• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Benda Bergerak: Studi Pada PT. Bank BRI Unit Padang Bulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Benda Bergerak: Studi Pada PT. Bank BRI Unit Padang Bulan"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BENDA BERGERAK :

STUDI PADA BANK BRI UNIT PADANG BULAN

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

O L E H

Muhammad Iman

NIM : 080200322

Bagian : Hukum Keperdataan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BENDA BERGERAK :

STUDI PADA BANK BRI UNIT PADANG BULAN

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

O L E H

Muhammad Iman

NIM : 080200322

Bagian : Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP : 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

NIP : 196204211988031004 NIP : 196602021991032002 Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas Kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BENDA BERGERAK: STUDI PADA PT. BANK BRI UNIT PADANG BULAN” yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT sudah barang tentu penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak untuk tercapainya kesempurnaan dari penulisan serta materi yang penulis sajikan dalam skripsi ini.

Selanjutnya dalam menyusun skripsi ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

• Bapak Prof.Dr. Runtung, S.H.,M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

• Bapak Syafruddin, S.H.,M.H.,D.F.M. sebagai Pembantu Dekan Dua Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

• Bapak M.Husni,S.H.,M.H. sebagai Pembantu Dekan Tiga Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

• Bapak Dr.H.Hasim Purba,S.H.,M.Hum. sebagai Ketua Departemen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

• Ibu Rabiatul Syahriah,S.H.,M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Keperdataan

• Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,MS Dosen Pembimbing satu yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

• Ibu Rosnidar Sembiring,S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing dua yang telah memberikan masukan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(5)

Dan tidak lupa penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

• Ayah dan Ibu tercinta, H. Adlin, S.E. dan Hj. Yudi Agustini Siregar, S.H.,M.H. atas kasih sayang,doa,nasehat,dorongan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Sumatera Utara.

• Abang Addhie Yus Permana Putra, S.H. dan kakak Ipar Rafika Sari yang telah memberikan dorongan dan motivasi serta bantuan dalam menjelaskan metode pengetikan dan penulisan skripsi ini.

• Adik tersayang Ryan Junianda, Ryani Junisha Ayulin, Thondi Parlaungan dan M.Raihan yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam meyelesaikan skripsi ini, terima kasih dek dukungan yang adek berikan sama abang selama penulisan skripsi ini dan terima kasih juga abang ucapkan karena sudah mau membantu abang mencari buku-buku sumber referensi. • Tulang Rudi Rafly siregar, S.H. yang memberikan dorongan supaya penulis

segera menyelesaikan studi dan skripsi ini.

(6)

• Tulang Edy Alamsyah, S.H. dan nantulang Alinda Harahap beserta keluarga yang memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih Tulang dan Nantulang.

• Sepupu ku tersayang Siti Ramadhani Siregar,S.H. yang tidak pernah berhenti memberikan Semangat, informasi dan masukan dalam penulisan skripsi ini, dan untuk semua sepupu ku tersayang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di sini.

Dan yang terspesial untuk teman-teman satu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Kiki, Eko Yolanda, Mega , Tiwi, Misy, Dwi, Icha, Oin, Evelin, Nita, teman-teman satu klinis, dan khususnya teman-teman satu stambuk 08 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di sini.

Atas semua bantuan,dorongan,dan saran yang diberikan penulis mengucapkan terima kasih. Semoga ALLAH SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah wawasan hukum bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Medan, Juni 2012

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D.Keaslian Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT ... 15

A. Pengertian Perjanjian Kredit ... 15

B. Jenis-jenis Perjanjian Kredit ... 20

C. Asas-asas Hukum Perjanjian ... 23

D. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit ... 28

E. Akibat Hukum Suatu Perjanjian Kredit ... 35

(8)

BAB III : HUKUM TENTANG JAMINAN KREDIT ... 38

A. Pengertian Jaminan Kredit... 38

B. Jaminan Kredit Sebagai Salah Satu Bentuk Jaminan ... 52

C. Pentingnya Jaminan Kredit ... 55

BAB IV : PENGIKATAN BENDA BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK BRI UNIT PADANG BULAN... 58

A. Pengikatan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 58

B. Hal-hal yang Dihadapi PT. Bank BRI Unit Padang Bulan Dalam Pengikatan Jaminan Barang-barang Bergerak ... 64

C. Tuntutan Ganti Rugi Terhadap Debitur Yang Wanprestasi ... 67

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

(9)

ABSTRAK

Prof. Dr. Tan Kamello,S.H,.M.S *

DR. Rosnidar Sembiring, S.H.,M.Hum ** M. Iman***

Para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar untuk memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam uang atau kredit dari bank, sebab seperti yang telah diketahui bahwa bunga pinjaman uang di bank lebih kecil dibandingkan dengan bunga pinjaman uang dari anggota masyarakat.

Permasalahan yang dikemukakan adalah : bentuk jaminan benda bergerak yang bagaimanakah yang biasanya di terima oleh pihak bank sebagai jaminan kredit? bagaimanakah hak bank yang pertama terhadap benda bergerak yang juga dijadikan sebagai jaminan benda bergerak di bank lain? dan apakah akibat hukum yang dapat dilaksanakan oleh pihak bank, jika dalam waktu yang telah ditentukan pihak debitur wanprestasi terhadap perjanjian tersebut?Selanjutnya metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa penelitian normatif dan penelitian hukum empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang berhubungan erat dengan materi pokok dalam penulisan skripsi ini.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa : seluruh harta kekayaan seseorang adalah jaminan bagi seluruh hutangnya, baik kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak ; apabila benda yang dijaminkan tersebut, dijadikan kembali sebagai jaminan di bank lain, maka bank yang pertama menerima jaminan adalah berhak atas pengembalian hutang debitur hal ini disebabkan karena sifat benda jaminan yang memberikan hak mendahului kepada pemegang benda jaminan. dan jika debitur wanprestasi maka kreditur berhak menjual barang jaminan yang diberikan oleh debitur setelah terlebih dahulu dilakukan usaha-usaha yang bersifat kekeluargaan seperti memanggil debitur dan menyatakan sebab mengapa debitur tidak memenuhi prestasinya. Untuk itu disarankan agar ketentuan yang mengatur masalah benda baik bergerak maupun tak bergerak yang diikat oleh lembaga jaminan gadai dan fiducia dipertegas dan agar panitia urusan piuang negara sebagai badan yang mengurus masalah piutang negara dalam menyelesaikan kredit macet, tidak mengeluarkan surat paksa yang berkepala "Atas Nama Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", karena surat yang demikian menunjukkan seolah-olah Panitia Urusan Piutang Negara merupakan pengadilan yang berwenang mengadili suatu perkara.

