• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIK TENTANG NIKAH SIRRI

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata bahasa arab yaitu sirriyyun yang berarti rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri ini adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksud bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk

13

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Palu: Sinar Grafika, 2006), hlm. 8

menghindari berlakuknya hukum negara yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yang jelas ketentuan pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.

Terminologi “kawin sirri” dikenal dikalangan para ulama paling

tidak sejak masa Imam Malik bin Anas, hanya saja kawin sirri yang dikenal pada masa itu berbeda pengertiannya dengan kawin sirri yang dikenal sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali, saksi dan ijab qabul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali si mempelai perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja para saksi diminta untuk merahasiakan atas terjadinya perkawinan tersebut kepada khalayak ramai sehingga dengan sendirinya tidak ada I‟lanun nikah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk walimatul-„ursy (pesta) atau dalam bentuk lain.

Sedangkan pengertian kawin sirri yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan menurut ketentuan hukum agama islam, namun proses perkawinan tersebut tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan sehingga oleh karenanya perkawinan tersebut tidak dicatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatat Perkawinan dan tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.14

Menurut hukum islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan perkawinan model ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administrative yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan. Yang biasanya menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini, yang dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris.

Pasal 43 UUP mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dalam undang-undang pemerintah bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai dengan agama dan hukum pemerintah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang

14

D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012, Cetakan Pertama), h. 150

dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai agama saja, seperti pernikahan sirri pada kasus machica yang menggugat pasal 43 Undang-Undang Perkawinan.15 Dalam judicial review16, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubugan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Barangkali dalam hal ini MK berasumsi bahwa bayi tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat ulah orang tuanya. Sebagaimana terdapat dalam hadist:

ْ ع

ْ ْ ك : س ع ه ص ا ق : ق ْ ا

ا أف , ْطفْ ا ع ْ

( ا ا ) ... ا صْ ْ ا , ا

Dari Abu Huraiah berkata, Rasullah saw bersabda: setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah) lalu kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi,

atau Nasrani atau Majusi… (HR. Bukhari)

Namun di sisi lain putusan MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah, tetapi tidak

15

Permohonan Machica dikabulkan oleh MK. Dalam putusan nomor 46/PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan daah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

16

Judicial review berfungsi untuk menguji suatu peraturan, jika suatu peraturan bertentangan dengan konsiderans di atasnya (UU 1945), maka harus ditangguhkan dan dinyatakan tidak mengikat. Perlu diingat, rancangan Undang-Undang (RUU) sebelum disahkan, terlebih dahulu dilakukan pengkajian-pengkajian dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu diadakan juga pendekatan-pendekatan etis, filosofis, sosiologis, budaya dan agama. Setelah semua proses itu, makan mengkristallah rancangan tersebut menjadi sebuah Undang-Undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan taua satu segi saja.

menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di belakang akibat putusan MK ini. Karena wajar jika kemudian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amien menegaskan bahwa, putusan MK tersebut sangat kontroversial di kalangan umat Islam dan menimbulkan kegelisahan luar biasa, melanggar syariat Islam dan merubah tatanan Islam.17

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai saksi di antara para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I

dan Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan,

bahkan Syafi’I bependapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.18

Dalam hukum islam nikah sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab Al-Muwatha karyan Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar ibnu al-Khattab r.a:

,ك ْ ْخا

, ْ ا ج اا ْ ع ْ ْش ْ ْ ف ج ْ ا ع ْ ا , ْ ْ ا

: ع قف

سْ ا ا

ج ف ق ْ ك ْ ْ ا ,

Artinya: “ bahwasanya Umar dihadapan seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: ini nikah sirri aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam”.

17

http://www.mifdlol.staff.iainsalatiga.ac.id/2013/01/28/sebuah-catatan-untuk- keputusan-mahkamah-konstitusi-mk-terkait-pelaksanaan-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ di akses pada jumat, 3 Juli 2015 23.57 wib

18

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (suatu study perbandingan dalam kalangan Akhlus-sunah dan negara-negara islam), (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1994), cet-2, h. 153

Pengertian pernikahan sirri dalam persepsi Umar tersebut bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.19

Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab kabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang damai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.20

Menurut para Ulama Hanafiah telah meletakkan kriteria bagi orang yang diterima dan tidak di kesaksiannya dalam akad nikah. Mereka berkata, setiap orang yang layak untuk menjadi seorang wali dalam akd nikah dengan hak perwalian diri sendiri, maka ia layak untuk menjadi saksi dalam akad ini.

