• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN

B. Tinjauan umum tentang Jaminan Kredit

I. Pengertian Jaminan Kredit

Kata kredit berasal dari kata Romawi, Credere, artinya percaya. Dalam bahasa Belanda istilahnya Vertrouwen, dalam bahasa Inggris istilahnya Believe atau trust or confidence artinya sama yaitu percaya. Kepercayaan adalah unsur yang sangat penting dan utama dalam pergaulan hidup manusia. Orang tidak dapat hidup dalam pergaulan bila tidak dipercaya lagi oleh orang lain. Percaya adalah apa yang dikatakan benar, apa yang dijanjikan ditepati, tidak pernah ingkar dan tidak berkhianat atas kewajiban atau tugas yang dipikulkan kepadanya.37

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Berkaitan dengan pengertian kredit di atas, menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: (a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; (b) pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan (c) pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.38

Sekarang ini begitu kompleksnya kegiatan yang menyangkut kredit tersebut, berbeda sekali dengan saat awal berkembangnya kredit. Kredit pada masa awal perkembangannya adalah suatu kegiatan pinjam-meminjam yang

38 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang “Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum”, Pasal 1 angka 5.

bermula karena adanya kedekatan hubungan pribadi sehingga menumbuhkan kepercayaan di antara mereka, yaitu si pemberi pinjaman percaya kepada si peminjam akan mengembalikan pinjamannya (baik dengan disertai bunga ataupun tidak disertai bunga) pada saat yang telah dijanjikan. Dengan dasar adanya kepercayaan tersebut maka kegiatan pinjam-meminjam berlangsung. Adapun istilah yang dipakai untuk penamaan kegiatan tersebut secara umum, yaitu kredit.

Sebagaimana dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, kreditur harus mengetahui dengan jelas apakah debitur mempunyai itikad baik untuk mengembalikan fasilitas kredit tersebut tepat pada waktunya. Faktor terpenting yang harus diteliti oleh kreditur adalah adanya jaminan yang dapat digunakan untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur sehingga bila suatu saat debitur wanprestasi, maka kreditur dapat menjual barang yang diagunkan tersebut untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur. Sehingga untuk mengurangi risiko kerugian kreditur, maka diadakan suatu jaminan hutang piutang oleh para pihak yang menyerahkan barang milik debitur kepada kreditur sebagai jaminan dilaksanakannya kewajiban debitur kepada kreditur. Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/kep/DIR tanggal 28 Februari 1991, tentang Jaminan Pemberian Kredit pada Pasal 1 butir B disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diinginkan. Sedangkan agunan adalah jaminan material, surat berharga, asuransi risiko yang disediakan oleh debitur jika tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Kemudian pada Pasal 2 ayat (1) dari

keputusan tersebut menyatakan bahwa bank tersebut tidak diperkenankan memberikan kredit kepada siapapun tanpa adanya jaminan pemberian kredit.

Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia di bidang hukum yang meminta perhatian yang serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian kredit tersebut. Pembinaan hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah sebagai konsekuensi logis dan merupakan perwujudan tanggung-jawab dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan.39

Perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan” ini dibedakan dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal istilah “agunan”, yang ada istilah “jaminan”. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan” menurut Undang Nomor 14 Tahun 1967. Arti jaminan menurut

Undang-Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, ang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.

Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.

Sehubungan dengan itu, Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan sebagai berikut, “Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atas pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur”.

Adapun istilah “agunan”, ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diartikan sebagai berikut: Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah collateral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Artinya pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, di mana agunan berkaitan dengan “barang” sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula dengan

character, capacity, capital dan condition of economy dari nasabah debitur yang bersangkutan.

Djuhaendah Hasan berpendapat, jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan debitur, yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitur atau usaha pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.40

Menurut Hasanudin Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada pihak kreditur, karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan, bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.41

Fungsi jaminan utang adalah untuk :42

1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank (kreditur) untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah (debitur) melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

2. Menjamin agar nasabah atau debitur berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil terjadinya.

40 Djuhaendah Hasan, Lembaga jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.233.

41

Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Perikatan Kredit Perbankan, Citra Aditya bakti, Bandung, 1996, hal.233

42 Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal.88

3. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

Ketentuan undang-undang, kreditur mempunyai hak penuntutan pemenuhan hutang terhadap seluruh harta kekayaan debitur, baik yang berwujud benda bergerak maupun benda tak bergerak, baik benda-benda yang telah ada maupun yang masih akan ada (Pasal 1131 KUHPerdata). Jika hasil penjualan benda-benda tersebut ternyata tidak mencukupi bagi pembayaran piutang para kreditur, maka hasil tersebut dibagi-bagi antara para kreditur, seimbang dengan besarnya piutang masing-masing (Pasal 1132 KUH Perdata).