Kata Kunci : Kredit, Benda Bergerak, PT. Bank BRI Unit Padang Bulan

(10)

ABSTRAK

Prof. Dr. Tan Kamello,S.H,.M.S *

DR. Rosnidar Sembiring, S.H.,M.Hum ** M. Iman***

Para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar untuk memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam uang atau kredit dari bank, sebab seperti yang telah diketahui bahwa bunga pinjaman uang di bank lebih kecil dibandingkan dengan bunga pinjaman uang dari anggota masyarakat.

Permasalahan yang dikemukakan adalah : bentuk jaminan benda bergerak yang bagaimanakah yang biasanya di terima oleh pihak bank sebagai jaminan kredit? bagaimanakah hak bank yang pertama terhadap benda bergerak yang juga dijadikan sebagai jaminan benda bergerak di bank lain? dan apakah akibat hukum yang dapat dilaksanakan oleh pihak bank, jika dalam waktu yang telah ditentukan pihak debitur wanprestasi terhadap perjanjian tersebut?Selanjutnya metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa penelitian normatif dan penelitian hukum empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang berhubungan erat dengan materi pokok dalam penulisan skripsi ini.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa : seluruh harta kekayaan seseorang adalah jaminan bagi seluruh hutangnya, baik kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak ; apabila benda yang dijaminkan tersebut, dijadikan kembali sebagai jaminan di bank lain, maka bank yang pertama menerima jaminan adalah berhak atas pengembalian hutang debitur hal ini disebabkan karena sifat benda jaminan yang memberikan hak mendahului kepada pemegang benda jaminan. dan jika debitur wanprestasi maka kreditur berhak menjual barang jaminan yang diberikan oleh debitur setelah terlebih dahulu dilakukan usaha-usaha yang bersifat kekeluargaan seperti memanggil debitur dan menyatakan sebab mengapa debitur tidak memenuhi prestasinya. Untuk itu disarankan agar ketentuan yang mengatur masalah benda baik bergerak maupun tak bergerak yang diikat oleh lembaga jaminan gadai dan fiducia dipertegas dan agar panitia urusan piuang negara sebagai badan yang mengurus masalah piutang negara dalam menyelesaikan kredit macet, tidak mengeluarkan surat paksa yang berkepala "Atas Nama Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", karena surat yang demikian menunjukkan seolah-olah Panitia Urusan Piutang Negara merupakan pengadilan yang berwenang mengadili suatu perkara.

Kata Kunci : Kredit, Benda Bergerak, PT. Bank BRI Unit Padang Bulan

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat dewasa ini semakin luas, dimana kebutuhan tersebut tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan yang lain seirng dan sejalan dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia, maka pihak pemerintah dan swasta sangat besar perhatiannya dalam pengadaan dana baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.

Kemampuan modal dan potensi dalam negeri harus dimanfaatkan dengan disertai kebijaksanaan yang dapat membantu, membimbing dengan maksud untuk semakin meningkatnya perkembangan ekonomi. Hal ini terlihat dengan adanya usaha-usaha pemerintah untuk menyediakan dana membantu ekonomi lemah dengan tujuan agar turut berperan aktif dalam pembangunan ekonomi yang sedang digalakkan dewasa ini.

(12)

fasilitas untuk menjalankan peredaran uang sehingga menyebabkan timbulnya hutang dan hutang tersebut harus dibayar oleh si debitur berdasarkan persetujuan yang telah disepakati dalam perjanjian untuk membuka kredit dan disertai adanya suatu jaminan.

Tujuan dari fungsi jaminan adalah sarana pengaman yaitu untuk kepastian pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan atas suatu prestasi oleh debitur (peminjam) sedangkan guna jaminan yaitu :

1. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya.

2. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan-penjualan barang-barang jaminan tersebut apabila nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 1

Kreditur yang meminjamkan sejumlah uang kepada debitur, tentulah kreditur akan mengharapkan bahwa uang yang telah dipinjamkannya itu akan dapat diterimanya kembali dikemudian hari. Selain dari pada itu kreditur yang telah memberikan pinjaman berupa sejumlah uang kepada orang lain berarti bahwa kreditur menaruh kepercayaan kepada orang (debitur) yang diberinya pinjaman tersebut.

1

(13)

Kepercayaan yang beralaskan itikad (goeder trouw) baik dari si peminjam tersebut, maka kepercayaan tersebut juga berdasarkan atas kemampuan dari si peminjam untuk membayar kembali pinjamannya. Apabila si peminjam tidak dapat membayar apa yang dipinjamnya itu, maka masih ada barang-barang debitur yang dapat dijual untuk melunasi pinjamannya tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan undang-undang sendiri yang menetapkan bahwa orang yang mempunyai piutang selalu dilindungi dimana kekayaan si berhutang dijadikan sebagai jaminan bagi segala hutang-hutangnya. Ketentuan mana dapat dilihat dari Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan : "Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan".

(14)

pinjaman akan mudah mengambil pelunasan pinjaman yang telah diberikannya dengan menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut, sehingga dengan demikian si pemberi pinjaman akan merasa lebih terjamin lagi.

