• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : HUKUM TENTANG JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Jaminan Kredit

Masalah jaminan kredit merupakan sesuatu hal yang dalam perkembangan dunia perbankan Indonesia masih banyak mendapat sorotan atau perhatian oleh berbagai pihak, karena salah satu alasan adalah masih terjadinya kesimpang siuran dalam menafsirkan pengertian jaminan kredit, baik oleh kalangan perbankan sendiri maupun oleh masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis akan mengemukakan beberapa pengertian jaminan kredit menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam praktek perbankan di Indonesia yang dapat dibedakan berdasarkan atas beberapa sudut pandang, yaitu :

1. Pengertian jaminan pemberian kredit sesuai Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, dimana ketentuan ini mengatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dan Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu

dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang ada alasan yang sah untuk didahulukan. Bertitik tolak pada rumusan dalam Pasal 1132 KUH Perdata tersebut, pengertian jaminan kredit dapat dijabarkan sebagai berikut : 21

1. Ditinjau dari jenisnya, jaminan kredit (hutang) adalah berupa kebendaan milik debitur yang dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu : benda bergerak dan benda tidak bergerak. Pengertian benda tidak bergerak menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :

a. Benda tak bergerak menurut sifatnya, yatiu tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya.

b. Benda tak bergerak karena tujuannya, misalnya alat-alat yang dipakai dalam pabrik atau mesin-mesin.

c. Benda tak bergerak menurut ketentuan undang-undang, berwujud hak-hak atas benda tak bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda tak bergerak.

Sedangkan pengertian benda bergerak menurut Wirjono Prodjodikoro, yang diatur dalam Pasal 509, 510, 511 KUH Perdata, dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

21

Hoediarto Hoedojo, Tinjauan terhadap Pengertian Jaminan Pemberian Kredit Dalam RUU

RI Tentang Perbankan, Majalah Pengembangan Perbankan, Lembaga Pengembangan Perbankan, Jakarta, Edisi Nop-Des 1991, No. 32, hal. 72.

d. Barang-barang yang bersifat bergerak, dalam arti bahwa barang-barang tersebut dapat dipindah tempatkan.

e. Beberapa hak atas barang-barang bergerak, antara lain hak memetik hasil, hak memakai saham-saham dari perseroan dagang.

a. Ditinjau dari status kepemilikannya, jaminan kebendaan milik debitur dapat dibedakan dalam dua jenis pula yaitu kebendaan yang saat ini telah dimiliki dan kebendaan yang akan dimiliki dikemudian hari.

b. Segala kebendaan milik debitur menjadi jaminan bersama bagi para kreditur, kecuali apabila diantara kreditur tersebut memiliki hak didahulukan

(preference), baik gadai maupun hipotik. Berdasarkan penjabaran tersebut di atas nampak jelas bahwa pengertian jaminan hutang yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada hakekatnya berupa segala hak kebendaan milik debitur, baik sekarang telah dimiliki atau yang akan dimiliki dikemudian hari.

2. Pengertian jaminan pemberian kredit menurut UU RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pasal 8, menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan yang di dalam penjelasannya menyebutkan jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan dan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum

memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan modal, agunan dan prospek usaha dari debitur mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa gerik, petuk dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan "jaminan tambahan".

3. Pengertian jaminan pemberian kredit atas dasar kebijaksanaan pemerintah tanggal 28 Februari 1991. Kebijakan Pemerintah yang diumumkan pada tanggal 28 Februari 1991 merupakan kelanjutan kebijakan paket 27 Oktober 1988 (PAKTO 27), yaitu bermaterikan ketentuan-ketentuan tentang penyempurnaan pengawasan dan pembinaan bank. Salah satu materi yagn diatur dalam Paket Kebijakan 28 Februari 1991 memuat ketentuan mengenai jaminan pemberian kredit, yang materinya tertuang dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/Kep/Dir, tanggal 28 Februari 1991 dan diperjelas dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan jaminan pemberian kredit adalah sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1) dan (2)

(1) Jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Agunan adalah jaminan materil, surat berharga, garansi resiko yang disediakan oleh debitur untuk menanggung pembayaran kembali suatu kredit, apabila debitur tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) :

(1) Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada siapapun tanpa jaminan pemberian kredit sebagaimana pasal 1 angka 2 di atas.

(2) Jaminan pemberian kredit diperoleh bank melalui penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur.

Pasal 3 ayat (1) dan (2) :

(1) Agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan.

(2) Bank tidak wajib meminta agunan tambahan.

Pasal 4 : Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan bank.

