● Secara literal, Fay berarti mengembalikan sesuatu
● Secara Terminologi hukum, Fay menunjukkan seluruh harta negara yang didapat dari musuh tanpa peperangan, baik dalam bentuk :
● Harta yang tak bergerak (tanah) dan pajak terhadap tanah (kharaj)
● Pajak kepala (jizyah) dan bea cukai (ushr) yang dikenakan kepada non-muslim ● Sumber harta negara yang tidak diperoleh dari zakat dan ghanimah
● Secara umum Faydapat diaktegorikan sebagai pendapatan umum pemerintah. ● Fay’ juga sering disebut sebagai amwal al-mashalih, yaitu pendapatan untuk
kesejahteraan publik, (Al-Ghazali). Dasar Hukum Fay’ -> Al-Hashr Ayat 7
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak- anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Konsep Tanah Fay’
● Tanah Fay’ secara umum merupakan seluruh tanah yang berada di bawah kekuasaan Islam, melalui penaklukan (tanpa peperangan) atau dalam perjanjian damai.
● Misal : tanah fadak milik Banu NAzhir (suku Yahudi) dan tanah taklukan lainnya. ● Tanah Fay’ juga dapat diserahkan kepada pemiliknya untuk diproduktifkan, namun
akan dikenakan pajak tanah (Kharaj) oleh negara.
● Seluruh kaum muslimin, baik sekarang atau masa akan datang memiliki hak yang sama
terhadap harta fay’ (Abu Yusuf, dalam Azmi hal 114)
● Dari sudut pandang ekonomi, pembebanan pajak tanah (kharaj) atas tanah fay’ akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi kas negara.
Memakmurkan Tanah Terlantar
● Pada prinsipnya, kepimilikan tanah terlantar adalah milik negara. Namun, negara dapat memberikan izin kepada individu/pemilik lamanya untuk mengolahnya dan menerima pajak tanah (kharaj) dari individu tersebut.
● Pemanfaatan tanah yang tak digunakan secara alamiah akan menguntungkan kas negara karena menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Pelembagaan Iqtha
● Iqtha merupakan prosedur pemberian izin (pengelolaan) tanah terlantar dan tak
bertuan oleh negara sebagai konsesi kepada seseorang yang dapat
mengembangankan dan enanaminya.
● Abu Ubayd menegaskan bahwa secara prinsip iqtha diberikan secara ketat dari tanah mawat (tak bertuan) dan bukan dari tanah kharaj (yang dimiliki seseorang).
● Pemberian iqtha’ bersifat kondisional dan berkaitan dengan peningkatan pertanian serta tidak merisak kepentingan umum msy.
● Implikasi fiskal dari pelembagaan iqtha adalah negara harus berusaha mengalihkan seluruh sumber ekonom u/tujuan tujuan produktif yang bernilai ekonomis.
Sumber-Sumber Alam dan Hima
● Menurut Al-Mawardi, Hima tidak boleh diperuntukan bagi kelompok tertentu atau hanya orang kaya
● Hima sah secar ahukum hanya jika ia dtetapkan bai kepentingan msy miskin dan u/kepentingan umum msy, sebagimana dilakukan oleh Rasulullah.
● Nabi membuat hima atas Naqi (tanah yang dipinggiran kota Madinah) bagi kepentingan umum kaum muslim, yaitu untuk memelihara kuda perang dan ternak Baitul Mal.
● Nabi menyatakan “manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.
● Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa sumber alam tersebut harus dikelola oleh penguasa bagi kepentingan umum. Sumber daya tersebut harus dapat diakses secara bebas oleh semua orang, dan negara harus menetapkan mekanisme untuk menjamin penggunaan yang baik atas sumber-sumber ini.
● Kepemilikan kolektif dalam jenis kekayaan publik tertentu merupakan bagian dari upaya negara Islam untuk menjamin tersedianya sarana penting bagi kehidupan semua warganya.
Sumber Pendapatan Fay’ Jizyah
● Jizyah merupakan kewajiban pembayaran pajak kepala (head tax) atas warga non- Muslim yang ada di negara Islam, sehingga mereka bisa diberikan perlindungan atas kehidupan dan kekayaan serta kebebasan untuk menjalankan agama mereka.
● Prinsip umum keadilan harus ditaati dalam menetapkan jumlah jizyah atas kategori masyarkat yang berbeda (prinsip keadilan).
● Contoh praktik pada pemerintahan khalifah Umar I:
-12 dirham per tahun untuk pekerja kasar dan orang miskin, pembajak tanah, petani dan sebagainya
- 24 dirham per tahun untuk kelompok berpenghasilan menengah
● Dalam masalah pemungutan jizyah, disarankan agar dipungut secara langsung oleh petugas (prinsip kemudahan) (Abu Yusuf).
