud dengan informed consent adalah semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medikapa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga.

Perkembangan seputar informed consent ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa di Negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah informed consent ini. Declaration of Lisbon (1981) dan Patients Bill of Right (American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (The Right to Self Determination) sebagai dasar hak azasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

Dari kacamata demikian, informed consent sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan bahwa informed consent merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien.

Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama, mereka menggunakan istilah “gerichtetoestemming” yang artinya izin atau persetujuan yang terarah. Jerman menyebutnya “ Aufklarungspflicht” yang berati kewajiban dokter untuk memberi penerangan (Hanafiah dan Amir, 2012).

Dalam Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga

terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam pengertian demikian, persetujuan tindakan medis bisa dilihat dari dua sudut, yaitu membicarakan informed consent dari pengertian umum dan ke dua membicarakan informed consent dari pengertian khusus.

Dalam pengertian umum, informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Namun dalam pelayanan kesehatan, sering pengertian ke dua lebih dikenal, yaitu informed consent yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu, dahulu informed consent ini lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat persetujuan pasien, surat perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut (Hanafiah dan Amir, 2012).

Ada 2 bentuk Informed consent, yaitu :

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent) - Dalam keadaan normal

- Dalam keadaan darurat 2. Dinyatakan (Expressed Consent)

- Lisan - Tulisan

Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum.

Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan darurat atau emergency, sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut Presumed Consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengetian, misalnya, pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku, dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Pesetujuan secara lisan sudah mencukupi.

Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, sebaiknya didapatkan informed consent secara tertulis. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, oleh kalangan kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang disebut informed consent (Hanafiah dan Amir, 2012).

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medis No. HK.00.06.3.5. 1866 tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur tentang informed consent, setiap rumah sakit harus memperhatikan ketentuan:

1) Pengaturan persetujuan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP)

2) Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan merupakan kewajiban dokter.

3) Informed consent diberikan untuk tindakan medis yang secara spesifik. 4) Informed consent diberikan tanpa paksaan.

5) Informed consent diberikan oleh seseorang kepada pasien yang sehat mental dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum.

6) Informed consent diberikan setelah cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan.

Pada hakikatnya, informed consent merupakan hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan hal ini sangat berhubungan dengan tanggungjawab professional terkait perjanjian perawatan dan terapeutik. Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan yang berada di dalam KUH Perdata/Burgelijke Wedboek Pasal 1320 memuat empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :

1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan, dan penipuan. 2. Para pihak cakap membuat perikatan.

3. Adanya hal tertentu yang dijadikan perjanjian.

4. Adanya sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi (Ta’adi, 2013).

2.7.3. Persetujuan

Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.

Dalam banyak informed consent yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian di ambil alih oleh kelurga pasien atau atas alasan lain.

Menurut Pasal 4 ayat 1 UU. 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, untuk pasien di bawah usia 21 tahun, dan pasien gangguan jiwa, yang menandatangani adalah orangtua/wali/keluarga terdekat, atau induk semang. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.

Sama dengan yang diatur dalam permenkes tentang informed consent ini, The Medical Defence Union dalam bukunya Medico Legal Issues in Clinical Practice,

menyatakan bahwa ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk sah-nya informed consent yaitu :

1. Diberikan secara bebas

2. Diberikan oleh orang-orang yang sanggup membuat perjanjian

3. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan, sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan

4. Mengenai sesuatu hal yang khas

5. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama (Hanafiah dan Amir, 2012) 2.7.4. Penolakan

Seperti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demukian, kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya, harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai Informed Refusal.

Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatife tindakan yang diperlukan, untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.

Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan

demikian, apa yang terjadi di belakang hari, tidak menjadi tanggungjawab dokter atau rumah sakit lagi (Hanafiah dan Amir, 2012).

Dokumen terkait