Apabila dikaji lebih jauh ketentuan yang tersirat dan tersurat dalam pasal-pasal tersebut di atas beserta penjelasannya dalam Surat Edaran Bank Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pengertian jaminan pemberian kredit lebih dititik beratkan pada keyakinan bank akan pelunasan kredit oleh nasabah, sedangkan untuk memperoleh keyakinan tersebut harus melalui penilaian terhadap unsur-unsur : watak, kemampuan, modal, agunan/jaminan dan prospek usaha. Pengertian tersebut mempunyai makna yang luas dan mengandung kesan bobot materinya lebih ditekankan pada prinsip/syarat pemberian kredit secara umum.

Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, seluruh harta kekayaan seseorang adalah menjadi jaminan bagi seluruh hutangnya, baik kekayaan yang telah ada maupun yang masih akan ada, baik berupa benda bergerak maupun berupa benda tidak bergerak.

Setiap kreditur mempunyai hak yang sama (konkruren) untuk mendapatkan pelunasan piutangnya secara imbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing atas penjualan benda tersebut. Jaminan yang demikian adalah jaminan yang bersifat umum artinya barang jaminan tersebut tidak ditujukan secara khusus kepada kreditur tertentu tetapi kepada semua kreditur, sehingga dengan demikian jaminan tersebut apabila dijual mungkin saja hanya sebagian kecil piutang kreditur yang dapat dilunasi oleh debitur. Dalam praktek jaminan umum yang diberikan undang-undang tersebut kurang dapat memberikan perlindungan bagi kreditur dalam mengambil pelunasan piutangnya. Mengatasi kesulitan dan kelemahan yang mungkim timbul dengan jaminan umum tersebut, maka kreditur dapat meminta debitur agar memberikan jaminan dengan memakai salah satu bentuk jaminan khusus.

Jaminan khusus ini haruslah diperjanjikan antara para pihak dengan mengikat barang-barang tertentu milik debitur atau dengan menunjuk seseorang yang bersedia menanggung pelunasan hutang debitur.

Dalam undang-undang pada mulanya ditemukan beberapa bentuk lembaga jaminan khusus baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan. Namun sesuai dengan perkembangan masyarakat terutama di bidang perekonomian dalam praktek timbul juga bentuk lembaga jaminan khusus yang tidak diatur dalam undang-undang.

Sejalan dengan keharusan yang diisyaratkan dalam undang-undang pokok perbankan dimana bank umum tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa jaminan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kita dapati lembaga jaminan yang ditinjau dari jenis jaminan tersebut :

1. Jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke zekerheid). 2. Jaminan yang bersifat bukan kebendaan (onzakelijke zekerheid). 3. Jaminan yang bersifat kebendaan (zakalijke zekerheid).

Ad.1.

Adalah jaminan yang bukan bersifat kebendaan tetapi bersifat pribadi

(personal quarentee) atau dengan perkataan lain jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, maksudnya bahwa kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutangnya selain kepada debitur utama tetapi juga kepada penjamin, jika debitur utama tidak memenuhi kewajibannya.

Ad.2.

Adalah jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur tidak berbentuk barang atau benda materiil, tetapi berdasarkan kelayakan usaha. Bank umum tidak akan memberikan kredit kepada siapapun. Maka didapat pengertian tidak adanya perincian secara tegas mengenai barang-barang apa yang dapat dijadikan jaminan kredit, juga tidak diadakan pembedaan antara jaminan pokok dan jaminan kredit, juga tidak diadakan pembedaan antara jaminan pokok dan jaminan tambahan. Akan tetapi di dalam penjelasan resmi atas ketentuan tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah jaminan yang bersifat luas baik yang bersifat materiil maupun yang bersifat immateriil misalnya prospek kerja/usaha, keahlian debitur, kondisi ekonomi dan lain-lain, secara yuridis dibenarkan sebagaimana yang berlaku pada kredit atas dasar kelayakan usaha. Adapun tujuannya adalah untuk memperingan syarat-syarat perkreditan khususnya bagi golongan ekonomi lemah. Mengenai jaminan yang bersifat bukan kebendaan ini diatur dengan surat keputusan Direksi Bank Indonesia No. 12/72/KEP/DIR/UPK tanggal 21 September 1979.

Jaminan yang bersifat bukan kebendaan

Dalam Pasal 4 surat keputusan Direksi BI No. 12/72/KEP/DIR/UPK menyebutkan :

1. Jaminan kredit adalah proyek barang yang dibiayai dengan jaminan kredit yang bersangkutan.

2. Dalam hal nasabah memiliki tambahan jaminan maka bank dapat mengikat tambahan jaminan tersebut setinggi-tingginya 50% dari maksimum kredit.

a. Jaminan tambahan kalau ada hanya boleh diikat bank paling banyak 50% dari jumlah kredit.

b. Kalau tidak ada jaminan tambahan, tidak ada halangan untuk tidak memberikan kredit kelayakan asal syarat-syarat lain dipenuhi nasabah. Mengenai syarat-syarat yang dimaksud agar suatu proyek/usaha dapat diangap layak menerima kredit : 1. Memberikan manfaat bagi masyarakat dan sesuai dengan kebijaksanaan

prioritas pemerintah.