Ushr
● Ushr (bea cukai) pada awalnya dibebankan atas para pedagang asing sebagai kebijakan resiprokal (membalas dan mengimbangi beban yang sama yang dipungut dari para pedagang Muslim di negara asing). •Ushr kemudian dibebankan secara umum atas pedagang yang melakukan perdagangan di negara Islam. • Perbedaan tingkat bea cukai (disarankan Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al Rasyid berdasarkan praktek Khalifah Umar):
-2.5% untuk pedagang Muslim
-5% untuk pedagang ahlul dzimmi (non-muslim yang dilindungi)
-10% untuk pedagang asing/harabi (dari negara yang tidak memiliki perjanjian damai dgn negara Islam).
● Dua pertimbangan dalam pemungutan bea cukai: -Barang tersebut untuk diperdagangkan - Nilainya tidak kurang dari 200 dirham
Wakaf
● Menurut Abu Yusuf, pada dasarnya wakaf diperuntukkan untuk tujuan amal tertentu sehingga negara tidak memiliki kewenangan penuh dalam membagikan pendapatan ini (i.e. wakaf tidak boleh dipandang sebagai pendapatan penuh negara).
● Namun, jika tidak diperuntukkan untuk tujuan tertentu dan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, negara berhak menggunakannnya untuk tujuan umum sehingga wakaf ini dapat dipandang sebagai pendapatan penuh negara
Kalalah
● Kafalah (Kekayaan orang yang wafat tanpa ahli waris) Menurut Qudamah, kalalah harus dialihkan ke Baitul Mal dan penguasa bebas menggunakannya bagi kepentingan kaum Muslim
Rikaz
● Rikaz (barang hilang dan barang temuan tanpa pemilik atau harta karun). Jika pemiliknya bisa dilacak, maka harus diserahkan kembali pada pemiliknya. Jika tidak, kekayaan tersebut diberikan ke Baitul Mal untuk kepentingan umum
Pajak
● Terdapat beberapa pajak/beban tidak permanen yang syar’i yang ditetapkan dan diperkenalkan oleh sebagian penguasa Umayyah karena melemahnya semangat Islam dan meluasnya pengaruh lokal.
● Di masa pemerintahan Umar II, masyarakat sudah makmur. Namun pajak tambahan tetap diberlakukan. Dengan demikian, sumber ini dianggap tidak benar dari sudut pandang kesamaan dan keadilan dan tidak memiliki nilai keagamaan sehingga Umar II menghapuskan tindakan tersebut (misalnya dengan menghapus beban atas pabrik, hadiah yang diberikan menjelang perayaan Persia Nauroz dan Mahrajan, beban militer, pajak rumah, dan beban yang dipungut dari para penjaja seks).
● Di era kontemporer, dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan dan pencapaian pengentasan kemiskinan, pengenaan pajak tambahan dapat dibenarkan secara umum Sumber Pengeluaran (Penggunaan) Fay
● Sebagian besar ulama sepakat bahwa jenis/peruntukan Fay adalah untuk umum (diserahkan pada kebijakan pemerintah)
● Fay’ juga sering disebut sebagaiamwal al-mashalih, yaitu pendapatan untuk pengeluaran/kesejahteraan publik (Al-Gahazali).
Perspektif Islam terhadap Pajak
● Dalam Islam, tidak ada ayat al-Qur’an maupun hadist yang secara langsung membolehkan atau melarang pengenaan pajak tambahan (dan pinjaman publik). ● Dalam pembahasannya, Abu Yusuf, Yahya ibn Adam, Abu Ubayd dan fuqaha awal
lainnya jarang membicarakan mengenai pajak tambahan
● Hal ini kemungkinan besar dikarenakan mereka hidup dan menulis tentang masa keemasan Islam dimana pendapatan negara berlimpah dari sumber-sumber seperti zakat, khums, fay dan wakaf.
● Namun demikian, ada beberapa hadith dan sirah yang mengindikasikan bahwa pajak tambahan boleh dan pernah dipraktekkan oleh (pemimpin) negara Islam.
Perspektif Ulama terhadap Pajak
● Sebagian besar ulama, seperti Ibn Hazam, al Juwayni, al Ghazali, al Mawardi dan Ibn Taimiyah mendukung ditetapkannya pajak tambahan dalam kondisi tertentu.
“Dalam kekayaan terdapat hak lain selain zakat” (Hadith yg diriwayatkan Ibn Hazam) ● Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:
- Penetapan pajak baru diperbolehkan sebagai solusi jika terjadi defisit anggaran (pendapatan dari zakat dan fay’ tidak memadai) atau kondisi mendesak lainnya (Ibn Hazm dan Al Ghazali).