Semakin bertambah meningkat dan pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia akan menimbulkan banyak kebutuhan akan kredit perbankan. Dalam proses pembangunan ini, maka bank harus memainkan perannya sejalan dengan predikat yang dimiliki oleh bank itu sendiri yaitu sebagai mobilisator dalam proses pembangunan. Dalam rangka menghimpun dana yang ada dalam masyarakat, maka bank melalui jasa-jasanya dapat menerima simpanan uang dalam bentuk giro, deposito berjangka, tabungan dan memberikan sejumlah kredit kepada pengusaha, masyarakat terutama yang tergolong ekonomi lemah dalam bentuk kredit bank. Untuk mempermudah dan memperlancar perjanjian kredit, maka diperlukan suatu jaminan yang merupakan hak perseorangan dan hak kebendaan.

(15)

Pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar dalam memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam. Modal tersebut kebanyakan diperoleh orang atau warga masyarakat melakukan pinjam-meminjam uang atau kredit dari bank. Sebab seperti yang telah diketahui bahwa bunga pinjaman uang di bank lebih kecil dibandingkan dengan bunga pinjaman uang dari anggota masyarakat. Salah satu badan yang diberi wewenang untuk menyalurkan dan mengatur peredaran uang tersebut adalah bank yang sudah tentu mengadakan perikatan dengan nasabahnya atau pihak yang membutuhkan kredit .

Kredit merupakan fasilitas untuk menjalankan peredaran uang sehingga harus dibayar oleh si debitur berdasarkan persetujuan yang telah disepakati dalam suatu perjanjian untuk membuka kredit. Jadi dalam hal ini pihak bank adalah sebagai kreditur (si berpiutang) sedangkan si penerima kredit disebut sebagai pihak debitur (si berhutang).

(16)

dilandaskan kepada kemampuan dari si peminjam untuk membayar kembali pinjamannya .

Peminjam yang tidak dapat membayar kembali pinjaman yang dipinjamnya tersebut, masih memiliki jaminan yakni barang-barang yang dapat dipergunakan untuk melunasi pinjamannya tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang menetapkan bahwa orang yang mempunyai piutang selalu dilindungi dimana kekayaan si berhutang dijadikan sebagai jaminan bagi seluruh hutangnya .

Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : "Segala kebendaan si berhutang yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segalah perikatan perseorangan".

Kekhawatiran kreditur dalam hal si debitur tidak dapat melunasi pinjamannya di kemudian hari, akan selalu diperhitungkan oleh kreditur/orang yang memberikan pinjaman, oleh sebab itu kreditur tidak puas hanya dengan jaminan secara umum itu saja. Untuk mencegah adanya hal seperti itu maka kreditur akan meminta satu atau beberapa barang tertentu yang menjadi milik si peminjam disisihkan guna dijadikan sebagai jaminan untuk melunasi hutang si debitur tersebut .

(17)
(18)

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bentuk jaminan benda bergerak yang bagaimanakah yang biasanya di terima oleh pihak bank sebagai jaminan kredit ?.

2. Bagaimanakah hak bank yang pertama terhadap benda bergerak yang juga dijadikan sebagai jaminan benda bergerak di bank lain ?.

3. Apakah akibat hukum yang dapat dilaksanakan oleh pihak bank, jika dalam waktu yang telah ditentukan pihak debitur wanprestasi terhadap perjanjian tersebut ?.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk jaminan benda bergerak yang biasanya di terima oleh pihak bank sebagai jaminan kredit.

2. Untuk mengetahui hak dan wewenang bank yang pertama terhadap benda bergerak yang juga dijadikan sebagai jaminan benda bergerak di bank lain.

(19)

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum khususnya tentang analisis hukum benda bergerak sebagai jaminan perjanjian kredit dan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan.

2. Secara praktis akan menjadi salah satu masukan bagi pemerintah yakni para pejabat dan instansi terkait untuk menerbitkan peraturan yang dapat memberikan jaminan hukum bagi anggota masyarakat sebagai debitur yang berhubungan dengan benda bergerak sebagai jaminan perjanjian kredit tersebut.

D. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Analisis Hukum Tentang Pengikatan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit pada PT. Bank BRI unit Padang Bulan belum pernah diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

E. Tinjauan Pustaka

(20)

menyerahkan barang jaminan. Barang yang diterima sebagai jaminan diutamakan milik penerima fasilitas milik sendiri.

Barang milik pihak ketiga dapat diterima sebagai jaminan, apabila pemilik barang mempunyai kepentingan langsung dengan usaha atau perusahaan yang menikmati fasilitas kredit. Yang dimaksud dengan "mempunyai kepentingan langsung" tersebut di atas adalah :

a. Apabila pemilik jaminan merupakan orang perorangan dan juga sebagai direktur dari perusahaan/pihak yang menikmati fasilitas kredit, keluarga dekat dengan pemilik usaha perseorangan yang menikmati fasilitas kredit.

b. Apabila pemilik jaminan merupakan badan hukum dan juga sebagai group usaha dari perusahaan/pihak yang akan menikmati fasilitas kredit, sebagai perusahaan pemasok atau sebaliknya sebagai pemberi/penyalur dari perusahaan/pihak yang akan menikmati fasilitas kredit, mempunyai hubungan bisnis secara resiprokal dengan perusahaan/pihak yang akan menikmati fasilitas kredit.

Kartono, SH dalam bukunya membagi hak-hak jaminan kredit dalam dua bagian yaitu :

1. Hak-hak jaminan kredit perorangan atau persoonlijke zekerheidsrechten. 2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan atau zakenlijke zekerheidsrechten 2

Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan orang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban

2Ibid, hal. 5

(21)

debitur, ini bahkan dapat diadakan diluar pengetahuan debitur tersebut. Jaminan perorangan (borgtocht) baik berbentuk jaminan orang perorangan (personal guarantee) maupun jaminan perusahaan (company guarantee) hanya dapat diterima dari orang atau badan usaha yang mempunyai kepentingan langsung dengan perusahaan/pihak yang akan menikmati fasilitas kredit.