Di samping para kreditur konkuren ada juga kreditur preferen, di mana pemenuhan piutangnya didahulukan (voorang) dari pada piutang-piutang yang lain, karena mereka mempunyai hak preferensi. Menurut ketentuan undang-undang, ditentukan para kreditur pemegang hipotik, gadai dan privilege mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau diutamakan dari piutang-piutang lainnya (Pasal 1133 KUHPerdata).

Hak untuk didahulukan dalam pemenuhan itu timbul, karena dua jalan. Pertama karena memang sengaja diperjanjikan lebih dulu bahwa piutang-piutang kreditur itu akan didahulukan pemenuhannya daripada piutang-piutang yang lain. Hal demikian terjadi pada piutang-piutang dengan jaminan hipotik dan gadai. Kedua, kemungkinan untuk pemenuhan yang didahulukan itu timbul karena memang telah ditentukan oleh undang-undang.

Tingkatan–tingkatan dari lembaga jaminan di Indonesia, dalam arti mana harus diutamakan lebih dulu/lebih didahulukan daripada yang lain dalam pemenuhan hutang, dapat diperinci sebagai berikut: Pertama kali yang paling diutamakan adalah hipotik (Hak Tanggungan) dan gadai (antara hipotik/Hak Tanggungan dan gadai tidak ada persoalan yang mana lebih didahulukan karena obyeknya berbeda). Kemudian menyusul para pemegang hak privilege. Pada asasnya apa yang ditentukan oleh para pihak itu lebih didahulukan daripada ketentuan undang-undang. Sedangkan privilege timbul dari undang-undang.

Para pemegang hipotik, pemegang gadai dan privilege itu disebut kreditur preferen, yaitu kreditur yang pemenuhan piutangnya diutamakan dari kreditur lainnya, ia mempunyai hak preferensi (Pasal 1133 KUHPerdata).43

Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengcover utang karena itu jaminan merupakan sarana pelindungan bagi para kreditur yaitu kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau penjamin debitur.

44

a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya

Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit. Oleh karena itu jaminan yang baik (ideal) adalah :

b. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya yang memberi kepastian kepada si pemberi kredit,

43 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan , Liberty, Yogyakarta. 1980, hal.79

44 Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan Dan Perorangan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UU No.42/1999 tentang Jaminan Fidusia, di Jakarta tanggal 9-10 Mei 2000, hal.1

dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.45

II. Pengaturan dan Kedudukan Jaminan dalam Perjanjian Kredit

Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika KUHPerdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan, sebab dalam Buku II KUHPerdata diatur mengenai pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.

Ketentuan dalam pasal-pasal buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari titel kesembilan belas sampai dengan titel dua puluh satu, Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam Pasal-Pasal KUHPerdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II KUHPerdata tersebut, sebagai berikut:

a. Bab XIX : Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138); Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda

45 R.Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra AdityBakti, Bandung, 1991, hal.19.

Tertentu (1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149); b. Bab XX : Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal

1161 dihapuskan).

c. Bab XXI : Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal 1232); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang Ketiga yang menguasai benda yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas benda.

Di dalam KUHPerdata tercantum beberapa ketentuan yang dapat digolongkan sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan dalam ketentuan hukum KUHPerdata adalah sebagaimana yang terdapat pada Buku Kedua yang mengatur tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan (Gadai dan Hipotek) dan pada Buku Ketiga yang mengatur tentang penanggungan utang adalah sebagai berikut :

1. Prinsip-prinsip hukum jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata adalah sebagai berikut:46

a. Kedudukan harta pihak peminjam

Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam

Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak

untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.

Dalam praktik sehari-hari yang dapat disebut sebagai harta yang akan ada di kemudian hari adalah misalnya berupa warisan, penghasilan, gaji, atau tagihan yang akan diterima pihak peminjam.

Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian disebut sebagai isi yang naturalia. Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi yang naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.

b. Kedudukan pihak pemberi pinjaman

Bagaimana kedudukan pihak pemberi piinjaman terhadap harta pihak peminjam dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :

1) Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan

2) Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Pasal 1132 KUHPerdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.

Sebagaimana praktik perbankan pihak pemberi pinjaman disebut kreditur dan pihak peminjam disebut nasabah debitur atau debitur. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kedudukan didahulukan lazim disebut sebagai kreditur preferen dan pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berimbang disebut sebagai kreditur konkuren. Mengenai alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata adalah berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, antara lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1133 KUHPerdata, yaitu dalam hal jaminan utang diikat melalui gadai atau hipotek.

Dokumen terkait