- Penetapan pajak tambahan diperbolehkan jika kebutuhan darurat masyarakat muncul, seperti untuk membiayai penyediaan kebutuhan dasar orang fakir dan miskin (Ibn Taimiyyah).
- Pajak tambahan diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin untuk keamanan negara dan kesejahteraan masyarakat (al Juwayni).
Perspektif Ulama terhadap Pajak Tambahan (Imam Maliki, Ibnu Hazm,dan Al-Kattani)
● Menurut Kahf (1983), berdasarkan pandangan Imam Maliki, Ibnu Hazm, dan Al-Kattani ● Dalam kasus kebutuhan pertahanan, jaminan untuk orang miskin dan biaya yang sangat
diperlukan untuk menjaga kepentingan umat Islam, maka…
● Penerapan pajak dalam sistem ekonomi Islam sebagai upaya tambahan selain zakat merupakan pengecualian, bukan suatu yang diharuskan
- Kebutuhan/kondisi yang sangat penting dan mendesak - Alternatif pendanaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan Pajak di Era Kontemporer
● Di era kontemporer, sangat sedikit (bahkan mungkin tidak ada) negara Muslim kontemporer yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan warga negara dan menciptakan kesejahteraan bersama tanpa pajak.
● Oleh karenanya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa pajak merupakan bagian penting dari sistem keuangan publik dan sistem kebijakan fiskal Islam.
Arsitektur Keuangan Publik Islam: Quo Vadis?
Hanya sedikit pajak yang disebutkan dalam Al-Qur'an, membuat beberapa ekonom Islam bertanya-tanya bagaimana pajak tambahan dapat dikenakan.
Tapi ini tidak ada gunanya. Pesan Al-Qur'an harus jelas: dalam ekonomi Islam, pajak harus sedikit dan beban pajak harus ringan. Dengan pendapatan pemerintah yang demikian terbatas, dengan asumsi anggaran berimbang, pengeluaran juga harus dibatasi.
Karena pertahanan nasional merupakan pengeluaran pemerintah yang paling penting dan tidak elastis, yang tidak dapat dikompromikan, ini berarti bahwa sebagian besar pendapatan pajak harus dialokasikan untuk pertahanan, meninggalkan layanan sosial penting lainnya seperti kesehatan dan pendidikan yang tidak cukup didanai.
Anggaran Utsmaniyah dari abad keenam belas menunjukkan bahwa memang itulah masalahnya. Kesenjangan yang dihasilkan dalam penyediaan layanan diisi oleh sistem wakaf. (dalam Cizaska, 2013)
Sumber Pendapatan Negara - Indonesia
Peran Khums dan Fay dalam Perekonomian Muslim Kontemporer Khums dan Fay di Era Kontemporer
● Sumber penerimaan Khums: pajak mineral, barang tambang, hasil laut,dll.
● Sumber penerimaan Fay: Pajak tanah (kharaj), bea cukai (ushr), pajak pendapatan untuk non-muslim (jizyah), dan sumber pendapatan pemerintah lainnya (termasuk instrumen fiskal baru seperti sukuk).
● Distribusi (sumber pengeluaran) khums dan fay: umum (diserahkan pada kebijakan pemerintah)
Relasi Khums, Fay dan Pajak di Era Kontemporer
● Melihat pada karakteristik penerimaan dan pengeluarannya, dapat dikatakan bahwa khums dan fay identik dengan pajak (di era kontemporer)
● Hanya saja, secara umum, harta yang menjadi objek khums dan fay lebih sedikit dibandingkan dengan objek pajak, walaupun sebenarnya terdapat fleksibilitas untuk menerapkan objek fay (pajak) baru jika kondisinya membutuhkan.
Peran Khums dan Fay Perekonomian Kontemporer
● Jika dilihat dari sumbernya, sumber penerimaan khums dan fay sangat beragam. Sementara jika dilihat dari penggunaannya, alokasi khums dan fay cukup fleksibel karena diserahkan kepada kebijakan pemerintah.
● Dengan demikian, peran khums dan fay bagi perekonomian sangat penting yaitu sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang sifatnya cukup fleksibel dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
● Untuk itu, pemerintah di negara-negara Islam perlu menyusun dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang tepat dan
Kebijakan Ekonomi Negara-Negara Islam
● Dari data yang ada, terlihat bahwa sebagian besar minyak dunia disupply oleh negara- negara OIC. Oleh karenanya, tidak heran jika sebagian negara OIC sangat tergantung dari pendapatan minyak bumi.
● Terlihat juga bahwa negara-negara OIC memiliki pengeluaran yang rendah untuk kesehatan dan Pendidikan, yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar manusia. ● Oleh karena itu, pemerintah di negara-negara OIC perlu menyusun dan
mengimplementasikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang tepat dan berkelanjutan dengan berlandaskan pada ajaran Islam.