Jaminan kebendaan dapat dibedakan antara kreditur dengan debiturnya, tetapi dapat juga diadakan antara kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.

Pengertian jaminan kebendaan dapat digolongkan/dibedakan sebagai berikut :

a. Jaminan materil, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan, baik berupa benda bergerak maupun tak bergerak.

b. Jaminan immateril, yaitu jaminan yang tak berwujud atau jaminan nama baik, yang berupa jaminan pribadi/perorangan dan/atau jaminan perusahaan.

Barang jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan adalah barang-barang yang tidak sedang menjaminkan kepada pihak lain, tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari bank.

Dalam hal barang jaminan yang berupa benda tak bergerak milik pihak ketiga ditentukan sebagai berikut :

(22)

b. Dalam hal barang jaminan tersebut milik pribadi/perorangan, maka pihak suami/istri dari pemilik tersebut harus ikut menandatangani Akta Pembebanan Hak Tanggungan.

c. Setelah fasilitas kredit lunas pengembalian surat-surat bukti pemilikan jaminan diusahakan dapat diterima oleh penerima fasilitas kredit apabila penerima fasilitas kredit tidak diketahui lagi tempat tinggalnya atau melarikan diri, surat-surat bukti pemilikan jaminan dapat dikembalikan kepada pemilik jaminan yang melakukan pelunasan/penebusan dengan ketentuan pemilik jaminan harus membuat surat pernyataan pembebasan yang menyatakan bahwa pemilik jaminan membebaskan bank dari segala tanggungjawab atas penyerahan surat-surat bukti pemilikan jaminan tersebut (akta vrijwaring).

d. Penggunaan lembaga kuasa dalam hal penerimaan/penjaminan agunan milik pihak ketiga tersebut akan dihindarkan.

(23)

benda jaminan tersebut, kreditur tidak turut memikul resiko yang merugikan sehubungan dengan tugasnya dalam pemberian kredit pada masyarakat.

Memberikan suatu barang dalam jaminan, berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang itu yaitu kekuasaan untuk memindahkan hak miliknya. Dengan demikian dalam perjanjian kredit bank bahwa kewajiban memberikan jaminan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian kredit.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian.

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan jaminan kredit. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

2. Bahan Penelitian

(24)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara :

1. Library research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari literatur, catatan kuliah serta majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya dengan skripsi ini dan digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

2. Field research (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan pendekatan langsung pada sumbernya untuk memperoleh data dalam praktek dengan pengumpulan bahan-bahan yang ada pada PT. Bank Sumut Medan.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Penyusunan materi skripsi ini, terdiri dari beberapa bab yang dibagi lagi dalam beberapa sub bab guna mempermudah dan memperjelas uraiannya.

(25)

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan bab awal yang berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

Dalam bab ini mengetengahkan tentang pengertian perjanjian kredit, Jenis-jenis perjanjian kredit, asas-asas hukum perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian kredit, akibat hukum suatu perjanjian kredit dan berakhirnya perjanjian kredit.

BAB III : HUKUM TENTANG JAMINAN KREDIT

Dalam bab ini berisi tentang pengertian jaminan kredit, jaminan kredit sebagai salah satu bentuk jaminan dan pentingnya jaminan kredit.

BAB IV : PENGIKATAN BENDA BERGERAK SEBAGAI JAMINAN

DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK BRI UNIT

PADANG BULAN

Bab ini berisi tentang pengikatan jaminan dalam perjanjian kredit, hal-hal yang dihadapi PT. Bank BRI Unit Padang Bulan dalam pengikatan jaminan barang-barang bergerak serta tuntutan ganti rugi terhadap debitur yang wanprestasi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari kata Latin “Creditum” atau “Credo” dan bahasa Yunani “Credere”, yang artinya: “percaya”, kepercayaan (truth atau faith). 3

Beberapa pengertian kredit ditinjau dari aspek ekonomi dan hukum. Pengertian kredit dalam arti ekonomi adalah : “Suatu penundaan pembayaran yaitu uang atau barang (prestasi) atau uang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang berikut tambahan suatu prestasi oleh penerima kredit”.

Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan, yang mana seorang penerima kredit akan memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan terlebih dahulu di dalam perjanjian kredit.

4

M. Jakile mengatakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti rugi dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu. 5

Selanjutnya Mr. JA. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut :

3

Thomas Suyatno, dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991,

hal. 13. 4

Ibid, hal. 14. 5

(27)

Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari. 6

Dalam pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipinjamkan. Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh bank sebagai pemberi dana di mana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh sipenerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.

Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan unsur-unsur kredit, yaitu: 1. Adanya kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi

(uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang.

2. Adanya waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dan saat pengembaliannya. Karena dalam unsur waktu terdapat dari nilai aqio uang yakni nilai uang sekarang lebih tinggi dari nilai dimasa yang akan datang.

3. Adanya prestasi, yaitu suatu yang berhubungan dengan kredit maka yang dimaksud prestasi dalam hal ini adalah uang.

6

(28)

4. Adanya resiko, yaitu suatu kerugian yang mungkin timbul dari pemberian kredit. 5. Adanya jaminan, yaitu untuk menghindari resiko yang mungkin timbul, maka

harus dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan suatu jaminan sebagai upaya terakhir pengamanan kredit.

Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perjanjian kredit tidak ada pengaturannya. Istilah perjanjian kredit terdapat di dalam Instruksi Pemerintah yang ditujukan kepada kalangan perbankan yang menyatakan bahwa, untuk pemberian kredit bank wajib menggunakan akad perjanjian. Instruksi ini terdapat di dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/E/In/1996 tanggal 3 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/E/In/1966 tanggal 6 Pebruari 1967. 7

Dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.