2. Mampu untuk hidup dan berkembang.

3. Mampu untuk memberikan keuntungan yang wajar, mengembalikan hutang pokok dan membayar bunga serta biaya-biaya lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Ad.3.

Jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) debitur. Adapun maksud penyediaan barang secara khusus ini adalah diperuntukkan kepada kreditur, karena bila tidak ada penyediaan secara khusus tadi, maka bagian dari kekayaan si debitur menjadi jaminan untuk seluruh hutangnya.

Jaminan yang bersifat kebendaan

Dengan demikian jaminan kebendaan kepada kreditur tertentu, berarti memberikan kedudukan istimewa (privelege) pada kreditur tadi terhadap kreditur lainnya.

Sehubungan dengan kekayaan seseorang itu ada yang mempunyai wujud yang beraneka ragam, maka pemberian jaminan kebendaan itupun mempunyai aneka macam benda :

1. Kebendaan bergerak yang terbagi atas : a. berwujud (kenderaan, perabot)

b. tak berwujud (hak obligasi, hak tagihan/piutang). 2. Kebendaan tak bergerak yang terdiri atas :

a. berwujud (tanah, mesin, pabrik)

b. tak berwujud (hak memungut hasil tanah).

Dalam lapangan hukum perdata pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak, sangat penting sekali, karena atas pembedaan benda-benda tersebutlah dapat ditetapkan lembaga jaminan ataupun bentuk pengikatan yang mana yang akan dipasang untuk kredit yang akan diberikan.

benda berupa barang bergerak, maka dapat dipasang lembaga jaminan yang berbentuk gadai dan fidusia yakni penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan. Apabila benda berupa barang tak bergerak maka lembaga jaminannya berupa hipotik atau credietverband.

Sesuai dengan pokok masalah yang penulis kemukakan, maka penulis akan menguraikan masalah gadai dan fiducia eigendoms overdracht sebagai pengikat jaminan benda bergerak.

1. Hukum Gadai (Pandrecht)

Gadai adalah suatu bentuk lembaga jaminan atas benda bergerak. Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata :

Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang dan memberikan kewenangan kepada kreditr untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut terlebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, kecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk memelihara barang itu setelah digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan. 22

Dalam hukum perdata dikenal pembagian benda bergerak berwujud dan benda tak berwujud. Benda bergerak berwujud misalnya kendaraan bermotor, perabotan perkantoran, perhiasan dan sebagainya sedangkan benda bergerak tak berwujud antara lain surat piutang atas nama (op name) piutang atas tunduk (an order), piutang atas bawa (an toonder).

Berdasarkan perbedaan objek gadai tersebut maka cara mengadakan gadai untuk masing-masing jenis objek tersebut harus pula melalui formalitas yang berbeda. Untuk benda bergerak berwujud gadai baru dapat terjadi dengan adanya perjanjian gadai yang diikuti dengan penyerahan nyata barang yang digadaikan dari si pemberi gadai kepada si pemegang gadai (Pasal 1152 KUH Perdata) untuk mengadakan gadai atas surat piutang atas bawa (aan order) ditempuh cara-cara sebagaimana halnya gadai atas benda bergerak berwujud (Pasal 1153). Untuk membebankan hak gadai atas surat order (atas tunjuk) maka setelah pembuatan akte

22

perjanjian gadai antara nasabah dengan bank juga harus dilakukan/diikuti endosemen oleh yang berhak kepada bank atas surat order tersebut dan selanjutnya dilakukan penyerahan surat tersebut oleh yang berhak kepada bank (Pasal 613 ayat KUH Perdata).

Dalam hal pemberi gadai wanprestasi, pemegang gadai berhak melakukan penagihan kepada pemberi gadai (yang berhutang), dengan catatan jika gadai berjalan, pemberi gadai tidak berhak atastagihan yang digadaikan, sehingga pemberi gadai menerima tagihan, ia berkewajiban membayarkannya kepada pemegang gadai.

23

Dalam membahas masalah gadai ini yang penting adalah masalah

inbezitstelling (berada dalam kekuasaan) sebagaimana yang telah disingung dalam hal gadai benda bergerak berwujud. Berdasarkan Pasal 1152 KUH Perdata disebutkan bahwa benda yang digadaikan harus dimaksudkan dalam bezitnya si penerima gadai dan dalam ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa batal dalam suatu gadai yang mana bendanya tetap berada di bawah kekuasaan si pemberi gadai.