Sikap undang-undang terhadap kesaksiannya: undang-undang ahwal syakhshiyyah Syiria (pasal 12) mengambil pendapat madzhab Hanafi

dalam masalah persaksian. Di dalamnya tercantum bahwa, “Dalam sahnya

akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang perempuan yang beragama Islam, berakal, baligh serta mampu mendengar ucapan ijab dan qabul sekaligus memahaminya.” Maksudnya, ini dalam pernikahan sesama Muslim. Adapun pernikahan di antara Ahli Kitab, maka sah dengan kesaksian dua orang dari ahli kitab, sekalipun kedua saksi

19

Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), h. 31

20

tersebut berbeda agama dengan si perempuan, seperti kesaksian orang-orang Nasrani akan pernikahan seorang perempuan Yahudi.21

Pernikahan sirri: sebagai penguat disyaratkannya persaksian, para

ulama Malikiah berkata, “Nikah sirri itu rusak dengan talak ba’in jika suami -istri tersebut telah melakukan persenggamaan. Sebagaimana juga rusaknya pernikahan tanpa saksi dengan terjadi hubungan suami-istri. Mereka berdua dikenakan had zina;jilis atau rajam, jika telah terjadi persenggamaan dan hal itu mereka akui. Atau persenggamaan tersebut terbukti dengan persaksian empat saksi, seperti dalam kasus perzinaan. Mereka berdua tidak diberi ampunan hanya karena ketidaktahuan mereka, akan tetapi mereka berdua tidak dikenakan had, jika pernikahan mereka telah menyebar dan diketahui oleh banyak orang, seperti dengan diiringi pemukulan rebana, diadakan walimah, disaksikan dua saksi fasik dan sejenisnya. Karena hal itu masih dalam taraf syubhat. Nabi saw.pernah bersabda22:

ْ ش ْ ْ ا ا ء ْ ا

Artinya: “Halangilah had itu dengan hal-hal yang syubhat”

Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan, ada yang menyebut kawin syar‟I dan juga yang menyebut kawin Modin, kawin Kyai. Sejumlah istilah muncul mengenai perkawinan di bawah tangan. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud perkawinan di bawah tangan adalah

21

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 9), h.79

22

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 9), h. 74

perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara Agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat lain menyebutkan bahwa perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsirannya terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang pasti ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.23

Adapun pemahaman lain dan lebih umum mengenai kawin sirri dalam pandangan masyarakat islam adalah perkawinan hanya memenuhi ketentuan agama, yaitu memenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun dan syarat nikah itu meliputi: 1) adanya calon suami dan calon istri 2) adanya wali pengantin perempuan 3) adanya dua saksi yang adil (terdiri atas dua orang laki-laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan); 4) ijab dan Kabul. Selain rukun atau syarat wajib nikah, terdapat sunnah nikah yang perlu dilakukan, yaitu khotbah nikah; pengumuman perkawinan dengan

23

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2011), h. 211

penyelenggaraan walimaturrus perayaan; menyebutkan mahar atau mas kawin.

Dalam pernikahan sirri, biasanya unsur walimatul „ursy /perayaan sebagai upaya pengumuman kepada masyarakat yang tidak dilakukan. Sebab pada praktiknya, pernikahan sirri tidak pernah diumumkan kepada masyarakat. Walimatul „ursy bertujuan untuk mengumumkan pernikahan yang sudah terjadi kepada masyarakat, minimal keluarga dan tetangga dekat. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari fitnah dan prasangka buruk orang lain. Selain itu, perilaku pernikahan sirri pun tidak melaporkan pernikahannya ke KUA.24

Perkawinan sirri juga akan menimbulkan kecenderungan bahwa pihak laki-laki untuk bertindak sewenang-wenang karena merasa bahwa posisinya dihadapan hukum lebih menguntungkan dibandingkan perempuan, karena pihak suami bisa meninggalkan begitu saja istri sirinya tanpa tanggung jawab apa-apa dan hukum tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Perkawinan sirri pada umumnya dilakukan oleh orang yang secara aturan administrasi tidak dapat melakukan poligami tanpa adanya ijin dari istri dan atasannya, hal ini serng terjadi pada kalangan Pegawai Negri Sipil (PNS), TNI, Polri yang kemudian melakukan pernikahan secara diam-diam agar jangan sampai diketahui oleh pihak istri dan lingkungan kerjanya.

Dari fenomena kawin sirri itu kemudian memunculkan istilah “istri simpanan” yaitu istri-istri yang dikawini secara sirri oleh seorang laki-laki

24

https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/04/04/nikah-siri/ diakses pada pukul 11:01 WIB tanggal 2 April 2015

yang keberadaannya disembunyikan dari istri dan keluarga dalam pernikahannya yang pertama, perkawinan sirri dilakukan untuk menghindari perbuatan zina sehingga dari sudut pandang itu sebenarnya mengandung nilai-nilai kebaikan, terlepas apakah perkawinan itu merupakan bentuk upaya untuk menyembunyikan dari istri dan keluarga, sepanjang bahwa rukun dan syarat itu terpenuhi menurut ketentuan agama, maka perkawinan seperti itu harus dipandang sebagai perkawinan yang sah.

Perkawinan sirri juga banyak dilatarbelakangi oleh adanya prinsip kebolehan berpoligami dalam ajaran islam, namun itu terkendala dengan adanya pembatasan dan pengaturan dalam aturan perundang-undangan, misalnya bagi seorang Pegawai Negri Sipil (PNS)/TNI dan Polri poligami walaupun bia dilakukan namun hal itu sulit, dan harus melewati segala macam prosedur yang rumit. Berpangkal tolak dari kenyataan tersebut, maka banyak orang yang mengambil jalam pintas dengan segala resiko jabatan yang menyertainya dengan melakukan perkawinan secara sirri demi melaksanakan hajatnya.25

Dokumen terkait