Berdasarkan batasan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, bahwa dalam pengertian kredit terkandung perkataan perjanjian pinjam meminjam sebagai

7

(29)

dasar diadakannya perjanjian kredit. Atas hal itu pula, dapat dikatakan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan. 8

Mengenai pinjam meminjam ini, Pasal 1754 KUHPerdata mengatakan bahwa : “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Dalam hubungan ini Subekti, mengemukakan dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, Pasal 1754 s/d 1769.

Sebagai suatu perjanjian, maka pengertian perjanjian kredit itu tidak dapat terlepas dari KUHPerdata dan UU Perbankan. Mengenai perjanjian kredit bank, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa : perjanjian, kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de conntrahendo obligatoir) yang dikuaai oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 dan bagian umum KUHPerdata. 9

Oleh karena UU No. 14 Tahun 1967 sudah tidak berlaku lagi, dan digantikan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka menurut penulis perjanjian kredit

8

Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Materiil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hal. 142.

9

(30)

bank dikuasai oleh ketentuan UU No. 10 Tahun 1998, dan bagian umum KUHPerdata.

Dalam pelaksanaannya, pengertian perjanjian kredit ini selalu dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang ditegaskan dalam model-model formulir bank dari masing-masing bank.

Oleh karena perjanjian kredit sebahagian dikuasai oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan bagian umum KUHPerdata maka mengenai syarat perjanjian kredit perlu dilihat dalam bagian umum KUHPerdata tentang perjanjian.

Selanjutnya mengenai pengertian perjanjian itu sendiri, menurut R. Subekti adalah :

"Perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".10

Menurut. Wirjono Prodjodikoro,. yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut :

Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 11

10

R. Subekti, Op.Cit, hal. 1.

11

(31)

Sedangkan jika diperhatikan Pasal 1313 KUHPerdata maka pengertian perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

B. Jenis-jenis Perjanjian Kredit

Mengenai perjanjian ini diatur dalam buku II KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu disini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu :

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian tidak bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-undang bagi masing-masing pihak. 12

Dalam KUHPerdata pun yaitu Pasal 1234, dilihat dari sisi perjanjian, perjanjian dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu :

12

R. M. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito Bandung, 1978,

(32)

1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang. 2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

ad.1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.

Ketentuan ini, diatur dalam KUHPerdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perjanjian ini, adalah jual-beli, tukar menukar, penghibaan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

ad.2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

ad.3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUHPerdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

(33)

1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggungjawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

(34)

orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang berlakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. 5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan

dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergatung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

C. Asas-asas Hukum Perjanjian

(35)

tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan sebagai berikut :

Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. 13

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah :

1. Konsensualisme. 2. Kebebasan berkontrak. 3. Pacta Sunt Servanda. 4. Itikad baik.

ad.1. Asas Konsensualisme

Konsensualisme berasal dari perkataan lain "consensus" yang berarti sepakat. Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa :

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hal.

(36)

Untuk sahnya suatu persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsensualisme ini terdapat pengecualian yaitu untuk beberapa macam perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian semacam ini misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian kerja dan perjanjian perdamaian.

ad.2. Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(37)

mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objek dan jenis dari perjanjian tersebut.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian, yang berarti setiap orang bebas membuat perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata maupun yang belum diatur dalam KUHPerdata atau peraturan perundangan lainnya.

Sebagai konsekuensi lain dari dianutnya sistem terbuka maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat perjanjian apapun, mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur diantara mereka.

Pada umumnya, orang dalam membuat suatu perjanjian itu tidak mengatur secara tuntas segala kemungkinan yang akan terjadi. Dengan demikian tepatlah jika hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap, sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perjanjian-perjanjian yang tidak lengkap tersebut.

ad.3. Pakta Sunt Servanda

(38)

yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas pakta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Dari perkataan "berlaku sebagai undang-undang" dan "tak dapat ditarik kembali" berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan.

ad.4. Asas Itikad Baik

Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 138 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan : "Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik".

(39)

pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

D. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit

Untuk sahnya suatu perjanjian di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat :

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian. 2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (Perikatan). 3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai obyek yang tertentu. 4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal. 14

Ad.1.

Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun

14

(40)

terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak.

Kesepakatan itu ditatanya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak.

Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa : "Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena :

a. kekhilafan atau kekeliruan (dwaling)

b. pemerasan/paksaan (dwang)

c. penipuan (bedrog)"

Unsur kekhilafan/kekeliruan dibagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan mengenai barangnya dinamakan error in substantia.

Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata).

(41)

Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu penipuan, maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu.

Subekti, mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi perizinan.15

Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya, perbuatan memperjual belikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan suarat-suratnya.

16

Ad.2.

Subjek yang melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Kecakapan para pihak pembuat perjanjian

15

Ibid, hal. 135.

16

(42)

Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Dalam hal ini kita akan membahas mengenai subjek hukum manusia.

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata : "Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".

Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus dinyatakan oleh undang-undang.

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggungjawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu. 17

Sedangkan dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya.

18

Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

17

R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke IV, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hal. 13.

18

(43)

Ad.3.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata : "Barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat dihitung atau ditentukan".

Suatu hal tertentu

Selanjutnya dalam Pasal 1322 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan. Dengan demikian barang-barang yang di luar perdagangan tidak dapat menjadi objek perjanjian, misalnya, barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan udara.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

Ad.4.

Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal.

(44)

Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Akibat hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka Hakim.

Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian sebagai mana di atas, harus dibedakan antara syarat obyektif dan syarat subyektif, bahwa di dalam syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk menuntut dimuka hakim.

(45)

Dari keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu disamping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap Undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis.

Dalam setiap hubungan hukum harus ada subyek dan obyek, tetapi subyeklah yang merupakan pendukung hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan atau pembuatan hukum tersebut, dengan kata lain bahwa subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban dapat berupa manusia atau badan hukum.