Sehubungan dengan hak yang diberikan undang-undang kepada si penerima gadai untuk dapat menjual di bawah tangan barang-barang yang digadaikan, maka haruslah dicantumkan secara tegas didalam perjanjian gadai antara pemberi gadai dengan si penerima gadai.

Di dalam praktek sehari-hari syarat inbezitstelling ini menimbulkan kesulitan bila yang digadaikan itu adalah barang-barang yang dibutuhkan untuk menjalankan

kegiatan si pemberi gadai umpamanya alat-alat inventaris kantor/perusahaan. Untuk mengatasi hal itu maka ditempuh cara lain, yang dewasa ini dikenal dengan istilah

Fiducia Eigendoms Overdracht.

2. Fiducia Eigendoms Overdracht

Disamping lembaga jaminan gadai untuk barang-barang bergerak dalam praktek sehari-hari juga dikenal lembaga jaminan yang disebut dengan Fiducia Eigendoms Overdracht atau penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan. Dalam dunia perbankan lembaga ini lazim disebut fidusia.

Menurut pengertian hukum fidusia adalah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak oleh debitur kepada kreditur, dengan maksud dijadikan sebagai jaminan hutang yang memberikan hak prefensi kepada kreditur. Tentang sifat hukumnya, fidusia sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk jaminan yang lain, adalah bersifat accessoir karena ia mengikuti suatu perikatan pokok yaitu utang-piutang. Timbulnya lembaga jaminan ini dahulu karena adanya kebutuhan kredit dengan jaminan barang-barang bergerak, tetapi si debitur tidak mempunyai barang-barang bergerak selain yang ia pakai sendiri untuk menjalankan perusahaannya ataupun yang ia pergunakan untuk keperluannya sehari-hari.

Keputusan Hooge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang mewakili dan memberikan kekuatan terhadap praktek fidusia dikenal dengan "Berbrowery Arrest"

adapun peristiwa hukum yang melahirkan keputusan tersebut :

23

Yudhi Arlan dan Gusman Aresha, Aspek Hukum, Materi Pembelajaran Pejabat Kredit, BRI

Seorang pengusaha restoran, meminjam uang dari NV Heineken Bierbrowery Maatchappij. Sebagai jaminannya diadakan perjanjian jual beli inventaris perusahaan/restoran dengan syarat benda inventaris tersebut dipinjam pakai oleh pengusaha restoran, jika pengusaha restoran tersebut pailit perjanjian pinjam pakai diputuskan dan inventaris restoran diserahkan kepada Heineken, ternyata kemudian memang terjadi kepailitan tetapi kurator kepailitan menolak untuk menyerahkan inventaris kepada Heineken dan akhirnya sengketa itu diselesaikan melalui pengadilan. 24

Dari duduk perkara dalam keputusan tersebut ternyata bahwa untuk mengadakan fidusia, penyerahan dilakukan secara constitutum possesorium yang merupakan suatu bentuk penyerahan dimana barang yang diserahkan dibiarkan tetap berada dalam penguasaan pihak yang menyerahkan, jadi dalam hal ini yang diserahkan hanya hak miliknya saja. Bentuk penyerahan yang dikenal dalam praktek, sedangkan dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa penyerahan suatu benda bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata (Pasal 612 KUH Perdata). Jadi jelas undang-undang dalam hal ini tidak mengenal penyerahan secara constitutum possessorium. Akan tetapi penyerahan secara constitutum itu tetap dapat dilakukan secara sah oleh karena pada dasarnya para pihak bebas memperjanjikan apa yang mereka kehendaki.

Dari uraian tersebut di atas, maka kiranya perlu ditegaskan bahwa kedudukan kreditur selama debitur belum lalai memenuhi kewajibannya, kedudukan kreditur adalah tetap sebagai penerima jaminan, hanya saja yang dijaminkan itu berupa hak milik, maka kreditur dapat melakukan beberapa tindakan yang dipunyai oleh seorang

24

Badrulzaman Mariam Darus, Bab-bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Alumni,

Bandung, 1984, hal. 90.B hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

pemilik seperti melakukan pengawasan terhadap barang jaminan. Hal ini adalah penting karena kreditur sebagai penerima jaminan tidak menguasai sendiri barang jaminan. Mahkamah Agung dalam keputusan yang telah penulis sebutkan terdahulu mempunyai pertimbangan yang sama, bahwa penyerahan hak milik kepada kreditur dalam fidusia bukanlah penyerahan hak milik dalam arti yang sebenarnya sebagaimana halnya dengan perjanjian jual-beli sehingga kreditur bukanlah pemilik penuh (volle eigendaar) atas barang jaminan, melainkan hanyalah pemilik terbatas, yang dimiliki oleh seseorang yang berhak atas barang jaminan. Hal ini adalah relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian tentang jaminan tersebut.

Dokumen terkait