Adapun mengenai hak dan kewajiban pihak tersebut dicantumkan di dalam surat perjanjian pemborong, dan juga disebut di dalam peraturan umum, yaitu dalam KUH Perdata.

Akan tetapi mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian pemborongan bangunan hanya sedikit diatur dalam KUHPerdata. Sebagian besar hak-hak kewajiban tersebut diatur dalam peraturan standart pemborongan bangunan (AV tahun 1941), kemudian dimuat secara terperinci dalam perjanjian pemborongan, juga dalam bestek dan syarat (rencana kerja dan syarat). 19

Dan akhirnya mengenai haknya, disini para pihak atau subyek hukum menuntut haknya kepada pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya. Sebab dalam

19

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Penerbit Liberty, Jogyakarta, 1982,

(46)

hal ini jika salah satu pihak telah melaksanakan kewajibannya maka lazimnya hak pihak lainnya telah terpenuhi.

E. Akibat Hukum Suatu Perjanjian Kredit

Akibat hukum dari suatu perjanjian secara jelas disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata :

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.20

Dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut di atas dapat dilihat bahwa semua persetujuan, baik persetujuan yang bernama maupun yang tak bernama yang dibuat sesuai dengan ketentuan hukum, mengikat para pihak yang membuatnya atau dibuat secara sah yang berarti dalam pembuatan perjanjian itu adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sehingga dengan demikian perjanjian yang dibuat itu mengikat dan mempunyai kekuatan hukum bagi kedua belah pihak yang berlaku sebagai undang-undang.

Jika dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disimpulkan adanya azas kebebasan berkontrak, yang disesuaikan dengan Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian yang dibuat para pihak tidaklah dapat ditarik seketika tanpa adanya kata sepakat kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata).

20

(47)

Selanjutnya menurut Pasal 1339 KUH Perdata, persetujuan itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, undang-undang.

F. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Berakhirnya suatu perjanjian berbeda dengan berakhirnya suatu perikatan. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian pada umumnya telah ditentukan sendiri oleh pihak yang membuat perjanjian tersebut, misalnya jika tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai yaitu masing-masing pihak telah saling menerima prestasi, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut.

Selain apa yang telah disebuatkan di atas, masih terdapat beberapa cara untuk berakhirnya suatu perjanjian, yaitu :

1. Suatu perjanjian akan berakhir dengan lewatnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama oleh para pihak dalam membuat perjanjian tersebut. Akan tetapi ada juga perjanjian yang batas maksimal waktunya ditentukan oleh Undang-undang, misalnya perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tidak lebih dari lima tahun.

(48)

3. Selama berlangsungnya perjanjian, para pihak yang membuat perjanjian tersebut mengadakan kesepkatan untuk mengakhiri perjanjian. Disamping atas kesepakatan, perjanjian dapat pula berakhir karena adanya penghentian dari salah satu pihak dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat, misalnya perjanjian sewa menyewa yang waktunya tidak ditentukan dalam perjanjian.

(49)

BAB III

HUKUM TENTANG JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Jaminan Kredit

Masalah jaminan kredit merupakan sesuatu hal yang dalam perkembangan dunia perbankan Indonesia masih banyak mendapat sorotan atau perhatian oleh berbagai pihak, karena salah satu alasan adalah masih terjadinya kesimpang siuran dalam menafsirkan pengertian jaminan kredit, baik oleh kalangan perbankan sendiri maupun oleh masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis akan mengemukakan beberapa pengertian jaminan kredit menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam praktek perbankan di Indonesia yang dapat dibedakan berdasarkan atas beberapa sudut pandang, yaitu :

(50)

dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang ada alasan yang sah untuk didahulukan. Bertitik tolak pada rumusan dalam Pasal 1132 KUH Perdata tersebut, pengertian jaminan kredit dapat dijabarkan sebagai berikut : 21

1. Ditinjau dari jenisnya, jaminan kredit (hutang) adalah berupa kebendaan milik debitur yang dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu : benda bergerak dan benda tidak bergerak. Pengertian benda tidak bergerak menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :

a. Benda tak bergerak menurut sifatnya, yatiu tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya.

b. Benda tak bergerak karena tujuannya, misalnya alat-alat yang dipakai dalam pabrik atau mesin-mesin.

c. Benda tak bergerak menurut ketentuan undang-undang, berwujud hak-hak atas benda tak bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda tak bergerak.

Sedangkan pengertian benda bergerak menurut Wirjono Prodjodikoro, yang diatur dalam Pasal 509, 510, 511 KUH Perdata, dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

21

Hoediarto Hoedojo, Tinjauan terhadap Pengertian Jaminan Pemberian Kredit Dalam RUU

(51)

d. Barang-barang yang bersifat bergerak, dalam arti bahwa barang-barang tersebut dapat dipindah tempatkan.

e. Beberapa hak atas barang-barang bergerak, antara lain hak memetik hasil, hak memakai saham-saham dari perseroan dagang.

a. Ditinjau dari status kepemilikannya, jaminan kebendaan milik debitur dapat dibedakan dalam dua jenis pula yaitu kebendaan yang saat ini telah dimiliki dan kebendaan yang akan dimiliki dikemudian hari.

b. Segala kebendaan milik debitur menjadi jaminan bersama bagi para kreditur, kecuali apabila diantara kreditur tersebut memiliki hak didahulukan

(preference), baik gadai maupun hipotik. Berdasarkan penjabaran tersebut di atas nampak jelas bahwa pengertian jaminan hutang yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada hakekatnya berupa segala hak kebendaan milik debitur, baik sekarang telah dimiliki atau yang akan dimiliki dikemudian hari.

(52)

memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan modal, agunan dan prospek usaha dari debitur mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa gerik, petuk dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan "jaminan tambahan".

(53)

Pasal 1 ayat (1) dan (2)

(1) Jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Agunan adalah jaminan materil, surat berharga, garansi resiko yang disediakan oleh debitur untuk menanggung pembayaran kembali suatu kredit, apabila debitur tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) :

(1) Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada siapapun tanpa jaminan pemberian kredit sebagaimana pasal 1 angka 2 di atas.

(2) Jaminan pemberian kredit diperoleh bank melalui penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur.

Pasal 3 ayat (1) dan (2) :

(1) Agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan.

(2) Bank tidak wajib meminta agunan tambahan.

Pasal 4 : Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan bank.

(54)

Pengertian jaminan pemberian kredit lebih dititik beratkan pada keyakinan bank akan pelunasan kredit oleh nasabah, sedangkan untuk memperoleh keyakinan tersebut harus melalui penilaian terhadap unsur-unsur : watak, kemampuan, modal, agunan/jaminan dan prospek usaha. Pengertian tersebut mempunyai makna yang luas dan mengandung kesan bobot materinya lebih ditekankan pada prinsip/syarat pemberian kredit secara umum.

Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, seluruh harta kekayaan seseorang adalah menjadi jaminan bagi seluruh hutangnya, baik kekayaan yang telah ada maupun yang masih akan ada, baik berupa benda bergerak maupun berupa benda tidak bergerak.

(55)

Jaminan khusus ini haruslah diperjanjikan antara para pihak dengan mengikat barang-barang tertentu milik debitur atau dengan menunjuk seseorang yang bersedia menanggung pelunasan hutang debitur.

Dalam undang-undang pada mulanya ditemukan beberapa bentuk lembaga jaminan khusus baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan. Namun sesuai dengan perkembangan masyarakat terutama di bidang perekonomian dalam praktek timbul juga bentuk lembaga jaminan khusus yang tidak diatur dalam undang-undang.

Sejalan dengan keharusan yang diisyaratkan dalam undang-undang pokok perbankan dimana bank umum tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa jaminan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kita dapati lembaga jaminan yang ditinjau dari jenis jaminan tersebut :

1. Jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke zekerheid). 2. Jaminan yang bersifat bukan kebendaan (onzakelijke zekerheid). 3. Jaminan yang bersifat kebendaan (zakalijke zekerheid).

Ad.1.

Adalah jaminan yang bukan bersifat kebendaan tetapi bersifat pribadi

(personal quarentee) atau dengan perkataan lain jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, maksudnya bahwa kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutangnya selain kepada debitur utama tetapi juga kepada penjamin, jika debitur utama tidak memenuhi kewajibannya.

(56)

Ad.2.

Adalah jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur tidak berbentuk barang atau benda materiil, tetapi berdasarkan kelayakan usaha. Bank umum tidak akan memberikan kredit kepada siapapun. Maka didapat pengertian tidak adanya perincian secara tegas mengenai barang-barang apa yang dapat dijadikan jaminan kredit, juga tidak diadakan pembedaan antara jaminan pokok dan jaminan kredit, juga tidak diadakan pembedaan antara jaminan pokok dan jaminan tambahan. Akan tetapi di dalam penjelasan resmi atas ketentuan tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah jaminan yang bersifat luas baik yang bersifat materiil maupun yang bersifat immateriil misalnya prospek kerja/usaha, keahlian debitur, kondisi ekonomi dan lain-lain, secara yuridis dibenarkan sebagaimana yang berlaku pada kredit atas dasar kelayakan usaha. Adapun tujuannya adalah untuk memperingan syarat-syarat perkreditan khususnya bagi golongan ekonomi lemah. Mengenai jaminan yang bersifat bukan kebendaan ini diatur dengan surat keputusan Direksi Bank Indonesia No. 12/72/KEP/DIR/UPK tanggal 21 September 1979.

Jaminan yang bersifat bukan kebendaan

Dalam Pasal 4 surat keputusan Direksi BI No. 12/72/KEP/DIR/UPK menyebutkan :

1. Jaminan kredit adalah proyek barang yang dibiayai dengan jaminan kredit yang bersangkutan.

2. Dalam hal nasabah memiliki tambahan jaminan maka bank dapat mengikat tambahan jaminan tersebut setinggi-tingginya 50% dari maksimum kredit.

(57)

a. Jaminan tambahan kalau ada hanya boleh diikat bank paling banyak 50% dari jumlah kredit.

b. Kalau tidak ada jaminan tambahan, tidak ada halangan untuk tidak memberikan kredit kelayakan asal syarat-syarat lain dipenuhi nasabah. Mengenai syarat-syarat yang dimaksud agar suatu proyek/usaha dapat diangap layak menerima kredit : 1. Memberikan manfaat bagi masyarakat dan sesuai dengan kebijaksanaan

prioritas pemerintah.

2. Mampu untuk hidup dan berkembang.

3. Mampu untuk memberikan keuntungan yang wajar, mengembalikan hutang pokok dan membayar bunga serta biaya-biaya lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Ad.3.

Jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) debitur. Adapun maksud penyediaan barang secara khusus ini adalah diperuntukkan kepada kreditur, karena bila tidak ada penyediaan secara khusus tadi, maka bagian dari kekayaan si debitur menjadi jaminan untuk seluruh hutangnya.

Jaminan yang bersifat kebendaan

(58)

Sehubungan dengan kekayaan seseorang itu ada yang mempunyai wujud yang beraneka ragam, maka pemberian jaminan kebendaan itupun mempunyai aneka macam benda :

1. Kebendaan bergerak yang terbagi atas : a. berwujud (kenderaan, perabot)

b. tak berwujud (hak obligasi, hak tagihan/piutang). 2. Kebendaan tak bergerak yang terdiri atas :

a. berwujud (tanah, mesin, pabrik)

b. tak berwujud (hak memungut hasil tanah).

Dalam lapangan hukum perdata pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak, sangat penting sekali, karena atas pembedaan benda-benda tersebutlah dapat ditetapkan lembaga jaminan ataupun bentuk pengikatan yang mana yang akan dipasang untuk kredit yang akan diberikan.

benda berupa barang bergerak, maka dapat dipasang lembaga jaminan yang berbentuk gadai dan fidusia yakni penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan. Apabila benda berupa barang tak bergerak maka lembaga jaminannya berupa hipotik atau credietverband.

(59)

1. Hukum Gadai (Pandrecht)

Gadai adalah suatu bentuk lembaga jaminan atas benda bergerak. Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata :

Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang dan memberikan kewenangan kepada kreditr untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut terlebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, kecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk memelihara barang itu setelah digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan. 22

Dalam hukum perdata dikenal pembagian benda bergerak berwujud dan benda tak berwujud. Benda bergerak berwujud misalnya kendaraan bermotor, perabotan perkantoran, perhiasan dan sebagainya sedangkan benda bergerak tak berwujud antara lain surat piutang atas nama (op name) piutang atas tunduk (an order), piutang atas bawa (an toonder).

Berdasarkan perbedaan objek gadai tersebut maka cara mengadakan gadai untuk masing-masing jenis objek tersebut harus pula melalui formalitas yang berbeda. Untuk benda bergerak berwujud gadai baru dapat terjadi dengan adanya perjanjian gadai yang diikuti dengan penyerahan nyata barang yang digadaikan dari si pemberi gadai kepada si pemegang gadai (Pasal 1152 KUH Perdata) untuk mengadakan gadai atas surat piutang atas bawa (aan order) ditempuh cara-cara sebagaimana halnya gadai atas benda bergerak berwujud (Pasal 1153). Untuk membebankan hak gadai atas surat order (atas tunjuk) maka setelah pembuatan akte

22

(60)

perjanjian gadai antara nasabah dengan bank juga harus dilakukan/diikuti endosemen oleh yang berhak kepada bank atas surat order tersebut dan selanjutnya dilakukan penyerahan surat tersebut oleh yang berhak kepada bank (Pasal 613 ayat KUH Perdata).

Dalam hal pemberi gadai wanprestasi, pemegang gadai berhak melakukan penagihan kepada pemberi gadai (yang berhutang), dengan catatan jika gadai berjalan, pemberi gadai tidak berhak atastagihan yang digadaikan, sehingga pemberi gadai menerima tagihan, ia berkewajiban membayarkannya kepada pemegang gadai.

23

Dalam membahas masalah gadai ini yang penting adalah masalah

inbezitstelling (berada dalam kekuasaan) sebagaimana yang telah disingung dalam hal gadai benda bergerak berwujud. Berdasarkan Pasal 1152 KUH Perdata disebutkan bahwa benda yang digadaikan harus dimaksudkan dalam bezitnya si penerima gadai dan dalam ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa batal dalam suatu gadai yang mana bendanya tetap berada di bawah kekuasaan si pemberi gadai.

Sehubungan dengan hak yang diberikan undang-undang kepada si penerima gadai untuk dapat menjual di bawah tangan barang-barang yang digadaikan, maka haruslah dicantumkan secara tegas didalam perjanjian gadai antara pemberi gadai dengan si penerima gadai.

(61)

kegiatan si pemberi gadai umpamanya alat-alat inventaris kantor/perusahaan. Untuk mengatasi hal itu maka ditempuh cara lain, yang dewasa ini dikenal dengan istilah

Fiducia Eigendoms Overdracht.

2. Fiducia Eigendoms Overdracht

Disamping lembaga jaminan gadai untuk barang-barang bergerak dalam praktek sehari-hari juga dikenal lembaga jaminan yang disebut dengan Fiducia Eigendoms Overdracht atau penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan. Dalam dunia perbankan lembaga ini lazim disebut fidusia.

Menurut pengertian hukum fidusia adalah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak oleh debitur kepada kreditur, dengan maksud dijadikan sebagai jaminan hutang yang memberikan hak prefensi kepada kreditur. Tentang sifat hukumnya, fidusia sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk jaminan yang lain, adalah bersifat accessoir karena ia mengikuti suatu perikatan pokok yaitu utang-piutang. Timbulnya lembaga jaminan ini dahulu karena adanya kebutuhan kredit dengan jaminan barang-barang bergerak, tetapi si debitur tidak mempunyai barang-barang bergerak selain yang ia pakai sendiri untuk menjalankan perusahaannya ataupun yang ia pergunakan untuk keperluannya sehari-hari.

Keputusan Hooge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang mewakili dan memberikan kekuatan terhadap praktek fidusia dikenal dengan "Berbrowery Arrest"

adapun peristiwa hukum yang melahirkan keputusan tersebut :

23

Yudhi Arlan dan Gusman Aresha, Aspek Hukum, Materi Pembelajaran Pejabat Kredit, BRI

Referensi

Dokumen terkait

Solusi yang diberikan adalah sistem dapat menghasilkan Payment Analysis Report, dimana tampilan laporan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pengguna

Formulir Pemesanan Penjualan Kembali yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi Kolektif BNI- AM KEMILAU PASAR

Data dalam penelitian ini adalah kumpulan dialog-dialog dari Joan Jett dalam naskah film The Runaways karya Floria Sigismondi yang termasuk kedalam jenis dari

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan

Karakterisasi Dan Isolasi Kompleks Insulin-Like Growth Factor I (IGF-I) Plasma Semen Kambing Peranakan Ettawa Anik Susiati... ADLN Perpustakaan

Setalah 50 jam tempe masuk pada (c) Fase pembusukan atau fermentasi lanjut yang terjadi akibat proses ini adalah terbentuknya ammonia, yang artinya tempe pada

pengaruh penggunaan sari kulit dan buah semangka sebagai bahan pengencer.. semen terhadap kualitas semen domba dengan perameter viabilitas dan motilitas.. spermatozoa

1) Guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa, sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa. 2) Dapat